Anda di halaman 1dari 28

MINI PROJECT

Oleh :
dr. Dian Feriansyah Rambe

Pembimbing :
dr. Hubbul Walidaini
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan yang
disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari. ISPA merupakan penyakit
infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah. ISPA dapat
menimbulkan gejala ringan (batuk, pilek), gejala sedang (sesak, mengi) bahkan sampai gejala
berat (sianosis, pernapasan cuping hidung).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan utama di
Indonesia. Prevalensi ISPA di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 25,0%, tidak jauh berbeda
dengan prevalensi pada tahun 2007 sebesar 25,5%. Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25,8%, diikuti kelompok umur kurang dari 1 tahun sebesar
22,0%. ISPAmengakibatkan sekitar 20-30% kematian pada balita.
Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ISPA pada bayi.
Bayi berusia 0-11 bulan yang tidak optimal memperoleh ASI eksklusif mempunyai risiko 5 kali
lebih besar meninggal karena ISPA dibandingkan dengan bayi yang memperoleh ASI eksklusif.7
Di negara-negara berkembang, bayi yang mendapat ASI eksklusif mempunyai angka kesakitan
dan kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan susu formula.8 ASI juga
terbukti memberikan efek protektif 39,8% terhadap ISPA pada bayi berusia 0- bulan.9 Risiko
untuk terjadi ISPA pada bayi yang diberikan ASI tidak eksklusif sebesar 4,59 kali lebih besar
daripada bayi yang diberikanASI secara eksklusif.
Rumusan Masalah
• Apakah terdapat hubungan yang signifikan
antara pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi?

Tujuan Umum
• Untuk mengetahui adanya hubungan pemberian
ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi
di Puskesmas Jagong Jeget Kabupaten Aceh
Tengah
Tujuan Khusus
• Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas
Jagong Jeget Kabupaten Aceh Tengah
• Mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif pada bayi di
Puskesmas Jagong Jeget Kabupaten Aceh Tengah
• Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA
pada bayi di Puskesmas Jagong Jeget Kabupaten Aceh Tengah

Manfaat Penelitian
• Puskesmas
• Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi perumusan program
baru di Puskesmas Jagong Jeget yang bisa meningkatkan angka
frekuensi pemberian ASI eksklusif pada bayi, sehingga dapat
menurunkan angka kejadian ISPA
• Peneliti
• Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis lebih
mendalam tentang hubungan faktor risiko ISPA terhadap kejadian ISPA
khususnya pemberian ASI eksklusif.
A. Definisi ISPA
Menurut WHO, Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit
saluran pernapasan atas atau bawah,
biasanya menular, yang dapat
menimbulkan berbagai spektrum penyakit
mulai dari penyakit tanpa gejala atau
infeksi ringan sampai penyakit yang parah
dan mematikan, tergantung pada patogen
penyebabnya, faktor lingkungan, dan
faktor pejamu
B. Epidemiologi ISPA
ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan utama
di dunia, baik di negara maju maupun di negara
berkembang. ISPA banyak terjadi di negara berkembang
dan sering menyerang anak-anak terutama bayi dan balita.
Di Bangladesh, ISPA merupakan penyakit infeksi yang
menyebabkan kematina sebesar dua per tiga dari total
kematian anak berusia di bawah satu tahun. Insidens
kejadian ISPA menurut kelompok umur balita diperkirakan
0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan
0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Di Indonesia,
angka kejadian ISPA pada tahun 2013 sebesar 25,0%. Lima
provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi yaitu Nusa
Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa
Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%). ISPA
paling banyak diderita oleh kelompok usia 1-4 tahun
(25,8%). Tidak ada perbedaan angka kejadian ISPA pada
laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini lebih banyak
dialami pada kelompok penduduk dengan ekonomi
menengah ke bawah
C. Etiologi ISPA
ISPA merupakan penyakit yang disebabkan
oleh bakteri atau virus. Etiologi ISPA meliputi
lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA terbanyak dari genus
Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus,
Haemophylus, Bordetella, dan Corinebacterium. Virus
penyebab ISPA antara lain dari golongan
Myxovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
dan lain-lain. Kebanyakan ISPA disebabkan oleh
virus
D. Klasifikasi ISPA

 ISPA bagian atas


Yang termasuk ISPA bagian atas adalah
nasofaringitis atau common cold, faringitis akut,
rhinitis akut, dan sinusitis akut.
 ISPA bagian bawah

Yang termasuk ISPA bagian bawah adalah


bronkitis akut, bronkiolitis, dan pneumonia.
E. Faktor Risiko ISPA
1. Mikroorganisme
2. Faktor Host (Pejamu)
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Berat Lahir
d. Status Gizi
e. Status Imunisasi
f. Pendidikan
g. Pemberian ASI Eksklusif
3. Faktor Lingkungan
Pemberian ASI secara eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan
merupakan langkah yang efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan
gizi dan memberikan perlindungan bagi bayi dari serangan infeksi
khususnya ISPA. ASI mengandung banyak faktor kekebalan dan
bermanfaat terhadap pencegahan ISPA terutama sejak pemberian ASI di
awal kehidupan bayi hingga bayi berusia 6 bulan, salah satunya adalah
imunoglobulin. Imunoglobulin yang banyak ditemukan pada saluran
cerna dan saluran napas adalah imunoglobulin A (IgA). Selama minggu
pertama kehidupan (4-6 hari) payudara ibu akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal yang banyak mengandung zat-zat kekebalan
tubuh (imunoglobulin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel
leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari serangan
infeksi.
Bayi yang diberi ASI eksklusif cenderung tidak pernah
mengalami ISPA sedangkan bayi yang mendapatkan ASI non-eksklusif
cenderung lebih sering mengalami ISPA. Risiko anak yang diberi ASI
tidak secara eksklusif lebih besar dibandingkan dengan anak yang diberi
ASI secara eksklusif. Kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2-6
kali lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula dibandingkan
dengan bayi yang mendapat ASI
F. Manifestasi Klinis ISPA
Gejala ISPA dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Gejala ISPA Ringan
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA
ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala
berikut:
 Batuk

 Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu


mengeluarkan suara seperti pada waktu
berbicara atau menangis
 Pilek, yaiut mengeluarkan lendir atau ingus dari
hidung
 Demam, dengan suhu badan lebih dari 37°C
2. Gejala ISPA Sedang
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA sedang
jika ditemukan gejala ISPA ringan disertai satu atau
lebih gejala-gejala berikut:
 Pernapasan cepat sesuai umur yaitu pada kelompok
umur <2 bulan dengan frekuensi napas 60 kali per
menit atau lebih, pada kelompok umur 2 - <12 bulan
dengan frekuensi napas 50 kali per menit atau lebih,
dan pada kelompok umur 12 bulan - <5 tahun
dengan frekuensi napas 40 kali per menit atau lebih.
 Suhu badan lebih dari 39°C

 Tenggorokan berwarna merah

 Telinga sakit atau mengeluarkan cairan dari lubang


telinga
 Pernapasan berbunyi seperti mengorok /
mendengkur
3. Gejala ISPA Berat
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA
berat jika ditemukan gejala ISPA ringan disertai
satu atau lebih gejala-gejala berikut:
 Bibir atau kulit membiru

 Kesadaran anak menurun

 Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak


tampak gelisah
 Sela iga tertarik ke dalam saat bernapas

 Nadi lebih cepat dari 160 kali per menit atau


tidak teraba
 Pernapasan cuping hidung
G. Diagnosa ISPA
Diagnosis etiologi ISPA pada bayi/balita cukup sulit
ditegkkan karena pengambilan dahak sulit dilakukan.
Prosedur pemeriksaan imunologi pun belum bisa
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan
penyebab ISPA. Pemeriksaan darah dan pembiakan
spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa dilakukan untuk
diagnosis penyebab ISPA. Cara ini cukup efektif untuk
menentukan etiologi ISPA. Namun cara ini dianggap
prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika.
Dengan pertimbangan ini, diagnosis etiologi penyebab ISPA
di Indonesia didasarkan pada hasil penelitian asing (melalui
publikasi WHO) bahwa Streptococcus pneumoniae dan
Haemophylus influenza merupakan bakteri yang selalu
ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang,
sedangkan di negar amaju seringkali disebabkan oleh virus.
Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul
pada bayi/balita seperti yang telah dijelaskan pada uraian
manifestasi klinis di atas
H. Penatalaksanaan ISPA
Antibiotika yang dapat digunakan adalah
kotrimoksazol atau amoksisilin selama 3 hari, dan
dapat juga diberikan penurun panas seperti
parasetamol. Setelah mendapat antibiotika,
penderita ditindaklanjuti pada kunjungan ulang
setiap dua hari di fasilitas pelayanan kesehatan. Bila
pasien menderita pneumonia berat, pasien harus
segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap
I. Pencegahan ISPA
 Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan
dimana melalui kegiatan ini diharapkan dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap
hal-hal yang dapat meningkatkan faktor risiko ISPA.
Penyuluhan dapat berupa penyuluhan penyakit
ISPA, penyuluhan ASI eksklusif, penyuluhan
imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan
anak, penyuluhan kesehatan lingkungan rumah,
atau penyuluhan bahaya rokok.
 Imunisasi lengkap
 Usaha di bidang gizi dengan tujuan mengurangi
malnutrisi.
 Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan
bayi BBLR.
 Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP)
yang menangani masalah polusi di dalam maupun
di luar rumah.
I. Pencegahan ISPA
 Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan
dimana melalui kegiatan ini diharapkan dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap
hal-hal yang dapat meningkatkan faktor risiko ISPA.
Penyuluhan dapat berupa penyuluhan penyakit
ISPA, penyuluhan ASI eksklusif, penyuluhan
imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan
anak, penyuluhan kesehatan lingkungan rumah,
atau penyuluhan bahaya rokok.
 Imunisasi lengkap
 Usaha di bidang gizi dengan tujuan mengurangi
malnutrisi.
 Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan
bayi BBLR.
 Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP)
yang menangani masalah polusi di dalam maupun
di luar rumah.
Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik untuk
mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi. Desain penelitian yang digunakan
adalah studi cross sectional.
Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Puskesmas Jagong
Jeget Kabupaten Aceh Tengah. Waktu penelitian adalah bulan
Maret 2019.
Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi yang
dibawa oleh ibunya yang datang berobat ke Puskesmas
Jagong Jeget
Sampel Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non-
probability sampling jenis consecutive sampling. Semua
subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi
kriteria pemilihan dimasukkan sebagai sampel penelitian
sampai subjek yang diperlukan terpenuhi
Kriteria inklusi subjek penelitian adalah:
 Bayi berusia 0-12 bulan datang ke Puskesmas Jagong
Jeget baik yang didiagnosis ISPA maupun bukan
ISPA.
 Ibu yang membawa bayi tersebut bersedia menjadi
responden.
 Kriteria eksklusi subjek penelitian ini adalah:

 Ibu tidak mengisi kuesioner secara lengkap.

 Bayi yang bukan dibawa oleh ibunya.


Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
data primer yang diperoleh secara langsung dari subjek
penelitian dengan cara wawancara. Instrumen yang
digunakan untuk pengambilan data adalah dengan
pembagian kuesioner.

Alur Penelitian
Memeriksa
Pemberian Mewawancarai
Kelengkepan
Kuesioner Sampel
Data
Deskripsi Karakteristik Sampel
Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin Bayi
Laki-laki 22 44%
Perempuan 28 56%
Usia (bulan)
0–6 27 54%
7 – 12 23 46%
Pemberian ASI Eksklusif
Ya 21 42%
Tidak 29 58%
Menderita ISPA
Ya 32 64%
Tidak 18 36%
Frekuensi ISPA
Tidak Pernah 5 10%
< 2 kali 15 30%
≥ 2 kali 30 60%
Total 50 100%
Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah
responden pada penelitian ini sebanyak 50 orang.
Kebanyakan responden berjenis kelamin
perempuan sebanyak 28 orang (56%), dan
kebanyakan responden berusia 0-6 bulan.
Sebagian besar responden tidak diberikan ASI
eksklusif, yaitu sebanyak 29 orang (58%),
sedangkan yang diberikan ASI eksklusif
berjumlah 21 orang (42%). Responden yang
menderita ISPA didapatkan sebanyak 32 orang
(64%), dan kebanyakan menderita ISPA lebih dari
2 kali yaitu sebanyak 30 orang (60%) dari
responden.
Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan Pemberian
ASI Eksklusif
ASI Menderita ISPA Total
Eksklusif
Ya Tidak
N % N % n %
Ya 9 42,8 12 57,2 21 100
Tidak 23 79,3 6 20,7 29 100

Dari tabel tersebut didapatkan bayi yang tidak


diberikan ASI eksklusif lebih banyak menderita ISPA
dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif.
Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA

Kejadian ISPA P
Ya Tidak
n % n %
ASI Ya 9 42,8 12 57,2 0,008
Eksklusif Tidak 23 79,3 6 20,7

Total 32 100 18 100


Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan
terdapat 32 orang bayi yang menderita ISPA dan 18 orang bayi yang
tidak menderita ISPA. Dari 32 bayi yang menderita ISPA, hanya 9 bayi
yang diberikan ASI eksklusif, sedangkan 23 bayi sisanya tidak
diberikan ASI eksklusif. Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode
Chi Square dengan derajat tingkat kemaknaan 0,05 (α=5%), diperoleh
nilai p sebesar 0,008 (p<0,05). Dengan demikian terdapat hubungan
yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA
pada bayi di Puskesmas Jagong Jeget Kabupaten Aceh Tengah
Jumlah responden pada penelitian ini ada 50 orang. Mayoritas responden
tidak diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 29 bayi (58%), dan 79,3% (23bayi)
yang tidak diberikan ASI eksklusif tersebut menderita ISPA. Hal yang sama terjadi
pada penelitian Noorhidayah pada tahun 2013 dengan responden berjumlah 188
bayi, sebanyak 65,4% di antaranya tidak diberikan ASI eksklusif dan 64,4% dari
bayi tersebut pernah menderita ISPA. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan
oleh Okto pada tahun 2010 dengan responden 157 bayi, sebanyak 7,4% dari bayi
tersebut tidak diberikan ASI eksklusif dan 79,6% pernah menderita ISPA. Dengan
demikian, pemberian ASI eksklusif pada bayi lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak diberi ASI eksklusif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi alasan ibu
tidak memberikan ASI eksklusif (diberikan susu formula sebagai pengganti ASI),
antara lain sedikitnya produksi ASI atau ASI tidak ada keluar sama sekali dari
payudara ibu, ibu sibuk bekerja, ibu memiliki kegiatan sosial lain, kurangnya
pengetahuan ibu, faktor makanan, psikologis, dan perawatan payudara oleh ibu.6
Penelitian ini juga menunjukkan terdapat 60% bayi yang menderita ISPA
hingga lebih dari 2 kali dalam 1 tahun, dan hanya 10% bayi saja yang tidak pernah
mengalami ISPA. Dengan demikian angka kejadian ISPA pada bayi di wilaya
Puskesmas Dalam Pagar cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Karolina dan kawan-kawan di Denpasar pada tahun 2011 yang
mendapatkan prevalensi ISPA pada bayi sebesar 54,7%.Penyebab tingginya
kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu pemberian ASI eksklusif, usia
anak di bawah 5 tahun, tidak diberikannya imunisasi, berat badan lahir rendah,
malnutrisi, kurangnya pendidikan orangtua, rendahnya status sosioekonomi, dan
lingkungan yang kurang memadai.
Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada
bayi diuji dengan uji statistik Chi square didapatkan nilai p=0,008 yang
berarti terdapat hubungan yang bemakna antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Hasil ini didukung oleh
penelitian lainnya, seperti penelitian pada bayi yang dilakukan Okto
pada tahun 2010 juga mendapati adanya hubungan pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA (p=0,011). Demikian pula penelitian
pada bayi di RS Sanglah, Denpasar (p=0,001).3
Telah diketahui sebelumnya bahwa ASI mengandung
komponen-komponen bioaktif yang dapat mencegah bayi mengalami
ISPA. Beberapa komponen-komponen tersebut adalah komponen-
komponen imun sepert imunoglobulin A (IgA) dan interferon yang
mampu memberikan perlindungan kepada bayi dari serangan infeksi.8
IgA dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur alternatif dan
bersama-sama dengan makrofag memfagositosis berbagai kuman yang
masuk. Selain itu Bronchus Associated Lymphocyte Tissue (BALT) yang
dikandung Asi merupakan antibodi alami di saluran pernapasan.8
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan
antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi.
Penanganan penurunan prevalensi ISPA tentu tidak hanya dengan
upaya kuratif tetapi perlu ditingkatkan upaya promotif dan preventif
termasuk di dalamnya upaya peningkatan pemberian ASI eksklusif
kepada bayi sampai usia 6 bulan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada
bab IV, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai
berikut :
 Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif
terhadap kejadian ISPA pada bayi (p<0,05).
 Pemberian ASI eksklusif pada bayi di Puskesmas
Jagong Jeget Kabupaten Aceh Tengah sebesar 42%,
sedangkan yang tidak diberi ASI eksklusif sebesar
5%.
 Kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Jagong Jeget
Kabupaten Aceh Tengah sebesar 90% (30%
mengalami ISPA sebanyak 2 kali dalam setahun dan
60% mengalami ISPA ≥ 2 kali dalam setahun)
sedangkan yang tidak mengalami ISPA sebesar 10%.
Saran
 Perlu dilakukan pembuatan leaflet mengenai
pentingnya pemberian ASI eksklusif dan
hubungannya dengan ISPA pada bayi untuk
menambah wawasan masyarakat sekitar
Puskesmas Jagong Jeget Kabupaten Aceh
Tengah.
 Perlu dilakukan pembinaan peran serta
masyarakat dan kerja sama dengan kader-kader
PKK dan posyandu untuk lebih memotivasi ibu
menyusui dalam memberikan ASI eksklusif
kepada bayinya.
 Perlu digalakkan lagi tentang perilaku hidup
bersih sehat (PHBS) melalui penyuluhan
mengenai pencegahan ISPA dan faktor-faktor
risiko kejadian ISPA.

Anda mungkin juga menyukai