Q.S Ali – Imran, 3 : 154 “Katakanlah, sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang- orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu, akan keluar juga ke tempat mereka terbunuh”
Q.S Al-Munafiqun , 53 :11
“Dan Alloh sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” Kematian dalam Islam bukanlah hal yang dipandang buruk, karena selain dapat mendorong individu untuk meningkatkan pengabdiannya kepada Alloh SWT, juga sebagai pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan yang abadi. MASA ANAK-ANAK Anak-anak tidak mempersepsikan waktu seperti yang dipersepsikan orang dewasa. Pada bayi, kehilangan orang tua dapat digantikan dengan kehadiran pengasuhnya yang baru (nenek, keluarga lain, dsb). Anak usia 3-5 tahun hanya memiliki sedikit ide atau tidak sama sekali mengenai pengertian kematian. Anak usia pra sekolah akan menghayati kematian dengan keyakinan bahwa orang yang telah meninggal dapat hidup lagi melalui sihir, memberikan makanan, atau pengobatan medis. Orang meninggal dihayati karena memiliki sifat jahat atau nakal. Pada beberapa kasus, anak akan menyalahkan dirinya sendiri bahwa orang lain meninggal karena kesalahan dirinya. Pada masa anak-anak pertengahan dan anak- anak akhir (dimulai usia 7-9 tahun keatas), konsep kematian sudah mulai dapat dihayati secara abstrak. Kematian orang tua baik salah satu maupun keduanya akan menjadi pengalaman yang menyulitkan bagi anak dan berpengaruh pada relasi sosial dan prestasi belajarnya. Jujur berbicara pada anak tentang kematian Jika anak usia prasekolah, berikan penjelasan yang konkrit dan bersifat fisik/ biologis. Memberikan kesempatan anak untuk mengekspresikan kesedihannya Meyakinkan anak bahwa mereka akan tetap dicintai dan tidak akan ditinggalkan. Kematian dapat dianggap dapat dihindari, diabaikan, atau dianggap sebagai bahan olok-olok. Remaja menghayati konsep kematian secara lebih abstrak. Remaja mengembangkan penghayatan religiusitas dan adanya kehidupan setelah kematian. Individu dewasa menengah dan masa dewasa akhir memiliki intensitas lebih banyak dalam berbicara tentang kematian. Individu dewasa mulai melihat orang di sekelilingnya yang meninggal terlebih dahulu sebagai suatu tanda. Grief adalah ketumpulan emosi, ketidakyakinan, kecemasan karena keterpisahan, dan kesepian yang menyertai kehilangan seseorang yang dicintai
Separation Anxiety (Kecemasan akan Keterpisahan), terjadi
tidak hanya munculnya perasaan sedih dan merana karena orang yang meninggalnya saja melainkan juga berfokus pada tempat dan hal-hal yang terkait dengan orang yang meninggal tersebut. Grief dapat menyebabkan munculnya perasaan putus asa dan sedih, mencakup ketidakberdayaan, munculnya gejala depresif, apatis serta kehilangan makna terhadap aktifitas-aktifitas yang biasa melibatkan orang yang telah tiada. Dukacita yang dideskripsikan sebagai keputusasaan yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan selama beberapa waktu tertentu.
Inidividu yang kehilangan seseorang
tempatnya bergantung, akan lebih rentan mengalami prolonged grief. Dukacita yang dideskripsikan dukacita seseorang terhadap orang yang meninggal yang secara sosial merupakan kehilangan yang tidak dapat diungkapkan secara terbuka.
Contoh : aborsi, kematian akibat penyakit
AIDS, kematian karena hukuman mati. Berorientasi Pada Kehilangan Berfokus pada inidividu yang telah meninggal dan mencakup perilaku mengenang kembali secara positif dan negatif. Berorientasi ppada Pemulihan Timbul sebagai hasil tidak langsung dari berkabung. Dapat mencakup perubahan status misalnya dari “istri” menjadi “janda”, menguasai keterampilan mengelola keuangan, dll. Kematian terjadi secara mendadak. Kematian disebabkan oleh kekerasan/ penganiayaan. Kematian disebabkan oleh bencana.
Situasi tersebut memberikan dampak yang
intens terhadap individu yang ditinggalkan. Dapat disertai gangguan PTSD ( PostTraumatic Stressn Disorder) DENIAL & ANGER BARGAINING DEPRESSIION ACCEPTANCE ISOLATION