Anda di halaman 1dari 53

ASPEK PERENCANAAN PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI
Dasar hukum : UU no 42 th 2009

DAMAR SASI ELSZA P


UNIVERSITAS AIRLANGGA
Perencanaan pajak
• tax planning merupakan upaya yang legal, karena penghematan pajak
hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur
(loopholes).
• Rencana meminimalkan pajak dapat ditempuh misalnya, mengambil
ketentuan yang sebesar-besarnya dari ketentuan mengenai
pengecualian dan pemotongan atau pengurangan yang
diperkenankan.
• Pada umumnya tax planning adalah untuk meminimumkan kewajiban
pajak. Rencana meminimalkan pajak dapat ditempuh dengan cara,
mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari ketentuan
mengenai pengecualian dan potongan atau pengurangan yang
diperkenankan, hal ini dapat memanfaatkan penghasilan yang
dikecualikan sebagai obyek pajak sesuai dengan pasal 4 ayat 3 UU 36
tahun 2008
PPN
• Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas
setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya
dari produsen ke konsumen atau secara Cuma-Cuma/hadiah.
• PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, karena pajak tersebut
disetor oleh pihak lain sebagai pemungut, yang bukan penanggung
pajak.
• Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada
pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha
Kena Pajak yang disingkat PKP.
• Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah
credit method atau indirect substraction method, yakni mekanisme
pengkreditan pajak keluaran dan pajak masukan.
PERENCANAAN PAJAK UNTUK PPN
Meliputi
1. Memaksimalkan mekanisme pengkreditan PPN.
2. Memaksimalkan Fasilitas di bidang PPN
3. Penyerahan asset yang menurut Tujuan Semula Tidak untuk dijual
4. Sentralisasi Pengenaan PPN
5. Restitusi atau Kompensasi
6. Pembangun sendiri dalam kegiatan usaha
7. PPN atas barang gratis untuk keperluan promosi
8. Menjadi PKP
9. Tanggung Jawab renteng
1.
MEMAKSIMALKAN
PENGKREDITAN PPN
Pasal 9 UU PPN
• Perusahaan sebaiknya memperoleh • Jika PK>PM, maka selisihnya
BKP/JKP dari PKP, supaya Pmnya merupakan PPN yang harus
dapat dikreditkan. dibayar.
• Perusahaan perlu mengamati • Jika PK<PM, maka selisihnya
dengan cermat jangan sampai merupakan kelebihan bayar PPN
terdapat pajak masukan yang yang bisa dikompensasi dengan
belum dikreditkan. Masa Pajak berikutnya atau
• Pengenaan PPN berdasar Sistem dimintakan kembali (restitusi).
Faktur sehingga setiap penyerahan • PPN yang dibayar atas perolehan
BKP/JKP yang dilakukan PKP barang, bukan hanya PPN atas
harus dibuat faktur pajak. harga barang tersebut, tetapi
• Mekanisme penggeseran PPN termasuk juga PPN yang dibayar
dilakukan melalui pemungutan atas jasa angkutan, kemasan,
kembali PPN dari pembeli berikut- biaya pemasaran, biaya
nya. manajemen, dsb yang semuanya
boleh diperhitungkan dengan PPN
• Jika jumlah PPN yang dipungutnya yang dipungut dari pembeli
lebih besar dan PPN yang telah berikutnya (pajak keluaran).
dibayar pada saat perolehannya,
• Pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang
berhubungan langsung dengan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya adalah faktur pajak
standar atau dokumen yang disamakan dengan faktur pajak standar.
• pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada
masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah
berakhirnya tahun buku yang bersangkutan, sepanjang belum
dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
• Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan apabila:
• Perusahaan sebelum dikukuhkan menjadi PKP.
• Faktur pajak sederhana.
• Faktur pajak cacat.
• Tidak diisi lengkap dan terdapat coretan atau hapusan.
• Pajak masukan atas pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan combi.
• Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP.
• Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha
atas BKP.
• Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT Masa PPN, yang diketemukan pada
saat pemeriksaan/yang ditagih melalui SKP.
2.
FASILITAS PPN
• Bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut, PPN
Masukan yang berhubungan dengan perolehan BKP/JKP tetap dapat
dikredit-kan, sedangkan bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN
dibebaskan,PPN Masukan yang berhubungan dengan perolehan
BKP/JKP tidak dapat dikreditkan. Fasilitas PPN adalah sbb:
1. Fasilitas PPN tidak dipungut
2. Fasilitas PPN dibebaskan
3. Fasilitas PPN ditanggung pemerintah (DTP)
Latar belakang pemberian fasilitas
Undang-Undang PPN tidak Terlihat dari latar belakang ini bahwa fasilitas
membedakan latar belakang pemberian diberikan untuk tujuan-tujuan yang
fasilitas Tidak Dipungut dan Dibebaskan.
Latar belakang keduanya tidak memberikan dampak keuntungan secara
dipisahkan namun dijelaskan secara nasional, bukan hanya untuk kepentingan
sekaligus dan bersama-sama, antara sekelompok orang tertentu saja.
lain, di Penjelasan Umum dan di
penjelasan Pasal 16B Undang-Undang Ada satu prinsip yang harus dipegang teguh
PPN. Utamanya latar belakang dalam pemberian fasilitas ini, yaitu harus
pemberian fasilitas ini adalah untuk: selalu diupayakan agar terdapat perlakuan
• Meningkatkan perwujudan keadilan yang sama kepada Wajib Pajak atau transaksi
dalam pembebanan pajak yang pada hakekatnya sama. Artinya jangan
• Menunjang peningkatan penanaman sampai mencederai prinsip "netralitas“ dalam
modal PPN. Meskipun disadari - dengan
• Mendorong peningkatan ekspor kewaspadaan tinggi - bahwa setiap
• Menciptakan lebih banyak lapangan pemberian fasilitas sesungguhnya akan
kerja baru mencederai netralitas PPN. Pengecualian
• Menunjang pelestarian lingkungan diberikan untuk – dan hanya untuk – mencapai
hidup tujuan-tujuan tertentu sebagaimana dimaksud
Mendorong Impor kertas yang
berkembangnya Diberikan digunakan sebagai
jenis usaha pembebasan PPN bahan pembuatan
tertentu buku-buku sekolah

Membentuk
Meningkatkan Tidak dipungut Kawasan Berikat,
Ekspor PPN EPTE, & Kawasan
Bebas (FTZ)

Impor bahan baku


Membantu
Diberikan yang dipergunakan
kesehatan
Pembebasan PPN untuk membuat
masyarakat
vaksin polio

Penyerahan hasil
Meningkatkan
Diberikan pertanian,
kesejahteraan
Pembebasan PPN perkebunan,
petani, nelayan
kehutanan
Fasilitas PPN dari masa ke masa
Sebelum 1 Januari UU PPN Nomor UU PPN Nomor UU PPN Nomor 42
1995 11 Tahun 1994 18 Tahun 2000 Tahun 2009

1. Penangguhan 1. Pajak terutang


1. Pajak yang 1. PPN Tidak
Pembayaran PPN & tidak dipungut
terutang Dipungut
PPnBM sebagian atau
tidak 2. Dibebaskan
2. Penundaan seluruhnya
dipungut; dari
Pembayaran PPN & 2. Dibebaskan dari
atau pengenaan
PPnBM pengenaan pajak
2. Dibebaskan PPN
3. PPN & PPnBM Baik untuk
dari
Ditanggung sementara waktu
pengenaan
Pemerintah maupun
Pajak
4. PPN & PPnBM dibayar selamanya
oleh Pemerintah
5. PPN Tidak Dipungut
6. PPN Dibebaskan
1. Fasilitas PPN tidak dipungut (Pasal 16B UU
PPN)
• Fasilitas PPN Tidak Dipungut pada hakikatnya sama saja
dengan pengenaan PPN dengan tarif 0%. Keduanya sama tidak
memungut PPN dan dibolehkan mengkreditkan Pajak Masukan.
Sehingga konsumen yang membeli barang atau jasa yang
diberi fasilitas PPN Tidak Dipungut sama sekali tidak akan
menanggung beban PPN.
• Jika fasilitas PPN Tidak Dipungut diberikan sebelum pada level
konsumsi akhir (yaitu pada bagian hulu dari mata rantai
produksi dan distribusi), sejatinya tidak akan memberi manfaat
sama sekali dari sisi beban pajak dan penanggung pajaknya.
Konsumen akhir tetap akan menanggung PPN sebesar tarif
dikali harga beli. Karena itu, fasilitas PPN Tidak Dipungut hanya
akan efektif dan bermanfaat bila diberikan pada level konsumsi
(pada bagian muara dari mata rantai produksi dan distribusi)
Con’t
• Dari hakikat karakteristik ini, fasilitas PPN Tidak Dipungut paling cocok
jika diberikan pada kegiatan ekonomi yang dianggap sebagai prioritas
nasional tanpa merugikan sektor usaha yang menjadi konsumen dari
sektor prioritas tersebut. Misalkan suatu ketika diputuskan bahwa industri
dirgantara merupakan kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas nasional,
maka fasilitas PPN Tidak Dipungut dapat digunakan untuk mendorong
pertumbuhan industri dirgantara, tanpa harus menyebabkan sektor
penerbangan nasional – yang merupakan konsumen industri dirgantara –
menanggung beban tambahan. Atau untuk pembangunan infrastruktur
tertentu seperti pelabuhan, mass rapid transit, jembatan, gedung
sekolah, perumahan rakyat, dll sepanjang digunakan bukan untuk proses
produksi berikutnya sehingga prinsip netralitas tetap dapat terjaga .
• Fasilitas PPN Tidak Dipungut juga cocok diberikan untuk barang/jasa
tertentu yang dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak
namun berada pada bagian muara dari mata rantai produksi dan
distribusi. Misalnya adalah pakaian seragam sekolah, susu anak, obat
anti tetanus, dll.
Macam-macam kegiatan yang tidak dipungut
PPN
• Kawasan berikat pulau batam • Penyerahan avtur untuk
• Penyerahan Barang Kena Pajak penerbangan internasional
kepada Pengusaha sepanjang • Penyerahan avtur kepada
Barang Kena Pajak tersebut maskapai penerbangan untuk
digunakan untuk menghasilkan keperluan penerbangan
Barang Kena Pajak yang diekspor internasional diberikan fasilitas
• Impor Barang Kena Pajak yang tidak dipungut Pajak Pertambahan
dilakukan oleh Pengusaha Nilai sepanjang perjanjian
sepanjang Barang Kena Pajak pelayanan transportasi udara
tersebut digunakan untuk mencantumkan asas timbal balik
menghasilkan Barang Kena Pajak
yang diekspor
Con’t
• Kawasan KAPET • pengiriman barang hasil produksi PDKB ke
PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut
Kepada Pengusaha di Kawasan Berikat, • Pengeluaran barang dan atau bahan dari
untuk selanjutnya disebut PDKB, di dalam PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau
wilayah KAPET dapat diberikan fasilitas PDKB lainnya dalam rangka subkontrak
perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai • penyerahan kembali Barang Kena Pajak
Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas hasill pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha
Barang Mewah tidak dipungut atas Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya
• impor barang modal atau peralatan lain kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal
oleh PDKB yang berhubungan langsung • peminjaman mesin dan atau peralatan
dengan kegiatan produksi pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB
• impor barang dan/atau bahan untuk diolah kepada perusahaan industri di DPIL atau
di PDKB PDKB lainnya dan pengembaliannya ke
PDKB asal
• pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah
Pabean Indonesia Lainnya, untuk
selanjutnya disebut DPIL, ke PDKB untuk
diolah lebih lanjut
Di/Ke Kawasan Berikat
Dasar Hukum :
1. PP 32 Tahun 2009 Tanggal 24 Maret 2009Tentang Tempat Penimbunan Berikat.
2. PMK 147 Tahun 2011 stdtd PMK 120 Tahun 2013 Tentang Kawasan Berikat
3. PMK 253 Tahun 2011 stdtd PMK 177 Tahun 2013 tentang Pengembalian BM yang
telah dibayar atas Impor Barang dan Bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada
barang lain dengan tujuan untuk ekspor.

Kawasan Bebas (Free Trade Zone)


Penyerahan BKP atau Dasar Hukum :
JKP atau Impor BKP 1. PP Nomor 10 Tahun 2012 tentang perlakuan kepabeanan, perpajakan, dan Cukai serta
tata laksana pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari serta berada di kawasan
atau Pemanfaatan
yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
BKP tidak berwujud
atau JKP dari luar di
Perlakuan perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak berstatus Entrepot Produksi untuk
dalam Daerah Tujuan Ekspor (EPTE) dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan Berikat (KB). PP Nomor 3
Pabean yang Tahun 1996
dilakukan.
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
Dasar Hukum :
1. PP 20 Tahun 2000 stdtd PP 147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan Di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu

Dalam rangka Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE)


Dasar Hukum :
1. PMK 253 Tahun 2011 stdtd PMK 177 Tahun 2013 tentang Pengembalian BM yang
telah dibayar atas Impor Barang dan Bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada
barang lain dengan tujuan untuk ekspor.
Contoh kasus
• Jinyoung (PKP) adalah seorang penjual suatu buku (BKP). Satu buku tersebut, Jinyoung
memerlukan biaya sebesar Rp 50.000,- dari harga tersebut, Jinyoung mengharapkan laba 20%
HPP. misalkan atas perolehan bahan-bahan tersebut Jinyoung telah membayar Pajak Masukannya
sebesar Rp 5000,-. karena pajak masukan atas fasilitas PPN ini tidak bisa dikreditkan, maka
biasanya Penjual atau pengusaha akan memasukkanya sebagai biaya dan menjadi bagian dari
harga poko penjualan
• untuk fasilitas PPN terutang tidak dipungut, PM bisa dikreditkan, maka Jinyoung tidak akan
memasukkannya sebagai biaya ke harga poko penjualan karena juga tidak rugi jika tidak
dimasukkan, sehingga perhitungannya sebagai berikut.
harga pokok penjualan : Rp 50.000,-
laba (20%) : Rp 10.000
PPN terutang : RP 6.000 (tidak dipungut)
harga yang akan dibayar oleh konsumen : Rp 60.000
karena tidak dapat dikreditkan, maka 6.000 diangga sebagai modal pokok
• Dengan begitu, harga barang yang diberikan fasilitas PPN terutang tidak dipungut lebih murah jika
dibanding dengan fasilitas PPN terutang dibebaskan
2. Fasilitas PPN di bebaskan (Pasal 16B UU
PPN)
• Pada hakikatnya barang/jasa yang diberikan fasilitas PPN
Dibebaskan sama dengan Non BKP/Non JKP.
Pembeli/konsumen tetap menanggung beban PPN, yaitu yang
telah terutang pada mata rantai produksi dan distribusi
sebelumnya. Beban PPN ini akhirnya menjadi tanggungan
pembeli karena digeser secara bertahap dalam tiap mata rantai
produksi dan distribusi.
• Keuntungan dari fasilitas PPN Dibebaskan yang diterima hanya
sebesar PPN atas nilai tambah pada level pemberian fasilitas
itu saja. Sedangkan PPN atas nilai tambah mata rantai
sebelumnya tetap menjadi tanggungan pembeli. Semakin
panjang rantai produksi dan distribusi sebelum mendapat
fasilitas PPN Dibebaskan, semakin besar pula pajak yang
• Fasilitas PPN Dibebaskan berpotensi besar akan menyebabkan distorsi pada netralitas PPN. Jika
fasilitas PPN Dibebaskan diberikan sebelum sampai pada level konsumsi akhir, secara keseluruhan
bukan hanya tidak memberi manfaat, yang terjadi justru adanya pemajakan berganda. Sektor
ekonomi yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan memang mendapat (sedikit) keringanan, tetapi itu
diperoleh dengan mengorbankan sektor ekonomi yang menjadi konsumennya. Konsumen akhir akan
menanggung beban pajak lebih besar daripada tanpa pemberian fasilitas. Karena itu, fasilitas PPN
Dibebaskan hanya boleh diberikan pada barang/jasa yang mempunyai karakteristik sebagai produk
akhir (finished goods), bukan intermediary goods.
• Dari hakikat karakteristik ini, fasilitas PPN Dibebaskan cocok jika diberikan pada pembelian
barang/jasa yang akan digunakan untuk konsumsi, bukan sebagai bahan baku atau alat produksi.
Khususnya jika produksi barang/jasa yang sama masih harus diimpor karena belum bisa dihasilkan di
dalam negeri. Fasilitas ini juga cocok diberikan untuk tujuan meningkatkan keadilan dalam
pembebanan pajak. Misalnya untuk komoditas –seperti air dan listrik- yang dianggap merupakan
kebutuhan hidup orang banyak, sepanjang komoditas ini tidak digunakan untuk alat
produksi.7Utamanya jika komoditas ini dihasilkan pada bagian hulu dari mata rantai produksi dan
distribusi –misalnya barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan.
• Fasilitas PPN Dibebaskan juga cocok diberlakukan pada transaksi yang tidak menginginkan adanya
kerumitan administrasi. Misalkan pembelian BKP/JKP oleh perwakilan negara asing dan organisasi
internasional, yang diberikan untuk mengakomodir kelaziman pergaulan internasional. Atau atas
barang bawaan penumpang lintas negara
Contoh kasus
• Jinyoung (PKP) adalah seorang penjual suatu buku (BKP). Satu
buku tersebut, Jinyoung memerlukan biaya sebesar Rp 50.000,- dari
harga tersebut, Jinyoung mengharapkan laba 20% HPP. misalkan
atas perolehan bahan-bahan tersebut Jinyoung telah membayar
Pajak Masukannya sebesar Rp 5000,-. karena pajak masukan atas
fasilitas PPN ini tidak bisa dikreditkan, maka biasanya Penjual atau
pengusaha akan memasukkanya sebagai biaya dan menjadi bagian
dari harga poko penjualan.
sehingga, perhitungannya adalah sebagai berikut.
biaya : Rp 50.000, PM : Rp 5000
harga poko penjualan :Rp 55.000
laba diharapkan (20%) : Rp 11.000
PPN terutang : Rp 6600 (dibebaskan)
harga yang dibayar oleh konsumen Rp 66.000
3. Fasilitas PPN DTP (Per 06/BC/2011)
• mekanisme pajak ditanggung pemerintah (DTP) merupakan salah satu
kebijakan pemerintah dalam rangka stabilisasi harga pangan pokok dan
upaya mendorong investasi.
• DTP adalah pajak terutang suatu perusahaan, baik swasta maupun BUMN
yang ditanggung oleh pemerintah melalui penyediaan pagu anggaran
dalam subsidi pajak
• Pemerintah menanggung pembayaran sejumlah jenis pajak untuk
mengantisipasi kemungkinan turunnya investasi, karena melambatnya
perekonomian global dan meningkatnya harga komoditas pangan
strategis, seperti terigu, gandum, kedelai, dan minyak goring
• Dengan demikian, dalam perhitungan anggaran Pemerintah akan bersifat
netral (in-out), karena penerimaan perpajakan akan bertambah sebesar
nilai DTP dan pada saat yang sama subsidi pajak yang tercatat pada
pengeluaran juga akan bertambah sebesar nilai DTP yang dicatat pada
penerimaan
Con’t …
• Pengertian DTP sama dengan pengertian "tax expenditure" yang banyak
diterapkan di kelompok negara industri maju yang tergabung dalam
Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan
juga telah sesuai dengan klasifikasi pendapatan negara dalam
"Government Financial Statistic" (GFS) tahun 2001 serta IMF "paper
• Pemberian keringanan beban pajak melalui mekanisme DTP tersebut
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10/2008 tentang
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah atas impor
dan/atau penyerahan gandum dan tepung gandum/terigu, PMK No.
14/2008 tentang PPN dibayar oleh pemerintah atas penyerahan minyak
goreng curah di dalam negeri, PMK No. 15/2008 tentang PPN dibayar oleh
pemerintah atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam
negeri
• Insentif fiskal lainnya didasarkan kepada Keputusan Menteri Keuangan
(KMK) No. 776/1992 tentang tata cara perhitungan, penyetoran dan
pelaporan bagian pemerintah, PPh, PPN dan pungutan-pungutan lainnya
atas hasil pengusahaan panas bumi untuk pembangkit listrik. Juga PMK
No. 178/2007 tentang PPN ditanggung pemerintah atas impor barang
PPN DTP impor GANDUM DAN tepung
gandum/TERIGU
PMK NOMOR 10/PMK.011/2008

• Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan gandum dan


tepung gandum/terigu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap “PPN DIBAYAR
PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 10/PMK.011/2008”.
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER - 6/BC/2011
• Atas impor barang untuk yang dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas
bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi diberikan fasilitas PPNDTP (Pasal 2)
• Untuk mendapatkan fasilitas PPNDTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pengusaha
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai u.p. Direktur Fasilitas
Kepabeanan
• tas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Direktur Jenderal u.p. Direktur
Fasilitas Kepabeanan melakukan penelitian
• Untuk penyelesaian pemenuhan kewajiban pabean barang impor yang mendapat fasilitas PPN
Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pengusaha wajib menyampaikan
Pemberitahuan Impor Barang dengan mencantumkan nilai PPN yang terutang pada butir jenis
pungutan dalam kolom “Ditanggung Pemerintah”
• tas Pemberitahuan Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kantor Pabean tempat
pemenuhan kewajiban kepabeanan membubuhkan cap “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH
BERDASARKAN PMK NOMOR 22/PMK.011/2011 ”, nama, NIP dan paraf pejabat bea dan cukai
yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pabean pada semua lembar Pemberitahuan Impor Barang dan
SSPCP
• Fasilitas berupa PPNDTP akan mengurangi beban pengusaha,
baik dalam menghitung HPP dan juga dalam menentukan
harga jual produk untuk dapat bersaing dengan produk yang
sama, terutama dengan produk impor
• Pengurangan beban akibat PPN DTP yakni tidak perlu
menyetorkan selisih PM dari PK, dan pengusaha akan
mendapatkan kembali PM yang sudah dibayarkan dan menjadi
penghasil lain bagi pengusaha
• Kegiatan usaha yang PPN nya ditanggung pemerintah
• Minyak goreng
• Perusahaan taksi
• Bantuan luar negeri
Contoh kasus
• PT BTOB sebagai Uraian PPN tidak DTP PPN DTP Selisih
industry minyak goreng, Dibayar pembeli 5.500.000.000 5.000.000.000 500.000.000
dalam satu tahun Penjualan 5.000.000.000 5.000.000.000
menjual minyak dengan
HPP Rp 5M, dengan HPP 3.000.000.000 3.000.000.000
PPN Keluaran sebesar Laba Kotor 2.000.000.000 2.000.000.000
500juta DTP.
Biaya usaha 1.000.000.000 1.000.000.000
• Dengan HPP sebesar
3M, biaya usaha 1M, Laba usaha 1.000.000.000 1.000.000.000
dan PM 200juta, maka RestitusiPPN 200.000.000
berikut adalah
perbandingan Laba bersih 1.000.000.000 1.200.000.000 200.000.000
keuntungan yang Keuntungan 700..000.000
diperoleh WP apabila
PPN tidak DTP atau PPN
DTP
Perbedaan fasilitas PPN tidak dipungut dan
PPN dibebaskan

Terlihat pada tabel di atas bahwa dengan jumlah penyerahan dan Pajak Masukan
yang sama pada kedua jenis fasilitas akan mengakibatkan perbedaan pada jumlah
PPN yang terutang. Pada fasilitas PPN Tidak Dipungut terjadi lebih bayar sebesar
Pajak Masukannya (Rp1.600.000,-), sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan
terjadi PPN terutang sebesar Nihil.
Con’t…
• Sebenarnya apakah pajak masukan sebesar Rp1.600.000,- itu? Tidak lain dan
tidak bukan itu adalah akumulasi nilai tambah (value added) dari semua mata
rantai produksi dan distribusi sebelum sampai pada PKP X .2 Berarti semua PPN
yang telah dipungut atas nilai tambah yang terjadi pada semua mata rantai
sebelum PKP X dikembalikan. Hal yang berbeda terjadi pada fasilitas PPN
Dibebaskan. PPN yang telah dipungut atas nilai tambah yang terjadi pada semua
mata rantai sebelum PKP X tidak dikembalikan. Kalau begitu apa untungnya
mendapat fasilitas PPN Dibebaskan? Kita akan lihat dengan membandingkannya
pada penyerahan yang tidak mendapat fasilitas, pada ilustrasi berikut
Con’t
• Ilustrasi pada Tabel 2 dengan jelas menunjukkan bahwa pada fasilitas PPN Tidak
Dipungut, seluruh PPN yang telah disetor (seluruh nilai tambah yang telah
tercipta) pada mata rantai produksi dan distribusi sebelumnya dikembalikan.
Sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan, hanya nilai tambah yang dihasilkan
oleh PKP X saja yang tidak disetor. Seluruh nilai tambah yang dihasilkan pada
mata rantai sebelumnya telah disetor dan terakumulasi di kas negara. Hal ini
makin mudah dipahami jika kita membandingkan antara kolom 3 dengan kolom 4
pada Tabel 2 di atas. Selisih akumulasi PPN disetor ke kas negara - antara pada
fasilitas PPN Dibebaskan dengan tanpa fasilitas - adalah sebesar Rp200.000,- yaitu
sebesar nilai tambah yang dihasilkan oleh PKP X. Jadi sesungguhnya keuntungan
konsumen/pembeli yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan tidaklah sebesar
tarif dikali harga beli, namun hanya sebesar tarif dikali nilai tambah pada mata
rantai terakhir, yaitu saat pemberian fasilitas tersebut. Konsumen tetap
menanggung beban PPN sebesar tarif dikali nilai tambah pada proses produksi
dan distribusi sebelumnya (dalam ilustrasi Tabel 2 adalah sebesar 1.600.000).
Ternyata akumulasi PPN disetor ke kas negara tidak berbeda antara pada penyerahan yang
diberikan fasilitas Tidak Dipungut dengan Tanpa Fasilitas. Perbedaannya hanya pada
pergeseran saat penyetoran PPN terutang, yaitu dari Distributor Utama kepada Retailer.
Jumlah PPN yang dikembalikan pada level Distributor Utama akan terakumulasi kembali
dalam pemungutan PPN pada level Retailer. Sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan,
akumulasi PPN disetor malah menjadi lebih besar daripada tanpa fasilitas. Kenaikan jumlah
akumulasi PPN ini - sebesar 900.000 - adalah merupakan akibat dari terjadinya pemajakan
berganda pada level Retailer .
Con’t
• Fasilitas PPN Tidak Dipungut dapat diberikan pada suatu sektor ekonomi tanpa
menimbulkan beban tambahan pada sektor ekonomi yang menjadi
konsumennya. Sementara Fasilitas PPN Dibebaskan punya potensi besar akan
menimbulkan distorsi pada netralitas PPN karena adanya efek pemajakan
berganda.
• Umumnya fasilitas PPN Tidak Dipungut cocok diberikan pada kegiatan ekonomi
yang dianggap sebagai prioritas nasional. Juga untuk barang/jasa tertentu yang
dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak namun berada pada bagian
muara dari mata rantai produksi dan distribusi. Sementara fasilitas PPN
Dibebaskan, secara umum, cocok diberikan pada barang konsumsi yang sangat
dibutuhkan untuk kepentingan nasional namun belum mampu dihasilkan di
dalam negeri. Fasilitas ini juga cocok diberikan untuk tujuan meningkatkan
keadilan dalam pembebanan pajak, utamanya untuk barang yang dihasilkan pada
bagian hulu dari mata rantai produksi dan distribusi.
3.
PENYERAHAN ASET YANG
MENURUT TUJUAN SEMULA
TIDAK UNTUK DIJUAL
Penyerahan Aset yang menurut Tujuan Semula
Tidak untuk dijual
Pasal 16D UU no 42 tahun 2009
• Penyerahan aset yang tujuan semula tidak diperjualbelikan
dikenakan PPN, sepanjang PPN yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan, kecuali atas penyerahan aktiva
yang PM nya tidak dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat 8 huruf b dan
c)
• Pajak keluaran disetor dengan menggunakan SSP tersendiri, disetor
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
• Dapat dibuatkan faktur pajak tetapi tidak perlu dimasukkan ke Formulir
1195.
• Dalam hal aset tersebut juga mendapatkan fasilitas penundaan, atas
penyerahan asset dimaksud juga dikenakan PPN
Contoh:
• PT Primadonna adalah perusahaan yang bergerak dibidang jasa
ekspedisi. Pada tahun 2011, PT Primadonna membeli mobil box
senilai Rp 120.000.000, umur 8 tahun, metode garis lurus. Pada tahun
2016, karena kesulitan likuiditas, PT Primadonna menjual mobil box
yang dimilikinya seharga Rp. 60.000.000
3.
PERMOHONAN SENTRALISASI
PENGENAAN PPN
Sentralisasi Pengenaan PPN
• Sebelum mengambil keputusan untuk memilih pemusatan tempat
terutang, sebaiknya perusahaan melakukan penelitian dan
mempertimbangkan mana cara yang lebih menguntungkan, apakah
dalam pelaporan pajaknya perusahaan memakai sistem sentralisasi
atau desentralisasi.
• Dalam pasal 1A ayat f UU PPN disebutkan bahwa penyerahan BKP dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang
termasuk dalam pengertian penyerahan BKP.Pengecualian tsb dengan
tujuan untuk mempermudah administrasi perpajakan.
DASAR HUKUM
• Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
s.t.d.t.d Undang-undang Nomor 42 Tahtın 2009;
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2010 Tentang Penetapan Satü Tempat Atau Lebih Sebagai Tempat Pajak
Pertambahan Nilai Terutang.
• Peraturan Direktur Jenderaı Pajak Nomor PER-10/PJ./2008 Tentang Tempat Pajak Terutang Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang
Sebelumnya Dikukuhkan Pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Beşar Atau Kantor Pelayanan Pajak Madya;
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-67/PJ./2004 tentang Tempat Pendaftaran Bagi wajib Pajak Tertentu Dan Atau Tempat Pelaporan
Usaha Bagi Pengusaha Kena Pajak Tertentu s.t.d.t.d Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-9/PJ./2008
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-335/PJ./2002 Tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Dikukuhkan
Di Kantor Pelayanan Pajak wajib Pajak Besar•,
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-390/PJ./2003 tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi
• Pengusaha Kena Pajak Tambahan Yang Dikukuhkan Di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Sebagaimana Ditetapkan Dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-344/PJ/2003
• Tentang Penambahan Wajib Pajak Tertentu Yang Terdaftar Dan Melaporkan Usahanya Pada Kantor
• Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu Dan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-394/PJ./2003 tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Dikukuhkan
Di Kantor Pelayanan Pajak Yang Mengelola Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) s.t.d.t.d Keputusan Dirjen Pajak Nomor
KEP-73/PJ./2004
Pengertian dan macam sentralisasi
• Sentralisasi pengenaan PPN memiliki arti yaitu pemusatan tempat
terutangnya PPN. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang telah mengantongi ijin
sentralisasi, maka atas penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang tidak terutang PPN. Yang
dimaksud dengan "Pusat" dalam konteks ini adalah tempat tinggal atau
tempat kedudukan usaha. Sedangkan "Cabang" antara Iain lokasi usaha,
perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya
• Macam-macam sentralisasi
• Sentralisasi wajib atau otomatis;
• Sentralisasi yang diajukan melalui pemberitahuan; dan
• Sentralisasi yang pengajuannya wajib untuk melakukan permohonan terlebih dahulu
pemusatan PPN diatur dalam KEP –
128/PJ./2003
• Terdapat dua jenis pemusatan PPN terutang yaitu:
1. Pemusatan bagi PKP yang terdaftar di KPP selain KPP Tertentu
2. Pemusatan bagi PKP yang terdaftar di KPP Tertentu
Ijin Pemusatan Tempat PPN Terutang dapat dilakukan dengan cara;
• Pemberitahuan
• Permohonan
Persyaratan Pemusatan Tempat PPN Terutang;
• Administrasi penjualan, pembelian dan keuangan diselenggarakan secara terpusat
• Tempat PPN terutang yang dipusatkan hanya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP atas
perintah tempat pemusatan PPN terutang
• Faktur Pajak (FP) dan/atau Faktur Penjualan diterbitkan oleh tempat pemusatan PPN terutang;
• Tempat PPN terutang yang dipusatkan tidak membuat FP dan/atau Faktur Penjualan, kecuali
dicetak secara on-line dari tempat pemusatan PPN terutang;
• Tempat PPN terutang yang dipusatkan hanya melakukan administrasi persediaan dan
administrasi kegiatan perolehan BKP dan/atau JKP; dan
• PKP telah memiliki Sistem Informasi Akuntansi yang terhubung secara on-line antara tempat
pemusatan PPN terutang dengan tempat-tempat PPN terutang
• PT. Aghita memiliki Perusahaan Induk di Jakarta, kemudian karena di
Sulawesi terdapat pemasukan dalam jumlah besar PT. Aghita membuka
kembali cabang disana.
Kemudian KPP di Sulawesi meminta PT. Aghita agar melaporkan Omsetnya
di Sulawesi dilaporkan. Atau melaporkan PPN dan PPh Badan Tahunan.
Jika PT. Aghita melakukan Pemusatan di Jakarta, maka PT. Aghita cukup
melaporkan PPh 21 di Sulawesi dan tidak perlu melaporkan Tahunan
Badan. Serta, hanya melakukan pelaporan Omsetnya di Jakarta.
Singkat cerita (Intinya), beberapa manfaat yang diperoleh :
1. Sentralisasi PPN
2. Sentralisasi PPh Badan Tahunan (PPh Pasal 25/29)
Memaksimalkan restitusi PPN
• Sebagai subjek PPN salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan
PM sesuai ketentuan. Dalam mekanisme indirect substraction
method,PKP hanya membayarkan PPN ke kas negara sebesar selisih
antara PK-PM.
• Apabila dalam suatu masa pajak terdapat kelebihan pajak (PM>PK)
maka atas kelebihan pajak tsb dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku,kecuali WP
tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar
seperti eksportir dan penyalur atau pemasok pemerintah,
diperkenankan untuk restitusidisetiap Masa Pajak.
Con’t… restituasi atau kompensasi?
• Pemilihan restitusi atau kompensasi sangat bergantung pada kondisi
masingmasing WP atau PKP. Pertimbangan utama dalam menentukan
pilihan tersebut berkaitan dengan biaya pemeriksaan dan opportunity
cost yang timbul dari kelebihan pajak yang ada di negara. Biaya
pemeriksaan adalah biaya yang timbul karena pemeriksaan berkaitan
dengan status lebih bayar,waktu,tenaga dan biaya yang harus
dialokasikan selama proses pemeriksaan berlangsung dalam
penyelesaian permohonan restitusi. Sedangkan Opportunity cost
tercermin dari tingkat bunga deposito yang berlaku.
Membangun sendiri dalam kegiatan usaha
• PT X (PKP) sebuah perusahaan dealer otomotif yang
• Biaya Menggunakan Jasa Konstruksi
merencanakan untuk memulai operasi perusahaan
pada 1 Januari 2011 dengan membangun sendiri Asumsi pelaksana jasa konstruksi oleh
sebuah gedung seluas 2.000 meter persegi sebagai pengusaha berkualifikasi menengah
bangunan kantor utama. Adapun biaya-biaya yang
Biaya Material 6.000.000.000
direncanakan untuk dikeluarkan meliputi:
Tenaga Kerja 3.000.000.000
(1) pembelian material 6,6 milyar rupiah (terdiri dari
harga material sebesar 6 milyar rupiah dan PPN PPh Pasal 4(2) 270.000.000
masukkan sebesar 600 juta rupiah); Total Biaya 9.270.000.000
(2) pembayaran tenaga kerja dan coordinator
bangunan sebesar 3 milyar rupiah (terdiri dari upah
karyawan dan biaya penangung jawab proyek serta PPN Jasa Konstruksi 927.000.000
PPh pasal 21). Walaupun PPN KMS lebih kecil daripada
• Biaya Membangun Sendiri menggunakan jasa konstruksi, PPN KMS tidak
dapat dikreditkan dengan pajak keluaran.
Biaya Material 6.000.000.000 Sedangkan PPN atas jasa konstruksi dapat
PPN Material 600.000.000 dikreditkan. Sehingga lebih baik menggunakan
jasa konstruksi dibandingkan dengan
Tenaga Kerja 3.000.000.000
MENJADI PKP
• Keuntungan menjadi PKP:
• Pengusaha dianggap memiliki sistem yang sudah baik dianggap legal
secara hukum karena sudah menjadi PKP dan tertib membayar pajak.
• perusahaan dianggap besar dan tentunya akan berpengaruh saat menjalin
kerja sama dengan perusahaan lain yang tergolong besar.
• Dapat melakukan transaksi penjualan kepada Bendaharawan Pemerintah.
• Pola produksi dan investasi yang baik karena penyerahan BKP/JKP
menjadi beban konsumen
• Membantu Republik ini dalam penerimaan pajak (PPN) secara optimal
Membeli Dari PKP
PT. A (PKP) membeli barang dari PKP senilai Rp. 1.100.000,- (Harga + PPN),
PT. A menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp.
1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme
ini maka PT. A membayar PPN sebesar Rp. 20.000,- (Rp. 120.000,- dikurang
Rp. 100.000,-)
CONT
Membeli dari Non PKP
• PT. A (PKP) membeli barang dari Non PKP senilai Rp. 1.000.000,-, PT. A
menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp.
1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme
ini maka PT. A membayar PPN sebesar Rp. 120.000,-.
• Pada kasus ini PT. A membayar PPN lebih besar karena membeli dari Non PKP
sehingga hal ini membuktikan bahwa kebanyakan perusahaan PKP lebih memilih
melakukan transaksi dengan PKP.
Penjual Non PKP membeli dari PKP
• PT. A (PKP) membeli barang dari PKP senilai Rp. 1.100.000,- (Harga + PPN),
PT. A menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp.
1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme
ini karena PT. A bukan PKP maka tidak ada kewajiban membayar PPN.
Penjual dan Pembeli Non PKP
• PT. A (Non PKP) membeli barang dari Non PKP senilai Rp. 1.000.000,-, PT. A
menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp.
1.200.000,-. Atas mekanisme ini karena PT. A bukan PKP maka tidak ada
kewajiban membayar PPN.
PPN atas barang gratis untuk keperluan
promosi
• Kejadian ini sering terjadi dalam praktik, baik pada saat perusahaan baru mulai kegiatan
bisnisnya maupun pada saat perusahaan sudah berjalan dan senagai bagian dari
implementasi marketing strategy perusahaan mereka melaku-kan kegiatan promosinya
untuk meningkatkan omzet penjualan.
• Misalnya dalam rangka sales promotion mem-berikan surat kabar secara gratis kepada
pelanggan dan calon pelanggan,misalnya selama 1 bulan.
• perusahaan PT ABC yang bergerak dibidang penerbitan surat kabar. Dalam rangka
penetrasi pasar, karena perusahaan ini masih baru, manajemennya mengambil
kebijakan dalam rangka sales promotion memberikan surat kabar secara gratis kepada
pelanggan dan calon pelanggan, katakanlah sebulan lamanya. Dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 Pasal 9(1) e, pemberian ini dikategorikan sebagai
pemberian dalam natura dan oleh sebab itu tidak bisa di biayakan.
• Kebijakan ini di harapakan akan memberikan feedback, bahwa bulan berikutnya akan
mendapat tanggapan positif dari pelanggan dan calon pelanggan
berupa order atau repeat order untuk bulan-bulan berikutnya. Masalahnya, memberikan
surat kabar secara Cuma-Cuma adalah suatu transaksi penyerahan barang yang
Penjagaan cash flow
• Salah satu tujuan dilakukannya perencanaan pajak oleh manajemen
perusahaan adalah untuk menjaga kesehatan cash flow, yaitu :
• Menyegerakan pengajuan NPPKP pada perusahaan yang baru berdiri.
• Memilih mendirikan perusahaan di lokasi yang mendapat fasilitas
perpajakan PPN.
• Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses
produksi.
• Mengajukan permohonan sentralisasi PPN.
• Penanganan faktur pajak dengan baik.
Pengendalian PPN melalui tax review
• Setelah perencanaan pajak selesai disusun dan diimplementasikan,
masih ada satu tahap lagi yang harus dilakukan yaitu pengendalian
pajak. Pengendalian pajak perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
perencanaan pajak telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Pengendalian pajak dapat dilakukan dengan melalui penelaahan pajak
(tax review) yang merupakan pelayanan yang bertujuan untuk
menelaah dan meneliti tingkat kepatuhan WP secara umum dan
memberikan rekomendasi untuk meminimalkan pajak yang belum
diketahui perusahaan.
Tanggung jawab renteng
• Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur dalam
Pasal 33 UU KUP No. 16 tahun 2000, kemudian ketentuan ini
dihapus dalam UU KUP No. 28 tahun 2007, kemudian dihidupkan
lagi melalui penambahan Pasal 16F kedalam UU PPN No. 42 tahun
2009, yakni :
“ Pembelian Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
bertanggung jawabsecara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang
tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar”.
• Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan
pemeriksaan SPT Masa PPN untuk masa pajak januari sampai
desember 2004 dari KPP D, ditemukan fakta bahwa KPP D dalam
suatu masa pajak melakukan penyerahan BKP dengan harga jual Rp
300 juta, ternyata tidak membuat faktur pajak. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini, KPP A menerbitkan SKPKB terhadap PKP D
disertai sanksi bunga sebesar 2% per bulan, dan denda 2% dari
CONT
• Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP E dikukuhkan
sebagai PKP melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN masa pajak Januari
sampai Desember 2004, ditemukan fakta dari pembukuannya bahwa ketika
dalam suatu masa pajak PKP E membeli BKP dari PKP D tapi tidak membayar
PPN. Hal ini diyakini oleh pemeriksa karena PKP E tidak dapat menunjukkan
Faktur Pajak sebagai bukti bahwa dia telah membayar PPN kepada PKP D.
Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, KPP B menerbitkan SKPKB berdasarkan
ketentuan tanggung jawab renteng yang pada waktu itu diatur dalam pasal 33 UU
KUP. Dalam SKPKB ini ditagih pokok pajak sebesar Rp 30 juta (yakni 10% x Rp
300juta), ditambah sanksi bunga sebesar 2% per bulan.
• Dari contoh di atas dapat kita pahami bahwa ketentuan tanggung jawab renteng
ini berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori penjelasannya di
UU KUP tersebut dijelaskan bahwa “sesuai dengan prinsip beban pembayaaran
pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
aatas barang mewah ada pada pembeli atau konsumen barang atau penerima
jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang
dan penerima jasa bertanggung
• jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang aapabila ternyata bahwa
pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi
jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah
CONT
• Kesannya, ketentuan tanggung jawab renteng tersebut menimbulkan
ketidakadilan pajak, karena :
• Sanksi perpajakan untuk satu objek pajak PPN dikenakan lebih dari satu
kali, di mana penjual dan pembeli sama-sama dikenakan. Ini tidak sesuai
dengan karakter legal dari PPN yang bersifat non kumulatif, yaitu tidak
menimbulkan pajak berganda.
• Sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak konsumsi atau pajak tidak
langsung yang senantiasa menjaga sifat netralitasnya, maka tanggung
jawab pemungutan pajak (serta penyetoran dan pelaporannya) dalam hal
ini berada dipundak penjual yang melakukan penyerahan BKP/JKP,
sedangkan beban pajak itu sendiri memang menjadi tanggungan pembeli
BKP/JKP. Tapi apakah adil bila kesalahan dari penjual dibebankan kepada
pembeli (yang mesti ikut menanggung sanksi perpajakkan dari PPN, yang
tidak dipungut dan disetor oleh penjual) paadahal pembeli sudah
melaksanakan kewajiban pelunasan harga BKP/JKP sesuai kesepakatan
yang telah dicapai kedua belah pihak?

Anda mungkin juga menyukai