Anda di halaman 1dari 55

ASAS ASAS

RUKUN DAN SYARAT


HUKUM PERKAWINAN
ISLAM

Hukum Perdata Islam


18 September 2013
FHUI, Depok
ASAS ASAS HUKUM
PERKAWINAN ISLAM
ASAS-ASAS
HUKUM PERKAWINAN ISLAM
1. Asas kesukarelaan
2. Asas persetujuan
3. Asas kebebasan
4. Asas kemitraan suami-isteri
5. Asas untuk selama-lamanya
6. Asas kebolehan atau mubah
7. Asas kemaslahatan hidup
8. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat
9. Asas kepastian hukum
10. Asas personalitas keislaman
11. Asas monogami terbuka
1. Asas kesukarelaan

Merupakan asas terpenting


perkawinan Islam.
Kesukarelaan antara kedua calon
suami isteri, juga antara kedua orang
tua kedua belah pihak.
2. Asas persetujuan
 Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan
konsekuensi logis asas kesukarelaan.
 Tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan
perkawinan.
 Pasal 16-17 KHI:
Perkawinan atas persetujuan calon mempelai.
Dapat berupa: pernyataan tegas dan nyata. dgn tulisan,
lisan atau isyarat yg mudah dimengerti atau diam.
Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai
Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan
calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
Bila tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai
maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
3. Asas kebebasan

Asas kebebasan memilih pasangan


dengan tetap memperhatikan
larangan perkawinan.
Pasal 18 (tidak terdapat halangan
perkawinan), 39-44 KHI (larangan
perkawinan).
4. Asas kemitraan suami-isteri
 Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan
yang sederajat hak dan kewajiban Suami Isteri:
(Pasal 77 KHI)
 Suami-isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda
karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan).
(Q.S. an-Nisa (4) : 43 dan al-Baqarah (2) ayat 187.
 Kemitraan menyebabkan kedudukan suami-isteri
dalam beberapa hal sama, dan dalam hal yang lain
berbeda.
 Suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala
dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga.
(Pasal 79 KHI).
5. Asas untuk selama-lamanya.

Menunjukkan bahwa perkawinan


dilaksanakan untuk melangsungkan
keturunan dan membina cinta serta kasih
sayang selama hidup (Q.S. ar-Rum (30) :
21).
Pasal 2 KHI akad yang sangat kuat
untuk menaati perintah Allah dan
menjalankan ibadah.
6. Asas kebolehan atau mubah
• Asal hukum melakukan perkawinan jika di
hubungkan dengan al-ahkam al-khamsah
adalah kebolehan atau ibahah.
• Q.S. An-Nisa (4): Ayat (1) Ayat (3): Ayat (24)
• Namun kebolehan ini dapat berubah menjadi
sunnah, meningkat menjadi wajib atau dapat
juga turun menjadi makruh ataupun haram.
Perubahan ini dapat terjadi karena
berubahnya illah.
7. Asas kemaslahatan hidup
Tujuan perkawinan adalah untuk
mewujudkan suatu keluarga dalam rumah
tangga yang ma’ruf (baik), sakinah
(tentram), mawaddah (saling mencintai),
dan rahmah (saling mengasihi).
Q.S An Nisa:1
Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
8. Asas menolak mudharat dan
mengambil manfaat
Tujuan perkawinan adalah mencegah
melakukan perbuatan yang keji dan
munkar.
Ada pencegahan perkawinan (Pasal 60-69
KHI) dan pembatalan perkawinan (Pasal
70-76 KHI)
9. Asas Kepastian Hukum
Hadits Rasul: Perkawinan harus diumumkan
dengan mengadakan walimah
Pasal 5-10 KHI
Perkawinan harus dicatat dan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah
Isbath Nikah di Pengadilan Agama
Rujuk dibuktikan dgn kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk dari Pegawai Pencatat Nikah.
Putusnya perkawinan karena perceraian
dibuktikan dengan putusan Pengadilan
10. Asas Personalitas Keislaman

Q.II : 221 Q. V : 5 Larangan Perkawinan


KHI Pasal 40 huruf c  wanita non-
muslim dilarang dinikahi oleh laki-laki
muslim
KHI Pasal 44: Wanita Muslim dilarang
melangsungkan perkawinan dgn pria yang
tidak beragama Islam
11. Asas monogami terbuka
 Q.S.an-Nisa’ (4) ayat 3: “Dan jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat tapi jika kamu khawatir
tidak akan berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau hamba
sahaya perempuan yang kamu miliki yang demikian itu lebih dekat
agar kamu tidak berbuat zalim.
 Q.S. 4:127:”Dan mereka meminta fatwa kepadamu ttg perempuan.
Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu ttg mereka dan apa
yg dibacakan kepadamu dalam al Qur’an (juga memfatwakan) ttg
para perempuan yatim yg tidak kamu memberikan sesuatu (mas
kawin) yg ditetapkan utk mereka, sedang kamu ingin menikahi
mereka dan (ttg) anak2 yg masih dipandang lemah. Dan Allah
menyuruh kamu agar mengurus anak2 yatim secara adil dan
kebajikan apapun yg kamu kerjakan sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui.
Asas monogami terbuka…
 Q.S. An Nisa 129: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri2
mu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yg kamu cintai) sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu melakukan perbaikan dan
memelihara diri dari kecurangan maka sungguh Allah Maha Pengampun
dan Maha Penyayang”.
 Pasal 55-59 KHI: Syarat poligami:
 terbatas hanya sampai empat isteri.
 suami harus mampu berlaku adil
 mendapat izin dari Pengadilan Agama, krn isteri :
 tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
 mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
dan
 tidak dapat melahirkan keturunan.
 sesuai Pasal 5 UU 1/1974 (Persetujuan isteri dan kepastian suami
mampu menjamin keperluan hidup isteri dan anak).
Persyaratan dan pembatasan Poligami:
1.Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari
empat orang  (Q.S. 4 : 3 dan hadits nabi riwayat An-
Nasai): nabi menyuruh Gailan bin Salamah al Tasqafi,
seorang musyrik Mekah yang baru masuk Islam dan
beristeri sepuluh orang, agar menceraikan isteri-isterinya
yang lebih dari empat orang dan hanya boleh meneruskan
hubungan perkawinannya dengan empat orang saja.
2.Sanggup berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya.
Barangsiapa belum mampu berbuat adil, dia tidak boleh
mengawini wanita lebih dari satu orang (Q.S. 4:129).
Keadilan yang diisyaratkan dalam ayat ini mencakup
keadilan dalam tempat kediaman, nafkah lahir batin, serta
kasih sayang.
Persyaratan dan pembatasan Poligami:
3. Wanita yang akan dikawini lagi seyogyanya perempuan
yang ada hubungannya dengan pemeliharaan anak yatim,
yaitu wanita yang mempunyai anak yatim, agar anak yatim
itu berada di bawah pengawasan laki-laki yang akan
berpoligami tersebut dan supaya ia dapat berlaku adil
terhadap anak yatim dan harta anak yatim tersebut (Q.S.
4:3 jo Q.S. 4:127).
4. Tidak boleh dengan wanita yang mempunyai hubungan
saudara atau dengan wanita yang mempunyai hubungan
sepersusuan dengan isteri (Q.S. 4:23).
5. Tidak bermaksud hendak mempermainkan atau
menganiaya wanita yang akan dikawini itu (Q.S. 4:24)
Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975
 Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan Indonesia
menganut asas Monogami (Pasal 3 ayat 1).
 Namun seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang
asal memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Perkawinan ini.
 Syarat-syarat berpoligami  Pasal 3 ayat (2) beserta
penjelasannya :
a) Harus ada izin dari Pengadilan Agama,
b) Bila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dan
c) Hukum dan agama yang bersangkutan
mengizinkannya.
Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975
 Izin dari pengadilan, khusus bagi yang beragama Islam wajib
terlebih dahulu mengajukan permohonan tertulis kepada
Pengadilan Agama di daerah tempat tinggal pemohon (Pasal
4 ayat (1) UUP jo. Pasal 40 PP No. 9/1975).
 Harus dipenuhi syarat dan alasan tertentu yang dapat
dibenarkan Undang-Undang Perkawinan Pasal 4 ayat (2)
UUP jo. Pasal 41a PP No. 9/1975 yang ditentukan secara
limitatif, :
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri,
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan,
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975

 Ketika memajukan permohonan izin berpoligami,


harus pula memenuhi seluruh syarat yang telah
ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUP, yaitu:
a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
terdahulu,
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka,
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI
PEGAWAI NEGERI SIPIL JO PP NO 45 TAHUN 1990 TTG
PERUBAHAN PP 10/1983

 Perkawinan pertama wajib diberitahukan secara tertulis


kepada Pejabat di atasnya: Pasal 2(1).
 Perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan
lebih dulu dari Pejabat: Pasal 3 (1) PP 45/1990
 PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Pasal 4(1) PP
45/1990
 PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari PNS: Pasal 4 (2) PP 45/1990
 Diajukan tertulis dengan alasan yang lengkap: Pasal 4 (3-4)
PP 45/1990
Poligami dalam Kompilasi Hukum Islam
(INPRES NO. 1 Tahun 1991)
 Bab IX Pasal 55- 59.
 Isi dari pasal-pasal ini sesuai dengan UUP dan PP No.
9/1975.
 Syarat berpoligami:
1. Jumlah isteri maksimal 4 orang isteri;
2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anaknya. Merupakan syarat utama yang wajib
dipenuhi;
3. Suami harus mendapat ijin dari PA.
4. Apabila isteri tidak setuju, maka PA dapat menetapkan
pemberian izin poligami setelah mendengar dan
memeriksa isteri tsb di persidangan. Terhadap putusan
ini dapat diajukan banding atau kasasi.
Asas-asas Perkawinan menurut
UU No. 1 Thn 1974 (penjelasan butir 4)
a. Tujuan perkawinan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal
b. Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan,
perkawinan harus (wajib) dicatat menurut
peraturan perUUan yg berlaku.
c. Monogami, namun bila dikehendaki krn hukum
agama, suami dapat beristri lebih dari seorang.
Asas-asas Perkawinan menurut
UU No. 1 Th 1974 (penjelasan butir 4)
d. Suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan.
e. Mempersukar perceraian.
f. Hak dan kedudukan istri seimbang dgn hak dan
kedudukan suami dlm kehidupan rumah tangga,
dalam pergaulan masyarakat
g. Perkawinan berikut segala sesuatu yg
berhubungan dgn perkawinan yg terjadi sebelum
UU ini berlaku adlh sah
RUKUN DAN SYARAT
PERKAWINAN
Hukum Perorangan & Kekeluargaan Islam
Perkawinan
Dalam melaksanakan perkawinan harus
memenuhi ketentuan rukun dan syarat
perkawinan
Tidak terpenuhinya ketentuan rukun dan
syarat perkawinan mengakibatkan tidak
sahnya suatu perkawinan
Dasar hukum yang digunakan adalah
syari’ah, UU Perkawinan, dan KHI
Rukun Perkawinan
Rukun ialah unsur pokok (tiang)
Syarat merupakan unsur pelengkap
dalam setiap perbuatan hukum.
Rukun nikah merupakan bagian dari
hakekat perkawinan, artinya bila salah
satu rukun nikah tidak terpenuhi maka
tidak terjadi suatu perkawinan.
Rukun Perkawinan

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI):


Calon suami dan isteri
Wali
Saksi
Ijab Qabul
Syarat Perkawinan
 Menurut hukum Islam rukun dan syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah.
 Syarat Perkawinan terdiri dari dua bagian yaitu Syarat
Umum dan Syarat Khusus.
A. Syarat Umum
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan
larangan perkawinan dalam al-Qur’an yang termuat
dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 221 tentang larangan
perkawinan karena perbedaan agama, Q.S. an-Nisaa
(4) : 22, 23, 24 tentang larangan perkawinan karena
hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
SYARAT KHUSUS
1. Calon Suami dan Isteri
 Beragama Islam
 Menyetujui perkawinan tersebut. Calon mempelai harus
bebas dalam menyatakan persetujuannya, tidak dipaksa
oleh pihak lain. Persetujuan menyatakan kehendak ini hanya
dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berfikir,
dewasa atau akil baligh. (Pasal 16-17 KHI)
 Dewasa jasmani dan rohani dalam melangsungkan
perkawinan (Pasal 15 KHI)
 Tidak terdapat halangan dan larangan perkawinan:
 Bukan mahram pasangannya
 Tidak sedang dalam ihram haji atau umroh.
Syarat Calon Suami dan Isteri

Syarat bagi calon suami:


a. Terang laki-lakinya (bukan banci)
b. Sekurang-kurangnya berusia 19 tahun
c. Tidak beristeri lebih dari empat.
d. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan bakal
isterinya.
e. Mengetahui bakal isterinya tidak haram dinikahinya.
Syarat bagi calon isteri:
a. Terang perempuannya (bukan banci).
b. Sekurang-kurangnya berusia 16 tahun
c. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
d. Tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah.
e. Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suaminya
2. Syarat Perkawinan: Wali
 Hadis Rasulullah
“Barangsiapa di antara perempuan yang menikah
tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal”
 Hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni
“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang
lain, dan jangan pula seorang perempuan
menikahkan dirinya sendiri”
Syarat Perkawinan: Wali
 Mazhab Syafi’i berdasarkan hadits Rasul yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, bahwa Rasul pernah
mengatakan tidak ada kawin tanpa wali.
 Mazhab Hanafi: wanita dewasa tidak perlu wali bila akan
menikah.
 Calon isteri harus mempunyai wali yang bertindak untuk
menikahkannya (Pasal 19 KHI)
 Syarat-syarat wali adalah (Ps 20 ayat (1) KHI):
Muslim
Aqil
Baligh
Tidak tuli, bisu, atau uzur (Ps 22 KHI)
Laki-laki,
Adil
dan tidak sedang ihram atau umroh.
Macam-macam Wali
1. Wali Nasab (Ps 21 KHI)
Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas
yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya
Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki
mereka
Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah dan keturunan
laki-laki mereka
Kelompok saudara laki-laki kandung kakek,
saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-
laki mereka
Macam-macam Wali
2. Wali Hakim (Pasal 23 KHI)
Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa
yang berwenang dalam bidang perkawinan,
biasanya penghulu atau petugas lain dari
Departemen Agama.
Wali hakim baru dapat menjadi wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau adlal (enggan)
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
nikah apabila ada penetapan Pengadilan Agama
Macam-macam Wali
3. Hakam
Hakam adalah seseorang yang masih termasuk
anggota keluarga calon mempelai perempuan namun
bukan wali nasab dan mempunyai pengetahuan
agama sebagai wali yang cukup.
4. Muhakam
Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga calon
mempelai perempuan dan bukan dari penguasa,
tetapi mempunyai pengetahuan agama yang baik dan
dapat menjadi wali perkawinan.
3. Syarat Perkawinan: Saksi
 Hadis riwayat Ahmad
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil”
 Syarat-syarat menjadi saksi (Ps 25 KHI)
Laki-laki
Muslim
Adil
Aqil Baligh
Tidak terganggu ingatan
Tidak tuli
Tidak menjadi wali.
 Dua saksi laki-laki (Pasal 25 KHI). Apabila tidak ada laki-laki
maka seorang laki-laki digantikan dengan dua orang
perempuan untuk menjadi saksi.
4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul
 Ijab :
penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk
perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan
ditujukan kepada laki-laki calon suami
suatu pernyataan penyerahan  dilakukan oleh wali nikah
(Pasal 28 KHI)
 Qabul:
penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami
isteri yang dilakukan pihak laki-laki.
suatu pernyataan penerimaan  dilakukan oleh calon
suami (Pasal 29 ayat 1 KHI)
Dapat diwakilkan kpd pria lain adal calon mempelai pria
memberi kuasa yg tegas dan tertulis dan mempelai
perempuan tidak keberatan (Pasal 29 ayat 2-3)
4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul

 Pelaksanaan antara pengucapan ijab dan kabul


tidak boleh ada antara waktu, harus segera
dijawab. (Pasal 27 KHI)
 Hadis riwayat Muslim:
“Takutlah kepada Allah dalam urusan
perempuan. Sesungguhnya kamu ambil mereka
dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan
kehormatan mereka dengan kalimat Allah”
Mahar
 Dalam perkawinan harus ada Mahar atau sadaq.
 Dasar Hukum: An Nisa ayat 4:
 “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan”
 An Nisa ayat 20:
 “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya
kembali.”
 An Nisa ayat 25:
 “Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk
menikahi perempuan merdeka yang beriman maka dihalalkan
menikahi perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu sebagian dari kamu adalah
sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam/Hawa). Karena
itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan baerikanlah mereka
mas kawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan2 yang
memelihara diri, bukan pezina…”
 Mahar wajib diberikan oleh calon suami kepada calon
isteri (Pasal 30 KHI)
 Jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua pihak
dengan anjuran kesederhanaan dan kemudahan dalam
mewujudkannya (Pasal 31 KHI)
 Biasanya diberikan pada waktu akad nikah
dilangsungkan, sebagai perlambang suami dengan
sukarela mengorbankan hartanya untuk menafkahi
isterinya
 Mahar boleh dibayar tunai atau ditangguhkan sebagian
atau seluruhnya asal disetujui oleh calon isteri dan
menjadi utang calon suami (Pasal 33 KHI)
 Kewajiban menyerahkan mahar bukan rukun perkawinan.
Kelalaian menyebut jumlah dan jenis mahar tidak
menyebabkan batalnya perkawinan. Mahar berhutang
tidak mengurangi sahnya perkawinan (Pasal 34 KHI)
Macam Mahar

Mahar Musamma
Mahar yang telah disepakati oleh calon suami
dan calon istri
Mahar Mitsil
Mahar yang belum ditentukan jumlah dan
bentuknya pada saat ijab kabul
Ketentuan pembayaran mahar
Al Baqarah ayat 237
 “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya itu, maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu”
Pasal 35 KHI
 Suami yang mentalak isterinya dalam keadaan qobla
dukhul, ia wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah
 Suami yang meninggal dunia dalam keadaan qobla dukhul,
seluruh mahar menjadi hak isterinya
 Perceraian terjadi qobla dukhul dan mahar belum
ditetapkan, suami wajib membayar mahar mitsil.
Syarat sahnya perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan
• Pasal 2 ayat (1): perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
• Penjelasan Pasal 2: tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu.
• Berarti untuk Orang Islam maka yg berlaku
adalah hukum perkawinan Islam.
Syarat sahnya perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan
1. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6).
2. Harus berusia 16 (enam belas) tahun bagi wanita
dan berusia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria
(Pasal 7).
3. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain
kecuali dalam hal yang diizinkan (Pasal 9).
4. Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun
harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat
(2)).
5. Tidak merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk
menikah seperti tercantum dalam Pasal 8, 9, 10.
Menurut Hukum Islam
Tidak ada ketentuan yang jelas di al Qur’an dan
Hadits Rasul tentang pencatatan perkawinan
Tidak diatur secara tegas kewajiban mencatat
perkawinan (nikah) dalam kitab fikih;
Q.S. al-Baqarah (2): 282 menjelaskan tentang
bermuamalah secara : “….Jika kamu
bermuamalah, maka catat dan hadirkan 2
orang saksi…..”
Menurut Hukum Islam
 Menurut M. Idris Ramulyo bukti autentik terjadinya
perkawinan sesuai dengan analogi (qiyas)
ketentuan dalam Q. S. 2: 282.
 Namun sebagian ahli berpendapat bahwa ayat ini
hanya untuk utang piutang.
 Perjanjian utang piutang yang bersifat sementara
saja diatur apalagi akad nikah yang seumur hidup.
 Menurut hukum Islam pencatatan perkawinan
hanya proses administrasi saja, tidak
mempengaruhi sahnya perkawinan.
Menurut Hukum Islam
Hadits Rasul, yang diriwayatkan oleh al-
Tirmidzy berasal dari Siti Aisyah: “I’lanun
nikaaha wadhribu alaihi bil gaarbaali”,
artinya: “umumkanlah perkawinan itu dan
pukullah gendang dalam hubungan
dengan pengumuman itu”
Manfaatnya untuk memberi tahu
masyarakat bahwa telah terjadi
perkawinan sehingga dapat terhindar dari
fitnah.
UU Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
UU No. 22 tahun 1946 yang mulai berlaku di
seluruh Indonesia pada tanggal 2 Nov. 1954
melalui UU No. 32 tahun 1954:
Pasal 1 ayat (1): nikah yang dilakukan menurut
agama Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) yang diangkat oleh menteri agama
atau pegawai yang ditunjuk olehnya.
Pasal 3 ayat (1): yang melakukan akad nikah
dengan seorang perempuan tidak di bawah
pengawasan PPN atau wakilnya, dihukum
denda.
SK Mahkamah Islam Tinggi tahun 1953
No. 23

Bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak


didaftar maka nikah tersebut adalah sah,
sedang yang bersangkutan dikenakan
denda karena nikah tidak didaftar
UU PERKAWINAN
 Pasal 2 ayat( 2):
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
 Penjelasan Umum UU Perkawinan:
Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang
dimuat dalam daftar pencatatan.
UU PERKAWINAN

Pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu


hal yang menentukan sah atau tidak
sahnya suatu perkawinan.
Namun UU Perkawinan menempatkan
pencatatan suatu perkawinan pada tempat
(kedudukan) yang penting sebagai
pembuktian telah diadakan perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 5-7 menjelaskan bahwa:
 Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat
 Pencatatan perkawinan dilakukan oleh PPN
sebagaimana diatur dalam UU No 22 tahun 1946 jo.
UU No 32 tahun 1954
 Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan
dan di bawah pengawasan PPN
 Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN
tidak mempunyai kekuatan hukum.
 Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta
nikah yang dibuat oleh PPN
Wassalam Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai