Tax Planning Dalam PPN
Tax Planning Dalam PPN
PERTAMBAHAN NILAI
Dasar hukum : UU no 42 th 2009
Membentuk
Meningkatkan Tidak dipungut Kawasan Berikat,
Ekspor PPN EPTE, & Kawasan
Bebas (FTZ)
Penyerahan hasil
Meningkatkan
Diberikan pertanian,
kesejahteraan
Pembebasan PPN perkebunan,
petani, nelayan
kehutanan
Fasilitas PPN dari masa ke masa
Sebelum 1 Januari UU PPN Nomor UU PPN Nomor UU PPN Nomor 42
1995 11 Tahun 1994 18 Tahun 2000 Tahun 2009
Terlihat pada tabel di atas bahwa dengan jumlah penyerahan dan Pajak Masukan
yang sama pada kedua jenis fasilitas akan mengakibatkan perbedaan pada jumlah
PPN yang terutang. Pada fasilitas PPN Tidak Dipungut terjadi lebih bayar sebesar
Pajak Masukannya (Rp1.600.000,-), sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan
terjadi PPN terutang sebesar Nihil.
Con’t…
• Sebenarnya apakah pajak masukan sebesar Rp1.600.000,- itu? Tidak lain dan
tidak bukan itu adalah akumulasi nilai tambah (value added) dari semua mata
rantai produksi dan distribusi sebelum sampai pada PKP X .2 Berarti semua PPN
yang telah dipungut atas nilai tambah yang terjadi pada semua mata rantai
sebelum PKP X dikembalikan. Hal yang berbeda terjadi pada fasilitas PPN
Dibebaskan. PPN yang telah dipungut atas nilai tambah yang terjadi pada semua
mata rantai sebelum PKP X tidak dikembalikan. Kalau begitu apa untungnya
mendapat fasilitas PPN Dibebaskan? Kita akan lihat dengan membandingkannya
pada penyerahan yang tidak mendapat fasilitas, pada ilustrasi berikut
Con’t
• Ilustrasi pada Tabel 2 dengan jelas menunjukkan bahwa pada fasilitas PPN Tidak
Dipungut, seluruh PPN yang telah disetor (seluruh nilai tambah yang telah
tercipta) pada mata rantai produksi dan distribusi sebelumnya dikembalikan.
Sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan, hanya nilai tambah yang dihasilkan
oleh PKP X saja yang tidak disetor. Seluruh nilai tambah yang dihasilkan pada
mata rantai sebelumnya telah disetor dan terakumulasi di kas negara. Hal ini
makin mudah dipahami jika kita membandingkan antara kolom 3 dengan kolom 4
pada Tabel 2 di atas. Selisih akumulasi PPN disetor ke kas negara - antara pada
fasilitas PPN Dibebaskan dengan tanpa fasilitas - adalah sebesar Rp200.000,- yaitu
sebesar nilai tambah yang dihasilkan oleh PKP X. Jadi sesungguhnya keuntungan
konsumen/pembeli yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan tidaklah sebesar
tarif dikali harga beli, namun hanya sebesar tarif dikali nilai tambah pada mata
rantai terakhir, yaitu saat pemberian fasilitas tersebut. Konsumen tetap
menanggung beban PPN sebesar tarif dikali nilai tambah pada proses produksi
dan distribusi sebelumnya (dalam ilustrasi Tabel 2 adalah sebesar 1.600.000).
Ternyata akumulasi PPN disetor ke kas negara tidak berbeda antara pada penyerahan yang
diberikan fasilitas Tidak Dipungut dengan Tanpa Fasilitas. Perbedaannya hanya pada
pergeseran saat penyetoran PPN terutang, yaitu dari Distributor Utama kepada Retailer.
Jumlah PPN yang dikembalikan pada level Distributor Utama akan terakumulasi kembali
dalam pemungutan PPN pada level Retailer. Sedangkan pada fasilitas PPN Dibebaskan,
akumulasi PPN disetor malah menjadi lebih besar daripada tanpa fasilitas. Kenaikan jumlah
akumulasi PPN ini - sebesar 900.000 - adalah merupakan akibat dari terjadinya pemajakan
berganda pada level Retailer .
Con’t
• Fasilitas PPN Tidak Dipungut dapat diberikan pada suatu sektor ekonomi tanpa
menimbulkan beban tambahan pada sektor ekonomi yang menjadi
konsumennya. Sementara Fasilitas PPN Dibebaskan punya potensi besar akan
menimbulkan distorsi pada netralitas PPN karena adanya efek pemajakan
berganda.
• Umumnya fasilitas PPN Tidak Dipungut cocok diberikan pada kegiatan ekonomi
yang dianggap sebagai prioritas nasional. Juga untuk barang/jasa tertentu yang
dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak namun berada pada bagian
muara dari mata rantai produksi dan distribusi. Sementara fasilitas PPN
Dibebaskan, secara umum, cocok diberikan pada barang konsumsi yang sangat
dibutuhkan untuk kepentingan nasional namun belum mampu dihasilkan di
dalam negeri. Fasilitas ini juga cocok diberikan untuk tujuan meningkatkan
keadilan dalam pembebanan pajak, utamanya untuk barang yang dihasilkan pada
bagian hulu dari mata rantai produksi dan distribusi.
3.
PENYERAHAN ASET YANG
MENURUT TUJUAN SEMULA
TIDAK UNTUK DIJUAL
Penyerahan Aset yang menurut Tujuan Semula
Tidak untuk dijual
Pasal 16D UU no 42 tahun 2009
• Penyerahan aset yang tujuan semula tidak diperjualbelikan
dikenakan PPN, sepanjang PPN yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan, kecuali atas penyerahan aktiva
yang PM nya tidak dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat 8 huruf b dan
c)
• Pajak keluaran disetor dengan menggunakan SSP tersendiri, disetor
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
• Dapat dibuatkan faktur pajak tetapi tidak perlu dimasukkan ke Formulir
1195.
• Dalam hal aset tersebut juga mendapatkan fasilitas penundaan, atas
penyerahan asset dimaksud juga dikenakan PPN
Contoh:
• PT Primadonna adalah perusahaan yang bergerak dibidang jasa
ekspedisi. Pada tahun 2011, PT Primadonna membeli mobil box
senilai Rp 120.000.000, umur 8 tahun, metode garis lurus. Pada tahun
2016, karena kesulitan likuiditas, PT Primadonna menjual mobil box
yang dimilikinya seharga Rp. 60.000.000
3.
PERMOHONAN SENTRALISASI
PENGENAAN PPN
Sentralisasi Pengenaan PPN
• Sebelum mengambil keputusan untuk memilih pemusatan tempat
terutang, sebaiknya perusahaan melakukan penelitian dan
mempertimbangkan mana cara yang lebih menguntungkan, apakah
dalam pelaporan pajaknya perusahaan memakai sistem sentralisasi
atau desentralisasi.
• Dalam pasal 1A ayat f UU PPN disebutkan bahwa penyerahan BKP dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang
termasuk dalam pengertian penyerahan BKP.Pengecualian tsb dengan
tujuan untuk mempermudah administrasi perpajakan.
DASAR HUKUM
• Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
s.t.d.t.d Undang-undang Nomor 42 Tahtın 2009;
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2010 Tentang Penetapan Satü Tempat Atau Lebih Sebagai Tempat Pajak
Pertambahan Nilai Terutang.
• Peraturan Direktur Jenderaı Pajak Nomor PER-10/PJ./2008 Tentang Tempat Pajak Terutang Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang
Sebelumnya Dikukuhkan Pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Beşar Atau Kantor Pelayanan Pajak Madya;
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-67/PJ./2004 tentang Tempat Pendaftaran Bagi wajib Pajak Tertentu Dan Atau Tempat Pelaporan
Usaha Bagi Pengusaha Kena Pajak Tertentu s.t.d.t.d Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-9/PJ./2008
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-335/PJ./2002 Tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Dikukuhkan
Di Kantor Pelayanan Pajak wajib Pajak Besar•,
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-390/PJ./2003 tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi
• Pengusaha Kena Pajak Tambahan Yang Dikukuhkan Di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Sebagaimana Ditetapkan Dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-344/PJ/2003
• Tentang Penambahan Wajib Pajak Tertentu Yang Terdaftar Dan Melaporkan Usahanya Pada Kantor
• Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu Dan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-394/PJ./2003 tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Dikukuhkan
Di Kantor Pelayanan Pajak Yang Mengelola Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) s.t.d.t.d Keputusan Dirjen Pajak Nomor
KEP-73/PJ./2004
Pengertian dan macam sentralisasi
• Sentralisasi pengenaan PPN memiliki arti yaitu pemusatan tempat
terutangnya PPN. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang telah mengantongi ijin
sentralisasi, maka atas penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang tidak terutang PPN. Yang
dimaksud dengan "Pusat" dalam konteks ini adalah tempat tinggal atau
tempat kedudukan usaha. Sedangkan "Cabang" antara Iain lokasi usaha,
perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya
• Macam-macam sentralisasi
• Sentralisasi wajib atau otomatis;
• Sentralisasi yang diajukan melalui pemberitahuan; dan
• Sentralisasi yang pengajuannya wajib untuk melakukan permohonan terlebih dahulu
pemusatan PPN diatur dalam KEP –
128/PJ./2003
• Terdapat dua jenis pemusatan PPN terutang yaitu:
1. Pemusatan bagi PKP yang terdaftar di KPP selain KPP Tertentu
2. Pemusatan bagi PKP yang terdaftar di KPP Tertentu
Ijin Pemusatan Tempat PPN Terutang dapat dilakukan dengan cara;
• Pemberitahuan
• Permohonan
Persyaratan Pemusatan Tempat PPN Terutang;
• Administrasi penjualan, pembelian dan keuangan diselenggarakan secara terpusat
• Tempat PPN terutang yang dipusatkan hanya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP atas
perintah tempat pemusatan PPN terutang
• Faktur Pajak (FP) dan/atau Faktur Penjualan diterbitkan oleh tempat pemusatan PPN terutang;
• Tempat PPN terutang yang dipusatkan tidak membuat FP dan/atau Faktur Penjualan, kecuali
dicetak secara on-line dari tempat pemusatan PPN terutang;
• Tempat PPN terutang yang dipusatkan hanya melakukan administrasi persediaan dan
administrasi kegiatan perolehan BKP dan/atau JKP; dan
• PKP telah memiliki Sistem Informasi Akuntansi yang terhubung secara on-line antara tempat
pemusatan PPN terutang dengan tempat-tempat PPN terutang
• PT. Aghita memiliki Perusahaan Induk di Jakarta, kemudian karena di
Sulawesi terdapat pemasukan dalam jumlah besar PT. Aghita membuka
kembali cabang disana.
Kemudian KPP di Sulawesi meminta PT. Aghita agar melaporkan Omsetnya
di Sulawesi dilaporkan. Atau melaporkan PPN dan PPh Badan Tahunan.
Jika PT. Aghita melakukan Pemusatan di Jakarta, maka PT. Aghita cukup
melaporkan PPh 21 di Sulawesi dan tidak perlu melaporkan Tahunan
Badan. Serta, hanya melakukan pelaporan Omsetnya di Jakarta.
Singkat cerita (Intinya), beberapa manfaat yang diperoleh :
1. Sentralisasi PPN
2. Sentralisasi PPh Badan Tahunan (PPh Pasal 25/29)
Memaksimalkan restitusi PPN
• Sebagai subjek PPN salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan
PM sesuai ketentuan. Dalam mekanisme indirect substraction
method,PKP hanya membayarkan PPN ke kas negara sebesar selisih
antara PK-PM.
• Apabila dalam suatu masa pajak terdapat kelebihan pajak (PM>PK)
maka atas kelebihan pajak tsb dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku,kecuali WP
tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar
seperti eksportir dan penyalur atau pemasok pemerintah,
diperkenankan untuk restitusidisetiap Masa Pajak.
Con’t… restituasi atau kompensasi?
• Pemilihan restitusi atau kompensasi sangat bergantung pada kondisi
masingmasing WP atau PKP. Pertimbangan utama dalam menentukan
pilihan tersebut berkaitan dengan biaya pemeriksaan dan opportunity
cost yang timbul dari kelebihan pajak yang ada di negara. Biaya
pemeriksaan adalah biaya yang timbul karena pemeriksaan berkaitan
dengan status lebih bayar,waktu,tenaga dan biaya yang harus
dialokasikan selama proses pemeriksaan berlangsung dalam
penyelesaian permohonan restitusi. Sedangkan Opportunity cost
tercermin dari tingkat bunga deposito yang berlaku.
Membangun sendiri dalam kegiatan usaha
• PT X (PKP) sebuah perusahaan dealer otomotif yang
• Biaya Menggunakan Jasa Konstruksi
merencanakan untuk memulai operasi perusahaan
pada 1 Januari 2011 dengan membangun sendiri Asumsi pelaksana jasa konstruksi oleh
sebuah gedung seluas 2.000 meter persegi sebagai pengusaha berkualifikasi menengah
bangunan kantor utama. Adapun biaya-biaya yang
Biaya Material 6.000.000.000
direncanakan untuk dikeluarkan meliputi:
Tenaga Kerja 3.000.000.000
(1) pembelian material 6,6 milyar rupiah (terdiri dari
harga material sebesar 6 milyar rupiah dan PPN PPh Pasal 4(2) 270.000.000
masukkan sebesar 600 juta rupiah); Total Biaya 9.270.000.000
(2) pembayaran tenaga kerja dan coordinator
bangunan sebesar 3 milyar rupiah (terdiri dari upah
karyawan dan biaya penangung jawab proyek serta PPN Jasa Konstruksi 927.000.000
PPh pasal 21). Walaupun PPN KMS lebih kecil daripada
• Biaya Membangun Sendiri menggunakan jasa konstruksi, PPN KMS tidak
dapat dikreditkan dengan pajak keluaran.
Biaya Material 6.000.000.000 Sedangkan PPN atas jasa konstruksi dapat
PPN Material 600.000.000 dikreditkan. Sehingga lebih baik menggunakan
jasa konstruksi dibandingkan dengan
Tenaga Kerja 3.000.000.000
MENJADI PKP
• Keuntungan menjadi PKP:
• Pengusaha dianggap memiliki sistem yang sudah baik dianggap legal
secara hukum karena sudah menjadi PKP dan tertib membayar pajak.
• perusahaan dianggap besar dan tentunya akan berpengaruh saat menjalin
kerja sama dengan perusahaan lain yang tergolong besar.
• Dapat melakukan transaksi penjualan kepada Bendaharawan Pemerintah.
• Pola produksi dan investasi yang baik karena penyerahan BKP/JKP
menjadi beban konsumen
• Membantu Republik ini dalam penerimaan pajak (PPN) secara optimal
Membeli Dari PKP
PT. A (PKP) membeli barang dari PKP senilai Rp. 1.100.000,- (Harga + PPN),
PT. A menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp.
1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme
ini maka PT. A membayar PPN sebesar Rp. 20.000,- (Rp. 120.000,- dikurang
Rp. 100.000,-)
CONT
Membeli dari Non PKP
• PT. A (PKP) membeli barang dari Non PKP senilai Rp. 1.000.000,-, PT. A
menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp.
1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme
ini maka PT. A membayar PPN sebesar Rp. 120.000,-.
• Pada kasus ini PT. A membayar PPN lebih besar karena membeli dari Non PKP
sehingga hal ini membuktikan bahwa kebanyakan perusahaan PKP lebih memilih
melakukan transaksi dengan PKP.
Penjual Non PKP membeli dari PKP
• PT. A (PKP) membeli barang dari PKP senilai Rp. 1.100.000,- (Harga + PPN),
PT. A menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp.
1.320.000,- (Rp. 1.000.000,- + Rp. 200.000.- + Rp. 120.000,-). Atas mekanisme
ini karena PT. A bukan PKP maka tidak ada kewajiban membayar PPN.
Penjual dan Pembeli Non PKP
• PT. A (Non PKP) membeli barang dari Non PKP senilai Rp. 1.000.000,-, PT. A
menjual kembali dengan mengambil keuntungan 20% menjadi seharga Rp.
1.200.000,-. Atas mekanisme ini karena PT. A bukan PKP maka tidak ada
kewajiban membayar PPN.
PPN atas barang gratis untuk keperluan
promosi
• Kejadian ini sering terjadi dalam praktik, baik pada saat perusahaan baru mulai kegiatan
bisnisnya maupun pada saat perusahaan sudah berjalan dan senagai bagian dari
implementasi marketing strategy perusahaan mereka melaku-kan kegiatan promosinya
untuk meningkatkan omzet penjualan.
• Misalnya dalam rangka sales promotion mem-berikan surat kabar secara gratis kepada
pelanggan dan calon pelanggan,misalnya selama 1 bulan.
• perusahaan PT ABC yang bergerak dibidang penerbitan surat kabar. Dalam rangka
penetrasi pasar, karena perusahaan ini masih baru, manajemennya mengambil
kebijakan dalam rangka sales promotion memberikan surat kabar secara gratis kepada
pelanggan dan calon pelanggan, katakanlah sebulan lamanya. Dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 Pasal 9(1) e, pemberian ini dikategorikan sebagai
pemberian dalam natura dan oleh sebab itu tidak bisa di biayakan.
• Kebijakan ini di harapakan akan memberikan feedback, bahwa bulan berikutnya akan
mendapat tanggapan positif dari pelanggan dan calon pelanggan
berupa order atau repeat order untuk bulan-bulan berikutnya. Masalahnya, memberikan
surat kabar secara Cuma-Cuma adalah suatu transaksi penyerahan barang yang
Penjagaan cash flow
• Salah satu tujuan dilakukannya perencanaan pajak oleh manajemen
perusahaan adalah untuk menjaga kesehatan cash flow, yaitu :
• Menyegerakan pengajuan NPPKP pada perusahaan yang baru berdiri.
• Memilih mendirikan perusahaan di lokasi yang mendapat fasilitas
perpajakan PPN.
• Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses
produksi.
• Mengajukan permohonan sentralisasi PPN.
• Penanganan faktur pajak dengan baik.
Pengendalian PPN melalui tax review
• Setelah perencanaan pajak selesai disusun dan diimplementasikan,
masih ada satu tahap lagi yang harus dilakukan yaitu pengendalian
pajak. Pengendalian pajak perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
perencanaan pajak telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Pengendalian pajak dapat dilakukan dengan melalui penelaahan pajak
(tax review) yang merupakan pelayanan yang bertujuan untuk
menelaah dan meneliti tingkat kepatuhan WP secara umum dan
memberikan rekomendasi untuk meminimalkan pajak yang belum
diketahui perusahaan.
Tanggung jawab renteng
• Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur dalam
Pasal 33 UU KUP No. 16 tahun 2000, kemudian ketentuan ini
dihapus dalam UU KUP No. 28 tahun 2007, kemudian dihidupkan
lagi melalui penambahan Pasal 16F kedalam UU PPN No. 42 tahun
2009, yakni :
“ Pembelian Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
bertanggung jawabsecara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang
tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar”.
• Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan
pemeriksaan SPT Masa PPN untuk masa pajak januari sampai
desember 2004 dari KPP D, ditemukan fakta bahwa KPP D dalam
suatu masa pajak melakukan penyerahan BKP dengan harga jual Rp
300 juta, ternyata tidak membuat faktur pajak. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini, KPP A menerbitkan SKPKB terhadap PKP D
disertai sanksi bunga sebesar 2% per bulan, dan denda 2% dari
CONT
• Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP E dikukuhkan
sebagai PKP melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN masa pajak Januari
sampai Desember 2004, ditemukan fakta dari pembukuannya bahwa ketika
dalam suatu masa pajak PKP E membeli BKP dari PKP D tapi tidak membayar
PPN. Hal ini diyakini oleh pemeriksa karena PKP E tidak dapat menunjukkan
Faktur Pajak sebagai bukti bahwa dia telah membayar PPN kepada PKP D.
Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, KPP B menerbitkan SKPKB berdasarkan
ketentuan tanggung jawab renteng yang pada waktu itu diatur dalam pasal 33 UU
KUP. Dalam SKPKB ini ditagih pokok pajak sebesar Rp 30 juta (yakni 10% x Rp
300juta), ditambah sanksi bunga sebesar 2% per bulan.
• Dari contoh di atas dapat kita pahami bahwa ketentuan tanggung jawab renteng
ini berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori penjelasannya di
UU KUP tersebut dijelaskan bahwa “sesuai dengan prinsip beban pembayaaran
pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
aatas barang mewah ada pada pembeli atau konsumen barang atau penerima
jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang
dan penerima jasa bertanggung
• jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang aapabila ternyata bahwa
pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi
jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah
CONT
• Kesannya, ketentuan tanggung jawab renteng tersebut menimbulkan
ketidakadilan pajak, karena :
• Sanksi perpajakan untuk satu objek pajak PPN dikenakan lebih dari satu
kali, di mana penjual dan pembeli sama-sama dikenakan. Ini tidak sesuai
dengan karakter legal dari PPN yang bersifat non kumulatif, yaitu tidak
menimbulkan pajak berganda.
• Sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak konsumsi atau pajak tidak
langsung yang senantiasa menjaga sifat netralitasnya, maka tanggung
jawab pemungutan pajak (serta penyetoran dan pelaporannya) dalam hal
ini berada dipundak penjual yang melakukan penyerahan BKP/JKP,
sedangkan beban pajak itu sendiri memang menjadi tanggungan pembeli
BKP/JKP. Tapi apakah adil bila kesalahan dari penjual dibebankan kepada
pembeli (yang mesti ikut menanggung sanksi perpajakkan dari PPN, yang
tidak dipungut dan disetor oleh penjual) paadahal pembeli sudah
melaksanakan kewajiban pelunasan harga BKP/JKP sesuai kesepakatan
yang telah dicapai kedua belah pihak?