Anda di halaman 1dari 39

Aspek klinik Campak

Djauhar Ismail
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UGM
Campak (measles, morbilli, rubeola)

• Penyakit akut disebabkan oleh virus


• Mudah menular
• Menyebar seluruh dunia
• Sebelum era imunisasi semua orang rentan
• Ditempat yang terasing, pola epidemiologi
berbeda
• Penyebab : virus golongan paramyxoviridae
• Cara penularan :
* Virus menular melalui jalan pernapasan
* Dari sekresi hidung dan tenggorokan
bersin, batuk, pernapasan  menular ke orang
lain
* Ditularkan 1-3 hari sebelum panas dan batuk
* Daya tular menurun secara cepat segera
timbulnya rash
• Masa inkubasi 8-13 hari (rata-rata : 10 hari)
• Gejala Klinis :
a. Tahap kataral (berlangsung selama 3-7 hari)
* mula-mula panas, lesu, batuk pilek, mata
merah
* akhir stadium dijumpai Koplik’s spot 
patognomonis
b. Tahap erupsi :
* suhu meningkat  timbul bercak kemerahan
(rash, exanthem)
* berlangsung 4-6 hari
* panas menurun
e. Tahap konvalesensi :

* bercak kemerahan berkurang


* hiperpigmentasi
* deskuamasi
* suhu turun menjadi normal, kecuali ada
komplikasi
* batuk masih sering ada
Keterangan : Perjalanan Klinis Penyakit Campak
Epidemiologi Campak di Indonesia
• Merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
• Insidens di beberapa daerah masih tinggi
• SKRT 1986 : 44/10.000 gol umur/bulan 528/10.000 dalam 1
tahun
• KLB : CFR masih cukup tinggi th. 1989 – 4,6%
th. 1993 – 7,2% th. 1994 - 4,5%
• CFR Rumah Sakit di Indonesia: bervariasi 2,4%-26% rata-
rata 10,9%
• Di negara maju CFR campak berkisar antara 1/10.000 dan
1/1000 kasus, sedang di negara berkembang sekitar 1-6%
• CFR tertinggi pada umur 6-11 thn.
KLB Campak tahun 1984-1994

Situasi KLB 1989 1990 1991 1992 1993 1994

Jumlah KLB 52 23 27 62 43 45
Jumlah Kasus 4458 2871 2031 1835 1413 2333

CFR (%) 4,6 5,5 12,1 6,9 7,2 4,5

• Angka cakupan imunisasi campak terus meningkat


• Cakupan tinggi belum merata, Sehingga KLB
Campak masih tetap terjadi
Cakupan Imunisasi Campak th. 1983-1994
Tahun Cakupan Tahun Cakupan
(%) (%)
1983 5,9 1989 68,4

1984 12,7 1990 85,4

1985 26,4 1991 88,6

1986 45,2 1992 90,3

1987 56,8 1993 89,2

1988 64,2 1994 92,0


Proporsi penderita Campak
• Terjadi pergeseran umur ke golongan umur yang
lebih tua
Proporsi penderita Campak menurut umur

Usia anak Proporsi penderita Campak

1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994

< 1 th 13,3 14,4 12,4 14,1 10,9 12,4 13,3

1 - 4 th 42,9 32,9 36,8 33,7 36,8 41,0 41,1

5 – 14 th 35,2 32,6 37,9 38,8 40,3 46,6 45,6


Komplikasi Campak
(penderita rawat inap beberapa RS)
•Paling sering : bronchopneumonia - (range 26,2%-85,4%)

•Diare - (range 3,4%-62,9%)

•Encephalitis - (range 1%-9,1%)

•Otitis media - (range 1,5%-7,1%)

•Febris convulsi - (range 7,1%-11,1%)

•Penyebab kematian utama : bronchopneumonia

•Kombinasi dengan diare  CFR lebih tinggi


Faktor risiko terjadinya campak berat
• Kurang gizi
• Defisiensi vitamin A
• Kepadatan rumah (“family over crowding”)
• Umur muda (< 1 tahun)
• Fasilitas pelayanan kesehatan tidak memadai
• Status imunisasi campak (-)
CFR campak di beberapa RS di Indonesia
(1973-1989)
Kota/Propinsi Tahun Jml kasus Meninggal CFR
• Medan 1973-1977 176 46 26,1%
• Manado 1979-1981 261 36 13,8%
• Medan 1983 70 14 20,0%
• Manado 1980-1986 364 21 5,8%
• Surabaya 1984-1986 600 64 10,7%
• Jakarta 1980-1986 214 36 16,8%
• Jakarta 1984-1986 561 58 10,3%
(RSCM)
Kota/Prop Tahun Jml kasus Meninggal CFR
•Jakarta 1985-1986 287 31 10,8%
(RSCM)
•Jakarta (7RS) 1986 575 56 9,7%
•Bali (12 RS) 1983-1986 928 23 2,5%
•Bali (12 RS) 1986-1987 323 13 4,0%
•Bali (Sanglah) 1988-1989 42 1 2,4%

•Yogyakarta 1984-1987 472 2 0,4%


•(5 RS)
• Yogyakarta 1988-1990 386 3 0,8%
•(9 RS)
PENGOBATAN
• Campak tanpa penyulit berobat jalan
• Pengobatan simtomatik: pemberian antipiretik,
antitusif, ekspektoran dst
• Dengan penyulit perlu dirawat di RS:
- kebutuhan cairan
- diet yang memadai
- vitamin A 100.000 IU per oral
• Bronkopneumonia: ampisilin+kloramfenikol
• Enteritis: cairan mengatasi dehidrasi
• Otitis Media: o.k infeksi sekunder
kotrimoksazole-Primetroprin
PENCEGAHAN

• Imunisasi campak bayi umur 9 bulan (antibodi


maternal akan menghilang pada usia 9 th, dan pada
anak di negara maju setelah 15 bulan

• Ulangan pada saat anak masuk sekolah SD (Program


BIAS)
Ringkasan
• Campak masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat
• Terjadi pergeseran kasus campak ke arah usia lebih
tua
• CFR – masih cukup tinggi - KLB
- Rumah sakit
• Untuk mengurangi insidens dan kematian oleh
karena campak perlu :
- peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan
- peningkatan promosi kesehatan pada
masyarakat
- imunisasi ulangan pada murid sekolah SD
PENYAKIT POLIO DAN
CARA PENCEGAHANNYA
Pendahuluan
• WHO  ERAPO 2000
– satu-satunya reservoir dari virus ini
adalah manusia
– virus polio tidak dapat bertahan hidup
lama di luar tubuh manusia
– Adanya vaksin yang cukup efektif dan
murah

• Indonesia:
– terakhir ditemukan VPL (virus polio liar)
th 1995 di Jatim
– April 2005: di Sukabumi  outbreak
Virus polio
• Virus RNA, termasuk dalam
kelompok enterovirus,
famili Picornaviridae.

• 3 macam serotipe (strain)


yaitu P1 (Brunhilde), P2
(Lansing) dan P3 (Leon)
• Tipe 1 yang paling paralitogenik
• Sifat: mati panas, formaldehid, klorin, pasteurisasi (600C
selama 30 menit) dan sinar ultraviolet, direndam Na-hipoklorit
1% atau kaporit.
• Tahan  sabun, alkohol dan lisol.
Transmisi & patogenesis
Droplet
infections Virus Polio Liar oral fecal & oral-oral

orofaring, tonsil, traktus GI Multiplikasi, feses


Kolonisasi
Kel. limfe
100 hr

Pembuluh darah

SSP Multiplikasi, kolonisasi, kerusakan sel


(motor kornu anterior medulla spinalis, batang otak)

Poliomielitis
Gejala klinis
• Masa inkubasi: 6-20 hari

A. Inapparent infection: 95%


– subklinis atau asimtomatis.
– 1 kasus lumpuh karena VPL, berarti di sekitarnya ada 100-
200 orang yang juga terinfeksi VPL, tetapi tidak
menunjukkan gejala. Orang-orang ini akan menyebarkan
VPL kemana-mana melalui tinjanya, sehingga penyebaran
VPL sangat cepat dan dapat berpindah ke tempat yang
jauh.

B. Poliomielitis abortif: 4-8%


– penyakit ringan yang non spesifik tanpa bukti klinis atau
laboratorium dari invasi dalam sistem saraf pusat.
– dapat sembuh sempurna, < 1 mg
C. Meningitis aseptis non paralitik (Poliomieltis non
paralitik): 1-2%
– didahului oleh gejala prodromal: iritabel, peka saraf
meningkat, kaku kuduk, kaku punggung dan kak
– 2-10 hari dan dapat sembuh sempurna.
D. Poliomielitis paralitik
– Lumpuh layuh atau paralisis flaksid: < 2%
– fase prodromal  demam bifasik terutama pada anak-anak
dengan permulaan gejala ringan dipisahkan oleh periode 1-7
hari dari gejala utama.
– Tipe spinal:
• Hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya
refleks tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan
spasme pada anggota tubuh dan punggung.
• paralisis flasid disertai hilangnya refleks tendon dalam
• Dari proksimal, asimetris, permanen tanpa kehilangan
sensori dan kesadaran
– Tipe bulbar:
• kerusakan motorneuron pada batang otak
• insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak,
kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara
– Tipe bulbospinal kombinasi antara paralisis
bulbar dan spinal.

E.Post polio syndrome (PPS)


– manifestasi lambat (15-40 tahun) setelah infeksi polio,
dengan gejala klinik polio paralitik akut
– nyeri otot yang luar biasa, paralisis rekuren atau timbul
paralysis baru.
– Patogenesisnya belum jelas namun bukan akibat infeksi yang
persisten.
Faktor yang mempengaruhi
derajat manifestasi klinik

• Strain virus
• Usia
• Aktifitas fisik dan trauma
• Tonsilektomi
• Suseptibilitas genetik
• Kehamilan
Diagnosis
A. Perjalanan klinis:
– panas pada permulaan sakit, terjadi perubahan
paralisis yang cepat menjadi maksimal (dalam waktu
4 hari)
– kelumpuhan layu, proksimal, unilateral dan tidak
adanya gangguan sensori.
– Gejala residual (permanen) : 60 hari
B. Virologi:
– Feses: 2 minggu pertama kelumpuhan
– Faring: kurang sensitif
C. LCS:
– jumlah sel lekosit (10-200 sel/mm3), sebagian besar
limfosit)
– terjadi kenaikan kadar protein ringan (40-50
mg/100ml
Diagnosis banding
• Acute anterior poliomyelitis: strain lain virus Enterovirus,
enterovirus 70 dan 71; virus coxsackie A4,6,7,11,14,18,21;
virus coxsackie B1-6; virus Echo 1-4,6,7,9,11,14,16,19,30
• Acute myelopathy: proses desak ruang (abseb paraspinal,
tumor atau hematoma); mielopati transverses idiopati akut
• Peripheral neuropathy: Guillain Barre sindroma; neuropati
demielinating akut, neuropati aksonal akut; pasca
pemberian vaksin rabies; neuropati dalam perjalanan
penyakit seperti difteri, rabies, lyme, borrelios,
intoksikasi logam berat, toksin biologis
• Penyakit sistemik: porpiria intermiten akut; neuropati pada
penyakit kritis
• Kelainan transmisi neuron: miastenia gravis; gigitan ular;
botulisme; intoksikasi insektisida; tick paralisa
• Kelainan otot: miopati inflamasi idiopatis; trichinosis; hipokalemia dan
hiperkalemia paralisa, termasuk familial periodic paralysis
Tatalaksana
• Fase akut:
– di RS 1-2 minggu, di isolasi  cegah penularan
– Suportif, analgetik, istirahat total
– foot board atau splint untuk mencegah
kontraktur ankle pada posisi fleksi dan
exorotasi hip.

• Stadium subakut (2 minggu sampai 2 bulan):


– demam (-)
– kelumpuhan mengalami perbaikan.
– latihan pasif atau latihan aktif yang ringan. Pada
akhir stadium penderita dapat dilatih berdiri,
bila memungkinkan latihan jalan.
– Hindari latihan yang berlebihan
• Stadium penyembuhan/
konvalesen (2 bulan sampai
2 tahun pasca kelumpuhan):
– latihan aktif dengan beban untuk
penguatan otot-otot yang lemah maupun otot substitusinya.
– diberikan ortesa (alat bantu penyangga tubuh) untuk mencegah
deformitas sekunder akibat ketidakseimbangan kekuatan otot.

• Stadium residual atau kronik


(masa setelah 2 thn pasca kelumpuhan):
– pengembangan pola pengganti aktivitas sehari-hari
Pencegahan

• Imunisasi: OPV dan IVP, vaksin trivalen


• Imunisasi awal: pada saat lahir

• Dilanjutkan: 2, 3, 4 bulan
(interval 4-8 mg)
• ASI tidak mempengaruhi
respon imun
• Bila muntah < 10 menit, diulang
OPV:
• Hidup yang dilemahkan
• Murah, mudah
• Efektif: Pemberian 1 dosis memberikan kekebalan pada 50 %
resipien, 3 dosis akan meningkatkan kekebalan sampai 95 %.
• Virus polio vaksin akan menempel, kolonisasi dan replikasi di
usus selama sekitar 100 hari dikeluarkan melalui tinja dan
akan masuk ke orang lain disekitar resipien sehingga akan
juga memberikan manfaat pada komunitas (community
effect).
• IgA sekretorik penting untuk menghalangi penempelan,
invansi dan replikasi virus polio liar  dikeluarkan feses 
mati.

• Kerugian: berreplikasi dan mutasi sehingga menyebabkan


terjadinya lumpuh layu atau Vaccine Associated Paralytic
Poliomyelitis (VAPP).
IVP:
– sangat efektif: 2 dosis  antibodi yang
protektif pada sekitar 90 % resipien dan 3
dosis  99 %.
– Vaksin yg dimatikan tidak dapat replikasi dan
tidak dapat menyebabkan kelumpuhan. Aman
diberikan pada penderita dengan defisiensi
imun.
– Kerugian:
• Mahal, intramuskuler  tenaga kesehatan
• hanya merangsang IgG tapi tidak IgA sekretorik 
tidak dapat mengurangi transmisis virus polio liar
• Pada daerah yang sudah bebas polio, penderita
defisiensi imun
KIPI
• OPV  VAPP (Vaccine Associated
Paralytic Poliomyelitis)
• 1 kasus per satu juta dosis pertama
penggunaan OPV dan setiap 2,5
juta dosis OPV lengkap.

• recepient VAPP: 7-30 hr setelah


OPV
• contact VAPP: 7-60 hrsetelah OPV.
ERAPO
• OPV  Ig A sekretorik  community effect

• Apabila imunisasi dilakukan secara serentak


pada semua individu dalam satu polpulasi,
kekebalan usus dan efek komunitas akan
menyebabkan virus polio liar tidak dapat host
untuk bereplikasi  terhentinya transmisi
virus polio liar
Strategi ERAPO
A. Imunisasi rutin:
– OPV 4 kali, cakupan UCI 80 % di tingkat desa.
– kekebalan pada kelompok sasaran agar tidak
terinfeksi polio
– Tiap 3 bulan  sweeping
– Tiap 2 tahun: backlog fighting pada desa yg
cakupan rendah  imunisasi masal terhadap
semua anak dibawah 2 tahun, tanpa
memandang status imunisasinya.
B. PIN
• PIN (Pekan Imunisasi Nasional) atau
NID (National Immunizations Days).
– PIN dilaksanakan di negara yang masih
terdapat transmisi polio liar
– di negara di mana tidak dapat dibuktikan
bahwa tidak ada lagi transmisi polio liar.

• PIN dilaksanakan pada awal pelaksanaan


eradikasi polio (Indonesia th 1995, 1996,1997) karena
alasan:
– transmisi polio liar umumnya masih tersebar luas sebelum program
dimulai, atau luas transmisinya tidak diketahui

• surveilans AFP belum adekuat, sehingga tidak dapat


digunakan untuk menentukan daerah risiko tinggi
C. Surveilans AFP dan polio liar.
D. Mopping Up
– tahap akhir program eradikasi polio, dimana
telah dibuktikan melalui surveilans AFP yang
memenuhi standar kinerja WHO bahwa
transmisi virus polio liar terjadi secara
terbatas.
– transmisi virus polio liar telah terreduksi dan
terbatas pada daerah tertentu (focal)
– kunjungan dari rumah ke rumah
Kesimpulan
• Mencapai ERAPO masih dibutuhkan kerja keras /
dukungan semua pihak melalui kegiatan:
– Imunisasi rutin
– Imunisasi suplemen (PIN, Mopping up)
– Survailance AFP
 sosialisasi

Anda mungkin juga menyukai