Anda di halaman 1dari 17

Journal Reading

PERBANDINGAN PLASMAFERESIS DAN


IMMUNOGLOBULIN INTRAVENA SEBAGAI
TERAPI PEMELIHARAAN UNTUK JUVENILE
MYASTHENIA GRAVIS
Oleh:

Dinera Anjani Arsad


(1102015062)
Pembimbing:
Dr. Muhammad Tri Wahyu Pamungkas, M. Kes, Sp. S
ABSTRAK

Latar Belakang. Juvenile Myasthenia Gravis (MG) adalah gangguan autoimun lagka. Perbandingan
efetivitas antara plasmaferesis (PLEX) dan immunoglobulin sebagai terapi pemeliharaan belum
pasti untuk penyakit pada anak ini.
Tujuan. Untuk menentukan apakah PLEX atau immunoglobulin intravena (IVIG) yang lebih
efektif sebagai terapi pemeliharaan.
Metode. Menggunakan analisis retrospektif lebih dari jangka waktu 33 tahun melibatkan 54 anak-
anak dan remaja dengan Juvenile MG di klinik spesialisasi muscular dan laboratorium
elektromiografi
Hasil. Hasil subjektif dan objektif berkorelasi baik. Kedua PLEX dan IVIG mempunyai respons
tinggi. 27 pasien dengan juvenile MG generalisata menerima PLEX, IVIG, atau keduanya. 7 dari
pasien mendapatkan PLEX tersendiri, 5 dari 10 pasien mendapatkan IVIG tersendiri, dan 9 dari 10
pasien mendapatkan keduanya. Terdapat perbedaan yang signifikan antara PLEX vs IVIG.
Kesimpulan. Plasmaferesis mempunyai respons paling konsisten daripada IVIG pada keadaan ini.
Penemian ini akan memberikan petunjuk mengenai pencapaian terapi pada juvenile MG, terutama
sebagai hasil yang agak berbeda dari penelitian-penelitian lain yang terfokus pada MG pada dewasa.
PENDAHULUAN
• Myasthenia gravis (MG) merupakan gangguan autoimun dari susunan
neuromuskular disebabkan oleh autoantibodi yang menyerang berbagai
protein pada motor-end plate, seperti reseptor asetilkolin (AChR).
• Juvenile Myasthenia Gravis disebabkan autoantibodi yang mengurangi jumlah
dari AchRs fungsional dan mengganggu post-sinaptik transmisi
neuromuscular normal.
• Secara klinis, Myasthenia gravis mempunyai 2 subtipe mayor, yaitu okular
primer dan generalisata
• Target dari penatalaksanaan MG adalah untuk memperbaiki kekuatan dan daya
tahan tubuh pasien dalam memfasilitasi transmisi neuromuskular.

• Hal ini mungkin dapat dicapai dengan menekan produksi dari antibodi abnormal
dengan obat-obatan seperti kortikosteroid, atau modulasi respons imun dengan
immunoglobulin intravena (IVIG) atau plasmaferesis (PLEX).

• Adanya kekhawatiran terhadap efek merugikan kronis pada kortikosteroid terapi


mencakup pertambahan berat badan, perubahan dalam pertumbuhan linear, dan
mineralisasi tulang, itu semua tidak reversible

• Di penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara PLEX dan


IVIG sebagai terapi pemeliharaan pada pasien juveline MG
METODE
Diagnosis juvenile MG dibuat berdasarkan kombinasi gejala klinis pasien,
termasuk umur dibawah 18 tahun, dan 1 atau lebih dari kriteria:
• Adanya peningkatan titer antibodi AchR, muscle-spesific kinase, atau protein
otot terikat.
• Hasil test edrophonium positifeningkatakan serat tunggal elektromiografi
• Respons terhadap percobaan pengobatan
• Pasien dibagi lagi menjadi penyakit okular dan generalisata. Anak-anak dengan onset kurang dari 13
tahun dianggap menjadi kasus prepubertas, sementara usia diatasnya dianggap kasus postpubertas.
• Pyridostigmine digunakan hampir untuk semua anak-anak, dengan pengecualian gejala okular minimal
atau gejala dengan resolusi spontan.
• Pasien dengan gejala yang difabel dan tidak berespons pada terapi pyridostigmine menerima
tatalaksana immunomodulator atau immunosupresif PLEX, IVIG, atau kortikosteroid.
• Semua pasien menerima pyridostigmine 6-8 mg/kg perhari sebelum diberikan terapi
immunomodulator.
• Tatalaksana PLEX, atau dikenal sebagai penggantian plasma, tediri dari pertukaran perhitungan
ekuivalen dari seluruh volume darah per pasien per sesi
• IVIG dosis tunggal terdiri dari 1g/kgBB. Dosis standar IVIG adalah 1 g/kg untuk 1-2 perawatan
harian.
• Dosis inisial standar PLEX adalah 3-5 plasma pergantian tiap melewati jangka waktu singkat, biasanya
1-2 minggu.
KLASIFIKASI HASIL
Penelitian retrospektif memberikan bukti kelas III dimana anak-anak dengan
juvenile MG memiliki konsistensi respons lebih pada terapi PLEX daripada
terapi IVIG.
HASIL
Terdapat 54 anak-anak dengan Juvenile MG masuk kedalam penelitian ini.
Secara rinci mencakup jenis kelamin, usia saat onset, dan aspek gejala klinis
lainnya. Tujuh puluh persen dari pasien mengalami onset prepubertas dan 30%
lainnya mengalami onset post-pubertas. Sebagai catatan, pasien termuda berusia
9 bulan dengan okular autoimun MG yang mempunyai kenaikan antibodi
AchR. Penyakit komorbid autoimun termasuk rheumatoid artritis, diabetes
melitus, kelainan tiroid, dan lupus terdapat pada 11 dari pasien.
• Antibodi asetilkolin reseptor diuji pada 53 dari 54 pasien
(98%).
• Kenaikan antibodi AChR dideteksi pada 35 dari 53 kasus
(66%): 24 dari 33 pasien (73%) dengan juvenile MG generalisata
dan 11 dari 20 pasien (55%) dengan myasthenia okular.
• Pada pasien yang mempunyai antibodi AChR negatif, muscle
specific kinase terdeteksi pada 3 dari 27 (11%) pasien dan
antibodi otot antilurik terdapat pada 3 dari 24 pasien (13%).
• Diantara 21 anak dengan juvenile MG ocular, 18 (86%) diberi
asetilkolinesterase inhibitors. Sedangkan 7 dari 21 pasien (33%) menerima
terapi imunosupresif dengan kortikosteroid (4 pasien), azathioprine (2
pasien), atau keduanya (1 pasien). Sedangkan 5 dari 21 (24%)
menerima IVIG dan 1 dari 21 (5%) menerima PLEX sebagai
monotherapi, dimana 1 dari 21 pasien menerima PLEX dan IVIG.
• 33 pasien dengan juvenile MG generalisata diberi penghambat
asetilkolinesterase.
• Terapi Imunosupresif (kortikosteroid dan azathioprine) diberikan
pada 13 dari 33 pasien (39%), 1 dari 13 menerima prednisolone dan
azathioprine.
• Pada grup ini pasien yang mendapat terapi imunosupresif, 5
menerima IVIG dan PLEX, 7 pasien hanya menerima
IVIG. Tidak ada pasien yang diberi prednisolone dan
PLEX.
• Duapuluh tujuh dari 33 pasien (82%) mendapat PLEX dan
atau IVIG sebagai terapi maintenance.
• Plasmapheresis diberi pada 17 dari 33 pasien (52%) dan
IVIG digunakan pada 20 dari 33 pasien (61%). Diantara
semua pasien, 10 dari 33 pasien (30%) menerima kedua
PLEX dan IVIG untuk saat-saat tertentu.
• Pemantauan lanjut berkisar dari 0 hingga 5 tahun (median, 1 tahun).
• Empat pasien dikeluarkan dari analisis lebih lanjut. Target farmakologis dicapai pada 6 dari 33
anak-anak dengan juvenile MG generalisata dan 8 dari 21 pasien dengan MG juvenile okular
dengan antikolinesterase inhibitors saja.
• Tiga dari 21 pasien dengan MG okuler memiliki resolusi gejala spontan tanpa intervensi
terapi. Tiga puluh tujuh dari 54 pasien (69%) memerlukan tambahan salah satu atau kombinasi
dari terapi imunosupresif, terapi imunomodulator dengan PLEX atau IVIG, dan timektomi
untuk mencapai perbaikan gejala.
• Perbaikan klinis terjadi pada 10 dari 17 pasien (59%) yang menggunakan kortikosteroid, 17
dari 19 pasien (89%) yang menerima PLEX, dan 18 dari 26 pasien (69%) yang menerima
IVIG.
• Di antara anak-anak dengan juvenile MG generalisata, respons terhadap PLEX vs
IVIG vs terapi keduanya secara signifikan berbeda .
• Untuk pasien yang hanya menerima IVIG atau PLEX, ada juga perbedaan yang
signifikan dalam proporsi pasien yang merespons.
• Tidak ada perbedaan yang ditemukan ketika membandingkan responden antara
kelompok yang menerima kedua terapi vs IVIG saja dan kelompok yang
menerima kedua terapi vs PLEX.
• Plasmaferesis dan IVIG secara umum mempunyai dampak buruk yang minimal.
Kecuali 1 hal signifikan pada PLEX yaitu pasien yang mengalami sepsis. Terdapat
2 pasien mengalami pirexia dan rigor selama infus IVIG, memerlukan
pemberhentian pengobatan. Pasien ini kemudian dipindahkan ke pengobatan lain.
DISKUSI
• Terdapat 3 pengobatan imunomodulator / imunosupresif standar yang tersedia untuk MG
adalah kortikosteroid, PLEX, dan IVIG.
• Terapi kortikosteroid jangka panjang dikaitkan dengan efek samping yang signifikan pada
anak-anak.
• Dilihat dari efek samping kortikosteroid, PLEX atau IVIG sering lebih disukai daripada
kortikosteroid pada penelitian ini. Penelitian klinis secara acak pernah dilakukan pada
populasi dewasa membandingkan efektivitas dari PLEX dan IVIG menunjukkan bahwa
mereka umumnya sebanding, dengan kemanjuran yang serupa, durasi manfaat, dan profil
keselamatan.
• Sementara efektivitas PLEX dan IVIG telah ditetapkan dalam penelitian orang
dewasa, penelitian ini adalah upaya pertama untuk membandingkan peran PLEX
vs IVIG sebagai terapi pemeliharaan untuk juvenile MG.
• Dalam penelitian ini, terdapat perbedaan yang signifikan dalam perbaikan
objektif dan subyektif pada anak-anak dengan juvenile MG generalisata yang
menerima PLEX vs IVIG vs perawatan kombinasi.
• Ada juga perbedaan yang signifikan dalam proporsi anak-anak yang merespon
ketika membandingkan kelompok yang hanya menerima IVIG atau PLEX. Pada
anak-anak dengan myasthenia juvenile okular, jumlahnya terlalu kecil untuk
melakukan analisis statistik rinci.
KONKLUSI
• Biaya mempunyai perhatian khusus saat membandingkan berbagai terapi.
• Plasmaferesis lebih mahal daripada terapi kortikosteroid, dan IVIG juga sangat mahal. Namun,
kortikosteroid membawa risiko yang lebih signifikan, karena mempunyai efek samping jangka
panjang yang berbahaya. Hal itu lebih berdampak pada anak-anak dibanding dewasa. Ini termasuk
perubahan wajah, penambahan berat badan, perlambatan pertumbuhan linear, dan demineralisasi
tulang.
• Namun, pada PLEX dan IVIG mempunyai dampak yang baik dalam kesehatan jangka panjang
walaupun mahal, sehingga dapat diperdebatkan bahwa PLEX dan IVIG efektif biaya
dibandingkan dengan kortikosteroid ketika hasil jangka panjang dipertimbangkan.
• Hasil kami menunjukkan bahwa PLEX dan IVIG keduanya memiliki tingkat respons yang tinggi
sebagai terapi pemeliharaan untuk juvenile MG, dan bahwa keduanya merupakan alternatif yang
tepat untuk terapi kortikosteroid.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai