Anda di halaman 1dari 26

LUPUS NEUROPSIKIATRI

DALAM PRAKTEK KLINIS


Revynca Petronella Izaak 1761050027
Klara Septiani 1761050
Abstrak
Lupus eritematosus sistemik (yang biasanya dikenal sebagai systemic lupus
erythematosus / SLE) merupakan suatu kondisi gangguan autoimun kronik yang
melibatkan beberapa organ (multiple organ), hal ini biasanya ditandai dengan
produksi dari autoantibodi dan perkembangan jejas (injury) pada jaringan. Penyebab
dari SLE sendiri hanya diketahui sebagian, hal tersebut antara lain melibatkan
beberapa faktor genetik dan lingkungan.
Sampai dengan 50% pasien yang mengalami SLE biasanya memiliki gangguan dan
keterlibatan neurologis juga dalam kondisi penyakitnya tersebut. Manifestasi dan
gambaran klinis dari gangguan neurologis berhubungan dengan gangguan dan
penurunan kualitas hidup, serta tingginya angka kematian dan kesakitan. Terdapat
sembilan belas sindroma neuropsikiatri telah diketahui berhubungan dengan kondisi
SLE, dan dapat dibagi menjadi manifestasi sentral dan manifestasi peripheral.
Artikel ini melakukan review manifestasi mayor gangguan neuropsikiatri pada pasien
dengan SLE dan mendiskusikan gambaran klinis, gambaran radiologis, dan
kemungkinan pilihan terapi yang tersedia.
◦ Lupus eritematosus sistemik (atau yang biasanya dikenal sebagai SLE) merupakan
suatu kondisi penyakit autoimun kronik yang meliputi berbagai organ, yang biasanya
ditandai dengan produksi dari autoantibodi dan perkembangan jejas (kerusakan /
injury) pada jaringan.
◦ Penyebab SLE sendiri baru diketahui sebagian saja, dan meliputi berbagai macam
faktor genetik dan faktor lingkungan. Lupus eritematosus sistemik lebih sering mengenai
wanita kulit putih dengan usia reproduktif dan bentuk yang lebih berat bisa dijumpai
pada orang-orang dengan keturunan afrika, asia, hispanik, dan india.
◦ Patogenesis dari SLE ditandai dengan gangguan dan abnormalitas imun, termasuk
hiperaktivitas sel-T dan sel-B, gangguan berupa abnormalitas jumlah dan fungsi dari sel
T regulator, dan perubahan (deposisi) kompleks imun pada berbagai macam jaringan.
Salah satu gambaran khas yang dapat dijumpai pada pasien dengan SLE adalah
produksi dari autoantibodi terhadap DNA dengan strain ganda, histon, dan
nukleosom, dan berbagai macam komponen kromatin lainnya.
◦ Sebagai tambahan, kompleks imun, dan pembersihan dan penghilangan sel yang
mengalami apoptosis mengalami gangguan. Abnormalitas ini dapat mengarah pada
keadaan adanya sel imunitas yang dipicu oleh adanya kromatin dan aktivasi dari
sistem imunitas innate dan adaptive.
◦ Sebanyak 50% pasien yang mengalami SLE juga terdapat gangguan dan keterlibatan
neurologis terutama dalam kondisi dan perjalanan penyakitnya tersebut. Kira-kira 40%
dari kasus SLE dengan gangguan neuropsikiatri (NPSLE) merupakan suatu akibat
(konsekuensi) dari penyakitnya itu sendiri, penyebab lainnya dari NPSLE adalah karena
infeksi, gangguan metabolik, dan efek samping dari pengobatan (obat-obatan). Kami
melakukan review dari manifestasi NPSLE mayor dan mendiskusikan gambaran klinis,
hasil yang didapatkan dari penemuan radiologis, dan pilihan terapi yang tersedia.
Gangguan Neuropsikiatri pada
Systemic Lupus Erthematosus
Sistem saraf pusat

◦ American College of Rheumatology Nyeri kepala

(ACR) telah melakukan identifikasi pada Gangguan kejang (bangkitan)

19 sindrom neuropsikiatrik yang dijumpai Gangguan serebrovaskular


Sindroma demielinisasi
pada pasien SLE yang dapat dibagi Mielopati
menjadi manifestasi yang ditemukan Gangguan gerak

pada sistem saraf pusat dan perifer Meningitis aseptik

(Tabel 1). Disfungsi kognitif


Gangguan suasana perasaan (mood)

◦ Meskipun klasifikasi ini mencakup sindrom Gangguan cemas

tanpa mekanisme patofisiologis yang Psikosis

jelas dan tidak spesifik untuk kejadian Konfusio akut (ACS)


Gangguan saraf tepi
neuropsikiatrik yang disebabkan secara Mononeuropati
eksklusif oleh SLE, namun hal ini dapat Polineuropati

membantu dokter untuk mengenali Neuropati kranial

setiap keterlibatan neurologis pada Sindroma guillain-barre

pasien dengan SLE. Plexopati


Gangguan otonom
Miastenia gravis
◦ NPSLE mungkin merupakan manifestasi yang pertama dari penyakit itu sendiri dan
prevalensinya berkisar dari 21% hingga 95%. Sindrom yang terdapat pada sistem saraf
pusat (SSP) lebih sering terjadi daripada yang mengenai pada sistem saraf perifer
(tepi) dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi manifestasi difus atau fokal. Pasien
dapat datang dengan kondisi gangguan neuropsikiatri tunggal atau multipel, yang
mungkin tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit sistemik.
◦ Faktor risiko yang terkait dengan NPSLE termasuk diantaranya kerusakan pada SSP
atau aktivitas SLE secara umum, riwayat kondisi neuropsikiatrik sebelumnya atau
manifestasi neuropsikiatrik lainnya yang bersamaan, adanya titer antibodi antifosfolipid
(aPL) yang sedang sampai tinggi seperti antikoagulan lupus dan antikardio-lipin, atau
anti-β2 glikoprotein 1 (baik dalam bentuk IgG atau IgM), terutama pada penyakit
serebrovaskular, mielopati, disfungsi kognitif, kejang dan gangguan gerak, dan
antibodi protein P anti-ribosomal (antibodi anti-P), yang telah dikaitkan dengan psikosis
pada kasus lupus di dalam beberapa penelitian.
◦ Manifestasi neurologis tersebut sangat
dikaitkan dengan gangguan pada kualitas
hidup, dan tingginya angka kesakitan dan Autoantibodi Sindroma Sumber
kematian. Khususnya, keterlibatan pada LA CVD, CD, kejang Sciascia, 2014
organ-organ penting seperti : paru-paru, (bangkitan)
ginjal, dan SSP dapat menyebabkan gejala
aCL CVD, CD, bangkitan Sciascia, 2014
sisa (sekuele) yang serius.
(kejang) dan epilepsi
◦ Karena tidak ada biomarker pada aktivitas aGPI Angina dan thrombosis Sciascia, 2014
SSP, diagnosis NPSLE sering dibuat dengan pada arterial atau
mengesampingkan NPSLE sekunder. vena
Mekanisme patogenik potensial pada NPSLE
Anti-SM ACS Hirohita, 2014
primer adalah aksi langsung sitokin inflamasi
Anti-P Psikosis Bonfa, 1987
intratekal, gangguan pada sawar darah-otak
(BBB), percepatan terjadinya kejadian Sciascia, 2014
aterosklerosis dan vaskulopati trombotik yang Anti-NMDA CD Faust, 2010
disebabkan oleh antibodi aPL. Autoantibodi Anti-NR2 CD Lauvsnes, 2014
juga dapat berikatan dengan neuron yang AQP4 NMO Bertsias, 2010
menyebabkan disfungsi pada neuron tersebut
dan terjadinya apoptosis (Tabel 2).
Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah gejala umum non-spesifik untuk SLE atau penyakit rematik lainnya. Meskipun
nyeri kepala tipe tension (tension-type / TTH) adalah suatu sindrom nyeri kepala primer yang paling
sering terjadi pada populasi secara umum, namun adanya laporan mengenai prevalensi migrain
yang lebih tinggi dijumpai pada pasien dengan SLE bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Meskipun demikian, meta-analisis terbaru tidak mengkonfirmasi hasil temuan ini. Nyeri kepala yang
didapatkan pada pasien dengan SLE tidak terkait dengan frekuensi yang lebih tinggi dari lesi yang
didapatkan dari pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), aktivitas penyakit, dan biomarker
lain seperti aPL, antibodi anti-P, dan antibodi reseptor glutamat (anti-NR2).
Penting untuk menyingkirkan kondisi meningitis,
Tanda-tanda gangguan neurologis fokal, demam trombosis sinus vena serebral (kebanyakan pada
atau infeksi yang terjadi bersamaan, adanya pasien dengan aPL) dan perdarahan serebral
sindrom antifosfolipid (APS), kondisi imunosupresi, atau subarachnoid. Selain itu, nyeri kepala
penggunaan antikoagulan, perubahan status sekunder dapat disebabkan oleh sindrom
mental, meningismus dan aktivitas SLE secara ensefalopati reversibel posterior. Penggunaan
umum merupakan indikasi penyebab sekunder obat-obatan anti-inflamasi non-steroid dan
nyeri kepala dan memerlukan penyelidikan lebih triptan dapat juga digunakan untuk
lanjut dengan pencitraan otak dan pemeriksaan menghilangkan rasa sakit. Terapi pencegahan
analisis cairan serebrospinal (CSF). migrain adalah β-blocker, antikonvulsan seperti
asam valproat dan topiramat, dan antidepresan.
◦ Disfungsi kognitif (CD) merupakan suatu
kondisi yang didefinisikan sebagai
Disfungsi Kognitif
penurunan kognitif dari tingkat fungsi
mental sebelumnya yang sudah
didokumentasikan oleh penilaian
neuropsikologis yang disesuaikan dengan
populasi target. Pemeriksaan Domain

◦ Domain kognitif utama yang ditemukan North American Adult Reading Test IQ promorbid
mengalami penurunan dan gangguan di Digit Symbol Test Kecepatan pemrosesan
dalam kondisi SLE adalah perhatian, Trail Making Test Perhatian
kecepatan pemrosesan, dan memori. Stroop Color Test Perhatian kompleks
◦ American College of Rheumatology California Verbal Learning Test Memori verbal
merekomendasikan baterai neuropsikologis Rey Complex Figure Memori visual
satu jam untuk evaluasi disfungsi kognitif Letter Number Sequencing Memori kerja
pada pasien dengan SLE.
Controlled Oral Word Association Kelancaran fonem verbal
◦ Hal ini bertujuan untuk menilai perhatian Test
secara sederhana dan kompleks, memori Animal Naming Kelancaran semantik verbal
verbal dan visual, pemrosesan spasial
Finger Tapping Kecepatan motor
visual, bahasa (kelancaran verbal),
penalaran / pemecahan masalah,
kecepatan psikomotorik dan fungsi
eksekutif (Tabel 3).
◦ Penurunan kognitif didefinisikan oleh skor ◦ Pada pasien dengan SLE yang ada di
yang jatuh antara 1,5 dan 1,9 standar Amerika Serikat, alat Montreal Cognitive
deviasi di bawah rata-rata dalam satu atau Assessment memiliki sensitivitas 83% dan
lebih domain kognitif. Gangguan kognitif spesifisitas 73% sebagai alat bantu dalam
didefinisikan oleh skor yang jatuh 2,0 standar kasus disfungsi kognitif menggunakan skor
deviasi di bawah rata-rata. dengan angka cutoff 26.
◦ Disfungsi kognitif didefinisikan sebagai fokus ◦ Disfungsi kognitif pada SLE dikaitkan
jika dijumpai adanya penurunan pada dengan antibodi aPL, penggunaan steroid,
langkah-langkah dalam satu domain, atau diabetes, dan tingkat pendidikan yang
multifokal jika ada penurunan pada ukuran rendah. Meskipun gejala depresi dapat
yang mencakup dua atau lebih domain. Tes mengurangi fungsi kognitif, disfungsi kognitif
skrining, misalnya pada pemeriksaan MMSE, tidak sepenuhnya dijelaskan oleh depresi.
biasanya bersifat tidak spesifik dan memiliki
◦ Dalam perbandingan skor neuropsikologis
sensitivitas diagnostik yang rendah untuk
antara pasien dengan depresi (yang murni
disfungsi kognitif.
hanya kelainan psikologis saja) dan pasien
◦ Meskipun demikian, Montreal Cognitive dengan depresi dan SLE, yang terakhir
Assessment adalah alat skrining yang dinilai menunjukkan skor Atrofi serebral yang lebih
sesuai untuk disfungsi kognitif karena rendah, lesi pada materi putih (white matter
menampilkan profil subkortikal frontal dari / substansia alba) dan infark serebral telah
gangguan kognitif pada SLE. berkorelasi dengan derajat keparahan
pada disfungsi kognitif (Gambar 1).
◦ Model Murine telah menunjukkan bahwa antibodi
anti-NMDA menimbulkan kematian saraf yang
menghasilkan CD dan gangguan emosional.
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan tingkat
◦ MRI yang tampak normal dalam disfungsi kognitif antibodi anti-NR2 yang lebih tinggi di CSF dan
dapat dikaitkan dengan perubahan mikrostruktural mengurangi materi abu-abu (substansia grissea)
dan metabolik pada jaringan substansia alba yang hippocampal pada pasien SLE bila dibandingkan
menunjukkan mielinopati yang berpotensi dimediasi dengan kelompok control.
oleh kompleks imun, yang paling baik dilihat dengan ◦ Penatalaksanaan pada kasus difungsi kognitif tetap
spektroskopi dan teknik MRI canggih lainnya. tidak pasti (belum ditemukan solusi yang pasti).
◦ Patofisiologi disfungsi kognitif masih harus dipahami Direkomendasikan untuk melakukan tindakan
sepenuhnya dan mungkin melibatkan kelainan dalam identifikasi dan pengelolaan penyebab
sekunder atau hal-hal yang dapat memperburuk
vaskular, sitokin inflamasi intratekal, dan gangguan BBB. disfungsi kognitif.
Autoantibodi mungkin juga berkontribusi pada
patogenesis disfungsi kognitif di SLE. ◦ Pasien dapat merespon methylphenidate atau
prednisone (0,5 mg / kg). Aspirin hanya diindikasikan
◦ Pasien lupus erythematosus sistemik dengan untuk pasien dengan komorbid kardiovaskular untuk
antikoagulan lupus tiga kali lebih mungkin mengalami meningkatkan kinerja kognitif, dan memantine,
gangguan fungsi neuropsikologis, dengan disfungsi antagonis reseptor NMDA, mencegah kerusakan
memori yang berfungsi, mungkin karena perubahan kognitif dari antibodi anti-NR2 dalam model murine,
materi putih dan trombosis mikrovaskular. tetapi belum efektif pada pasien SLE. Rehabilitasi
kognitif dan psikoedukasi adalah perawatan
komplementer yang dapat membantu
meningkatkan keluhan kognitif baik secara subyektif
dan objektif.
Kejang (bangkitan)
◦ Proses inflamasi diyakini memainkan
◦ Epilepsi terjadi pada 12% hingga 22% pasien peran utama dalam patogenesis
dengan SLE dan hal ini dikaitkan dengan bangkitan epileptiform.
peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Bangkitan terisolasi tunggal lebih sering ◦ Penyakit pembuluh darah iskemik dan
tampak pada kondisi ini dan bangkitan antibodi yang berikatan dengan jaringan
tonik-klonik umum adalah jenis yang paling otak seperti antikardiolipin dan anti-Sm
sering dijumpai (67% hingga 88%), tetapi telah dikaitkan dengan kejang. Epilepsi
bangkitan parsial dan kompleks sederhana pada SLE juga telah dikaitkan dengan
juga dapat terjadi. APS, aktivitas penyakit, beberapa
manifestasi NPSLE (misalnya, Psikosis,
◦ Abnormalitas pada EEG adalah sering stroke), dan kerusakan awal yang berat
dijumpai (60% sampai 70%) pada kondisi pada organ.
SLE, dan pola EEG epileptiform
menunjukkan bangkitan kemungkinan akan ◦ Meskipun kejang diklasifikasikan sebagai
kambuh (73% nilai prediksi positif (PPN), 79% manifestasi SSP difus, kejang dapat terjadi
nilai prediksi negatif (NPN). pada NPSLE fokal dan inflamasi.
◦ Pasien-pasien dengan kondisi kejang ◦ Untuk alasan itu, evaluasi pasien dengan
(bangkitan) menunjukkan lebih banyak kejang harus mencakup pencitraan otak
intensitas abu-abu pada hasil pemeriksaan dan analisis CSF untuk menyingkirkan
dengan menggunakan pencitraan MRI dan penyebab lainnya, seperti infeksi,
mungkin hal tersebut dapat mengarah vaskulitis, dan mekanisme yang memberi
kepada atrofi otak. kesan NPSLE fokal.
◦ Sindrom ensefalopati reversibel posterior adalah sindrom klinis-radiologis yang ditandai
oleh kejang, perubahan status mental, dan gangguan penglihatan. Ini adalah kondisi
yang tidak biasa dengan prognosis yang baik, biasanya reversibel dan jarang
berulang. MRI pada sindrom ini menunjukkan isointensitas asimetris bilateral atau
hipointensitas pada T1, hiperintensitas pada T2 dan sekuens pemulihan inversi yang
dilemahkan cairan di daerah parietal-temporal-oksipital.
◦ Sekitar 50% pasien memerlukan pengobatan dengan antikonvulsan dan obat
antihipertensi.Antikonvulsan jangka panjang direkomendasikan untuk pasien dengan
kejang berulang atau risiko kekambuhan (mis. Kejang berulang dalam 24 jam, kelainan
EEG, cedera otak sebelumnya dengan kelainan struktural pada MRI otak). Terapi
imunosupresif diindikasikan untuk mereka yang memiliki aktivitas penyakit sistemik
Konfusio Akut (Acute Confusional State)
◦ Konfusio akut (acute confusional state / kondisi kebingunan akut) adalah suatu
gangguan dalam kesadaran atau kewaspadaan, dan defisit atensi berikutnya yang
disertai dengan penurunan kognitif dan / atau mempengaruhi atau menyebabkan
perubahan pada suasana hati (mood).
◦ Ini telah dikaitkan dengan kehadiran antibodi anti-NR2 dan antibodi anti-Sm di CSF.
Mekanisme patogenik di balik manifestasi neuropsikiatrik difus ini tampaknya terutama
bersifat inflamasi dengan peningkatan produksi mediator inflamasi, gangguan BBB,
dan pembentukan kompleks imun intratekal.
◦ Risperidone (2 mg / hari) dapat menjadi pilihan terapi untuk keadaan kebingungan
akut. Namun pemberian kortikosteroid dan obat-obatan imunosupresi harus
dipertimbangkan tergantung pada kondisi klinis pasien.
Psikosis, Depresi, dan Cemas
◦ Tinjauan pustaka sistematis (systematic ◦ Kadar serum faktor nekrosis tumor alpha
review) menemukan prevalensi 17% (TNF-alpha) juga didapatkan meningkat
hingga 75% gangguan depresi di antara pada pasien SLE dengan gangguan
pasien dengan SLE. Gangguan mood mood dan kecemasan yang
dikaitkan dengan aktivitas penyakit, dosis menunjukkan adanya peran dari
prednison yang tinggi (≥ 20 mg), penyakit mekanisme peradangan pada depresi.
kulit, dan mielitis transversal luas
memanjang (longitudinal extensive ◦ Antibodi anti-P telah secara khusus
transverse myelitis). dikaitkan dengan psikosis pada pasien
dengan SLE, meskipun beberapa
◦ Kejadian ikutan akibat efek samping penelitian telah gagal memastikan
obat yang merugikan juga dapat hubungan ini.
berkontribusi terhadap terjadinya atau
memperburuk gejala depresi pada ◦ Tingkat tinggi anti-P anti-badan yang
beberapa pasien. ditemukan dalam sampel serum pasien
SLE dengan psikosis dibandingkan
◦ Tidak ada bukti tentang penggunaan dengan pasien SLE dengan manifestasi
penanda neuroimaging atau serologis neuro-psikiatrik lainnya, pasien dengan
untuk mendiagnosis gangguan mood psikosis non-SLE, dan kontrol.
dan kecemasan, meskipun autoantibodi
reseptor anti-P dan anti-NMDA telah
dikaitkan dengan insiden depresi yang
lebih tinggi pada pasien dengan SLE.
◦ Tingkat antibodi anti-P 5 sampai 30 kali lipat lebih tinggi selama fase aktif psikosis SLE,
tetapi tidak selama manifestasi SLE lainnya. Faktanya, beberapa penelitian in vivo dan
in vitro menunjukkan bahwa antibodi anti-P dapat berikatan dengan antigen neuron,
menembus sel-sel neuron, dan menghambat sintesis protein dalam sel-sel neuron
termasuk dalam neuron hippocampal. Selain itu, hasil penelitian terbaru menunjukkan
bahwa antibodi anti-P berinteraksi dengan antigen neuron yang mengarah ke
apoptosis neuron.
◦ Psikosis dan gangguan depresi mayor akibat SLE jarang terjadi, sementara psikosis
yang diinduksi steroid merupakan efek samping yang tidak biasa dijumpai.
Glukokortikoid dan terapi imunosupresif dapat dipertimbangkan untuk psikosis yang
berhubungan dengan SLE, terutama dengan adanya aktivitas penyakit secara umum.
Penyakit serebrovaskular
◦ Kejadian serebrovaskular menyebabkan 10% hingga 15% ◦ Vaskulitis adalah penyebab stroke yang jarang
kematian pada pasien SLE. Stroke iskemik (IS) adalah dijumpai pada SLE, terhitung 7% dari kasus dalam
kondisi yang paling sering dijumpai pada pasien. Pasien beberapa seri kasus.
dengan SLE memiliki resiko dua kali lipat terkena stroke
iskemik, peningkatan tiga kali lipat dalam risiko stroke ◦ Pasien dengan SLE dan stroke harus diskrining
intraserebral, dan peningkatan empat kali lipat dalam risiko secara rutin untuk APS, yang ditandai dengan
perdarahan sub-arachnoid dibandingkan dengan populasi adanya antibodi aPL, trombosis pembuluh darah
umum. (arteri atau vena) dan komplikasi kehamilan
termasuk eklampsia atau pre-eklampsia dan
◦ Perdarahan intraserebral dan subaraknoid jarang terjadi keguguran (Gambar 2). Stroke pada APS biasanya
pada pasien SLE, dan mempengaruhi sebagian besar merupakan suatu kondisi trombotik atau emboli.
individu muda. Mereka biasanya terjadi pada tahun Pasien-pasien dengan SLE dan APS juga dapat
pertama setelah diagnosis, dan menghasilkan angka memiliki gambaran klinis dengan keterlibatan
kematian yang tinggi dan morbiditas jangka panjang. ginjal dan valvulopathy karena deposisi kompleks
imun. Sepertiga atau lebih dari stroke APS
◦ Keparahan penyakit lupus erythematosus sistemik, disebabkan oleh emboli yang terkait dengan
hipertensi dan hiperlipidemia adalah prediktor independen vegetasi pada katup jantung, dan beberapa
dari stroke dan keparahan stroke dalam penelitian pasien mungkin menderita endokarditis steril.
lanjutan. Namun, faktor risiko tradisional tidak sepenuhnya
menjelaskan tingginya prevalensi stroke iskemik pada ◦ Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menunjuk
pasien dengan SLE. pada peningkatan lima kali lipat pada risiko IS
atau serangan iskemik transien pada pasien
◦ Aterosklerosis yang dipercepat, dan mediator inflamasi dengan antibodi aPL dibandingkan dengan
seperti aktivasi dari komponen, sitokin, dan antibodi aPL kontrol
juga dapat berperan dalam perkembangan penyakit
serebrovaskular. Patut dicatat bahwa dosis steroid
kumulatif yang tinggi juga bisa menjadi faktor risiko
percepatan aterosklerosis, yang menyebabkan
peningkatan risiko stroke
◦ Studi RATIO (Risiko Trombosis Arterial dalam Hubungan dengan Kontrasepsi Oral)
menunjukkan bahwa antikoagulan lupus merupakan faktor risiko utama IS, terutama
pada wanita muda. Anti-β2-glikoprotein juga dikaitkan dengan risiko IS yang lebih
tinggi. Antikoagulan lupus adalah prediktor kuat trombosis dibandingkan dengan
antikardiolipin dan biasanya melibatkan pembuluh darah besar dan kecil.Faktor risiko
yang dapat dimodifikasi harus difokuskan sebagai bagian dari strategi pencegahan IS
primer dan sekunder untuk pasien dengan SLE. Antikoagulan oral jangka panjang
direkomendasikan untuk pasien dengan APS dan SLE, untuk mencegah terulangnya
trombosis arteri dan vena, dan juga untuk pasien dengan sumber kardioembolik risiko
tinggi. Terapi dengan pemberian glukokortikoid dan imunosupresif tidak mengurangi
risiko IS.
Gangguan Gerak
◦ Gangguan gerak merupakan suatu kondisi yang jarang ◦ Sydenham chorea dan lupus mungkin memiliki temuan
dijumpai sebagai bagian dari manifestasi neuropsikiatri serupa dalam pemeriksaan pencitraan otak dengan
pada pasien dengan SLE. Namun, dapat dikatakan menggunakan modalitas computed tomography
bahwa Parkinson, myoclonus dan dystonia merupakan terkomputasi dengan foton-tunggal. Kedua penyakit ini
beberapa yang sudah dijelaskan dan berhubungan menunjukkan hiperkonsentrasi radiotracer di ganglia
dengan kondisi gangguan autoimun atau penyakit basalis, hal ini kemungkinan terjadi karena adanya
tromboembolik dalam pathogenesis adanya kondisi dari perubahan mikrosirkulasi pada ganglia basalis atau
penyakit tersebut. kelainan BBB sekunder akibat proses inflamasi.
◦ Chorea merupakan manifestasi yang paling sering ◦ Parkinsonisme dapat terjadi pada pasien anak-anak
dijelaskan dan mungkin saja menjadi manifestasi yang atau dewasa. Obat dopaminergik serta pemberian
pertama muncul dan dijumpai pada pasien dengan SLE, terapi dengan menggunakan imunomodulator dapat
yang didapatkan pada 2% pasien dewasa, terutama memperbaiki gejalanya. Parkinsonisme terkait sindrom
pada perempuan. Hal ini dapat bersifat unilateral antifosfolipid dikaitkan dengan vaskulopati, respons
maupun bilateral dan dapat hilang secara spontan. Bukti buruk terhadap levodopa, dan infark serebral.
saat ini menunjukkan mekanisme autoimun yang terkait ◦ Pasien lupus erythematosus sistemik dengan APS juga
dengan antibodi aPL, tetapi iskemia serebral fokal jarang dapat datang dengan sindrom tremor, tics, mioklonus
dituliskan di dalam berbagai penelitian. dan degenerasi seperti kortikobasal. Distonia fokal
termasuk tortikolis dan blepharospasme juga telah
◦ Sydenham chorea adalah penyebab paling umum dari
dilaporkan. Para pasien tersebut mungkin saja
chorea akut pada anak-anak dan kondisi tersebut adalah
memberikan respon yang baik dengan menggunakan
salah satu diagnosis banding penting dalam chorea yang
terapi imunomodulator. Beberapa pasien dengan SLE
berhubungan dengan lupus, terutama pada pasien anak- mungkin memiliki kelainan gerakan kompleks termasuk
anak. Sydenham chorea adalah kelainan autoimun dan asosiasi manifestasi hipokinetik dan hiperkinetik yang
kebanyakan kasus muncul setelah terjadinya demam sering dikaitkan dengan gejala neuropsikiatri lainnya.
rematik atau infeksi streptokokus.
Meningitis Aseptik
◦ Insidensi (angka kejadian) meningitis aseptik pada pasien SLE telah diperkirakan
mencapai 1,4% hingga 1,6% dalam studi retrospektif. Hal ini dapat terjadi kapan saja
selama perjalanan penyakit, biasanya selama terjadinya flare. Karena pasien sering
menerima agen imunosupresan, infeksi bakteri, virus, jamur dan tuberkulosis harus
disingkirkan.
◦ Gambaran klinis meningitis aseptik termasuk sakit kepala dan perubahan status
mental. Analisis cairan serebrospinal dapat mengungkapkan sel dan protein limfositik.
Walaupun remisi spontan dapat terjadi, sebagian besar kasus diobati secara efektif
dengan glukokortikoid dan terapi imunosupresif.
Mielopati
◦ Lupus myelitis terjadi pada 1% hingga 1,5% kasus. Hal ini ◦ Analisis yang dilakukan pada CSF dapat menunjukkan
bermanifestasi sebagai mielitis transversal atau sindrom pleiositosis ringan melebihi 10 sel / mm3, tetapi dominasi
medulla spinalis asimetris dengan hemiparesis, tetraparesis, polimorfonuklear juga telah dilaporkan. Seringkali ada
peningkatan IgG pada CSF. MRI dapat menunjukkan
keterlibatan kandung kemih, nyeri neuropatik, dan adanya peningkatan sinyal dan mielitis transversal luas membujur
gangguan pada tingkat sensorik. Mielitis transversal akut yang melibatkan setidaknya tiga segmen tulang belakang
adalah manifestasi klinis pertama pada hampir separuh telah diamati pada 91,7% mielitis substansia grissea.
pasien SLE dan biasanya terjadi dalam lima tahun pertama
setelah diagnosis.
◦ Pada gambaran myelitis, tumpang tindih APS, sindrom
◦ Mekanisme patofisiologis yang mendasarinya belum Sjögren, dan NMO harus diselidiki. Prevalensi aPL berkisar
diketahui. Temuan histopatologi telah mengungkapkan antara 18% hingga 60% pada pasien SLE dengan mielitis.
Nekrosis sumsum tulang belakang sekunder akibat trombosis
mielopati iskemik / trombotik (terutama pada kasus akut) telah diusulkan sebagai faktor etiologis untuk mielitis
atau inflamasi akut lokal. Lupus erythematosus myelitis transversal pada SLE. Pengobatan melibatkan terapi
sistemik memiliki dua pola klinis yang berbeda: myelitis dengan menggunakan steroid dosis tinggi diikuti oleh
yang terjadi pada white-matter (substansia alba) dan pemberian siklofosfamid secara intravena. Penambahan
plasmaferesis ke dalam rejimen siklofosfamid dan steroid
gray-matter (substansia grissea). intravena menyebabkan tingkat remisi yang lebih tinggi
◦ Pasien dengan mielitis pada substansia grissea sering
mengalami fase demam prodromal dan retensi urin saat ◦ Relaps mielitis transversal akut terkait lupus sering terjadi (50-
onset yang berkembang dengan cepat menjadi 60%) selama pemberian steroid. Tingkat keparahan
paraplegia selama aktivitas penyakit. MRI menunjukkan gangguan neurologis (kekuatan otot <3/5) adalah variabel
pembengkakan dan peningkatan sumsum tulang prognostik yang paling penting. Variabel prognostik lain
belakang. Myelitis yang terjadi pada substansia alba telah dalam mielitis yang berhubungan dengan SLE adalah
penggunaan kateter urin pada nadir neurologis dan tidak
dikaitkan dengan gambaran klinis yang lebih baik dan ada terapi siklofosfamid. Hanya sebagian kecil pasien yang
perkembangan yang lebih lambat, ditandai oleh dapat pulih sepenuhnya.
kelenturan neuron motorik atas dan hiperrefleksia.
Keterlibatan Sistem Saraf Tepi
◦ Pasien dapat datang dengan kelemahan mendadak yang
◦ Beberapa pasien dengan SLE dapat menunjukan
membutuhkan terapi imunosupresif yang agresif. Meskipun
gambaran klinis yang disertai dengan keterlibatan pada
neuropati yang dijumpai pada serabut saraf kecil tidak
sistem saraf tepi (2-3%) (Tabel 1). Gejala klinis yang sering
termasuk dalam definisi American College of Rheumatology,
dijumpai termasuk diantaranya kombinasi paresthesia,
Oomatia melaporkan prevalensi 17,1% pada pasien SLE
nyeri, disfungsi otonom, ataksia perifer, kelemahan, dan
dengan keterlibatan perifer
atrofi.
◦ Studi elektrodiagnostik biasanya normal dan biopsi kulit
◦ Neuropati perifer paling sering terlihat pada pasien yang
menunjukkan hilangnya serabut saraf intraepideral. Ada dua
lebih tua saat didiagnosis, dan pasien dengan manifestasi
entitas klinis yang berbeda: tergantung panjang, neuropati
SSP dan penyakit sistemik yang aktif. Perbedaan dalam
serabut kecil dengan distribusi stocking-and-glove dan
aktivitas penyakit dapat menjelaskan variasi dalam
temuan biopsi kulit abnormal terbatas pada kaki distal dan
frekuensi dan spektrum neuropati perifer pada kohort yang
tidak tergantung pada panjang serabut saraf, neuropati
berbeda. Elektroneuromiografi dapat membantu
serabut kecil dengan pola yang tidak ortodoks. dari nyeri
mengidentifikasi pola neurofisiologis. Analisis CSF berguna
neuropatik tambal sulam, asimetris, dan proksimal yang
dalam melakukan penegakan diagnosis terutama pada
dapat memengaruhi wajah, batang tubuh, dan ekstremitas
kasus inflamasi demyelinating polyradiculoneuropathy.
proksimal.
Biopsi saraf jarang bermanfaat pada pasien tersebut.
◦ Gangguan sensorik axonal simetris ringan atau gangguan
sensorimotor neuropati adalah subtipe yang paling umum
dan paling sering dijumpai pada kasus SLE dengan
keterlibatan sistem saraf tepi, sedangkan mononeuropati
adalah presentasi kedua yang paling umum
Keterlibatan Sistem Saraf Tepi
◦ Multiplex mononeuritis ditemukan pada 33% pasien SLE dengan keterlibatan perifer, biasanya dengan
kelemahan mendadak di wilayah saraf yang berbeda. Ini dapat terjadi kapan saja selama perjalanan
penyakit, baik pada awal SLE atau lambat selama evolusinya. Dalam kebanyakan kasus, onsetnya dramatis
dengan kelemahan mendadak yang terjadi di wilayah saraf yang berbeda. Pasien-pasien ini, secara umum,
memiliki aktivitas penyakit yang jauh lebih tinggi, menunjukkan defisit yang lebih parah dan seringkali
membutuhkan terapi imunosupresif yang lebih agresif. Polineuropati demielinasi inflamasi kronis dan
polineuropati demielinasi inflamasi akut adalah parah. Bentuk polyneuropathy demielinisasi inflamasi kronis
dapat muncul sebelum atau pada awal manifestasi klinis SLE lainnya. Polineuropati demielinasi inflamasi akut,
radiculoneuropathy motorik menaik yang menyerupai sindrom Guillain-Barré secara klinis dan elektrodiagnostik,
adalah kondisi yang relatif jarang terjadi, mempengaruhi hingga 1% pasien lupus.
◦ Terapi simtomatik saja dapat dipertimbangkan untuk neuropati perifer ringan, terutama ketika tidak ada
gangguan motorik. Glukokortikoid sendiri atau bersama-sama dengan terapi imunosupresif telah digunakan
dengan hasil yang baik (tingkat respons 60-75%). Imunoglobulin intravena, pertukaran plasma, dan rituximab
telah digunakan dalam kasus yang parah dan sulit untuk disembuhkan.
Neuropati Kranial
◦ Neuropati kranial mungkin melibatkan saraf kranial ke ◦ Manifestasi tersebut termasuk gangguan pendengaran
delapan, saraf oculomotor (ketiga, keempat dan keenam), sensorineural, sering disertai dengan vertigo dan tinitus dan
dan jarang sekali mengenai saraf kranial kelima dan ketujuh. gejala lain yang mirip sekali dengan penyakit Meniere.
Neuropati kranial telah dilaporkan pada 5-42% pasien dengan Gangguan pendengaran saraf sensorik autoimun pada SLE
SLE, meskipun jarang dijumpai sebagai manifestasi yang dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Pasien dengan SLE
terisolasi. Ketika saraf okulomotor, trochlear, dan abdomen dapat memiliki gejala klinis dengan neuropati kranial
terlibat, miastenia gravis harus disingkirkan. Mekanisme yang asimptomatik, dan gangguan saraf kranial kedelapan
berbeda telah diusulkan seperti vaskulitis sekunder ke SLE, (vestibulo-cochlearis) adalah yang paling sering terkena, diikuti
infark mikro kapiler atau arteriol di tulang temporal, dan oleh saraf kranial ketujuh, kedua, dan kelima.
trombosis di daerah otologis.
◦ Protein P anti-ribosomal dan antibodi anti-DNA dikaitkan
◦ Gangguan pendengaran saraf sensorik autoimun pada SLE dengan manifestasi subklinis tersebut.Sebagai kesimpulan, NSLE
dikaitkan dengan prognosis yang buruk .Neuropati optik menunjukkan berbagai manifestasi klinis dan perjalanan
jarang dijumapi (<1%) dan dapat bermanifestasi sebagai penyakit serta prognosis yang beragam. Karena tidak ada
neuritis optik dan neuropati optik iskemik / trombotik, yang biomarker untuk keterlibatan SSP dan aktivitas penyakit,
biasanya unilateral dan terkait dengan aPL. Hanya 50% pasien diagnosis harus didasarkan pada gambaran klinis yang
dengan SLE terkait neuritis optik dapat pulih tajam dijumpai serta pencitraan dan temuan laboratorium.
penglihatan secara sempurna (ketajaman visual lebih baik
dari 20/25). Keterlibatan bilateral atau pada chiasma, nyeri ◦ Infeksi sistem saraf pusat, kelainan metabolik, penyakit katup
hebat yang ditekankan oleh gerakan mata dan gangguan jantung, dan efek samping obat harus disingkirkan. Semua
penglihatan yang dalam merupakan karakteristik neuritis optik pasien dengan NPSLE harus diskrining secara rutin untuk APS,
terkait SLE. karena tumpang tindih dapat terjadi bahkan dalam
manifestasi non-iskemik.Untuk tujuan terapeutik, keputusan
◦ Diagnosis banding meliputi NMO dan multiple sclerosis.Baru- yang paling penting adalah untuk mengklasifikasikan NPSLE
baru ini, penelitian dengan sampel kecil melaporkan frekuensi primer menjadi fenotipe iskemik atau inflamasi dan
gejala audiovestibular antara 25% dan 67% pada pasien SLE. pengobatan harus individual. Fenotip inflamasi berat harus
mendapat terapi imunosupresan dan / atau steroid,
sedangkan fenotipe iskemik harus mendapat aspirin atau
antikoagulasi. Dalam kasus-kasus ringan, terapi bisa saja terdiri
dari antidepresan, antikonvulsan, atau antipsikotik saja.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai