Anda di halaman 1dari 14

“PERLINDUNGAN MASYARAKAT DARI

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA BAGI


KEPENTINGAN POLITIK
PEMERINTAH MELALUI CRIMINAL
POLICY”
Disampaikan oleh:
NURUL AZMI / 2018910071
RECHAN RAMDHANY WIBISONO /
2018910073
LATAR BELAKANG
Kejahatan (Crime) adalah masalah sosial yang
dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak
dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk dari
masyarakat sendiri.
Menurut G. Peter Hoefnagels, penanggulangan
kejahatan dapat ditempuh dengan:
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without
punishment); dan
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan lewat media massa
(influencing views of society on crime and
punishment/mass media).
Lanjutan . . .
Hukum pidana memiliki karakteristik yang
berbeda dengan aspek hukum lainnya, baik perdata,
tata negara, administrasi, dan lain sebagainya.
Perbedaan tersebut terletak pada dimuatnya sanksi
pidana yang memberikan suatu ancaman dan
paksaan kepada masyarakat untuk melakukan atau
tidak melakukan tindakan yang dimaksud dalam
aturan hukum pidana. Oleh karena itu hukum pidana
terkadang menjadi instrumen primadona bagi
negara dalam membuat aturan bagi masyarakat,
bahkan menjadi alat untuk mencapai kepentingan
politik pemerintah.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana fungsi kebijakan hukum pidana
(criminal policy) dalam memberikan perlindungan
masyarakat dari penggunaan hukum pada (using
the criminal law) bagi kepentingan politik
pemerintah dalam proses legislasi?
2. Bagaimana perumusan ketentuan pidana dalam
undang-undang di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)?
LANDASAN TEORI
Kata “Kebijakan” atau “Policy” kerap digunakan
dengan perdikat tertentu:
O Kebijakan Negara (State Policy);
O Kebijakan Publik (Public Policy);
O Kebijakan Sosial (Social Policy);
O Kebijakan Hukum (Legal Policy).
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) adalah “rational
organization to respons of crime”, sehingga kata “kebijakan”
sebagai padanan dari kata “policy” disini lebih ditujukan pada
adanya tanggapan masyarakat atau “social respons” terhadap
kejahatan dan segala problematikanya. Dengan demikian kata
“kriminal” merujuk pada objek dari kebijakan tersebut, yaitu
“tindak pidana, orang yang melakukan tindak pidana tersebut
dan sanksinya (pemidanaan)”. Dilihat dari objeknya tersebut
Kebijakan Kriminal dapat juga disebut dengan “Criminal Law
Policy” atau “Kebijakan Hukum Pidana”.
Lanjutan . . .
Menurut Marc Ancel kebijakan kriminal
adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya
kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan
juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan. Selain itu menurutnya, setiap
masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum
yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana
beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana
dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.
Lanjutan . . .

Selain itu juga menurut Pompe, dibentuknya


perundang-undang pidana bertujuan untuk
mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang
dapat merugikan setiap pribadi sebagai warga
Negara. Sejalan dengan pemikiran Pompe tersebut,
Muladi menyatakan hukum pidana sebagai sarana
untuk meningkatkan rasa tanggungjawab
pemerintah dalam rangka melaksanakan seluruh
tugas-tugas pemerintahannya.
Lanjutan . . .

Dapat dikatakan kebijakan kriminal adalah


“kebijakan yang bersifat kriminal”. Maka apabila
merujuk kepada pendapat Marc Ancel dan Pompe di
atas, maka sesungguhnya pembentukan aturan
hukum pidana merupakan perwujudan dari upaya
menciptakan kesejahteraan masyarakat, sehingga
dengan hadirnya aturan pidana tersebut dapat
memberikan perlindungan baginya.
Pengertian Kebijakan Kriminal
Menurut Sudarto pengertian kebijakan kriminal dapat
dikategorikan dalam 3 (tiga) arti, yaitu:
1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari
aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara
kerja dari pengadilan dan polisi;
3. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan,
yang dilakukann melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Lanjutan . . .
Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-
tahap konkritisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi
hukum pidana yang terdiri dari:
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in
abstracto oleh badan pembuat undang-undang.
Tahap ini juga dapat pula disebut dengan tahap
kebijakan legislative.
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana
oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian
sampai pengadilan. Tahap ini juga dapat disebut
dengan tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum
pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana
pidana. Tahap ini dapat disebut dengan tahap
kebijakan eksekutif atau administrative.
Perumusan Ketentuan Pidana dalam
Perundang-undangan di Indonesia
Sanksi pidana merupakan wujud tanggung jawab
negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban
serta upaya perlindungan hukum bagi warganya.
Dalam perkembangannya, materi muatan yang
memuat sanksi pidana hampir selalu dimuat dalam
setiap undang-undang, tidak hanya dalam undang-
undang pidana tetapi juga dalam undang-undang
administratif. Oleh karena itu ada pergeseran
kebijakan hukum (legal policy) mengenai penerapan
hukum pidana yang semula sebagai upaya/cara
terakhir (ultimum remedium) menjadi upaya/cara
pertama (primum remedium).
Lanjutan . . .
Menurut Barda Nawawi Arief terdapat kondisi pembatasan
penggunaan hukum pidana yakni antara lain:
1. Hukum pidana jangan semata-mata digunakan untuk
pembalasan;
2. Hukum pidana jangan digunakan hanya untuk memidana
perbuatan yang tidak merugikan atau membahayakan;
3. Hukum pidana jangan digunakan, apabila kerugian atau
bahaya yang timbul dari pidana lain lebih besar dari
kerugian atau bahaya dari perbuatan atas tindak pidana
itu sendiri;
4. Hukum pidana jangan digunakan untuk mencapai tujuan
yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-
sarana lain yang lebih ringan;
Lanjutan . . .
5. Hukum pidana dilarang mengandung sifat
lebih berlebihan dari pada perbuatan yang
akan dicapai;
6. Hukum pidana jangan membuat larangan-
larangan yang tidak mendapat dukungan
kuat dari public; dan
7. Hukum pidana jangan membuat larangan-
larangan atau ketentuan-ketentuan yang
tidak dapat dilaksanakan atau
dipaksakan.
KESIMPULAN
Hukum pidana sejatinya merupakan suatu
instrumen hukum yang digunakan sebagai batasan
masyarakat dalam bertindak dan sebagai acuan dan
pedoman bagi pemerintah dalam menindak
masyarakat yang perbuatannya melanggar hukum
pidana; dan
Bahwa hukum di Indonesia memang
merupakan hasil dari produk politik pemerintah,
namun dalam formulasi, aplikasi, dan eksekusi
harus dihindari dari nilai-nilai yang bersifat politis
sehingga kehadiran hukum pidana memang
ditujukan sebagai upaya menanggulangi kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai