Tugas Patofisiologi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 25

PATOFISIOLOGI

Nama : CHOMZAH NUR MARTIKA


NIM : 18020200051
Prodi : S1 Farmasi (B2)
PROSES PEMBENTUKAN SEL DARAH MERAH
Proses pembentukan eritrosit disebut juga eritropoiesis.
Pembentukan eritrosit diregulasi oleh suatu hormon glikoprotein
yang disebut eritropoietin.
Sel Pertama yang dikenali sebagai rangkaian pembentukan
eritrosit ialah proeritroblas, yang dibentuk dari sel-sel stem CFU-E.
Begitu sel proeritroblas terbentuk, sel tersebut akan membelah
beberapa kali. Sel-sel baru dari generasi pertama pembelahan
tersebut disebut sebagai basofil eritroblas karena dapat di cat dengan
warna basa. Sel ini mengandung sedikit sekali hemoglobin.
Pada pembelahan tahap selanjutnya, jumlah hemoglobin
yang terbentuk lebih banyak dari sebelumnya. Sel yang terbentuk
pada tahap tersebut disebut polikromatofil eritroblas.
Selanjutnya, jumlah hemoglobin yang dibentuk akan
semakin banyak dan sudah memberikan warna merah pada sel. Sel
tersebut dikenal sebagai ortokromatik eritroblas.
Pada generasi berikutnya, sel sudah dipenuhi oleh
hemoglobin sampai konsentrasi 34%, nukleus memadat menjadi
kecil, dan sisa akhirnya diabsorbsi dan didorong keluar dari sel.
Pada saat yang bersamaan retikulum endoplasma
direabsorpsi. Sel pada tahap ini disebut retikulosit, karena masih
mengandung sejumlah kecil materi basofilik yang terdiri dari sisa-
sisa aparatus golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma
lainnya.
Selama tahap retikulosit, sel-sel akan berjalan dari sumsum
tulang masuk ke dalam kapiler dengan cara diapedesis (terperas
melalui pori-pori membran kapiler).
Materi basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya
akan menghilang dalam waktu 1 sampai 2 hari, dan kemudian
menjadi eritrosit matur. Karena waktu hidup retikulosit ini pendek,
maka konsentrasinya diantara semua sel darah normalnya sedikit
kurang dari 1%.
Apabila eritrosit telah berada dalam sirkulasi, maka dalam
keadaan normal umur sel darah merah yakni kurang lebih hanya 120
hari.
Sel darah merah yang telah tua menjadi lebih rapuh dan dapat
pecah dalam perjalanannya melalui pembuluh darah yang sempit.
Sebagian eritrosit akan pecah di dalam limpa karena terjepit sewaktu
melewati pulpa merah limpa dan sebagiannta lagi akan dibongkar di
hati.
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan difagositosis dan
dicernakan oleh sel-sel makrofag terutama yang terdapat dalam limpa,
hati dan sumsum tulang. Kemudian di hati, hb diubah menjadi zat
warna empedu (bilirubin) yang akan ditampung dalam kantong
empedu.
Bilirubin ini berfungsi memberi warna pada feses. Zat besi
yang ada pada hb diangkut kemudian dilepas dan diangkut kedalam
sumsum tulang untuk digunakan dalam pembentukan sel darah merah
baru atau disimpan di hati dan jaringan lain dalam bentuk ferritin.
PATOFISIOLOGI TERJADINYA ANEMIA
Timbulnya anemia mencerminkan adanya suatu kegagalan
sumsum atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya.
Kegagalan sumsum (misalnya berkurangnya eritropoesis) dapat
terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau
penyebab lain yang belum diketahui. Sel darah merah dapat hilang
melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi).
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel
fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati
dan limpa. Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang akan
memasuki aliran darah.
Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis)
segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma
(konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl
mengakibatkan ikterik pada sclera). Apabila sel darah merah
mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan
hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia).
Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas)
untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam
glomerulus ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuria).
PROSES PEMBEKUAN DARAH
Pembekuan dimulai ketika keping-keping darah dan faktor-
faktor lain dalam plasma darah kontak dengan permukaan yang
tidak biasa, seperti pembuluh darah yang rusak atau terluka. Pada
saat terjadi luka pada permukaan tubuh, komponen darah, yaitu
trombosit akan segera berkumpul mengerumuni bagian yang
terluka dan akan menggumpal sehingga dapat menyumbat dan
menutupi luka.
Di dalam plasma darah terdapat trombosit yang akan pecah
apabila menyentuh permukaan yang kasar. Jika trombosit pecah,
enzim tromboplastin yang dikandungnya akan keluar bercampur
dengan plasma darah.
Selain trombosit, di plasma darah terdapat protombin.
Protombin akan diubah menjadi trombin oleh enzim tromboplastin.
Perubahan protombin menjadi trombin dipicu oleh ion kalsium
(Ca2+). Protombin adalah suatu protein plasma yang
pembentukannya memerlukan vitamin K.
Trombin akan berfungsi sebagai enzim yang dapat
mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrinogen adalah suatu
protein yang terdapat dalam plasma. Adapun fibrin adalah protein
berupa benang-benang yang tidak larut dalam plasma. Benang-
benang fibrin yang terbentuk akan saling bertautan sehingga sel-sel
darah merah beserta plasma akan terjaring dan membentuk
gumpalan. Jaringan baru akan terbentuk menggantikan gumpalan
tersebut dan luka akan menutup.
PERBEDAAN STEMI DAN NSTEMI

PENGERTIAN STEMI

Infark Miokard Akut dengan elevasi ST (STEMI)


merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA)
yang terdiri dari angina pectoris tak stabil.
Infark Miokard Akut (IMA) atau serangan jantung adalah
suatu keadan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung
terhenti sehingga sel otot jantung mengalami kematian.
Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) merupakan
okulasi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark
yang lebi luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang
ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
PATOFISIOLOGI STEMI

Pada STEMI, disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar
dan menyebabkan terbentuknya trombus yang fixed dan persisten yang
menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung
lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner enurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-
faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptup
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan
oklusi arteri koroner.
Selanjutnya, pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis
(kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit,
yang selanjutya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan
A2 (vasokoknstriktor lokal yang poten).
Kaksade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor
pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,
mengakibatkan konversi potrombin menjadi trombin yang
kemudian mengknversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroneryang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh
trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
PENGERTIAN NSTEMI

Infark Miokard Akut non ST-elevasi (NSTEMI) merupakan


oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh
kekebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada
EKG.

PATOFISIOLOGI NSTEMI
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen
dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat
oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau
proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner
diawali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil.
Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunai inti lipid yang
besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan
konsentrasi fakto jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung
ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi
asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat
dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya
proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi
seperti TNF α dan IL-6. Selanjutnya, IL-6 akan merangsang
pengeluaran hsCRP di hati.
PATOFISIOLOGI TERJADINYA ATEROSKLEROSIS
Aterosklerosis dimulai ketika kolesterol berlemak tertimbun di
intima arteri besar. Timbunan ini, dinamakan ateroma atau plak akan
mengganggu absorbsi nutrient oleh sel-sel endotel yang menyusun lapisan
dinding dalam pembuluh darah dan menyumbat aliran darah karena
timbunan ini menonjol ke lumen pembuluh darah. Endotel pembuluh darah
yang terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi jaringan parut,
selanjutnya lumen menjadi semakin sempit dan aliran darah terhambat.
Pada lumen yang menyempit dan berdinding kasar, akan
cenderung terjadi pembentukan bekuan darah. Halini menjelaskan
bagaimana terjadinya koagulasi intravaskuler, diikuti oleh penyakit
tromboemboli, yang merupakan komplikasi tersering
aterosklerosis.
Berbagai teori mengenai bagaimana lesi aterosklerosis
terjadi telah diajukan,tetapi tidak satu pun yang terbukti secara
meyakinkan.
Mekanisme yang mungkin, adalah pembentukan thrombus pada
permukaan plak; danpenimbunan lipid terus menerus. Bila fibrosa
pembungkus plak pecah, maka febris lipid akan terhanyut dalam aliran
darah dan menyumbat arteri dan kapiler di sebelah distal plak yang
pecah.
Struktur anatomi arteri koroner membuatnya rentan terhadap
mekanisme aterosklerosis. Arteri tersebut terpilin dan berkelok-kelok
saat memasuki jantung, menimbulkan kondisi yang rentan untuk
terbentuknya ateroma.
PATOFISIOLOGI TERJADINYA PENYAKIT PARKINSON

Secara umum dikatakan bahwa penyakit parkinson terjadi karena


penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta
substansia nigra sebesar 94 hingga 54 persen yangdisertai adanya inklusi
sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies).
Lesi primer pada penyakit parkinson adalah degenerasi sel saraf
yang mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di
substansia nigra pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata
telanjang.
Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung
saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1(eksitatorik) dan reseptor
D3(inhibitorik) yang berada di dendrit output neuron striatum. Output
striatum disalurkan ke globus palidus segmen interna atau substansia nigra
pars retikularis lewat 3 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek
yang berkaitan dengan reseptor D2. Apabila masukan direk dan
indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan.
Pada penderita penyakit parkinson, terjadi degenerasi kerusakan
substansia nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum
sehingga tidak ada rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala
Penyakit parkinson belum terlihat sampai lebih dari 54 persen sel sara&
dopaminergik rusak dan dopamin berkurang sebanyak 80 persen.
Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur
langsung dengan neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktivasi.
Reseptor D2 yang inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur indirek
dari putamen ke globus palidus segmen eksterna yang GABAergik tidak
ada yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap globus
palidus segmen eksterna berlebihann. Fungsi inhibisi dari saraf
GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nukleus subtalamikus
melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat akibat
inhibisi.
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke
globus palidus segmen interna/substansia nigra pars retikularis
melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik akibatnya terjadi
peningkatan kegiatan neuron globus palidus/substansia nigra.
Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur
langsung, sehingga output ganglia basalis menjadi berlebihan ke
arah talamus.
Saraf eferen dari globus palidus segmen internake talamus
adalah GABAergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan
selanjutnyar angsangan dari talamus ke korteks lewat saraf
glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke
neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokine.
PATOFISIOLOGI KEJANG PADA EPLEPSI
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas
adalah epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus.
Pada sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan
sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari
korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input
inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer
molecular). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas
hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari
korteks entorhinal.
Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber
balik ke lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy
fibers yang aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan
cara membentuk sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di
samping itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang
(yang secara normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi
hipereksitabilitas
Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi
dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa
terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan
hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy
lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula
dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc
meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi.
Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya
epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka
akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA
reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada
kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit
dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun
terjadi hipereksitabilitas neuron.

Anda mungkin juga menyukai