Demam chikungunya merupakan vector-borne disease yang merupakan salah satau re-emerging disease di kawasan
Asia Tenggara. Selain itu, penyakit ini juga termasuk kedalam salah satu neglected infectious disease di dunia.
Meskipun fatalitas dari penyakit demam chikungunya cukup rendah, namun angka kesakitan yang ditimbulkan
dalam waktu singkat cukup tinggi serta menimbulkan dampak kerugian ekonomis yang diakibatkan karena hilangnya
produktivitas penderita Karena ketidakmampuannya untuk melakukan suatu hal.
KASUS DEMAM CHIKUNGUNYA DI YOGYAKARTA
Proporsi kasus terbanyak terdapat pada perempuan (58%) dibandingkan dengan laki-
laki (42%) dengan hasil analisis t-test menunjukkan bahwa perbedaan nilai bermakna
(p<0.05). distribusi kasus menurut usia menunjukkan bahwa penyakit ini dapat
menyerang semua usia dengan proporsi orang dewasa (>25 tahun) lebih besar (65.6%)
dibandingkan dengan anak-anak.
PETA PERSEBARAN
Analisis korelasi kepadatan penduduk dengan kejadian kasus chikungunya menunjukkan hubungan
linear positif dengan hubungan yang sangat lemah (r2 = 0.1592). Korelasi kepadatan bangunan dengan
kasus demam chikungunya juga menunjukkan hal yang serupa (r2 = 0.2047).
Berdasarkan hasil overlay kasus demam chikungunya dengan kerapatan vegetasi menunjukkan bahwa
distribusi sebagian besar kasus sebanyak 62.8% berada pada kerapatan vegetasi sedang.
Hasil overlay kasus demam chikungunya menunjukkan bahwa sebagian besar kasus (93.9%) berada di
daerah pemukiman. Visualisasi peta menunjukkan bahwa kasus cenderung berada di pemukiman di
dekat lahan yang digunakan sebagai area komersial.
Buffering kasus dengan titik lokasi TPS dengan jarak 100-500 m menunjukkan bahwa kasus demam
chikungunya sebagian besar terdistribusi di area dengan jumlah TPS yang lebih banyak dan berada di
perimeter 100-300 m dari lokasi TPS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah dengan angka bebas jentik yang bagus tidak berarti bahwa
kasus demam chikungunya yang terjadi semakin sedikit.
GRAFIK CURAH HUJAN
Peningkatan kejadian demam chikungunya didahului dengan adanya periode curah hujan yang tinggi
beberapa minggu sebelumnya.
KLUSTERING SPASIAL-TEMPORAL
Kurva epidemi kasus mingguan menunjukkan kejadian demam chikungunya di Kota Yogyakarta yaitu
terjadi peningkatan kasus pada minggu ke-8 dan penurunan kasus pada minggu ke-23. Distribusi
berdasarkan tempat (unit desa/kelurahan) menggambarkan kasus chikungunya terjadi di 23 kelurahan di
Kota Yogyakarta.
Kasus demam chikungunya lebih banyak dijumpai pada penduduk berjenis kelamin perempuan
dibandingkan laki-laki dan mendapatkan rasio laki-laki : wanita pada kejadian demam chikungunya adalah 1 :
2. Adapun untuk usia, pada demam chikungunya distribusi kasus hamper merata pada semua kelompok
usia dengan proporsi terbesar yaitu usia > 55 tahun.
PEMBAHASAN: POLA PERSEBARAN SPASIAL TEMPORAL
Hasil analisis mendapatkan adanya satu kluster primer dan 6 kluster sekunder.
Kluster primer mencakup 131 kasus dengan radius cukup jauh (1807 meter) pada kurun
waktu 1 Mei – 31 Juli 2018. Kelurahan yang terlibat dalam kluster ini adalah
Cokrodiningratan, Bumijo, Sosromenduran, Suryatmajan, Pringgokusuman, Ngampilan,
Wirobrajan, Patehan, dan Prawirodirjan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Studi yang dilakukan di Kota Yogyakarta ini menunjukkan adanya kemiripan pola spasial-temporal antara KLB
demam chikungunya dan demam berdarah. Namun, pendekatan dalam studi ini hanya merupakan salah satu alternatif
cara yang tidak mampu menggantikan pentingnya konfirmasi diagnosis dan pemeriksaan serologis
Saran :
Pemerintah diharapkan untuk lebih mengalokasikan dana untuk menunjang pemeriksaan laboratorium, demi
mendukung tindakan yang tepat dalam menanggulangi penyakit lama maupun baru yang bermunculan di Kota
Yogyakarta.
Selain itu, diharapkan kedepannya pengembangan model early warning system dengan memanfaatkan sistem
informasi geografis dan remote sensing dapat diimplementasikan di tingkat dinas kesehatan untuk memperhitungkan
faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam pengamatan berbasis vektor.