Anda di halaman 1dari 14

TASAWUF

1. Tasawuf akhlaqi, jika ditinjau dari sudut bahasa


merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa
Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah.
Frase jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua
kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan
menentukan realitas yang khusus, yaitu kata ‘tasawuf’
dan ‘akhlak’.

2. Secara etimologis, tasawuf akhlaqi bermakna


membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan
tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah
laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini
bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk
menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa sosialnya,
yaitu moralitas masyarakat.
3. Tasawuf Akhlaki adalah tasawuf yang
berorientasi pada perbaikan akhlak’
mencari hakikat kebenaran yang
mewujudkan manusia yang dapat
ma’rifah kepada Allah, dengan metode-
metode tertentu yang telah dirumuskan.
Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga
dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf
Akhlaki ini dikembangkan oleh
ulama salaf as-salih.
4. Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi merupakan kajian ilmu
yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya.
Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan,
tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan
manusia.

5. Di dalam diri manusia juga ada potensi-potensi atau


kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah
yang cenderung kepada kebaikan. Potensi untuk
menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara
potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs, (nafsu)
yang dibantu oleh syaithan. Jadi, tasawuf akhlaqi akan
berkonsentrasi pada teori-teori perilaku dan perbaikan
akhlak. Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an,
surat as-Syams : 7-8 yang terjemahannya adalah: “Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya”.
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang
semenjak zaman klasik Islam hingga
zaman modern sekarang sering
digandrungi orang karena penampilan
paham atau ajaran-ajarannya yang tidak
terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak
berkembang di dunia Islam, terutama di
negara-negara yang dominan bermazhab
Syafi’i.
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:

1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.


2. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara
Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan di sini
adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia
dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap
dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal
esensinya. Sedekat apa pun manusia dengan Tuhannya tidak
lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
3. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at.
4. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan
akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan
mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa
untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik
diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek
lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal
memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
diharuskan melakukan amalan dan latihan
kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah
mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu,
sampai ke titik terendah dan bila mungkin
mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena
itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap
sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari
akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah
kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri
dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang
disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat,
puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan
dan kecintaan kepada Tuhan
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka
rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna
terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –
yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan
perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu
dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-
Nya.
1. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada
rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
2. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia
dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh
faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan
rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan
berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
3. Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengerjakannya.
4. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa
kali ditinggalkan mati suaminya.
5. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore
hari karena berada diantara dua perasaan takut: takut mengenang dosa
yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta
bahaya yang akan mengancam.
6. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih
janjinya.
7. Banyak duka cita di dunia memperteguh seemangat amal sholeh
E. TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAQI
1. Hasan Al-Bashri (21 – 110 H)

Biografi Singkat

Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’in Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang
amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat
pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum
Khalifah Umar bin Khathtab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.

Ajaran-ajaran Tasawuf

HAMKA mengemukakan sebagian ajaran-ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri berikut ini:


Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tenteram yang
menimbulkan perasaan takut. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia
dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun,
barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan duni, ia akan
sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan
jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ – betapapun
banyaknya – tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ – betapa pun sedikitnya. Waspadalah
terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
2. Al-Muhasibi (165-243 H)

Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Tokoh sufi ini
lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. dan meninggal di
negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang
ilmu seperti tasawuf, hadits, dan fiqh. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri
terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Ia
merupakan guru bagi kebanyakan ulama Baghdad. Orang yang paling banyak menimba ilmu darinya dan
dipandang sebagai muridnya paling dekat dengannya adalah Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 298 H.) yang kemudian
menjadi seorang sufi dan ulama besar Baghdad.

Ajaran-Ajaran Tasawuf

Makrifat dan Khauf dan Raja’

Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi peneting dalam
perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu dengan etika-etika
keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifatipula
dengan sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya, adalah ketakwaan ; Pangkal ketakwaan adalah intropeksi
diri (muhasabat an-nafs; Pangkal intropeksi diri adalah khauf dan raja’; Pangkal khauf dan raja’ adalah
pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah
perenungan.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil
apa yang diberikan kepada mereka oleh tuhan mereka, sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah
orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam, mereka
memohon ampun (kepada Allah).”
(Q.S. Adz-Dzariyyat: 15 – 18)
3. Al-Qusyairi (376-465 H)
Biografi Singkat

Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama


dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian
penting mengingat karya-karynya tentang para sufi
dan tasawuf aliran sunni pada abad ketiga dan
keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya
pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik
dari segi teoretis maupun praktis.

Ajaran-Ajaran Tasawuf
a) Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlusunnah
b) Kesehatan Batin
c) Penyimpangan Para sufi
4. Al-Ghazali (450 – 505 H)

Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-
Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali
karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, tiga tahun
setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.

Ajaran Tasawuf Al-Ghazali


Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
ditambah dengan doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua
kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah,m aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-
Shafa, dan lain-lainnya.

1) Makrifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harrun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah
dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar
pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yanag dikutip
dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb
dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi
apa pun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah
menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah allah. Di sini, sampailah ia
ke tingkat makrifat.

2) As-Sa’dah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di
dalam kita kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak
(tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat
gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian
juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Sekian…..Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai