Anda di halaman 1dari 31

KELOMPOK 5(B)

1. NIDA FADHILAH (11151040000042)


2. ALYA HAFIZHAH (11161040000073)
3. M.ABDUL JALALUDIN (11161040000074)
4. MELI ANDANI (11161040000078)
5. CHOLIFATUL AULIA (11161040000084)
6. ANA MAGFIRATUL K (11161040000085)
7. PUTRI ADELIA TAUFIK (11161040000086)
8. EBRIMA JOBARTEH (11161040000087)
9. MUSTAPHA DANSO (11161040000088)
Hemofilia adalah penyakit koagulasi darah congenital karena anak kekurangan
factor pembekuan VIII (Hemofilia A) atau factor IX (Hemofilia B).

Hemofilia adalah gangguan perdarahan bersifat herediter yang berkaitan


dengan defisiensi atau kelainan biologik faktor VIII dan (antihemophilic
globulin) dan faktor IX dalam plasma (David Ovedoff, Kapita Selekta
Kedokteran).

Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan


melalui kromosom X. Karena itu, penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria
karena mereka hanya mempunyai kromosom X, sedangkan wanita umumnya
menjadi pembawa sifat saja (carrier). Namun, wanita juga bisa menderita
hemofilia jika mendapatkan kromosom X dari ayah hemofilia dan ibu pembawa
carrier dan bersifat letal.
Proses pembekuan darah membutuhkan unsur-unsur dalam
darah, seperti platelet dan protein plasma darah. Di dalam
kasus hemofilia, terdapat mutasi gen yang menyebabkan
tubuh kekurangan faktor pembekuan tertentu dalam darah.
Penyebab hemofilia A adalah mutasi gen yang terjadi pada
faktor pembekuan VIISedangkan hemofilia B disebabkan oleh
mutasi yang terjadi pada faktor pembekuan IX (9) dalam
darah. Mutasi gen pada hemofilia A dan B terjadi pada
kromoson X dan bisa diturunkan dari ayah, ibu, atau kedua
orang tua. Sebagian besar wanita dapat menjadi pembawa gen
abnormal ini dan menurunkannya pada anaknya, tanpa
dirinya sendiri mengalami gejala hemofilia. Sedangkan pria
dengan gen abnormal ini cenderung akan menderita penyakit
hemofilia. Di sisi lain, mutasi gen ini juga dapat terjadi secara
spontan pada penderita hemofilia yang tidak memiliki riwayat
keluarga penderita hemofilia
Manifestasi klinis hemofilia yang tersering adalah perdarahan terutama
pada sendi lutut, siku, bahu, dan pergelangan kaki (hamartrosis) yang dapat
terjadi secara akut, yang ditandai dengan nyeri dan bengkak serta
keterbatasan gerak sendi. Apabila tidak diobati secara adekuat dapat
menjadi kronik dan walaupun ditangani dengan baik tetap menyebabkan
artritis kronik yang dapat berupa kerusakan sendi permanen, disebut
dengan artropati hemofilia.
Gejala yang paling sering terjadi pada hemofilia ialah perdarahan, baik yang
terjadi di dalam tubuh (internal bleeding) maupun yang terjadi di luar tubuh
(external bleeding). Internal bleeding yang terjadi dapat berupa: hyphema,
hematemesis, he-matoma, perdarahan intrakranial, hematuria, melena, dan
hemartrosis. Terdapatnya external bleeding dapat bermanifestasi sebagai
perdarahan masif dari mulut ketika ada gigi yang tanggal atau pada
ekstraksi gigi; perdarahan masif ketika terjadi luka kecil; dan perdarahan
dari hidung tanpa sebab yang jelas.
Tanda perdarahan
yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutan/
intramuskular, perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial,
epistaksis, dan hematuria.Sering pula dijumpai perdarahan yang
berkelanjutan pasca operasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi).
Hemofilia adalah penyakit kelainan koagulasi darah congenital karena anak
kekurangan faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau faktor IX (hemofilia B, atau
penyakit Christmas). Penyakit kongenital ini diturunkan oleh gen resesif terkait-X
dari pihak ibu. F VIII dam F IX adalah protein plasma yang merupakan komponen
yang yang diperlukan untuk pembekuan darah; faktor-faktor tersebut diperlukan
untuk pembentukan bekuan fibrin pada tempat cidera vascular (Cecily Lynn Betz,
2009) Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan pembuluh
darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah, adesi trombosit,
agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi bekuan darah,
pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi antikoagulan, dan
pemulihan aliran darah melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh
darah. Cedera pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah dan terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial. Faktor von Willebrand
(vWF) akan teraktifasi dan diikuti adesi trombosit. Setelah proses ini, adenosine,
diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain trombosit dilepaskan granul yang
berada di dalam trombosit dan menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan
trombosit lebih lanjut. Cedera pada pembuluh darah juga melepaskan tissue faktor
dan mengubah permukaan pembuluh darah, sehingga memulai kaskade
pembekuan darah dan menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit
ini akan distabilkan oleh faktor XIII.
Kaskade pembekuan darah klasik diajukan oleh Davie dan Ratnoff pada tahun
1950an dapat dilihat pada Gambar 1. Kaskade ini menggambarkan jalur intrinsik
dan ekstrinsik pembentukan thrombin. Meskipun memiliki beberapa kelemahan,
kaskade ini masih dipakai untuk menerangkan uji koagulasi yang lazim dipakai
dalam praktek sehari-hari.

Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka


pembentukan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita
hemofilia tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada
perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan
terhenti akibat efek tamponade.

Namun pada luka yang terbuka dimana efek tamponade tidak ada, perdarahan
masif dapat terjadi. Bekuan darah yang terbentuk tidak kuat dan perdarahan
ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau trauma ringan.
Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8
terletak di bagian lengan panjang kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen
F9 terletak di regio Xq27.2,14 Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang dapat
terjadi, namun inversi 22 dari gen F8 merupakan mutasi yang paling banyak
ditemukan yaitu sekitar 50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8
dan F9 ini diturunkan secara x-linked resesif sehingga anak laki-laki atau kaum
pria dari pihak ibu yang menderita kelainan ini. Pada sepertiga kasus mutasi
spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai adanya riwayat keluarga
penderita hemofilia pada kasus demikian.

Wanita pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan


walaupun biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan
bahwa 5 di antara 55 orang penderita hemofilia ringan adalah wanita (Muscari,
Mary E. 2009).
1. Tes penyaring
Tes penyaring terdiri atas :
a. Tes untuk menilai pembentukan hemostatic plug,
seperti: hitung trombosit, apusan darah tepi, bleeding
time, tes torniquet (Rumple-Leede).
b. Tes untuk menilai pembentukan trombin terdiri
atas tes PT (Prothrombin Time) dan aPTT (Activated
Partial Thromboplastin Test).
c. Tes untuk menilai reaksi trombin-fibrinogen terdiri
atas thrombin time dan stabilitas bekuan dalam saline
fisiologik dan 5 M urea.
2. Mixing test
Mixing test bertujuan untuk Membedakan defisiensi
faktor koagulasi dengan adanya inhibitor, metodenya
adalah Dilakukan dengan mencampur plasma pasien
dengan plasma normal dengan perbandingan 1:1,
kemudian diinkubasi. Interpretasinya APTT memanjang
inhibitor faktor VIII koreksi APTT defisiensi atau tidak
menyingkirkan inhibitor apabila klinis sesuai.
3. Differential APTT
Prinsip : Reagent APTT akan beraksi dengan faktor VIII
dan faktor IX pada suhu 37º C pada Waterbath dan
menghasilkan pembekuan plasma berupa benang fibrin.
Tujuan : Untuk menguji fungsi thrombosit dan faktor
VIII dan faktor IX (hemofilia)
4. Test Campuran:
Pada hemofilia A test aPTT menjadi normal setelah
tambahan plasma normal yang telah di-adsorpsi BaSO4.
aPTT tidak menjadi normal setelah tambahan plasma
lama atau plasma pasien hemofilia A. Interpretasi Hasil
Pemeriksaan aPTT Bila masa prothrombin memberi hasil
normal dan aPTT memanjang memberi kesan ; adanya
defisiensi (kurang dari 25%) dari aktivitas satu atau lebih
dari satu faktor koagulasi plasma untuk jalur intrinsik (F
XII, FXI, F IX dan F VIII). Dengan demikian jelaslah
bahwa defisiensi ringan seperti pada hemofilia A yang
ringan dan penyakit von Willebrand yang ringan tak
dapat dideteksi dengan aPTT.
Bila aPTT pada pasien dengan perdarahan yang
berulang-ulang lebih dari 34 detik perlu dilakukan
pemeriksaan assay kuantitatif terhadap F VIII, IX dan
XII dan bila perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan
terhadap inhibitor yang bersirkulasi.
5. Uji Assay
Uji Assay uji fungsional terhadap faktor VIII dan Faktor IX yang memastikan
diagnosa.
6. Tes genotype
Tes genotipe untuk deteksicarrier berdasarkan analisis identifikasi mutasi secara
langsung.
7. Diagnosis antenatal
Diagnosis antenatal sebenarnya dapat dilakukan pada ibu hamil dengan risiko.
Pemeriksaan aktivitas F VIII dan kadar antigen F VIII dalam darah janin pada
trimester kedua membantu menentukan status janin terhadap kerentanan
hemofilia A. Tes antinatal juga bisa dilakukan terhadap sel dari vilus / cairan
amniotik. Hasil kariotipe 48-72 jam melalui biakan limfosit menggunakan teknik
aspirasi berpadu ultrasonografi telah digunakan untuk mengambil sampel
jaringan janin selain darah
8. Amniosentesis
Amniosentesis akan mendiagnosis hemophilia pada waktu prenatal.
9. Uji laboratorium (uji skrining untuk koagulasi darah)
Jumlah trombosit
Masa protrombin
Masa tromboplastin parsial
Masa perdarahan
Masa pembekuan thrombin
Assays fungsional faktor VII dan IX
1. Terapi Suportif

a. Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan


b. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan
kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%
c. Lakukan Rest, Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi
perdarahan untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi.
d.Kortikosteroid, untuk menghilangkan proses inflamasi pada
sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis
e. Analgetik, diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri
hebat, hindari analgetik yang mengganggu agregasi trombosit
f. Rehabilitasi medik, sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara
komprehensif dan holistic dalam sebuah tim karena keterlambatan
pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan
baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi
medic atritis hemofilia meliputi : latihan pasif/aktif, terapi dingin
dan panas, penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi
rekreasi serta edukasi.
2. Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX baik rekombinan, kosentrat
maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak factor
pembekuan tersebut. Hal ini berfungsi untuk profilaktif/untuk mengatasi
episode perdarahan. Jumlah yang diberikan bergantung pada factor yang
kurang.

3. Terapi lainnya
a. Pemberian DDAVP (desmopresin) pada pasien dengan hemofili A ringan
sampai sedang. DDAVP meningkatkan pelepasan factor VIII.
b. Pemberian prednisone 0.5-1 mg/kg/bb/hari selama 5-7 hari mencegah
terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (atrosis) yang mengganggu aktivitas
harian serta menurunkan kualitas hidup pasien Hemofilia (Aru et al, 2010)
c. Transfusi periodik dari plasma beku segar (PBS)
d. Hindari pemberian aspirin atau suntikan secara IM
e. Membersihkan mulut sebagai upaya pencegahan
f. Bidai dan alat orthopedic bagi pasien yang mengalami perdarahan otak dan
sendi (Hadayani, Wiwik, 2008)
 Dikenal 3 jenis hemofilia, yaitu: hemofilia A (defisiensi
faktor VIII/anti hemophilic factor), hemofilia B (defisiensi
faktor IX/Christmas factor), dan hemofilia C (defisiensi
faktor XI).
 Hemofilia A dan B dapat terjadi pada semua golongan etnis.
Gen faktor VIII dan IX terletak dekat ujung lengan panjang
kromosom X oleh karena itu diturunkan secara X-linked
traits/recessive, sehingga biasanya perempuan sebagai
pembawa sifat sedangkan laki-laki sebagai penderita.
Penyakit hemophilia C tidak disebabkan oleh gen resesif
kromosom X melainkan oleh gen resesif yang jarang
dijumpai dan terdapatnya pada autosom. Tidak ada 1% dari
kasus hemophilia adalah tipe ini. Penderita tidak mampu
membentuk zat plasma,tromboplastin anteseden (PTA).
 Berdasarkan tingkat keparahannya hemofilia dapat
diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat.
Klasifikasi Kadar Faktor VIII dan Faktor IX Keterangan
di dalam darah

Berat Kurang dari 1 % dari jumlah normal Penderita hemofilia berat dapat mengalami beberapa
kali perdarahan dalam sebulan. Kadang-kadang
perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.

Sedang 1% – 5% dari jumlah normalnya Penderita hemofilia sedang lebih jarang mengalami
perdarahan dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan
kadang terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat,
seperti olahraga yang berlebihan.

Ringan 6 % – 50 % dari jumlah normalnya Penderita hemofilia ringan mengalami perdarahan


hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi, cabut gigi,
atau mengalami luka yang serius.
 Inhibitor
Inhibitor adalah cara tubuh untuk melawan apa yang dilihatnya
sebagai benda asing yang masuk . Hal ini berarti segera setelah
konsentrat faktor diberikan tubuh akan melawan dan akan
menghilangkannya. Pada penderita hemofilia dengan inhibitor
terhadap konsentrat faktor, reaksi penolakan mulai terjadi segera
setelah darah diinfuskan. Ini berarti konsentrat faktor dihancurkan
sebelum ia dapat menghentikan pedarahan. Ini merupakan komplikasi
hemofilia yang serius, karena konsentrat faktor tidak lagi efektif.
Pengobatan untuk perdarahan tidak berhasil. Penderita hemofilia
dengan inhibitor mempunyai risiko untuk menjadi cacat akibat
perdarahan dalam sendi dan mereka dapat meninggal akibat
perdarahan organ dalam yang berat.
 Kerusakan sendi
Kerusakan sendi adalah kerusakan yang disebabkan oleh perdarahan
berulang di dalam dan di sekitar rongga sendi. Kerusakan yang
menetap dapat disebabkan oleh satu kali perdarahan yang berat
(hemarthrosis). Namun secara normal, kerusakan merupakan akibat
dari perdarahan berulang ulang pada sendi yang sama selama
beberapa tahun. Makin sering perdarahan dan makin banyak
perdarahan makin besar kerusakan. Kerusakan sendi ini sering
disebut artropati hemofilia. Kerusakan sendi pada hemofilia mirip
dengan kerusakan sendi pada orang normal dengan radang sendi atau
artritis. Ini terjadi pada 2 tempat yaitu pada sinovium dan rawan sendi.
 Infeksi yang ditularkan oleh darah
Di seluruh dunia banyak penderita hemofilia yang tertular HIV,
hepatitis B dan hepatitis C. Mereka terkena infeksi ini dari
plasma, cryopresipitat dan khususnya dari konsentrat factor
yang dianggap akan membuat hidup mereka normal. Hepatitis
B masih dapat ditularkan melalui produk darah tertentu. Vaksin
terhadap hepatitis B dianjurkan untuk semua orang yang rutin
menerima produk darah. Walaupun jarang terjadi, hepatitis A
dapat ditularkan melalui produk darah. Oleh karena itu,
dianjurkan vaksinasi terhadap hepatitis A untuk orang yang
menerima produk darah. Ini penting untuk orang yang telah
terinfeksi hepatitis A, karena dapat menjadi berat dan bahkan
fatal pada orang yang telah terinfeksi hepatitis C. Tidak ada
vaksin untuk hepatitis C.
1. Biodata Klien
Terjadi pada semua umur biasanya anak laki-laki dan wanita
sebagai carier.
2. Keluhan Utama
a) Perdarahan lama (pada sirkumsisi)
b) Epitaksis
c) Memar, khususnya pada ekstremitas bawah ketika anak
mulai berjalan dan terbentur pada sesuatu.
d) Bengkak yang nyeri, sendi terasa hangat akibat perdarahan
jaringan lunak dan hemoragi pada sendi
e) Pada hemofilia C biasanya perdarahan spontan
f) Perdarahan sistem GI track dan SSP
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Apakah klien mengalami salah satu atau beberapa dari keluhan
utama
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah dulu klien mengalami perdarahan yang tidak henti-hentinya serta
apakah klien mempunyai penyakit menular atau menurun.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga klien ada yang menderita hemofili pada laki-laki atau carrier pada
wanita.
6. Kaji Tingkat Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak terlewati dengan sempurna
7. ADL (Activity Daily Life
a) Pola Nutrisi : anoreksia, menghindari anak tidak terlewati dengan
sempurna
b) Pola Eliminasi : hematuria, feses hitam
c) Pola personal hygiene : kurangnya kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan dini.
d) Pola aktivitas : kelemahan dan adanya pengawasan ketat dalam
beraktivitas
e) Pola istirahat : tidur terganggu karena nyeri
8. Pemeriksaan fisik:
a) Keadaan umum: kelemahan
b) Berat Badan: menurun
c) Wajah : wajah mengekspresikan nyeri
d) Mulut : mukosa mulut kering, perdarahan mukosa mulut
e) Hidung : epitaksis
f) Thorak/ dada : adanya tarikan intercostanalis dan bagaimana suara
paru
g) Suara jantung pekak
h) Adanya kardiomegali
i) Abdomen adanya hepatomegali
j) Anus dan genetalia
k) Eliminasi urin menurun
l) Eliminasi alvi feses hitam
m) Ekstremitas: hemartrosis memar khususnya pada ekstremitas bawah
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
perdarahan terus menerus
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
penurunan suplai darah ditandai dengan dyspnea
3. Nyeri berhubungan dengan inflamasi
4. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan
hospitalisasi
5. Kegagalan tumbuh kembang berhubungan dengan
terganggunya proses metabolisme
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
penurunan oksigen
7. Resiko kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan kontraktur, potensial degenerasi sendi
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
perdarahan terus menerus
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
jam diharapkan klien tidak mengalami dehidrasi atau syok.
Kriteria hasil:
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan berat
badan, berat jenis urine normal Intake dan output seimbang,
mukosa bibir basah, turgor kulit normal, dan TTV normal.
Intervensi:
a) Monitoring tannda-tanda vital
b) Instruksikan dan pantau anak berkaitan dengan
perawatan gigi yaitu menggunakan sikat gigi berbulu anak
c) Kolaborasi pemberian produk plasma sesuai indikasi
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
penurunan suplai darah ditandai dengan dyspnea
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam
diharapkan fungsi pernafasan adekuat. Kriteria hasil:
Menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan
kedalaman dalam rentang normal
Intervensi:
a) Kaji frekuensi dan irama napas, suara paru dan waktu
timbulnya sesak.
b) Susun jadwal bermain dan istirahat bersama orang tua
c) Beri posisi semifowler pada saat anak berbaring
d) Kolaborasi pemantauan Analisa Gas Darah (AGD)
3. Nyeri berhubungan dengan inflamasi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam
diharapkan nyeri akan berkurang. Kriteria hasil:
a. Nyeri pada klien berkurang
b. Klien tidak kesakitan lagi
Intervensi:
a) Berikan tehnik distraksi (bernyanyi, menonton
televisi) dan relaksasi (ganti alat temun : seprai)
b) Motivasi klien untuk bergerak perlahan
c) Berikan analgetik sesuai prosedur /instruksi dokter
4. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan
hospitalisasi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam
diharapkan tidak terjadi perubahan peran orang tua. Kriteria
hasil:
a. Orang tua dapat mengekspresikan perasaannya
b. Orang tua yakin memiliki peranan penting dalam
keberhasilan pengobatan
Intervensi:
a) Motivasi orang tua ntuk mengekspresikan perasaannya
sehubungan dengan anaknya
b) Diskusikan dengan orang tua tentang rencana
pengobatan
c) Berikan informasi yang jelas dan akurat
5. Kegagalan tumbuh kembang berhubungan dengan
terganggunya proses metabolisme
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam
diharapkan tidak terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Kriteria hasil:
Pertumbuhan anak sesuai kurva BB dan TB, perkembangan anak
sesuai dengan tahapannya
Intervensi:
a) Monitor tinggi dan berat badan setiap hari dengan timbangan
yang sama dan waktu yang sama dan didokumentasikan dalam
bentuk grafik
b) Bantu memenuhi nutrisi px (mis: membantu menyuapi
makanan)
c) Ijinkan anak untuk sering beristirahat dan hindarkan
gangguan pada saat tidur
d) Tekankan bahwa anak mempunyai kebutuhan yang sama
terhadap sosialisasi seperti anak yang lain.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan oksigen
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam diharapkan
aktifitas klien terpenuhi. Kriteria hasil:
a. Anak menentukan dan melakukan aktifitas yang sesuai dengan
kemampuan
b. Anak mendapatkan waktu istirahat/tidur yang tepat
Intervensi:
a) Kaji toleransi klien terhadap aktifitas dengan menggunakan
parameter : nadi 20 kali per menit, TD, Dypsnea, berkeringat, pusing
b) Anjurkan klien untuk melakukan permainan dan aktivitas yang
ringan
c) Melatih klien agar dapat beradaptasi dan mentoleransi terhadap
aktifitasnya
d) Bantu klien untuk memilih aktifitas sesuai usia, kondisi dan
kemampuan
e) Berikan periode istirahat setelah melakukan aktifitas
f) Kolaborasi dengan ahli terapis u/ pemberian terapi aktifitas
7. Resiko kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kontraktur, potensial degenerasi sendi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam
diharapkkan terjadi penurunan resiko kerusakan mobilitas fisik.
Kriteria hasil:
a. Tanda vital tetap normal
b. Peningkatan rentang gerak sendi
c. Tidak ada tanda inflamasi
Intervensi:
a) Ajarkan untuk melakukan latihan rentang gerak aktif pada
anggota gerak yang sehat
b) Lakukan latihan rentang gerak pasif pada anggota gerak yang
sakit
c) Kolaborasi / konsultasi dengan ahli terapi fisik / okupasi,
spesialisasi, rehabilitas

Anda mungkin juga menyukai