Kelompok :
Triadi Singgih Pamungkas
Arif Setiya Nugroho
Rian Nur Arifah
B. Hukum-Hukum
Berhubungan
dengan Shalat
Orang Sakit
D. Peran Perawat
Dalam Membimbing
Praktek Ibadah
Pasien
A. Shalat Orang Yang Sakit
Orang yang sakit tidak sama dengan orang yang sehat. Masing-
masing harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut
kemampuannya. Seperti dalam QS. At-Taghobun: 16
َ ُ
َو ُ َٰم ْا
ُ ِِم ْف ُ ُ َ ََِِِٰ َف ُُو
ُ َ َّ ُ
ِ َّ نَ ْف
ِ س َ ُُ َن
ُ َو ْ م ۗ َوم َ طي ُعوا وَأَ ْن ِف ُقوا
ِ خ ْيرًا ِِلَ ْن ُف
ْ س ُك ِ َم ُعوا وَأ ْ مو
َ َاس ْ استَطَ ْع ُت َ َّ َفاتَّ ُقوا
ْ َّللا مَا
Orang yang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat
dengan duduk (QS. Al-Baqarah:185).
a. Orang sakit , apabila berat untuk berdiri maka boleh mengerjakan shalat
dengan duduk”. Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk
sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya. Juga, karena duduk bersila secara
umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirasy.
b. Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan
punggung dan meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri.
c. Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud diatas tanah, apabila tetap tidak
mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke
tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan
tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika
ruku’.
Lanjutan
Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan cara berbaring, boleh dengan miring ke
kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat.
a. Seperti dalam HR. Al-Bukhori no.1117 artinya : ”Shalatlah dengan berdiri,
apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka
berbaringlah.” Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak
menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri,
sehingga yang utama adalah yang termudah bagi keduanya. Apabila miring
ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke
kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya
sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama.
b. Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada,
ketentuannya, sujud lebih rendah daripada ruku.
Lanjutan
Orang yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan
menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri.
Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah
barat.
Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu
mengarahkannya, maka hendaklah ia shalat sesuai keadaannya tersebut (QS. Al-Baqarah/
2:286).
Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya
(QS. At-Taghobun: 16)
Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (ia
tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya),
hendaknya dia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal
seorang masih sehat.
Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak
mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan shalatnya
dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang
yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
Lanjutan
Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah,
hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu
sebagai alas sujud.
Hal ini didasarkan hadits Jabir radliyallahu’anhu yang berbunyi:
”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya
sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau pun mengambil
dan melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya,
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Shalatlah di atas tanah apabila engkau
mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imaa’) dan
jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”
D. Peran Perawat Dalam Membimbing
Praktek Ibadah Pasien
Peranan perawat tidak sebatas memberikan pengobatan secara fisik
melainkan juga pengobatan psikis (kejiwaan) pasien. Diyakini, dengan dibantu
oleh terapi secara psikis akan lebih membantu kesembuhan pasien karena
kondisi kejiwaannya lebih tenang. Dalam menjalankan tugas, seorang perawat
harus melandasi kepada pikiran dan perasaan cinta, afeksi, dan komitmen
mendalam kepada pasiennya yang dapat dilakukan dengan cara:
Membimbing ritual keagamaan sesuai dengan keyakinan klien, seperti cara
bertayamum, salat sambil tiduran, atau berzikir dan berdoa.
Menekankan pasien agar tidak berputus asa apalagi menyatakan kepada
pasiennya tidak memiliki harapan hidup lagi.
Perawat juga memandu pasiennya untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT hingga kondisinya semakin shaleh yang bisa mendatangkan
”manjurnya” doa.
Contoh Peran perawat dalam membimbing
pasien praktek ibadah
Membimbing pasien untuk berwudhu atau bertayamum (thaharah)
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak
mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan
siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua
mata kaki.” (Al-Maidah: 6).
Membimbing pasien sholat apabila telah tiba waktunya
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’anul Karim di antaranya
adalah firman Allah Ta’ala, ”Maka dirikanlah shalat itu, sesungguhnya shalat itu
adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Q.
S. An-Nisa’: 103)
Membimbing tadarus Al-Qur’an
Membimbing pasien agar selalu berdzikir kepada Allah