Anda di halaman 1dari 28

 Sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan penawar

opioid, maka penggunaan obat pelumpuh otot jadi semakin


rutin
 Anestesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar,
anelgesi dapat diberikan opioid dosis tinggi, dan otot lurik
dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot
 Disebut the triad of anesthesia
Dasar Obat-Obat Pelumpuh Otot
 Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya'
obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh
otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh
otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin)
 nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja
lama' sedang' dan singkat
 Ditentukan dengan mengukur kecepatan onset dan durasi
blokade saraf-otot
 Dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal yang
ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator
saraf perifer
 Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang
kecil dan cepat (mata' digiti) sebelum otot abdomen
(diafragma)
 Kelompok amonium kuartener yang merupakan senyawa larut
dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis' dan
memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid
 Tidak dapat dengan mudah melewati sawar membran lipid
seperti sawar darah otak' epitel tubulus renal' epitel
gastrointestinal' atau plasenta
 tidak dapat mempengaruhi sistem saraf pusat
 tidak mempengaruhi fetus
 terjadi melalui hubungan saraf otot
 terdiri atas bagian ujung saraf motor yang tidak berlapis
myelin dan membrane otot yang dipisah oleh celah sinap
 Pada bagian membran otot terdapat receptor asetilkolin
 Potensial istirahat membran ujung saraf motor (resting mebran
potensial) terjadi karena membran lebih mudah ditembus ion
kalium ekstrasel daripada ion natrium
 Pada saat pelepasan asetilkolin, membrane tersebut sebaliknya
akan lebih permiabel terhadap ion natrium sehingga terjadi
depolarisasi otot
 Influks ion kalsium memicu keluarnya asetilkolin sebagai
transmitter saraf
 Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor
nikotinik dan kolinergik di otot
 Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi
dan lorong ion terbuka
 Ion natrium dan kalsium masuk, sedangkan ion kalium keluar,
terjadilah kontraksi otot.
 Depolarizing
 sebagai agonis Ach
 Obat tersebut menimbulkan depolarisasi persisten pada lempeng
akhir saraf. Terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan
depolarisasi menetap sehingga akhirnya kehilangan respons
berkontraksi sehingga menimbulkan kelumpuhan
 SCh menempatkan reseptor kolinergik nikotinik sub unit alfa
dan bekerja seperti asetikolin (mendepolarisasi membran post
jungtion).
 Hambatan neuromuskuler terjadi karena membran post sinaps
tidak dapat memberikan respons pada pelepasan asetilkolin
berikutnya
 SCh menyebabkan keluarnya kalium dari sel yang akan
meningkatkan K plasma 0,5 meq/L
 Kemasan : flakon berisi bubuk putih 100mg atau 500 mg
 Indikasi : pelumpuh otot jangka pendek
 Kegunaan : untuk mempermudah / fasilitas intubasi trakea,
karena mula kerja cepat dan lama kerja yang singkat
 Dosis : 1-2 mg / kg BB / IV
 Manfaat obat ini di bidang anestesiologi
 Memudahkan dan mengurangi cidera tindakan laringoskopi dan
intubasi trakea.
 Membuat relaksasi tindakan selama pembedahan
 Menghilangkan spasme laring dan reflex jalan napas atas selama
anesthesia
 Memudahkan pernapasan kendali selama anesthesia.
 Mencegah terjadinya fasikulasi otot karena obat pelumpuh otot
depolarisasi.
 Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja
 Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non
depolarisasi digolongkan menjadi:
 Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
 Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
 Eter-fenolik : gallamin.
 Nortoksiferin : alkuronium
Dosis Awal Dosis Rumatan Durasi Efek Samping
(mg/kg) (mg/kg) (menit)
Non Depol Long Acting
1. D-tubokurarin 0.40 – 0.60 0.10 30 – 60 Hipotensi
2. Pankuronium 0.08 – 0.12 0.15 – 0.20 30 – 60 Vagolitik,takikardi
3. Metakurin 0.20 - 0.40 0.05 40 – 60 Hipotensi
4. Pipekuronium 0.05 – 0.12 0.01 – 0.015 40 – 60 Kardiovaskuler stabil
5. Doksakurium 0.02 – 0.08 0.005 – 0.010 45 – 60 Kardiovaskuler stabil
6. Alkurium 0.15 – 0.30 0.05 40 – 60 Vagolitik, takikardi
Non depol Intermediate
1. Gallamin 4–6 0.5 30 – 60 Hipotensi
2. Atrakurium 0.5 – 0.6 0.1 20 – 45 Aman untuk hepar
3. Vekuronium 0.1 – 0.2 0.015 – 0.02 25 – 45
4. Rokuronium 0.6 – 0.1 0.10 – 0.15 30 – 60
5. Cistacuronium 0.15 – 0.20 0.02 30 – 45
Non Depol Short Acting
1. Mivakurium 0.20 – 0.25 0.05 10 – 15
2. Ropacuronium 1.5 – 2.0 0.3 – 0.5 15 – 30
Depol Short Acting
1 3 – 10
1. Suksinilkolin
 Karena reseptor asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul obat
pelumpuh otot non depolarisasi, sehingga proses depolarisasi
membran otot tidak terjadi dan otot menjadi lumpuh
 Pemulihan fungsi saraf otot terjadi kembali jika jumlah molekul
obat yang menduduki reseptor asetilkolin telah berkurang karena
eliminasi dan atau distribusi
 Dapat lebih cepat dengan pemberian antikolinesterase
(neostigmin)
 Tidak ada fasikulasi otot.
 Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik
inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)
 Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik.
 Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
 Merupakan alkaloid kuartener
 Pada dosis terapeutik menyebabkan kelumpuhan otot mulai
dengan ptosis, diplopia, otot muka, rahang, leher, dan
ekstremitas. Paralisis otot dinding abdomen dan diafragma
terjadi palig akhir
 Lama paralisis bervariasi antara 15-50 menit
 Ekskresi : ginjal, kadang-kadang hepar.
 Obat penyekat neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama.
Bersifat mengantagonis aksi asetilkolin, sehingga
menimbulkan blok dari transmisi neuromuskuler
 Doksakurium 2,5 hingga 3 kali lebih poten daripada
pankuronium
 Dosis Intubasi: 0.05 – 0.08 mg/kg/I.V
 Obat penyekat neuromuskular nondepolarisasi beraksi panjang ini
merupakan turunan piperzinum
 Dosis intubasi : 0,07-0,085 mg/kg/I.V
 Potensinya meningkat dan durasi memendek pada bayi dibanding
pada anak dan dewasa
 pelumpuh otot non depolarisasi yang paling banyak dipakai di
Indonesia
 Berikatan kuat dengan globulin plasma dan berikatan sedang
dengan albumin. Mempunyai efek kumulasi pada pemberian
berulang
 Mula kerja terjadi pada menit 2-3 untuk selama 30-40menit
 Ekskresi : ginjal (60-80%) dan sebagian lagi empedu (20-40%)
 Dosis : relaksasi otot : 0,08mg / kg BB/ IV (dewasa)
 rumatan : 1/2 dosis awal.
 intubasi trakea : 0,15mg /kg BB/ IV
 Obat pelumpuh otot non depolarisasi sintetik
 Mempunyai efek yang lemah pada ganglion saraf dan tidak
menyebabkan pelepasan histamine
 Menyebabkan takikardia walaupun pada dosis kecil
 Galamin dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi tidak
sampai mempengaruhi kontraksi uterus
 Lama kerja obat Berkisar 15-20 menit
 Dosis : 80-100mg IV
 Mula kerja terjadi pada menit ke 3 untuk selama 15-20menit
 Tidak bersifat pelepas histamine jaringan, tetapi dapat
menghambat ganglion simpatik sehingga dapat menyebabkan
hipotensi

 Dosis relaksasi pembedahan : 0,15mg /


kg BB / IV dewasa
 0,125-0,2 mg / kg BB / IV anak-anak.
 Dosis intubasi trakea : 0,3 mg/ kg BB / IV
 Ekskresi : ginjal (70%) dalam bentuk utuh dan sebagian kecil
melalui empedu
 Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga
faramkokinetiknya tidak bergantung pada fungsi ginjal dan
hati
 Dosis : intubasi : 0,5-0,6mg / kg BB/ IV
 relaksasi otot : 0,5-0,6 mg / kg BB / IV
 pemeliharaan : 0,1-0,2 mg / kg BB / IV

 Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan


(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan
pemberian anti kolinesterase
 Baik untuk pasien geriatric atau dengan kelainan jantung, hati,
dan ginjal yang berat
 Durasi kerja vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu
paruh eliminasinya yang lebih pendek dan klirens yang lebih
cepat dibandingkan pancuronium
 Dosis intubasinya adalah 0.08 — 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0.04
mg/kg diikuti dengan dosis tambahan 0.01 mg/kg setiap 15 —
20 menit membantu relaksasi intraoperatif
 Mivacurium' seperti suksinilkolin' dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal
oleh kolinesterase asli.
 Dosis intubasi mivacurium adalah 0'/5 — 0'2 mg/kg
 Waktu onset mivacurium sama dengan atracurium (2-3 menit)
 Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang singkat (20 —
30 menit)
 Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
 Gangguan faal hati : atrakurium
 Miastenia gravis: dosis 1/10 atrakurium
 Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
 Kasus obstetric: semua dapat digunakan kecuali galamin.
 Anti kolinesterase yang dapat mencegah hidrolisis dan
menimbulkan akumulasi asetilkolin. Obat ini mengalami
metabolisme terutama oleh kolinesterase serum.
 Bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan,
bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan
kabur
 Dosis : 0,5mg bertahap sampai 5mg.
 Ekskresi terutama di ginjal.
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai