Disusun Oleh :
1. Siti Suwasmi (1704026134) 8. Windi Yolanda (1704026147)
2. Sucitra Adin Nuryani (1704026137) 9. Wisnu Brahma Putra (1704026148)
3. Titi Fauzia (170402640) 10. Yashinta Puspita W (1704016150)
4. Verawati (1704026141) 11. Yullistin Utari (1704026152)
5. Vika Miftahul Jannah (1704026143) 12. Yunike Triasriani (1704026153)
6. Wahyu Kharisman E (1704026144) 13. Zulaifah Juniarti (1704026155)
7. Wiji Yanti (1704026145)
DEFINISI
Psikosis adalah gangguan jiwa yang memengaruhi cara orang berpikir dan berperilaku.
Pada penderita gangguan psikotik mungkin memiliki kesulitan mengenali apa yang
sebenarnya terjadi dan apa yang sebenarnya tidak terjadi. Gejala gangguan psikotik
dialami oleh penderita gangguan bipolar, depresi, psikosis yang berkaitan dengan
penggunaan narkoba dan skizofrenia.
Psikosis organik adalah penyakit jiwa yang disebabkan oleh factor-faktor
fisik atau organik, yaitu pada fungsi jaringan otak, sehingga penderita
mengalamai inkompeten secara sosial, tidak mampu bertanggung jawab, dan
gagal dalam menyesuaikan diri terhadap realitas.
Jenis psikosis yang tergolong psikosis organik adalah sebagai berikut :
a. Alcoholic psychosis, terjadi karena fungsi jaringan otak
terganggu atau rusak akibat terlalu banyak minum minuman keras.
KLASIFIKASI
b. Traumatic psychosis, yaitu psikosis yang terjadi akibat luka atau trauma
pada kepala karena kena pukul, tertembak, kecelakaan, dst.
Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pokiran yang
tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan prilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan
fungsi psikososial.
(ISO FARMAKOTERAPI 2013)
Skizofrenia merupakan penyakit mental yang serius. Penyakit ini disebabkan oleh gangguan
konsentrasi neurotransmiter otak, perubahan reseptor sel-sel otak, dan kelainan otak struktural,
dan bukan karena alasan psikologis. Pasien akan memiliki pemikiran, perasaan, emosi, ucapan,
dan perilaku yang tidak normal, yang memengaruhi kehidupan, pekerjaan, kegiatan sosial, dan
kemampuan untuk mengurus diri mereka sehari-hari. Beberapa pasien bersifat rentan dan
mencoba atau melakukan tindakan bunuh diri.
Gejala positif mungkin lebih erat kaitannya dengan hiperaktivitas reseptor dopamin di
mesocaudate, sedangkan gejala negatif dan kognitif paling banyak terkait erat dengan
hipofungsi reseptor dopamin di korteks prefrontal.
Teori sebab-akibat skizofrenia meliputi predisposisi genetik, komplikasi kebidanan,
peningkatan neuronal, kelainan sistem kekebalan tubuh, gangguan perkembanga saraf, teori
neurodegenerative, defek reseptor dopamin, dan kelainan otak regional termasuk hiper atau
hipo-aktivitas dopaminergik proses di daerah otak tertentu.
Disfungsi glutamatergik. Kekurangan aktivitas glutamatergic menghasilkan gejala mirip
dengan hiperaktivitas dopaminergik dan kemungkinan gejala skizofrenia. Kelaian serotonin (5-
hydroxytriptamine [5-HT]). Pasien skizofrenia dengan Pemindaian otak abnormal memiliki
konsentrasi 5-HT darah utuh yang lebih tinggi, yang berkorelasi dengan ukuran ventrikel yang
meningkat.
(DIPIRO 2015)
ETIOLOGI ATAU PENYEBAB
SKIZOPRENIA
Penyebabnya masih belum pasti. Tetapi umumnya dianggap terkait dengan lesi pada otak serta masalah
genetika dan psikologis. Beberapa studi menemukan bahwa struktur otak dan sistem saraf pusat dari
pasien skizofrenia, berbeda dengan orang normal pada umumnya. Selain itu, sekresi dopamin,
neurotransmitter di otak, dari pasien skizofrenia lebih tinggi daripada orang normal pada umumnya
Pikiran kacau: Seseorang yang menderita pikiran kacau mungkin tidak mampu
berpikir jernih.
FAKTOR RESIKO
Obat antipsikosis pada umumnya membuat tenang tanpa mempengaruhi kesadaran dan
tanpa menyebabkan efek kegembiraan paradoksikal (paradoxical excitement) namun tidak
dapat dianggap hanya sebagai trankuiliser saja.
Obat antipsikotik meringankan gejala psikotik florid (florid psychotic symptoms) seperti
gangguan berpikir, halusinasi, dan delusi serta mencegah kekambuhan
A
L
O
G
A
R
I
T
M
A
T
E
R
A
P
I
F
A
R
M
A
K
O
L
O
G
I
Klasifikasi Antipsikosis
A. Derivat fenotiazin dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar.
Kelompok 1: Efek sedatif yang kuat, dan efek samping antimuskarinik sedang serta efek
samping ekstrapiramidal. Contoh obat : klorpromazin, levopromazin (metotrimeprazin),
dan promazin.
Kelompok 2: Sifat sedatif yang sedang, tetapi efek samping efek esktrapiramidal yang
lebih kecil dibanding kelompok 1 dan 3. Contoh obat : perisiazin dan pipotiazin.
Kelompok 3: efek sedatif yang lebih sedikit, efek antimuskarinik yang kecil, tetapi efek
ekstrapiramidal yang lebih besar dibanding kelompok 1 dan 2. Contoh obat : lufenazin,
perfenazin, proklorperazin, dan trifluoperazin.
(Pionas)
Klasifikasi Antipsikosis
B. Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik atipikal dapat ditoleransi lebih baik dan frekuensi gejala ekstrapiramidal lebih
sedikit dibandingkan antipsikotik generasi sebelumnya. Contoh obat : amisulprid, aripiprazol,
klozapin, olanzapin, kuetiapin, risperidon dan zotepin
C. Injeksi Depo Antipsikosis
Injeksi depo kerja panjang digunakan untuk terapi pemeliharaan terutama ketika kepatuhan
pengobatan melalui oral tidak tercapai. injeksi depo dari antipsikosis konvensional dapat
meningkatkan risiko terjadinya reaksi ekstrapiramidal dibandingkan dengan sediaan oral.
Contoh obat : Flupentiksol dekanoat, Flufenazin dekanoat, Haloperidol (sebagai dekanoat),
Pipotiazin palmitat, Pipotiazin palmitat
Efek Samping Antipsikosis
Gejala ekstrapiramidal adalah masalah yang paling mengganggu. Gejala ini paling
sering muncul pada penggunaan piperazin, fenotiazin (flufenazin, perfenazin,
proklorperazin, dan trifluoperazin), butiropenon (benperidol dan haloperidol) serta
sediaan bentuk depot. Gejala ekstrapiramidal termasuk di antaranya:
a. Gejala parkinson (termasuk tremor) yang akan timbul lebih sering pada orang dewasa
atau lansia dan dapat muncul secara bertahap.
b. Distonia (pergerakan wajah dan tubuh yang tidak normal) dan diskinesia, yang lebih
sering terjadi pada anak atau dewasa muda dan muncul setelah pemberian hanya
beberapa dosis.
c. Akatisia (restlessness) yang secara karakteristik muncul setelah pemberian dosis awal yang
besar dan mungkin memperburuk kondisi yang sedang diobati.
d. Tardive dyskinesia (ritmik, pergerakan lidah, wajah, rahang yang tidak disadari [invuntary
movements of tongue, face and jaw]) yang biasanya terjadi pada terapi jangka panjang
atau dengan pemberian dosis yang tinggi, tetapi dapat juga terjadi pada terapi jangka
pendek dengan dosis rendah. Tardive dyskinesia sementara dapat timbul setelah
pemutusan obat.
NON FARMAKOLOGI
(DIPIRO 2015)