Anda di halaman 1dari 24

MALU

Malu adalah suatu kondisi di mana kita


merasa bersalah jika melakukan suatu
perbuatan atau merasa terganggu oleh
adanya rasa bersalah.
• Harapannya, rasa malu ini bisa jadi pagar
pengaman dari nafsu binatang kita yang
kadang liar dan sulit terkendali.
Bagaimana rasa bersalah bisa muncul, ini
tentunya didasarkan atas beberapa
kemungkinan
• Sebagaimana dalam ilmu sosial-
keagamaan, dalam proses mencari
kebenaran kita bisa menyandarkan pada
beberapa ukuran.
• Pertama, didasarkan atas kebenaran yang dipahami
sendiri.
• Kedua, kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
• Jika dianalogikan, maka rasa malu bisa tercipta,
• Pertama, atas dasar pemahaman diri sendiri tentang
perasaan bersalah.
• Kedua, berdasarkan keyakinan suatu masyarakat dalam
lokal budaya tertentu.
• Ini biasanya disebut dengan moral.
• Ketiga, lahir dari pemahaman atas doktrin ketuhanan.
• Rasa malu ibarat rem yang akan
mengerem kita dari perbuatan munkar.
Semakin besar rasa malu, maka rem itu
semakin pakem sehingga seseorang akan
terhindar dari perilaku yang bertabrakan
dengan norma
Keutamaan rasa malu
• Rasa malu adalah penghalang manusia dari perbuatan
jelek
• Rasa malu merupakan salah satu cabang dari keyakinan
dan indicator nilai keyakinan seseorang
• Rasa malu adalah inti akhlak islami
• Rasa malu adalah benteng akhir keislaman seseorang
• Rasa malu merupakan akhlak yang sejalan dengan fitrah
manusia
Karakteristik rasa malu
• Menjaga kepala dan sekitarnya
• Menjaga perut dan segala isinya
• Mengingat mati dan hari kehancuran
• Menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir
Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab perasaan

tersebut muncul
• kurangnya penguasaan kita terhadap kosakata
• kurangnya rasa percaya diri (PD) sehingga terkesan takut untuk
melakukan kesalahan
• Padahal berawal dari kesalahan itulah sebenarnya pembelajaran
yang efektif dalam segala hal
• Kita menjadi tahu dimana letak kekurangan yang kita miliki dalam
berbahasa Inggris
• perasaan takut diejek oleh orang lain jika kita berbahasa Inggris,
menimbulkan trauma di dalam diri
• dikarenakan lingkungan yang kurang mendukung untuk itu.
Berdasarkan beberapa masalah diatas, memang akan terasa sulit
jika dilakukan tanpa keinginan, niat dan usaha yang kuat dari dalam
diri kita sendiri.
• Saat kapan untuk menunjukkan rasa malu bagi
masing-masing individu adalah sangat relatif
tergantung kepada pribadi, waktu, tempat serta
konteks permasalahan yang dihadapi oleh orang
per orang. Untuk membangun “budaya malu”,
fungsi agama dan lembaga pendidikan adalah
sangat penting dan ikut menentukan. Apabila
sampai pada keadaan bahwa orang sudah tidak
punya malu, maka misi agama dan lembaga
pendidikan dianggap gagal
• Hakikat rasa malu itu adalah sebuah akhlak
yang memotivasi diri untuk meninggalkan hal-
hal yang buruk dan membentengi diri dari
kecerobohan dalam memberikan hak kepada
yang berhak menerimanya. Seorang muslimah
akan menjauhkan dirinya dari larangan Allah
dan selalu menaati Allah disebabkan rasa
malunya kepada Allah yang telah memberikan
kebaikan padanya yang tidak terhitung.
• “Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.”
Kalimat ini mengandung 3 pengertian, yaitu:
• Berupa perintah: Jika perbuatan tersebut tidak
mendatangkan rasa malu, maka lakukanlah. Karena
perbuatan yang membuat rasa malu jika diketahui orang
lain adalah perbuatan dosa.
• Berupa ancaman dan peringatan keras: Silahkan kamu
melakukan apa yang kamu suka, karena azab sedang
menanti orang yang tidak memiliki rasa malu. Berbuat
sesuka hati, tidak peduli dengan orang lain.
• Berupa berita: Lakukan saja perbuatan buruk yang kamu
tidak malu untuk melakukannya.
Sifat malu ada dua macam, yaitu:
• 1. Malu yang merupakan watak asli manusia
• Sifat malu jenis ini telah menjadi fitrah dan watak
asli dari seseorang. Allah menganugerahkan
sifat malu seperti ini kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Memiliki sifat malu seperti ini
adalah nikmat yang besar, karena sifat malu
tidak akan memunculkan kecuali perbuatan
yang baik bagi hamba-hamba-Nya
• 2. Malu yang diupayakan (dengan mempelajari syari’at)
• Al-Qurthubi berkata, “Malu yang diupayakan inilah yang
oleh Allah jadikan bagian dari keimanan. Malu jenis
inilah yang dituntut, bukan malu karena watak atau
tabiat. Jika seorang hamba dicabut rasa malunya, baik
malu karena tabiat atau yang diupayakan, maka dia
sudah tidak lagi memiliki pencegah yang dapat
menyelamatkannya dari perbuatan jelek dan maksiat,
sehingga jadilah dia setan yang terkutuk yang berjalan di
muka bumi dalam wujud manusia.”
Hati-Hati terhadap Malu yang
Tercela
• malu tercela, yaitu malu yang menjadikan
pelakunya mengabaikan hak-hak Allah
Ta’ala sehingga akhirnya dia beribadah
kepada Allah dengan kebodohan. Di
antara malu yang tercela adalah malu
bertanya masalah agama, tidak
menunaikan hak-hak secara sempurna,
tidak memenuhi hak yang menjadi
tanggung jawabnya, termasuk hak kaum
muslimin.
Teori Emosi
• Secara umum, emosi dipandang sebagai penyesuaian
secara sosial, berhubungan dengan individu, dan
karenanya memiliki ciri-ciri ekspresif (Plutchik,1980).
Tomkins (1987) mengidentifikasi sembilan afeksi dasar
atau bawaan, yakni interest atau excitement, enjoyment
atau joy, surprise atau startle sebagai afeksi positif.
Sementara afeksi negatif berupa, distress atau anguish,
fear atau terror, shame atau humiliation, contempt atau
disgust serta anger atau rage. Dalam pandangan
Tomkins, rasa bersalah (guilt) termasuk dalam rasa malu
(shame). Rasa malu, meskipun termasuk bawaan,
namun bukan emosi primer melainkan satu emosi yang
timbul setelah afeksi interest atau joy muncul, perasaan
ini terjadi karena pemenuhan yang tidak lengkap dari
afeksi pendahulunya.
• Sementara, dalam konsep Izard (1977), emosi
menempati ruang yang lebih besar dalam
konteks kepribadian (personality). Emosi
dipandang sebagai salah satu dari enam (6)
subsistem yakni homeostatic, drive, emotion,
perceptual, cognitive dan motor, yang
berinteraksi membentuk kepribadian seseorang.
Dalam perkembangannya, Izard menyatakan
bahwa emosi terjadi sebagai bagian dari proses
pendewasaan, dan kemunculan pada tiap orang
tergantung pada pengalaman pembelajaran
individu dalam proses sosialisasi.
• Pada teori emosi lain, justru menekankan
aspek sosial dari rasa bersalah, seperti
Rivera (1984) yang menyatakan bahwa
emosi berkembang sebagai hasil fungsi
adaptasi dalam hubungan antar manusia.
Dalam pandangannya, seluruh emosi
terkait dengan penyesuaian hubungan ini,
antara diri dan orang lain, di mana setiap
emosi berguna untuk memaksimalkan nilai
dari hubungan tersebut.
Rasa Bersalah dan Malu
• Rasa bersalah dipahami sebagai kesadaran kognitif dan
perasaan negatif yang berhubungan dengan suatu
standar moral. Menurut Ausubel (1955), rasa bersalah
adalah salah satu mekanisme paling penting bagi
individu dalam melakukan sosialisasi di kulturnya.
Sementara Buss (1980) menjelaskan perbedaan antara
rasa bersalah dan malu terletak pada terma kesadaran
diri (self-consciousness) publik dan sendiri (privat atau
pribadi). Menurutnya, rasa bersalah adalah pribadi,
menguji rasa bersalah yang sesungguhnya, tidak
seorang bisa tahu dengan pasti. Pada sisi lain, rasa
bersalah merupakan kesadaran diri publik. Buss
mengartikan rasa malu sebagai emosi sosial lanjutan
dari shyness, embarressment dan kecemasan audiens
• Konsep Mosher (1961,1966,1968) yang
berdasar pada teori pembelajaran sosial
(social learning theory), mendefinisikan
rasa bersalah sebagai ekspektasi general
pada media hukuman diri terhadap
pelanggaran (atau antisipasi pelanggaran)
yang terinternalisasi dari standar moral
perilaku.
Riset Empirik
• Rasa bersalah telah diujikan sebagai konstruksi kompleks dikaitkan
dengan afektif, kognitif, kepribadian, genetis, kultural, dan aspek
dinamik. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa rasa bersalah
merupakan pengalaman universal dan bawaan, walaupun standar
khusus yang memicunya akan bervariasi tidak hanya antar budaya
namun juga antar individu.
• Rasa bersalah ternyata lebih terkait erat dengan distres yang diikuti
dengan rasa takut dan sedikit terkait dengan rasa senang (joy) dan
terkejut (surprise) (Izard,1977). Suatu tes khusus dari prediksi Buss
menunjukkan bahwa rasa bersalah seharusnya lebih kuat
hubungannya dengan kesadaran diri pribadi ketimbang terhadap
publik, hal ini ternyata tidak mendapatkan bukti yang kuat (Jones &
Kugler,1993)
Hubungan Interpersonal
• Seperti telah dikemukakan di awal, diasumsikan bahwa rasa
bersalah berkembang dalam konteks interpersonal dan penting
dalam hubungan interpersonal. Dalam satu studi yang melibatkan
pasien rawat inap dan rawat jalan psikiater (Carver,1990), karakter
pada rasa bersalah ditemukan berlawanan dalam kaitannya dengan
self-reported interpersonal dan relational variables seperti intimasi,
kepercayaan, perspektif, kepuasan terhadap keluarga, dan pada
ukuran serta suportivitas jaringan sosial, secara langsung juga
berhubungan dengan kesepian (loneliness), penghianatan
hubungan pasangan, juga kekacauan dimensi kepribadian terkait
dengan masalah relasional (misalnya schizoid, atau kepribadian
passive-aggression). Dalam riset yang menggunakan GI (Guilt
Inventory; instrumen self report) , secara general hasil yang didapat
menunjukkan indikasi bahwa rasa bersalah berkaitan dengan
masalah interpersonal.
Rasa Bersalah & Malu sebagai
Kunci Bermasyarakat
• Sejumlah konklusi yang dapat ditarik dari paparan diatas,
diantaranya bahwa rasa bersalah dapat dipastikan secara sosial
dalam hubungannya dengan status hubungan seseorang. Kedua,
rasa bersalah diartikan sebagai satu sumbangan terhadap standar
moral yang nampaknya berguna untuk mencegah ekspresi imoral,
seperti dinyatakan oleh Mosher (1979) dan lainnya.
• Lebih lanjut, rasa bersalah berkaitan dengan pelanggaran moral
secara luas, namun mungkin hanya pada saat perilaku-perilaku
tersebut membahayakan status suatu hubungan seseorang,
contohnya, ketika seorang suami atau istri menuntut perceraian
menyusul penangkapan dan hukuman pasangannya pada suatu
kejahatan tindak serius
• Dalam konklusi Jones dkk, moral standar dan perilaku moral
merupakan satu ikatan bersama. Lebih dari itu, rasa bersalah
nampaknya dialami ketika hubungan personal terancam atau kacau,
baik dipertanyakan atau tidak, perilaku tersebut melawan hukum
atau tidak disetujui/ disukai masyarakat luas.
• Jelas bahwa rasa bersalah atau malu menjadi salah satu kunci
dalam bermasyarakat. Kekacauan dan maraknya kriminalitas
maupun perbuatan asusila lain baik yang jelas terlihat atau samar,
seharusnya menimbulkan pertanyaan dalam sanubari tiap insan, di
mana rasa bersalah dan malu bangsa ini. Andaikan setiap insan
masih memilikinya maka bangsa ini akan lebih dewasa dan
bertanggungjawab, melihat para tokoh masyarakat yang terus saja
melakukan korupsi bukanlah sebagai pembenaran bagi tindakan
anarki pada masyarakat luas atau pribadi-pribadi lain. Pada
akhirnya kembali pada diri kita, memulai untuk lebih mendengarkan
nurani, melatih empati dan kepekaan emosi terhadap permasalahan
sosial di sekitar kita, apalagi bagi Anda yang beruntung mengecap
pendidikan dan menduduki posisi nyaman. Menghujat dan marah
adalah ekspresi yang mungkin bisa melegakan namun jelas
bukanlah penyelesaian, di manapun kita, mulailah bangun bangsa
ini dari tempat kita berpijak.
• Sumber
• Jones,-Warren et al,”You always hurt the one
you love: guilt and transgressions against
relationship partners,”; dalam Tangney, June P.
& Fischer,Kurt W. (Ed),”Self-Conscious
Emotions: the psychology of shame, guilt,
embarrasement and pride,”; New York; The
Guilford Press;1995.
• http://www.liputankita.com/artikel-
liputankita/rasa-bersalah-dan-rasa-malu-berita-
liputankita.html

Anda mungkin juga menyukai