Anda di halaman 1dari 28

PENGGUNAAN OBAT PADA GERIATRIK

Kelompok II (dua):
Fredy Arifta Nasel 5417221071
Marselina 5417221087
Lia Warti 5417221083

UNIVERSITAS PANCASILA
PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN
JAKARTA
2018
PENGERTIAN
Menurut WHO, Geriatrik (lansia) adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok
umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupan.

Menurut WHO digolongkan menjadi 4, yaitu:


1. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun.
2. Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun.
3. Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun.
4. Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun.
PERUBAHAN PADA GERIATRIK

• A. Perubahan fisiologi
• B. Perubahan farmakokinetika
• C. Perubahan farmakodinamika
A. Perubahan fisiologi
1. Perubahan panca indera
2. Problem pada tulang
3. Problem pada esofagus
4. Masalah ginjal
5. Masalah otot
6. Masalah paru-paru
B. Perubahan farmakokinetika

• Berkurangnya keasaman lambung


mngubah absorbsi obat-obat yang
bersifat asam lemah, seperti aspirin.
• Berkurangnya aliran darah ke saluran
gastrointestinal (berkurang 40-50%).
• Berkurangnya laju motalitas
ABSORBSI gastrointestinal (peristaltic) akan
mengakibatkan tertundaya mula kerja
obat.
• Berkurangnya air tubuh pada orang lanjut
usia, obat-obat yang larut dalam air akan
lebih terkonsentrasi (pekat).
• Orang yang lanjut usia mempunyai respon
serum protein dan kadar albumin yang
DISTRIBUSI berkurang sehingga terdapat sedikit
tempat pengikatan pada protein, akibatnya
terdapat lebih banyak obat yang bebas.
• Penurununan produksi
enzim hati, aliran darah dan
fungsi hati total.
• Waktu paruh dari obat-obat
meningkat dan dapat terjadi
akumulasi obat.
METABOLISME • Metabolisme obat
menginaktiasi obat dan
merupakan persiapan untuk
eliminasi oleh ginjal.
• Penurunan aliran darah ginjal dan
penurunan laju filtrasi glomerulus
sebanyak 40-50%. Dengan adanya
penurunan fungsi ginjal, terdapat
penurunan ekskresi obat dan terjadi
akumulasi obat. Toksisitas obat
EKSKRESI harus dinilai terus menerus selama
pasien menerima pengobatan.
Aspek Farmakokinetika

Efek dari perubahan fungsi fisologis ini


sangat variatif dan sulit untuk diprediksi.
Ada perbedaan substansial pada satu
individu dengan individu lain, sehingga
membuat pasien geriatrik lebih rentan
daripada pasien usia lain.
C. Perubahan farmakodinamika

• Pasien usia lanjut relatif lebih sensitif terhadap


aksi beberapa obat dibanding kelompok usia
muda. Hal ini memberi petunjuk adanya
perubahan interaksi farmakodinamika obat
terhadap reseptor yang nampaknya merupakan
hasil perubahan farmakokinetika.
Aspek farmakodinamika
Efek obat juga tergantung pada sensitivitas organ target terhadap obat
tersebut
Perbedaan-perbedaan sensitivitas terjadi karena tidak adanya
pengurangan senyawa yang dikenali dalam metabolisme obat. Dengan
demikian, sensitivitas terhadap efek obat kemungkinan dapat
meningkat atau menurun dengan bertambahnya usia.
Pasien geriatri tampaknya lebih sensitif terhadap efek sedatif kadar
obat benzodiazepin dalam darah yang diberikan (misalnya diazepam)
tetapi kurang sensitif terhadap β Reseptor adrenergik (misalnya,
isoproterenol, propranolol).
Meskipun penurunan afinitas reseptor hormon diduga berhubungan
dengan usia, namun data menunjukkan perubahan seperti ini jarang
terjadi.
Penjelasan lain mengatakan bahwa perbedaan ini terjadi akibat
perubahan dalam fungsi second-massenger dan perubahan dalam
respon sel dan nukleus.
KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN PADA
LANSIA

1. Terlalu banyak pengobatan pada waktu yang


berbeda-beda.
2. Tidak mengerti tujuan atau alasan pemakaian obat.
3. Menurunnya daya ingat.
4. Berkurangnya mobilitas dan keluwesan gerak.
5. Gangguan penglihatan dan pendengaran.
6. Kesulitan dalam membuka tutup botol.
7. Efek samping dan reaksi yang merugikan dari obat.
Risiko Terapi:
Pertimbangan Khusus bagi Pasien Lansia
Pasien lansia menggunakan lebih banyak obat dibandingkan
pasien yang lebih muda, sehingga ketidakpatuhan meningkat
secara proporsional karena banyaknya obat yang digunakan,
maka ketidakpatuhan lebih umum terjadi pada pasien lansia.
Salah satu penyebab kepatuhan yakni, penjelasan yang cermat
oleh paramedis mengenai tujuan dari penggunaan obat.
Komunikasi yang buruk dengan dokter yang meresepkan,
ditambah dengan penurunan kemampuan kognitif, membuat
pasien lansia sangat rentan terhadap penggunaan obat-obatan
yang salah.
Biaya pengobatan dan jaminan asuransi. Pasien tidak membeli
obat jika mereka tidak mampu membayar dengan biaya tunai. Di
sisi lain, obat mahal dianggap lebih kuat dan lebih memperoleh
manfaat.
Risiko Terapi;
Pertimbangan Khusus Bagi Lansia
Orang dengan demensia ringan mungkin lupa untuk
mengonsumai obat meskipun mereka dinyatakan mampu hidup
tanpa pengawasan keluarganya.
Alarm untuk mengingatkan pasien dalam mengonsumsi obat,
panggilan pengingat dari anggota keluarga atau teman, dan
tindakan menyediakan obat harian membantu dalam
meningkatkan kepatuhan pasien. Jika memungkinkan, akan
sangat membantu jika meresepkan obat yang dapat diambil lebih
jarang. Pasien yang lebih tua dapat mencapai tingkat kepatuhan
setinggi 80% sampai 90% jika mereka diberikan instruksi tertulis
dan lisan dengan jelas, jadwal dosis sederhana, dan berkurangnya
jumlah obat .
Risiko Terapi;
Pertimbangan Khusus Bagi Lansia

Komplikasi serius dapat timbul jika dokter salah asumsi bahwa


pasien sudah patuh pada terapi. Ketika obat tampaknya tidak
efektif, dokter sering meningkatkan dosis atau memberikan obat
yang lebih kuat.
Masalah lain dari kepatuhan terapi berhubungan dengan peran
makanan dalam penyesuaian obat diuretik dan agen hipoglikemik
oral. Awalnya obat ini sering diresepkan di rumah sakit, makanan
pasien dapat dikontrol dengan ketat. Namun, ketika pasien
dipulangkan ke lingkungan yang kurang mendapat pengawasan
pasien tidak mematuhi pembatasan konsumsi garam atau
karbohidrat, serangan gagal jantung kongestif atau hiperglikemia
mungkin dapat terjadi.
Perubahan respons terhadap obat pada usia lanjut
Obat Respons Mekanisme utama

Digoksin Intoksikasi BB↓, filtrasi glomerulus↓,


ganguang elektrolis, penyakit
kardiovaskular yang lanjut
Antihipertensi Sinkope akibat hipotensi Homeostatik
(penghambat posturnal, insufisiensi koroner kardiovaskular↓
adrenergik)
Diuretik tiazid, Hipotensi, hipokalemia, BB↓, fungsi ginjal↓,
furosemid hipovolemia, hiperglikemia, mekanisme homeostatik
hiperurikemia kardiovaskular↓
Heparin Perdarahan Respons hemostatik
vaskular↓
Warfarin Perdarahan Respons hemostatik
vaskular↓, sensitivitas
reseptor di hati↑, ikatan
protein plasma↓
Barbiturat Bervariasi dari gelisah sampai Sensitivitas otak↑,
psikosis metabolisme hepar↓
Diazepam, Depresi SSP ↑ Sensitivitas otak↑,
Nitrazepam, metabolisme hepar↓
flurazepam
Perubahan respons terhadap obat pada usia lanjut
Obat Respons Mekanisme utama
Fenotiazin Hipotensi posturnal, Sensitivitas otak↑,
hipotermia metabolisme hepar↓

Triheksifenidil Halusinasi, konstipasi, Sensitivitas otak↑,


retensi urin eliminasi↓
Streptomisin, Asam Ototoksisitas Fungsi ginjal↓
etakrinat
Isoniazid Hepatotoksisitas Metabolisme hepar↓
Klorpropamid Hipoglikemia BB↓, filtrasi glomerulus↓
Antikolinergik Konstipasi Kontraktilitas otot
polos↓
Verapamil Konstipasi Kontraktilitas otot
polos↓

Antidepresi Konstipasi Kontraktilitas otot


polos↓
PRINSIP UMUM PENGGUNAAN OBAT PADA
USIA LANJUT

1. Obat diberikan bila ada indikasi yang tepat.


2. Pilih obat yang memberikan rasio paling
menguntungkan.
3. Pengobatan dimulai dengan dosis separuh dari dosis
yang biasa diberikan pada dewasa muda.
4. Selanjutnya dosis disesuaikan berdasarkan respon
klinik penderita.
5. Berikan regimen dosis yang sederhana.
6. Periksa berkala semua obat yang dimakan pasien
dan hentikan obat yang tidak diperlukan.
Dosis untuk geriatrik
Besarnya dosis dapat diperkirakan dari
BB pasien, indeks terapi obat, dan cara
eliminasi obat. Untuk obat yang
eliminasi utama melalui ginjal, besarnya
penurunan dosis dapat diperhitungkan
berdasarkan besarnya penurunan klirens
kreatinin pasien. Sedangkan obat lain,
penurunan dosis berdasarkan educated
guess.
Kasus
I. Resep pasien:

Tanggal resep: 22/7/2011

R/ Captopril 25 XLV
S 3 dd 1
R/ HCT XV
S 1-0-0
R/ Bisoprolol 5 XV
S 1 dd 1
R/ ISDN 5 XV
S 1 dd 1 SL bila nyeri dada
R/ B1 XLV
S 3 dd 1
R/ Meloxicam 15 XV
S 2 dd 1
R/ Antasida Fl. I
S 4 dd C
Pro : Ny. N (61 Th)
II. Kondisi pasien
Pasien mengeluh nyeri dada, tekanan darah tinggi, sering tremor, dan pegal pada
sekujur badan.

III. Analisis
Pasien menerima 7 item obat yaitu :
1. Captopril yang merupakan antihipertensi golongan inhibitor enzim
pengkonversi angiotensin (ACEI),
2. Hidroklorotiazid (HCT) yang merupakan diuretik golongan tiazid,
3. Bisoprolol suatu agen antihipertensi golongan pemblok β yang kardioselektif
4. Isosorbid dinitrat (ISDN) merupakan antiangina golongan nitrat
5. Tiamin (vitamin B1) untuk terapi defisiensi vitamin B1
6. Meloksikam merupakan obat antiinflamasi nonsteroid, yang memiliki sifat
antinyeri
7. Antasida untuk menetralkan asam lambung
Berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh pasien, maka diresepkan Captopril, HCT, Bisoprolol,
dan ISDN untuk mengatasi hipertensi dan keluhan nyeri dada. Nyeri dada sering menjadi indikasi
adanya gangguan jantung. Meloksikam ditujukan untuk mengatasi keluhan nyeri badan. Vitamin B1
untuk membantu fungsi kardiovaskular dan mengatasi tremor. Pasien tidak secara langsung
mengeluhkan kondisi yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, namun dokter
meresepkan Antasida, hal ini ditujukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya iritasi lambung.

Apabila keluhan nyeri dada pada kasus ini berhubungan dengan gangguan fungsi jantung seperti
halnya angina, maka pemilihan kombinasi antihipertensi berupa Captopril (ACE inhibitor), HCT
(diuretik tiazid), dan Bisoprolol (β-bloker kardioselektif), ISDN merupakan pilihan yang tepat.
Kombinasi tersebut sebagaimana disarankan oleh JNC7. Kecuali pasien tersebut memiliki riwayat
infark myokard, penggunaan diuretik tidak disarankan.

Selain hasil diagnosa, dalam kasus ini yang juga harus menjadi dasar pemilihan terapi yaitu usia.
Dalam hal ini, pasien telah lanjut usia, yaitu 61 tahun. Faktor usia lanjut sangat memungkinkan
terjadinya pengaruh hipertensi terhadap kerusakan berbagai organ seperti jantung, hati, ginjal, dan
otak. Sehingga pemilihan terapinya harus benar-benar diperhatikan.
◦ Dosis Captopril: pasien menerima Captopril 75 mg/hr dalam dosis terbagi tiga, maka dosis
tersebut masih dapat diterima sebagai dosis aman. Begitupun dengan HCT satu kali sehari
pada pagi hari, merupakan dosis yang lazim. Dalam hal ini perlu diingatkan pada pasien,
agar jangan mengkonsumsi HCT pada waktu sore atau malam hari, karena dapat
menimbulkan efek diuresis nokturnal, yang akan mengganggu waktu istirahat pasien pada
malam hari. Bisoprolol 5 mg satu kali sehari juga merupakan dosis aman. Namun pasien
harus diingatkan untuk tidak menghentikan penggunaan obat ini secara mendadak, karena
dapat menyebabkan kambuhan hipertensi (Dipiro).
◦ Pemberian ISDN yang bersifat insidental secara sublingual cukup tepat. Pemberian secara
sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan secara oral. ISDN akan
dengan cepat menangani serangan angina akut yang ditandai gejala sesak nafas dan nyeri
dada. Terapi Captopril akan membantu mencegah serangan angina yang berulang. Pasien
yang menjalani terapi ISDN juga harus diapantau konsentrasi kreatinin serumnya,
terutama pada pasien-pasien yang terindikasi mengalami kerusakan ginjal.
◦ Peresepan vitamin B1, berhubungan dengan penanganan keluhan tremor dan membantu
fungsi kardiovaskular.
◦ Meloksikam diberikan untuk mengobati rasa nyeri. Meloksikam merupakan salah satu anti
inflamasi nonsteroid yang selektif pada COX-2. Sehingga obat ini relative aman terhadap
lambung. Namun harus diwaspadai efeknya terhadap ginjal. (Dipiro; 688, 916)
Dosis Meloksikam yang diresepkan terlalu besar. Pada kasus nyeri osteoarthritis, meloksikam
hanya digunakan untuk terapi jangka pendek, kecuali pada penanganan rheumatoid arthritis
dapat digunakan sebagai terapi jangka panjang. Dosis yang dianjurkan hanya 7,5 mg/hari,
maksimum 15 mg/hari. Apalagi dalam kasus ini pasien telah lanjut usia, dosis yang disarankan
hanya 7,5 mg/hari. Sedangkan pada resep tersebut dokter menuliskan 2 kali sehari masing-
masing 15 mg, atau 30 mg/hari. BNF maupun Pharmacotherapy-Dipiro menyebutkan bahwa
pemberian meloksikam hanya sekali sehari. (BNF 57; 552, 559)

Pemberian antasida tampaknya kurang signifikan. Pasien tidak mengeluhkan gejala yang
menunjukan adanya kelebihan asam lambung sehingga perlu mengkonsumsi antasida. Meskipun
antasida ini hanya bekerja secara local pada lambung, namun tetap perlu diwaspadai
interaksinya. Interaksi mungkin terjadi dengan obat lain, berupa terhambatnya absorpsi obat
lain, yang mengakibatkan bioavailabilitasnya rendah, dan konsentrasi efektif minimumnya
dalam darah tak tercapai, sehingga terapi yang optimum juga tidak tercapai. Disamping itu,
akumulasi kation Mg2+ dan Al3+ sangat mungkin berikatan dengan senyawa-senyawa
phosphate, sehingga absorpsi phophat menurun dan mengakibatkan hipophosphatemia. Terlebih
pasien juga mengkonsumsi diuretik, yang akan meningkatkan aktivitas urinari, yang dapat
semakin meningkatkan resiko hipophosphatemia. (Dipiro; 996).
Penggunaan beberapa item obat secara bersamaan, sangat memungkinkan terjadinya interaksi. Interaksi
yang mungkin terjadi :

a. Captopril dapat berinteraksi dengan antasida. Antasida dapat menurunkan absorpsi captopril,
sehingga antasida dan captopril tidak boleh dikonsumsi bersamaan.

b. Meloksikam + Captopril = menurunkan respon tekanan darah dan risiko kerusakan fungsi ginjal

c. ISDN, meningkatkan efek hipotensif dari captopril dan bisoprolol

d. Antasida mengambat absorbsi obat lain yang digunakan pada waktu bersamaan secara oral

IV. Saran:

◦ Dosis meloksikam sebaiknya dikurangi, yaitu hanya 7,5 mg/hari, mengingat pasien telah lanjut
usia, kemungkinan risiko reaksi obat merugikan akan meningkat berupa kerusakan atau penurunan
fungsi ginjal. Begitupun dengan lama terapinya sebaiknya dibatasi. Sampaikan pada pasien untuk
segera menghentikan konsumsi meloksikam ini bila gejala nyeri pada badan telah mereda.

◦ Antasida sebaiknya tidak digunakan


Daftar Pustaka
◦ Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., Cushman W.C., Green
L.A., Izzo J.L., Jr., et al, 2003. The seventh report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA;289:2560-72.
◦ Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill,
New York.
◦ American Society of Health System Pharmacists. 2011. AHFS Drug
Information. United States of America.
◦ Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata
Laksana Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri. Jakarta.
-TERIMAKASIH-

Anda mungkin juga menyukai