Anda di halaman 1dari 7

PERANG PADRI

KELOMPOK 3:
1. Ardhia Regita
2. Dina Kania
3. Farhan Maulana
4. Lilianti Ellest
5. Muhammad Rafif
6. Natasya Anisah
7. Raihanindita Jasmine

XI IPA 7
LATAR BELAKANG

Perang Padri terjadi di Sumatera barat dan sekitarnya tepatnya di kawasan


Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini terjadi akibat
adanya pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan. Pada abad ke-9 tiga orang ulama
Minangkabau kembali dari tanah suci yaitu Haji Miskin, Haji Piabang, dan
Haji Sumanik. Mereka mempelajari dan mengembangkan aliran Wahabi
yaitu gerakan yang menghendaki agama islam dilaksanakan secara murni
sesuai dengan Al Qur'an dan alhadist. Gerakan mereka disebut gerakan
Padri artinya tokoh tokoh agama/ulama. Tujuan gerakan ini adalah
memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka pada
jalan yang sesuai dengan ajaran ajaran islam yang benar. Gerakan Padri
disambut baik oleh para ulama dan sebaliknya gerakan tersebut ditentang
keras oleh kaum adat yang menolak dihapusnya adat kebiasaan yang
telah berakar meskipun melanggar agama. Maka terjadi ketegangan
antara kaum padri dengan kaum adat setempat.
PEMIMPIN Kaum Padri : IMAM BONJOL

PEMIMPIN Kaum Adat : Datuk Sati


PROSES PEPERANGAN
Tahap 1 (1821 – 1825)

Pada bulan April tahun 1821 terjadi pertempuran antara kaum Padri melawan
Belanda dan kaum Adat di Sulit Air dekat danau Singkarak. Belanda mengirimkan
tentaranya dari Batavia di bawah pimpinan Letkol Raaf dan berhasil menduduki
Batusangkar dekat Pagaruyung lalu mendirikan benteng yang bernama Fort Van der
Capellen. Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi perjanjian perdamaian antara Belanda
dengan kaum Padri di Padang yang pada pokoknya tidak akan saling menyerang.

Tahap II (1825 – 1830)

Pada periode ini Belanda juga sedang menghadapi perang Diponegoro sehingga
perjanjian perdamaian sangat menguntungkan Belanda. Untuk menghadapi Kaum
Padri, Belanda membangun benteng disebut Fort de Kock (nama panglima
Belanda) di Bukittinggi.
Tahap III (1831 – 1837)

Belanda bertekad mengakhiri perang Padri setelah dapat memadamkan Perang


Diponegoro. Tindakan yang dilakukan Belanda adalah mendatangkan pasukan
dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout kemudian Mayor Michaels dengan tugas pokok
menundukkan Kaum Padri yang berpusat di Ketiangan dekat Tiku. Selain itu Belanda
juga mengirim Sentot Ali Basa Prawirodirdjo (bekas panglima Diponegoro) serta
sejumlah pasukan dari pulau Jawa walaupun kemudian berpihak kepada kaum Padri.
Sejak tahun 1831 kaum Adat bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda.

Pada tanggal 25 Oktober 1833 Belanda menawarkan siasat perdamaian dengan


mengeluarkan Plakat Panjang yang isinya sebagai berikut:
1. Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
2. Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
3. Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus menyediakan
sejumlah orang untuk menahan musuh dari dalam atau dari luar negeri.
4. Para pekerja diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang melanggar
peraturan dapat dikenakan sanksi.
Di tahun 1835 kaum Padri di Bonjol mulai mengalami kemunduran, hal tersebut disebabkan
ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh paskan Belanda. Pada tanggal 11-
16 Juni 1835 sayap kanan pasukan Belanda berhasil menutup jalan yang menghubungkan
benteng Bonjol dengan daerah barat dan menembaki benteng Bonjol. Setelah daerah-daerah
sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda,. Membaca situasi yang gawat ini, pada tanggal 10
Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda
mengharapkan bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Belanda menduga
bahwa ini merupakan siasat dari Tuanku Imam Bonjol guna mengulur waktu, agar dapat
mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan
dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar
benteng.

Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12


Agustus 1837. Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng
Bonjol, yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol
tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu
tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri
terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda.
AKHIR PEPERANGAN

Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya
menyerah kepada Belanda. Tuanku Imamm Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841
dipindahkan ke Manado hingga meninggal dunia pada tanggal 6 November 1864.
Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri
telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku
Tambusi, namun Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan oleh Belanda pada tanggal 28
Oktober 1838. Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat
dipatahkan pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam
di Sumatra Barat.

Anda mungkin juga menyukai