ETIOLOGI
- malaise - anoreksia
- mual - muntah
- gejala flu - faringitis
- batuk coryza - fotofobia
- sakit kepala mialgia
- serta gejala demam akan ditemukan
GAMBARAN KLINIS
3. Superinfeksi HDV :
• HBsAg positif
• IgG anti HBe positif
• Anti HDV dan atau HDV RNA
4. Titer anti HDV akan menurun sampai tak
terdeteksi dengan adanya perbaikan infeksi.
PERJALANAN ALAMIAH dan OUTCOME
PENATALAKSANAAN
Belum ada terapi yang khusus untuk HEV.
HEPATITIS G
EPIDEMIOLOGI
- Metabolik
• Hiperglikemia, ketoasidosis, koma,
hiperkalsemia, hiperpemia
Sebagai penyulit lokal antara lain
pembentukan pseudokista, abses pada dan
di sekitar pankreas, peradangan pada organ
dan sekitarnya dengan nekrosis dan
kadang-kadang pembentukan fisistel,
stenosis duodenum yang terjadi dini atau
lambat, iketrus obstruktif, kadang-kadang
pembentukan asites yang yang dapat juga
sebagai akibat gangguan saluran getah
bening karena proses peradangan.
PROGNOSIS PANKREATITIS AKUT
Faktor yang Berpengaruh Buruk pada
Kehidupan Pasien Pankreatitis Akut
1. Kriteria Ransom
a. Pada saat masuk rumah sakit
- Usia > 55 tahun
- Lekosit > 16.000/ml
- Gula darah > 200 mg%
- Defisit basa > 4 mEq/l
- LDH serum > 350 UI/l
- AST > 250 UI/l
b. Selama 48 jam perawatan
- Penurunan hematokrit > 10%
- Sekuekstrasi cairan > 4.000 ml
- Hipokalsemia < 1,9 mMol (8,0 mg%)
- PO2 arteri < 60 mmHg
- BUN meningkat > 1,8 mmol/L)(>5mg%)
setelah pemberian cairan i.v.
- Hipoalbuminemia < 3,2 g%
b. Selama 48 jam perawatan
- Penurunan hematokrit > 10%
- Sekuekstrasi cairan > 4.000 ml
- Hipokalsemia < 1,9 mMol (8,0 mg%)
- PO2 arteri < 60 mmHg
- BUN meningkat > 1,8 mmol/L)(>5mg%)
setelah pemberian cairan i.v.
- Hipoalbuminemia < 3,2 g%
2. Skor APACHE II > 12 (Acute and Chronic
Health Evaluation)
3. Cairan peritoneal hemoragik
4. Indikator penting
a. Hipotensi (< 90mmHg) atau takikardia >
130 / menit
b. PO2 < 60 mmHg
c. Oliguria (< 50 ml/jam) atau BUN, kreatinin
yang meningkat
d. Metabolik/Ca serum <8,0 mg% atau
albumin serum < 3,2 g%.
DIAGNOSIS PANKREATITIS AKUT
DIAGNOSIS
• Ultrasound
• Dengan endoscopic retrograde cholangio
pancreatography (ERCP)
• ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi
batu saluran empedu dengan sensitivitas
90% dan akurasi 96%.
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography
(MRCP)
MRCP adalah teknik pencitraan dengan magnet
tanpa menggunakan zat kontras, intrumen, dan
radiasi ion.
Pada MRCP saluran empedu akan terlihat
sebagai struktur yang terang karena mempunyai
intensitas sinyal tinggi sedangkan batu saluran
empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal
rendah yang dikelilingi empedu dengan
intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini
cocok untuk mendiagnosis batu saluran
empedu.
MRCP menunjukkan nilai sensitivitas antara 91%
sampai dengan 100%.
PENATALAKSANAAN BATU SALURAN
EMPEDU
ERCP terapeutik dengan melakukan
sfingterotomi endoskopik untuk mengeluarkan
batu saluran empedu tanpa operasi.
EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis.
Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu
pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu
autopsi.
PATOLOGI DAN PATOGENESIS
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut
sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan
jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel
hati yang uniform, dan sedikit nodul
regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut
sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular
dapat pula diakibatkan oleh cedera hati
lainnya. Tiga lesi hati utama akibat induksi
alkohol adalah :
1. Perlemakan hati alkohol
2. Hepatitis alkoholik
3. Sirosis alkoholik
Sebab-sebab Sirosis dan/atau
Penyakit hati kronik
Penyakit Infeksi
- Bruselosis
- Ekinokokus
- Skistosomiasis
- Toksoplasmosis
- Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C,
hepatitis D,
- Sitomegalovirus
Penyakit Keturunan dan Metabolik
- Defisiensi & antitripsin
- Sindro Fanconi
- Galaktosemia
- Penyakit Gaucher
- Penyakit simpanan glikogen
- Hemokromatosis
- Tirosinemia herediter
- Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
- Alkohol
- Amiodaron
- Arsenik
- Obstruksi bilier
- Penyakit perlemakan hati non alkoholik
- Sirosis bilier primer
- Kolangitis sclerosis
Penyebab Lain atau Tidak Terbukti
- Penyakit usus inflamasi kronik
- Fibrosis kistik
- Pintas jejunoileal
- Sarkodosis
Hepatitis Alkoholik
Fibrosisi perivenular berlanjut menjadi sirosis
panlobular akibat masukan alkohol dan destruksi
hepatosit yang terjadi berkepanjangan.
Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi ditempat
cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di
daerah periportal dan perisentral timbul septa jaringan
ikat seperti jaringan yang akhirnya menghubungkan
triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat
halus ini mengelilingi massa kecil sel hati yang masih
ada yang kemudian mengalami regenerasi dan
membentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel
yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan
kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil,
berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk
sirosis alkoholik.
Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum
pasti. Diperkirakan mekanismenya sebagai
berikut :
1. Hepoksia sentrilobular, metabolisme
asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi
oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif
dan cedera sel di daerah yang jauh dari
aliran darah yang teroksigenasi (misal
daerah perisentral).
2. Infiltrasi/aktivitas neutrofil, terjadi pelepasan
chemoattractants neutrofi dan hepatosit
yang memetabolisme etanol. Cedera
jaringan dapat terjadi dari neutrofil dan
hepatosit yang melepaskan
intermediet oksigen reaktif,
3. Formasi acetadehyde-protein adducts berperan
sebagai neoantigen, dan menghasilkan limfosit
yang tersensitisasi serta antibodi spesifik yang
menyerang hepatosit pembawa antigen ini
4. Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif
dari metabolisme etanol, disebut sistem yang
mengoksidasi enzim mikrosomal.
Patogenesis fibrosis alkoholik meliputi
banyak sitokin, antara lain factor nekrosis
tumor, interleukin-1, dan TGF-beta.
Ssetaldehid kemungkinan mengaktivasi sel
stelata tetapi bukan suatu factor patogenik
utama pada fibrosis alkoholik
Sirosis hati Pasca Nekrosis
Ikterus
Disfagia Panas
Investigasi
+ -
3. Sitoproteksi
a. Sucralfate d. Prostaglandin
b. Cetraxate e. Teprenone
c. Colloidal Bismuth subcitrate
4. Anti Free radical – Anti Inflamasi
a. Rebamipide
5. Eradikasi kuman H. pylori
DISPEPSIA
Tanda bahaya ;
Dispepsia (+)
Muntah hebat
Demam
Hematemesis
Serologi (tervadilasi lokal)
Anemia
Ikterus
Berat badan menurun
Hasil (+) Hasil (-)
Endoskopi
UBT / HpSA
a a b b
Ulcer A
No Ulcer
Aggressive factors
HCL and pepsin secretion
vagal phase
(cephalic nervous)
antral phase
O (hormonal)
Mucosal defensive factors cephalic humoral phase
Mucosal resistance (adrenal)
Local mucosal blood flow Parietal cell mass
Diodenal “Brake” Mucosal trauma
Gejala Klinik
• Nyeri ulu hati
• Rasa tidak enak ulu hati
• Muntah
• Nyeri timbul setelah makan
• Lokasi nyeri biasanya sebelah kiri garis
tengah perut
Pemeriksaan Fisik
• Tukak tanpa komplikasi jarang menunjukkan kelainan fisik
• Nyeri tekan perut
• Berat badan menurun
• Goncangan perut (Succusion splashing)
• Tanda dari komplikasi obstruksi atau stenosis pilorus
• Nyeri perut, perut tegang dan peristaltik usus hilang
merupakan tanda peritonitis
Pemeriksaan Radiologi
Tujuan utama :
1. Menghilangkan keluhan
3. Mengobati komplikasi
4. Mencegah kekambuhan
Pengobatan non – medikamentosa :
1. Pendekatan pribadi
Penting mencari :
• Faktor – faktor yang berperan pada penyakit
• Diagnosis dan pengobatan yang sesuai
2. Merubah cara hidup (life style)
Faktor yang perlu diperbaiki a.l :
• Rokok, alkohol, diet, cara makan dll
• Stress psiko – sosial
Pengobatan medikamentosa tukak peptik
1. Antasida
2. Penghambat sekresi asam
a. Anti – muskarinik
b. Antagonis H2 – reseptor (H2RA)
c. Penghambat pompa proton (PPI)
3. Sitoproteksi
a. Sucralfate d. Prostaglandin
b. Cetraxate e. Teprenone
c. Colloidal Bismuth subcitrate
4. Anti Free radical – Anti Inflamasi
a. Rebamipide
Obat antasida dan anti – sekresi asam
1. Antasida
• Netralisir asam lambung, menghilangkan rasa sakit
2. Anti – kholinergik (muskarinik)
• Pirennzepin : selektif, ES ringan
3. Antagonis reseptor H2 (H2RA)
• Cime-, Rani-, Famo-, Roxa-, Niza-tidin
• Efektif untuk pengobatan UP (80 % UD 8 mgg, UG 12
mgg)
4. Penghambat pompa proton (PPI)
• Ome-, Lanso-, Panto-, Rabe-, Esome-prazol
• Paling efektif : UP, eradikasi Hp, GERD
• > 90 % UP sembuh, UD 4 mgg, UG 6 mgg
GASTRIC ULCER
DIAGNOSIS
Endoscopy
With biopsy
Benign Neoplastic
After 3 month
Re endoscopy
GASTRIC ULCER
After 3 month Re endoscopy
Confirm ulcer
healing
Persistent
Management of Duodenal Ulcer
Symptoms
H. Pylori status
Ulcer
?? Surgery
Pengobatan pada infeksi
Helicobacter Pylori
• Saat ini banyak digunakan triple terapi
• Lama pengobatan 2 minggu untuk PPI dapat dilanjutkan 3 – 4 minggu
• Kombinasi triple terapi :
1. PPI 2xi + amoxicillin 2x 100 mg + claritromicyn 2 x 500 mg
2. PPI 2xi + metronidazole 3 x 500 mg + claritromicyn 2 x 500 mg
3. PPI 2xi + metronidazole 3 x 500 mg + amoxicillin 2 x 1000 mg
4. PPI 2xi + metronidazole 3 x 500 mg + tetrasiklin 4 x 500 mg
• Jika gagal dengan triple terapi dapat digunakan kombinasi kuadriple
terapi (PPI 2xi + Bismut 4 x 2 tab + metronidazole 4 x 250 mg +
tetrasiklin 4 x 500 mg)
Pengobatan dengan Tindakan
Operasi
Dilakukan pada keadaan :
• Tukak refrakter / gagal pengobatan
• Komplikasi perdarahan, perforasi dan
stenosis pilorus
• Tukak lambung dengan dugaan
keganasan
TUKAK DUODENUM
Definisi
Tukak duodenum adalah suatu tukak
yang berbatas jelas dengan ukuran ≥ 5 mm
yang dapat menembus muskularis mukosa
sampai serosa. Dapat terjadi kronis dan
berulang
Lokasi
• 95 % pada bulbus duodenum
• 5 % pada pers desendens atau transversalis
• 90 % berada pada jarak 3 cm dari junction
pilorus dan duodenum
Bentuk
• Bulat atau oval
• Iregular atau elips
• Ukuran sekitar 0,5 cm – 1 cm
Etiologi
• 90 % disebabkan oleh kuman
Helicobacter
Gejala Klinik
• Nyeri epigastrium adalah gejala yang paling
dominan
• Nyeri seperti rasa terbakar, rasa lapar atau rasa
sakit / tidak nyaman yang tidak terlokalisasi
• Nyeri timbul 90 menit – 3 jam setelah makan
• 75 % timbul nyeri pada dini hari yang
membangunkan pasien
• Nyeri yang menetap dan tersebar pada seluruh
perut perlu diwaspadai suatu perforasi
Pemeriksaan Fisik
Tidak banyak tanda fisik yang ditemukan
selain kemungkinan adanya nyeri palpasi
epigastrium, kecuali bila sudah terjadi
komplikasi
CROHN’S DISEASE
Definisi
Disebut juga enteritis regional merupakan
penyakit inflamasi kronik yang mengenai usus
halus dan usus besar dimana proses
inflamasinya diskontinu
Patologi
Mikroskopis menunjukkan :
1. Hiperplasia dan histosit perilimfatik
2. Infiltrasi granuloma difus
3. Granulmoa non caseating pada submukosa lamina
propia
4. Edema dan dilatasi limfatik pada semua lapisan usus
5. Infilitrasi monositik pada nodul limfa dan Peyer’s
Pathches di permukaan serosa usus
Distribusi Anatomik
- LED meningkat
DIAGNOSIS
A. Pemeriksaan Fisik
• Pada bentuk ringan atau antara serangan dapat normal
• Dapat teraba massa / teraba daerah yang tegang
• Pada auskultasi bunyi usus meningkat / borborigmi. Pada toxic
megacolon bunyi usus menurun atau hilang
• Pada pemeriksaan rektum terasa nyeri, stingfer anus sering spastik,
teraba mukosa rektum yang kasar dan granular
• Ditemukan juga pseudopolip dan striktur anus
• Tanda extra kolon (uveitis, stomatitis, pioderma ganggrensum, eritema
nodusum, artritis sendi besar dan ankilosing spondilitis)
DIAGNOSIS
B. Pemeriksaan Laboratorium
• Anemia
• Lekositosis
• LED (beratnya penyakit)
• Gangguan elektrolit
• Peningkatan alkaline phosphatase pada cholangitis
sklerosis
• Pemeriksaan feses ditemukan sel darah putih dan merah
• Kultur feses untuk menyingkirkan suatu infeksi kolitis
DIAGNOSIS
C. Pemeriksaan Radiologi
• Fotopolos abdomen :
Haustra hilang
Udara berkurang
Pada toxic megakolon terjadi dilatasi kolon transverasi
bagian tengah lebih dari 6 cm
• Kontras Barium enema (membedakan dengan kanker atau
penyakit crohn)
• Kolonoskopi (cara terbaik)
DIAGNOSIS BANDING
Gejala - gejala Kolitis ulserativ Kolitis crohn
Gejala Klinis
Perdarahan rektum Sangat sering – 90 % Sering, dapat akut
Diare awal, sering jumlah sedikit jarang, bisa tidak ada
Nyeri perut jarang, bila tidak ada komplikasi kolik, setelah makan
Panas jarang sering
Massa teraba jarang sering, kuadran kanan
bawah
Rekuten setelah Relaps / remisi 65 % Sering
reseksi
Perjalanan klinis Kronik / kontinu 20 -30% biasanya progresifitas
lambat
Akut / fulminan ± 8 %
Fulminan
DIAGNOSIS BANDING
Gejala - gejala Kolitis ulserativ Kolitis crohn
Gambaran endoskopi
Proctosing madoskopi Ulcerasi pinpoint difus lesi Ulserasi apthoid lesi
kontinu Barbereak
Gambaran radiologik
Keterlibatan rektum Bervariasi sering
Distribusi kontinu segmental
Diukosa ulserasi jelas “ cabblestones “
Striktur jarang sering
Fistula jarang sering
Gambaran histologik
Distribusi Dimukosa Transmural
Infiltrat cellular Polimorfik limfosit
Kelenjar deplesi mucin kerusakan kelenjar abses pada preservasi kelenjar
kripta
Gambaran khusus tidak ada Granuloma, ulkus aphthoid
TERAPI
A. Terapi suportif
• Pemberian cairan intravena untuk menggantikan elektrolit yang hilang
• Transfusi darah kalau perlu
• Obat anti diare kontraindikasi
B. Terapi nutrisi
C. Obat – obatan
1. Kortikosteroid : - Preparat rektal / budesonid 2 mg /
hidrokortikosteroid 100 mg
- sistemik : diawali dengan prednison 40 mg / hari
dosis tunggal
TERAPI
C. Obat – obatan :
2. Derivat mesalamine
3. Imunosupresif : azathioprine, 6 – mercaptopurine dan siklosporin
4. Metronodazole tidak diberikan
D. Terapi operatif
20 – 25 pasien kolitis ulserativa membutuhkan tindakan
kolektomi
KOMPLIKASI
1. Komplikasi lokal minor
• Jarang
• Sembuh dengan terapi konservatif
• Sedikit pasien terjadi fistula enteroenterik perianal
2. Komplikasi lokal mayor
• Toxic megakolon
(kolon dapat dilatasi > 6 cm)
• Kanker kolon
• Striktur kolon
• Perdarahan kolon yang masif
KOMPLIKASI
3. Komplikasi sistemik :
• Gangguan hepatoselular :
Pericholangitis Terjadi pada 30 % pasien
• Gangguan hematologik :
Anemia deff. Besi Trombositosis sekunder
Anemia hemolitik
• Gangguan sendi :
Spondilitis ankylosis Sacroilitis
• Gangguan pada mata
Iritasi
• Gangguan pada kulit
Eritema nodosom Pioderma ganggrenosa
CROHN’S DISEASE
Definisi :
Disebut juga enteritis regional merupakan penyakit
inflamasi kronik yang mengenai usus halus dan
usus besar dimana proses inflamasinya diskontinu
CROHN’S DISEASE
Patologi
Mikroskopis menunjukkan :
1. Hiperplasia dan histosit perilimfatik
2. Infiltrasi granuloma difus
3. Granulmoa non caseating pada submukosa lamina propia
4. Edema dan dilatasi limfatik pada semua lapisan usus
5. Infilitrasi monositik pada nodul limfa dan Peyer’s Pathches di
permukaan serosa usus
CROHN’S DISEASE
Distribusi Anatomik
• 30 % terjadi pada usus halus
• 50 % terjadi pada usus halus dan usus besar
• 20 % terjadi pada usus besar
• Pada usus halus 80 % terjadi pada ileum terminalis dan 20 %
pada bagian lainnya
• Pada usus besar semua bagian
Epidemiologi
• Seluruh dunia
• Lebih sering di Eropa
• Prevalensi 10 – 100 ribu penduduk
CROHN’S DISEASE
Etiologi
• Belum jelas
• Hipotesis yang paling mungkin adanya abnormalitas sel T dan makrofag
atau interaksi keduanya
• Hipotesis lainnya karena defek permiabilitas epitel yang memungkinkan
exposure dan e\antigen mukosa
Gambaran Klinis
• Lebih sering terjadi pada dewasa muda
• Biasanya diawali dengan keluhan nyeri perut kanan bawah, diare dan panas
sumer – sumer
• Nyeri perut terlokalisasi pada kuadran kanan bawah
• Pemeriksaan ditemukan ketegangan dan massa teraba pada kuadran kanan
bawah
• Dapat terjadi malasorpsi dan malnutrisi dengan penurunan berat badan
• Umumnya pasien mengalami serangan berulang
CROHN’S DISEASE
Komplikasi
• Obstruksi usus kecil
• Fistula dan fissura
• Perforasi
• Kehilangan darah gastrointestinal
• Keganasan
• Manifestasi extra intestinal
CROHN’S DISEASE
Diagnosis
1. Pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan laboratorium :
• Lekositosis
• Trombositosis
• LED meningkat
• Anemia deff. Besi dan anemia megaloblastik
• Serum albumin menurun
• Alkalin phosphatase meningkat
• Urinalisis infeksi (bila fistula )
• Schilling test dan pemeriksaan lemak feses berguna untuk
menilai malabsorbsi berat
CROHN’S DISEASE
Definisi
3. Lactose hydrogen breath test dan C – labeled
glycocholate breath test untuk menilai intoleransi
laktosa dan pertumbuhan bakterial
4. Pemeriksaan histologi melalui biopsi mukosa rektum,
kolon illeum terminal atau duodenum
CROHN’S DISEASE
Definisi
5. Pemeriksaan radiologis :
• Foto polos abdomen (terlihat dilatasi usus)
• Foto kontras dengan barium enema (terlihat kolon yang
menyempit, ulservasi, striktur atau fistula)
• Kolonoskopi dan barium enema harus ditunda selama
pasien dalam fase akut
6. Endoskopi
Berguna untuk identifikasi dan melakukan biopsi pada
ulservasi mukosa
CROHN’S DISEASE
Terapi
1. Suportif
Terapi simptomatik dibutuhkan untuk mengendalikan diare.
Obat anti diare seperti loperamid dll harus digunakan dengan
hati - hati
2. Medikamentosa
A. Kortikosteroid
• Kortikosteroid rektal untuk daerah rektum dan sigmoid
• Kortikosteroid sistemik diawali dengan prednison 40 mg /
hari
3. Mesalamine
Obat ini untuk mengurangi inflamasi dosis harian rata–rata
5 – ASA adalah 5 gr / hari dan untuk dosis pemeliharaan
CROHN’S DISEASE
Terapi :
4. Imunosupresif
Digunakan pada pasien yang resisten atau tergantung
steroid. Remisi terjadi pada 60 – 70 % kasus
• Azathiprine (150 mg/hari)
• 6 mecaptopurine (1,5 mg/kg Bb/hari)
• Cylosporin (7,5 – 1,5 mg / kg BB / hari)
• Metotrexate (15 – 25 mg/hari)
5. Metronidazole
250 ng 3 x sehari sama efektif dengan sulfasalazine pada
penyakit kolon akut
CROHN’S DISEASE
Terapi
6. Terapi pembedahan :
Pada kasus komplikasi seperti :
• Obstruksi kronik
• Abces simptomatik atau pembentukan fistula
• Fistula enterovesikal
• Perforasi
Dapat terjadi rekurensi saluran 40 % pada 5 thn pertama,
60 % pada 10 thn dan 85 % pada 15 thn setelah reseksi usus