Anda di halaman 1dari 17

STRATEGI KEAMANAN INDONESIA

THE SOLDIERS AND THE STATE: THE THEORY


AND POLITICS OF CIVIL -MILITARY
RELATIONS

• 2 tipe relasi sipil dan militer

1. Subjective control of the military by political leaders


• Militer berintegrasi dan berpartisipasi dalam sistem sosial dan politik – militer sebagai alat penguasa.

• Saat ancaman terjadi, tantara akan ditarik dari masyarakat sipil dan ketika perang telah selesai maka mereka akan
dikembalikan ke masyarakat dan menjalankan perannya dalam masyarakat sipil.

• Profesionalisme militer diminimalkan.

2. Objective control of the military by political leaders


• Adanya pemisahan peran antara militer dan sipil.

• Militer terpisah dari sistem politik dan fokus dalam keahliannya sebagai tantara

• Profesionalisme militer dimaksimalkan


HUBUNGAN SIPIL MILITER DALAM REZIM
OTORITER MENURUT SAMUEL P.
HUNTINGTON (1957)

• Rezim militer:
• Tidak ada kontrol sipil atas militer dan pemimpin militer serta organisasi militer terkadang menjalankan
berbagai fungsi yang tidak berkaitan dengan misi militer

• Rezim diktator
• Pemimpin berupaya untuk mengontrol militer dengan cara posisi-posisi militer dikendalikan oleh kroni dan
agennya. Militer ditujukan untuk melayani dirinya dan menjaga kekuasaannya.

• Pemerintahan dengan partai tunggal


• Militer dipandang sebagai instrument dari partai, para anggota militer haruslah menjadi anggota partai dan harus
loyal kepada partai daripada kepada negara.
WHO GUARDS THE GUARDIANS ?

• Demokrasi adalah supremasi sipil, termasuk terhadap komando angkatan bersenjatanya - Juvelia dan Omnia
Romae

• Samule P. Huntungton (1995) – Kontrol militer harus berada di tangan sipil yang meliputi;

• Militer harus memiliki profesionalitas dan berkompetensi yang tinggi

• Perlunya koordinasi antara sipil dan militer dalam perumusan keputusan militer dan kebijakan luar negeri

• Adanya pengakuan bahwa militer merupakan kekuatan yang mandiri atau menjaga kenetralan militer

• Mengurangi intervensi militer dalam politik dan intervensi politik dalam militer
HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI
INDONESIA

• Kelahiran TNI dimana para perwira militer bergabung di dalamnya bukan dimotivasi oleh karir
militer namun dilandasi oleh semangat melawan penjajah (Crouch, 1998)

• Oleh sebab itu, TNI sulit lepas dari kepentingan politik.

• Peran militer dalam politik semakin diperkuat pada masa Orde Baru dengan kebijakan Dwifungsi.
HUBUNGAN SIPIL-MILITER MASA ORDE
BARU (1970-1988)

• Perbedaan pandangan dalam ABRI (Jen

1. Pihak yang dekat dengan Soeharto – patron-client

2. Pihak yang mengadvokasi agar ABRI dapat keluar dari politik

• Konsep dwifungsi sebagai doktrin militer dalam pemerintahan Presiden Soeharto

• Konsep ini melegitimasi keterlibatan militer tidak hanya dalam urusan keamanan & pertahanan
nasional, namun juga dalam urusan sosial-politik, terutama dalam pembangunan nasional dan
stabilitas politik.

• Keterlibatan militer dalam badan legislative (20%), birokrasi dan BUMN.


KOPKAMTIB

• Pembentukan KOPKAMTIB (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pasca peristiwa G


30 S/PKI

• Tugasnya meliputi berbagai aktivitas keamanan internal termasuk


• melakukan screening ideologi atas kandidat partai dan pegawai pemerintahan;

• Menumpas sisa-sisa pengaruh komunis

• Penindakan terhadap aktivitas kampus dan buruh

• Di wilayah perkotaan, umumnya KOMPKAMTIB menargetkan pers, mahasiswa, kaum intelektual,


kelompok islam, aktivis hukum dan buruh sebagai sasaran yang dipandang sebagai anti-Pancasila.
KEKARYAAN

• Adanya program kekaryaan, pengiriman para anggota ABRI dalam sektor-sektor


non-militer agar pengimplementasian proyek-proyek pemerintah dapat
terlaksana dengan baik dan lancar.

• Merupakan bagian dari menjalankan Dwifungsi untuk menjaga stabilitas politik di


area legislative.

• Anggota ABRI ditempatkan di dalam DPR dan DPRD dimana mereka duduk
dalam faksi ABRI (F-ABRI)
KETERBUKAAN DAN DWIFUNGSI

• Isu keterbukaan yang digaungkan sejak awal tahun 1990-an.

• Pidato Presiden Soeharto yang menekankan pada peranan ABRI haruslah tut wuri hadayani yang
menyiratkan perlunya ABRI untuk ‘kembali ke barak’ / mengurangi pengaruh ABRI dalam arena
politik.

• Pada tahun 1991, dalam kasus demonstrasi di Dili, untuk pertama kalinya, Presiden Soeharto yang
juga selaku Komandan Tertinggi ABRI memutuskan untuk memberhentikan Brig. Jenderal Warouw
and Mayor Jendral Sintong Panjaitan yang dipandang sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam
penembakan rakyat sipil di Dili pada 12 November 1991.
• Pada pemilihan umum Juni 1992, ABRI mengurangi dukungannya terhadap Golkar dan memberikan
dukungan kepada PDI.

• Politisi dari PPP, Sri Bintang Pamungkas, mengajukan proposal dalam rapat komisi DPR bahwa dwifungsi
harsu diriviu oleh DPR setiap lima tahun sekali.

• Beberapa akdemisi berpandangan bahwa pengurangan anggota ABRI dalam DPR dalam menjadi
progress positif dalam proses demokratisasi di Indonesia.

• Adanya perlawanan dari pihak militer, salah satunya Brigadir Jendral Roekmini terkait dwifungsi ABRI
dalam parlemen.

• Presiden Soeharto juga membuka kembali isu ini dengan menyarankan agar F-ABRI dapat disesuikan.

• Implikasinya, respon ABRI terhadap Presiden Soeharto adalah dengan menominasikan Kassospol
Letnan Jendral Harsudiono Hartas sebagai calon wakil presiden. Hal ini bertentangan dengan keinginan
Presiden Soeharto yang menginginkan B.J Habibie sebagai calon wakil presiden pada periode 1993-
1998,
B ACK TO B ASIC DAN PROFESIONALISME
MILITER

• Konsep Back to Basic diutarakan oleh Edi Sudrajat saat menjabat sebagai KSAD yakni
mengembalikan Angkatan Darat sebagai tantara yang kuat dan professional dengan
mempertahankan karakter sebagai tantara rakyat.

• Sri Bintang Pamungkas meminjam konsep ini untuk mengkritisi dwifungsi: ‘considering today’s very
peaceful situation [in politics], back-to-basics of course equals back-to-the-barracks, because the
basic function of the military is national defence’
PARADIGMA BARU ABRI

• Dihasilkan saat seminar ABRI 1998

1. ABRI’s disengagement from ‘the forefront of politics’;

2. shifting ABRI’s role from that of ‘controlling’ politics to ‘influencing’ politics;

3. shifting ABRI’s political commitment from the forefront of things, from a ‘direct’ role to an
‘indirect’ role; and;

4. sharing power with civilians


TUNTUTAN GERAKAN REFORMASI

• Amandemen UUD 1945

• Adili Soeharto dan kroni-kroninya

• Penghapusan akan doktrin Dwifungsi ABRI

• Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya

• Tegakkan supremasi hukum

• Menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN


ABRI DAN REFORMASI

• Pasca lengsernya Presiden Soeharto, Habibie memberikan kebijakan kebebasan pers.

• Dampaknya, berbagai berita dan laporan terhadap aktivitas-aktivitas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
ABRI tersebar di media dan merusak reputasi ABRI.

• Kritik bahwa ABRI sebagai Paket Orde Baru

• Maraknya demonstrasi agar ABRI kembali ke barak dan menarik diri dari politik.

• Keputusan Wiranto sebagai komandan ABRI untuk mengurangi jumlah perwakilan ABRI dari 75 menjadi 38
orang; deklarasi bahwa ABRI tidak akan mendukung Golkar; keputusan untuk memisahkan polisi dari
organisasi militer.

• Penghapusan seksi Sosial-Politik dalam ABRI yang dipandang sebagai intervensi militer dalam politik.
ABRI DAN REFORMASI

• Pada Agustus 2002, MPR setuju untuk menhapuskan kursi militer dan polisi
dalam MPR dan DPR pada tahun 2004.

• Jika militer dan polisi inging terlibat dalam legislative, mereka harus ikut dalam
pemilihan umum yang mana mereka diwajibkan mengundurkan diri terlebih
dahulu.
BERAKHIRNYA SUPREMASI MILITER

• Dua tujuan demokratisasi hubungan sipil-militer di Indonesia pasca orde baru:

1. Penghapusan kegiatan politik oleh militer yang bertujuan untuk menciptakan


militer yang lebih professional

2. Demilititerisasi proses politik bertujuan untuk menciptakan sistem politik yang


sehat dengan tidak mencari dukungan militer dalam rivalitas politisi
SUMBER

• Crouch, Harold. 1985. The Military and Politics in Southeast Asia. London: Oxford University Press.
• Honna, Jun (2012) Military Politics and Democratization in Indonesia. London: Routledge.
• Huntington, Samuel P. (1957) Soldier and the State: Theory and Politics Of Civil-Military Relations. New
York: Belknap Press of Harvard University Press.
• Huntington, Samuel P. (1995) ‘Armed Forces and Democracy: Reforming Civil-Military Relations. Journal of
Democracy, vol. 6:4, pp. 9-17.
• Jenkins, D. (1984) Soeharto and his Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983. Ithaca: Cornell University
Press.

Anda mungkin juga menyukai