SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Abdul Azis Singkawang Pendahuluan • Difteri adalah penyakit menular saluran nafas atas akut yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. • Kuman ini menghasilkan toksin yang menyebar sistemik dan menyebabkan kerusakan pada epitel saluran nafas, jantung, ginjal, saraf otak, dan saraf tepi. • Kuman difteri hanya berbiak dan berkolonisasi di saluran nafas atas, tidak menyebar, namun bila membran sangat tebal dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas atas. • Toksin difteri terdiri dari fragmen A dan B. – Fragmen B memudahkan perlekatan dan masuknya fragmen A yang toksik dan menganggu enzim penggabung asam amino (EL-2), sehingga protein yang terbentuk tidak terpakai dan menyebabkan kematian sel. Data Kejadian Global • Tabel 1. Dinamika Kejadian di Berbagai Region Global • Tabel di atas menunjukkan adanya penurunan kasus secara global, dari sekitar 100.000 menjadi sekitar 7.000 kasus (↓93%) dengan berhasilnya program Expanded Programme on Immunization yang dilancarkan sejak tahun 1975. • Regio Eropa mengalami KLB besar pada tahun 1990-an, Afrika pada tahun 2000-an. • Regio Asia Tenggara paling labil dengan angka kejadian yang fluktuatif. • Model KLB yang dapat diikuti, tergantung pada jumlah dan kejadiannya pada kelompok umur tertentu. – Kegagalan cakupan imunisasi dasar akan menyebabkan cluster pada usia muda – Kegagalan cakupan booster akan menyebabkan cluster pada usia yang lebih tua, bahkan pada dewasa muda – Kegagalan menutup kekurangan cakupan dengan sweeping atau backlog fighting akan menyebabkan KLB • Model yang terjadi sangat tergantung pada beberapa faktor risiko: – Adanya perpindahan peduduk, disertai dengan kekacauan program imunisasi dan pelayanan kesehatan. – Kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan dan dana lokal kabupaten kota – Lemahnya manajemen pelayanan kesehatan – Tidak adanya booster pada usia 2 tahun pada PPI – Meningkatnya kelompok tidak kebal, baik akibat tidak imunisasi atau tidak lengkap, maupun akibat kegagalan vaksinasi – Kurangnya fasilitas obat, sarana laboratorium, maupun lengkapnya tenaga ahli. Kejadian Kasus Difteri yang Dilaporkan di Indonesia • Kejadian Luar Biasa pada Berbagai Usia Tabel 2. Laporan Kasus Difteri Tahun 2000-2007 • Laporan kasus tahun 2000-2007 tampak kecenderungan peningkatan kasus difteri pada kelompok umur 5-14 tahun. • Bilamana kelompok ini makin bertambah umurnya, jumlahnya juga akan makin banyak, sehingga cluster yang terbentuk akan menyulut terjadinya KLB. • Hambatan yang umum terjadi adalah langkanya dana operasional (dana lokal) untuk melakukan sweeping rutin dan backlog fighting setiap 3 tahun, terutama pada daerah yang cakupan imunisasi rutinnya di bawah 80%. 1. Status imunisasi kasus difteri berdasarkan kelompok umur tahun 2007. • Pada anak usia 5-9 tahun yang terkena difteri sebagian besar (88,37%) tidak diimunisasi, usia 1- 4 tahun 78% tidak diimunisasi. 2. Rasio bersekolah dan drop out (SD/MI) di Indonesia tahun 2006 • Program imunisasi di Indonesia tidak memberikan booster pada anak usia 2 tahun, namun pada program bulan imunisasi anak sekolah pada saat anak masuk SD. • Imunisasi yang diberikan saat masuk sekolah adalah DT dan campak, sedangkan pada anak yang akan meninggalkan SD adalah TT. • Tabel 3. rasio bersekolah dan drop out SD/MI tahun 2006 3. Cakupan imunisasi DPT1 dan DPT3 tahun 2000-2006 • Penurunan cakupan pada tahun 2005 terjadi karena adanya kekosongan vaksin DPT di tingkat nasional serta adanya kegiatan imunisasi tambahan (3 putaran PIN), yang mempengaruhi kinerja nasional. 4. Cakupan DT BIAS tahun 2002-2006 • Pada tahun 2006 cakupan di bawah 90% (88,5%), terjadi karena adanya kekurangan vaksin DT di akhir tahun 2006. Kejadian Luar Biasa Penyakit Difteri di Jawa Timur • Gambaran laporan kasus difteri nasional maupun prediksi cakupan imunisasi DPT tidak menunjukkan adanya kemungkinan KLB di daerah penduduk padat (Sumatra, Jawa, Bali), kecuali adanya pergesean kasus pada usia lebih tua. • Angka kejadian yang di Jawa timur tidak terekam baik di data surveilans pusat, sehingga adanya KLB difteri luput dari perhatian dan tindakan. • KLB difteri di Jawa Timur mulai menarik perhatian pada tahun 2005, di kabupaten bangkalan, Madura, dengan penyebaran yang jelas dan sumber penularan para petugas kesehatan dan pendidik. • Kenaikan kasus makin tinggi sehingga pada bulan Juli 2010 telah terekam 125 kasus di seluruh Jawa Timur. • Meskipun sejak tahun 2008ntelah didiskusikan masalah ini, namun belum ada intervensi yang intensif untuk menekan kasus secara keseluruhan. • Intervensi terbatas pada standar perawatan penderita, pemeriksaan kontak, pemberian eritromisin pada kontak yang positif untuk mencegah penularan lebih lanjut. • Beberapa KLB terjadi di SD yang dapat menyebarkan kasus secara efektif. • Pada permulaan KLB, terjadai beberapa kendala logistik, misalnya tidak adanya ADS atau penicilin prokain di kabupaten karena menurunnya kasus pada tahun-tahun sebelumnya. • Isolasi penderita kurang dipahami masyarakat sehingga banyak kasus pulang paksa dari RS. • Beberapa faktor non teknis- non medis telah memberi andil perluasan KLB ini. • Selain kelemahan tidak cukupnya anggaran di beberapa kabupaten, kendala lain adalah langkanya tenaga ahli, sehingga pengelolaan dan manajemen pelayanan kesehatan menjadi kurang memadai. Beberapa dinas kesehatan masih dikelola secara umum, bukan oleh tenaga yang paham manajemen kesehatan dan masalahnya. • Kesanggupan pemerintah daerah untuk melayani dan kesanggupan masyarakat untuk menjangkau pelayanan yang disediakan merupakan masalah yang ikut berpengaruh pada kecepatan perluasan daerah KLB. • Semakin padat, semakin tak terjangkau, semakin cepat penjalaran kasus. • Pada tahun 2010, jumlah kasus baru bukan saja meningkat, namun stabil berada pada tingkat yang lebih tinggi dari keadaan sebelumnya. • Kasus juga mulai muncul di daerah yang sebelumnya bersih dan daerah rural Jawa Timur selatan. • Rerata yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan, yaitu pengobatan kasus, isolasi, dan pemberian antibiotik untuk menekan penyebaran kasus tidak berhasil. • Peningkatan kekebalan dengan cara memberikan imunisasi suplemen vaksin toksoid difteri belum pernah dilakukan di Surabaya. Imunisasi dan Hubungannya dengan Kasus Difteri • Pada saat bayi lahir, di dalam tubuhnya masih mengalir antibodi antidifteri yang diberikan oleh ibunya pada saat trimester kedua kehamilan dan kadarnya menurun sampai usia beberapa bulan. • Pada saat paparan kuman yang tinggi pada masa bayi, antibodi maternal masih akan menjaga agar bayi tidak sakit, namun paparan tersebut akan memicu kekebalan alamiah yang secara gradual akan mengganti antibodi maternal sehingga anak tetap kebal. • Pola pembentukkan antibodi alamiah diamati pada masa era pra-vaksinasi. • Setelah imunisasi primer rutin diterapkan pada masa bayi, kekebalan maternal segera diganti dengan kekebalan akibat vaksin dan selanjutnya dijaga titernya dengan suntikan booster. • Individu yang tidak sakit dan tidak terpapar akan melaju bertambah umur dan jumlahnya, membentuk cluster yang rentan pada usia yang lebih tua, bahkan pada usia dewasa. Cakupan Imunisasi Dasar yang Merata • Toksoid difteri tidak sekuat toksoid tetanus, vaksin yang paling imunogenik. 1. Imunisasi dasar harus terdiri dari beberapa suntikan untuk menghasilkan kadar di atas kadar protektif yang cukup lama. • Penelitian Ranuh Dkk yang mencoba imunisasi DTP 2 kali dengan suntikan pertama pada usia 3 bulan menunjukkan adanya penurunan kadar antibodi yang cepat dan titer protektif pada saat setahun setelah DTP terakhir hanyalah sekitar 40% saja. • Imunisasi dengan toksoid difteri juga harus dilakukan minimal 3 kali, bertahan kadarnya hanya sampai sekitar setahun, sehingga harus diberikan booster untuk meningkatkan kembali kadar antibodinya di atas kadar proteksi. • Sejak PPI (Program Pengembangan Imunisasi) telah dikemukakan perlunya menyertakan booster pada usia 2 tahun dalam jadwal imunisasi nasional. • Namun, dengan alasan keterbatasan dana dan kesulitan mengumpulkan anak usia di atas 1 tahun di meeting points imunisasi, booster tersebut tidak diberikan. 2. Cakupan Imunisasi • Program imunisasi dengan meeting points Posyandu dan Puskesmas telah terbukti menurunkan insidens kasus PD3I. • Melemahnya kegiatan pelayanan kesehatan mandiri di Posyandu dan hilangnya juru imunisasi telah menyebabkan adanya kantong-kantong non-imunisasi. Program BIAS sebagai Booster • Sekolah merupakan meeting points imunisasi, mudah dikumpulkan dan mudah dijangkau, sehingga program BIAS sangat rasional sekali di atas kertas. • Baik untuk program rutin maupun untuk penanganan KLB atau ORI (Outbreak Response Immunization), selain bisa menangkas biaya operasional. • Faktor yang masih mengganjal adalah sekolah negeri yang ada belum mampu menampung semua anak usia sekolah, padahal tidak semua sekolah swasta akan mendapatkan kemudahan untuk ikut melaksanakan BIAS, terutama di daerah pinggiran. • Kusnandi Rumil dkk meneliti sero epidemiologi anak-anak di Cianjur pada berbagai potongan keompok usia. • Sampel yang diukur antibodinya mewakili kelompok umur yang dituju. • Setelah imunisasi dasar pada usia <1 tahun, terjadi penurunan antibodi pada usia berikutnya. • Kadar terus elbih rendah dan mencapai puncaknya pada usia 5-6 tahun. • Jumlah anak dengan kadar protektif meningkat kembali dengan cepat, sejalan dengan suntikan booster yang diberikan dalam program BIAS. • Kadar mulai menurun lagi, namun pelan-pelan naik kembali, pada usia >11-12 tahun. • Kenaikan ini pada beberapa negara sebelum era imunisasi terjadi karena adanya paparan kuman difteri pada anak yang mulai mempunyai kekebalan, sehingga terjadi booster alamiah. TERIMA KASIH