Anda di halaman 1dari 27

DASAR-DASAR

PERPAJAKAN
UMI KALSUM, S.E., M.Si.
FE UNSRI
2014
Sejarah Perpajakan
Upeti kepentingan raja atau penguasa
Pajak kepentingan masyarakat (rakyat)
Undang-undang yang mengatur tentang perpajakan di zaman Belanda :
1. Ordonansi rumah tangga (Stbl 1908 No. 13)
2. Aturan bea materai (Stbl 1921 No. 498)
3. Ordonansi bea balik nama (Stbl 1924 No. 291)
4. Ordonansi pajak kekayaan (Stbl 1932 No. 405)
5. Ordonansi pajak kendaraan bermotor (Stbl 1934 No. 718)
6. Ordonansi pajak upah (Stbl 1934 No. 611)
7. Ordonansi pajak potong (Stbl 1936 No. 671)
8. Ordonansi pajak pendapatan (Stbl 1944 No. 17)
9. UU pajak radio (UU No. 12 tahun 1947)
10. UU pajak pembangunan I (UU No. 14 tahun 1947)
11. UU pajak peredaran (UU No. 12 tahun 1952)
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat,
maka diundangkan lagi beberapa undang-undang, yaitu :
1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU
No. 2 Tahun 1968;
2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang
diubah dengan UU No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak
atas Bunga, Dividen dan Royalti
3. UU No. 19 tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara
dengan Surat Paksa;
4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing; dan
5. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan
PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO
Pada tahun 1983 Pemerintah bersama DPR melakukan
reformasi Undang-Undang Perpajakan dengan mencabut
semua UU yang ada dan mengundangkan 5 paket UU, yaitu :
1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP);
2. UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPN dan PPnBM)
4. UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan
5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM)

 Sistem perpajakan berubah dari Official Assessment menjadi


Self Assessment
Pada Tahun 1994, Empat dari Lima Paket UU
mengalami perubahan, yaitu sebagai berikut :
1. UU No. 6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9
Tahun 1994;
2. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10
tahun 1994;
3. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11
Tahun 1994;
4. UU No. 12 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 12
Tahun 1994.
Pada Tahun 1997, Pemerintah mengadakan perubahan
UU berkaitan dengan masalah perpajakan untuk
mendukung UU yang sudah ada, yaitu sebagai berikut :
1. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak;
2. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi daerah;
3. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa;
4. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak;
5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
Pada Tahun 2000, Pemerintah kembali mengadakan perubahan UU
untuk meningkatkan rasa keadilan dan memberikan pelayanan kepada
Wajib Pajak (WP), yaitu :
1. UU No. 16 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
2. UU No. 17 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1994;
3. UU No. 18 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
4. UU No. 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997;
5. UU No. 21 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 21 Tahun 1997;
6. UU No. 34 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997.
Pada Tahun 2007 s.d 2009, Pemerintah bersama DPR
sepakat melakukan perubahan UU Perpajakan.
Perubahan UU KUP ditujukan untuk memberikan
rasa keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada
WP, untuk memberikan kepastian hukum serta
mengantisipasi perkembangan di bidang Teknologi
Informasi
Sementara, untuk perubahan UU PPh dan UU PPN
dan PPnBM dilatarbelakangi dalam rangka
mengamankan penerimaan negara yang makin
meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang
netral, sederhana, stabil dan lebih memberikan
keadilan, serta menciptakan kepastian hukum dan
transparansi.
Perubahan ketiga UU tersebut, adalah sebagai berikut :
1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakn No. 16
Tahun 2000 diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007, mulai
berlaku 1 Januari 2008. Lalu UU KUP ini pun mengalami
perubahan lagi dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. UU PPh No. 17 Tahun 2000 diubah dengan UU No. 36
Tahun 2008, mulai berlaku 1 Januari 2009.
3. UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah No. 18 Tahun 2000 diubah
dengan UU No. 42 Tahun 2009, mulai berlaku 1 April 2010.
Khusus untuk Pajak Daerah dan
Retribusi Derah, telah diundangkan
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang
mencabut UU No. 18 Tahun 1997 dan
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2010.
Definisi Pajak
 Beberapa definisi Pajak menurut para pakar, diantaranya :
1. Mr. Dr. N. J. Feldmann dalam bukunya De Over Heidsmiddelen Van Indonesia
“ Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada
penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum tanpa
adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum”
2. Prof. Dr. M.J.H. Smeets dalam bukunya De Economische Betekents
Belastingen
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norm-
norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi
yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk
membiayai pengeluaran pemerintah” (fungsi budgeter dan fungsi mengatur)
3. Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak
berdasarkan asas gotong royong”
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”
4. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar-dasar
Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan
“ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan UU
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal
(kontra-prestasi), yang langsung dapat ditujukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”
5. Prof. Edwin R.A. Seligman dalam bukunya Essay in Taxation
“Tax is compulsary contribution from the person to the
government to depray the expenses incurred in the common
interest of all, without reference to special benefit conferred”
(adanya kontribusi seseorang yang ditujukan kepada negara
tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus kepada
seseorang.
6. Philip E. Taylor dalam bukunya The Economics of Public Finance
Memberikan batasan pajak seperti without reference digantikan
dengan little reference
Kesimpulan:  terdapat “unsur-unsur yang ada
dalam definisi-definisi tersebut:

1) Pajak adalah suatu iuran, atau kewajiban


menyerahkan sebagian kekayaan kepada negara
2) Sifatnya wajib dapat dipaksakan
3) Berdasarkan undang-undang
4) Tidak ada jasa timbal yang dapat ditunjuk
5) Pajak dipungut oleh negara baik pusat maupun
daerah
6) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran
pemerintah.
Pungutan Lainnya
RETRIBUSI
Menurut Waluyo, retribusi mempunyai pengertian lain dibandingkan pajak retribusi
pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi, karena
pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk mendapatkan suatu prestasi dari
Pemerintah, misalnya pembayaran uang kuliah, karcis masuk terminal, kartu
langganan.
Menurut Wirawan, umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran
berupa jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan atau diberikan oleh
Pemerintah kepada setiap orang atau badan, misalnya retribusi atas penyediaan
tempat penginapan, retribusi tempat pencucian mobil, pembayaran aliran listrik,
pembayaran abodemen air minum, retribusi tempat penitipan anak, retribusi
pelayanan pemakaman dan penguburan mayat, retribusi Izin Mendirikan Bangunan
(IMB)
Pungutan retribusi di Indonesia didasarkan pada UU No. 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 1 angka 26 UU dimaksud
menyebutkan bahwa retribusi daerah.
 Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan
 Tata cara pemungutannya, retribusi tidak dapat diborongkan dan retribusi
dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau
dokumen yang dipersamakan Pelaksanaan Penagihannya dapat dipaksakan.
 Retribusi yang tidak dibayar tepat pada waktunya atau kurang membayar,
dikenakan sanksi administrasi, berupa bunga sebesar 2% setiap bulan dari
retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan
menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD).
 Kesimpulan:
1. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang;
2. Sifat pungutannya dapat dipaksakan;
3. Pemungutannya dilakukan oleh negara;
4. digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum; dan
5. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayaran
retribusi.
Pungutan Lain Selain Pajak

 Bea Materai
 Bea Masuk dan Bea Keluar
 Cukai
 Retribusi
 Iuran
 Lain-lain
Fungsi Pajak
Menurut Waluyo, fungsi pajak yaitu :
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan
bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Contoh : dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai
penerimaan dalam negeri
2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan di bidang sosial ekonomi.
Sebagai contoh : dikenakannya pajak yang lebih tinggi
terhadap minuman keras dan barang mewah.
 Menurut Wirawan, fungsi pajak yaitu :
1. Fungsi Budgeter
adalah fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan
undang-undang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin
dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan
digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
2. Fungsi Regulerend
adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan
sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
letaknya di luar bidang keuangan. Hal ini senada dengan Dr. Soemitro
Djojohadikusumo, yaitu fiscal policy sebagai suatu alat pembangunan
yang harus mempunyai satu tujuan yang bersamaan secara langsung
menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public investment
dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private
saving ke arah sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk
mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat
pembangunan.
3. Fungsi Demokrasi
merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem
gotong royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan
pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi
demokrasi dikaitkan dengan hak seseorang apabila
akan memperoleh pelayanan dari Pemerintah.
4. Fungsi Redistribusi
adalah fungsi yang menekankan pada unsur
pemerataan dan keadilan dalam masyarakat, hal ini
terlihat dari tarif progresif yang mengenakan pajak
lebih besar kepada masyarakat yang berpenghasilan
besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat
yang berpenghasilan kecil.
Kedudukan Hukum Pajak
HUKUM
TANTRA/HUKUM TATA
HUKUM NEGARA
TANTRA/HUKU
M TATA NEGARA HUKUM ADM
TANTRA/HUKUM ADM
NEGARA HUKUM
PERDATA (B.W)
HUKUM PERDATA
MATERIAL
HUKU HUKUM HUKUM
M PERDATA PERDATA
HUKUM PERDATA (W.V.K)
FORMAL

HUKUM PIDANA
MATERIAL
HUKUM
PIDANA
HUKUM PIDANA
FORMAL
KESIMPULAN :
Hukum pajak berada dalam tata hukum nasional
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum
administrasi negara, yang merupakan segenap
peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan
pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga
negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas
administrasi negara.
Dalam pengaturan materi hukum pajak memiliki
kesamaan dengan hukum perdata dan hukum pidana,
istilah-istilah yang digunakan dan sanksi-sanksi yang
digunakan, penafsiran yang digunakan dan sanksi-
sanksi yang digunakan banyak mengambil dari hukum
perdata dan hukum pidana.
Kedudukan Hukum Pajak
HUKUM
TANTRA/HUKUM TATA
HUKUM NEGARA
TANTRA/HUKU
M TATA NEGARA HUKUM ADM
TANTRA/HUKUM ADM HUKUM PAJAK
NEGARA

HUKU HUKUM
M PERDATA

HUKUM
PIDANA
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata terlihat
dari dasar pemungutan pajak yang dikenal dengan peristiwa,
keadaan dan perbuatan. Ketiga hal ini dijadikan sebagai
tatbestand yang dituangkan dalam UU Pajak.
Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata terlihat
dari ajaran di bidang hukum yaitu lex specialis derogat lex
generale bahwa hukum yang khusus mengenyampingkan hukum
yang umum.
Pendapat Prof. Mr. W.F. Prins dalam bukunya yang berjudul Het
Belastingreht Van Indonesie menyatakan hubungan erat antara
hukum pajak dan hukum perdata karena banyak istilah-istilah
hukum perdata dipergunakan dalam hukum pajak dengan prinsip
yang harus dipegang bahwa pengertian-pengertian dalam hukum
perdata tidaklah akan selalu dianut dalam hukum pajak.
Contoh konkret yang dapat dilihat, yaitu penggunaan
istilah “tempat tinggal” atau domisili yang keduanya
mengatur masalah sebagai berikut :
1. Pasal 17 BW: Setiap orang dianggap mempunyai
tempat tinggal dimana ia menempatkan pusat
kediamannya. Dalam hal tidak adanya tempat
tinggal yang demikian, maka tempat tinggal
kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat
tinggal.
2. Pasal 2 ayat (6) UU Pajak Penghasilan: Tempat
tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan yang sebenarnya.
Kesimpulan :
 Hukum pajak merupakan bagian dari hukum
Administrasi Negara

a) Hubungan hukum pajak dengan hukum


perdata
 Hukum pajak selalu mencari dasar
kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan
perbuatan hukum pajak
 Terminologi dalam hukum pajak banyak
dipengaruhi oleh hukum perdata
 Lex specialis derogat lex generalis
b) Hubungan Hukum Pajak dengan
Hukum Pidana
 Ketentuan-ketentuan pidana yang
diatur dalam KUHP banyak digunakan
dalam peraturan Undang-undang pajak.

Anda mungkin juga menyukai