Bank syariah
Usaha pembentukan
merupakan bank sistem ini didasari
yang menjalankan oleh larangan dalam
kegiatan usahanya agama islam untuk
berdasarkan memungut maupun
prinsip syariah meminjam dengan
yang terdiri atas bunga atau yang
Bank Umum Syariah disebut dengan riba
serta larangan
(BUS) dan Bank investasi untuk
Pembiayaan Rakyat usaha-usaha yang
Syariah (BPRS). dikategorikan haram,
dimana hal ini tidak
dapat dijamin oleh
Perkembangan Bank Syariah
di Indonesia
Pada pertengahan tahun 1970-an diadakan pembicaraan
mengenai bank syariah pada seminar Hubungan Indonesia-
Timur Tengah yang diadakan pada tahun 1974 dan pada
tahun 1976 dalam seminar yang diadakan Lembaga Studi
Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka
Tunggal Ika
Perkembangan pemikiran secara luas mengenai perlunya
umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri
mulai berhembus sejak saat itu.
Namun, usaha untuk merealisasikan ide perbankan syariah
tersebut terhambat oleh beberapa alasan
Hambatan dalam merealisasikan
perbankan syariah
Operasi Bank Syariah Konsep bank syariah
yang berdasarkan dari segi politis dinilai
prinsip bagi hasil bermuatan ideologis,
belum diatur, oleh merupakan bagian atau
karena itu tidak sejalan
dengan Undang- berkaitan dengan
undang Pokok pembentukan negara
Perbankan yang Islam, oleh karena itu
berlaku, yaitu Undang- tidak dikehendaki
Undang Nomor 14 pemerintah.
Tahun 1967.
• Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar
ekonomi Islam mulai dilakukan dengan pembentukan Baitut Tamwil-
Salman di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.
Jaringan kantor bank syariah belum luas
SDM bank syariah masih sedikit
Pemahaman masyarakat tentang bank syariah masih
kurang
Kelembagaan Sebelum UU
Perbankan Syariah 2008
Sebelum berlakunya UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, eksistensi bank Islam secara hukum
positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan
sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah, namun
hanya menyebutkan “menyediakan pembiayaan bagi
nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.
Dalam UU No. 7 Tahun 1992 itu, keberadaan perbankan
syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan
syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum,
yang biasa kita sebut bank konvensional.
Pada UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan terdapat beberapa perubahan
yang memberikan peluang yang lebih besar bagi
pengembangan perbankan syariah. Dengan berlakunya UU
No. 10 Tahun 1998, maka landasan hukum bank syariah telah
cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun
landasan operasionalnya pada saat itu. Semakin kokoh lagi
setelah didukung UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat
menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip
syariah.
Kedua undang-undang tersebut menjadi landasan hukum bagi
perbankan nasional untuk mulai menerapkan sistem
perbankan ganda atau dual banking system, yaitu penggunaan
perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara
paralel.
Kelembagaan Sesudah UU
Perbankan Syariah 2008
Adanya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
jelas merupakan jaminan bagi kepastian usaha dan jaminan
perlindungan hukum yang sangat diperlukan. Lahirnya UU
No. 21 Tahun 2008 memiliki kecenderungan utama.
Pertama, undang-undang ini kental dengan nuansa
mensyariahkan bank syariah. Hal ini terlihat dari ketentuan
tentang jenis dan kegiatan usaha, pelaksanaan prinsip
syariah, komite perbankan syariah dan komisaris syariah,
serta dewan pengawas syariah.
Kedua, undang-undang ini berorientasi pada stabilitas
sistem dengan secara jelas mengadopsi 25 Basel Core
Principles for Effective Banking Supervision. Hal ini terlihat
dari ketentuan tentang perizinan, prinsip kehati-hatian,
kewajiban pengelolaan resiko, pembinaan dan pengawasan,
serta jaring pengaman sistem perbankan syariah
UU No. 21 Tahun 2008 diperkirakan akan memiliki dampak
positif, antara lain terhadap aspek kepatuhan syariah
(shari’ah complience), iklim investasi dan kepastian usaha,
serta perlindungan konsumen dan stabilitas sektor
perbankan secara keseluruhan
Kegiatan Usaha Perbankan
Syariah
Penghimpunan dana Berkaitan dengan pasar
Penyaluran dana modal
(langsung dan tidak Investasi
langsung) Dana pensiun
Jasa pelayanan Berkaitan dengan surat
perbankan berharga
Kesimpulan
Perbankan islam adalah lembaga keuangan yang menjalankan
aktivitas perbankan konvensional murni yang tidak sama sekali
ada kaitannya dengan kegiatan keagamaan. Dan kegiatan
perbankan islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan
prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya perbankan
islam untuk menyempurnakan dari adanya sistem perbankan
konvensional .
Yang bukan saja berorientasi pada profitabilitas tapi juga
bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan etika dan
moral dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat
menciptakan sebuah kegiatan perbankan yang efisien dan efektif
(bebas dari Riba, Gharar, Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi
pada pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menciptakan
pasar ekonomi yang sehat dan menghilangkan paradigma dzalim.