Anda di halaman 1dari 35

Peraturan Perundang-undangan tentang registrasi,

Izin Praktek, dan Izin tenaga kefarmasian

Oleh :
Parawansah
UU RI NO 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA
KESEHATAN
Pasal 11 ayat 1 : Tenaga Kesehatan mencakup
salah satunya Tenaga Kefarmasian.

Jenis Tenaga Kesehatan yang


termasuk dalam kelompok
tenaga kefarmasian terdiri atas
apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian.

Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian,


tenaga teknis kefarmasian dapat menerima
pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari
tenaga apoteker.
Tenaga teknis kefarmasian
meliputi sarjana farmasi, ahli
madya farmasi, dan analis
farmasi. Istilah tenaga menengah
farmasi/asisten apoteker
dihapuskan

Setiap Tenaga Kesehatan yang


menjalankan praktik wajib
memiliki STR.
STRTTK
Persyaratan STR :
a. memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat
Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan
sumpah/janji profesi; dan
e. membuat pernyataan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.

STR berlaku selama 5 (lima) tahun


dan dapat diregistrasi ulang
setelah memenuhi persyaratan.

Persyaratan untuk registrasi ulang pun


membutuhkan sertifikat kompetensi
Sertifik
at kom
petens
selam i
a 5 tah berlaku
Mahasiswa bidang kesehatan pada un
akhir masa pendidikan vokasi dan
profesi harus mengikuti Uji
Kompetensi secara nasional.

Uji Kompetensi diselenggarakan oleh


Perguruan Tinggi bekerja sama
dengan Organisasi Profesi, Iembaga
pelatihan, atau lembaga sertifikasi
yang terakreditasi.

Mahasiswa pendidikan vokasi yang


lulus Uji Kompetensi memperoleh
Sertifikat Kompetensi yang
diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
7 BAB, 39 PASAL

7 BAB, 39 PASAL
• Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia (Permenkes) dimana Menteri
Kesehatan, Prof.Dr.dr. Nila Djuwita F.Moeloek
SpM (K) mengesahkan Permenkes Nomor 31
Tahun 2016 tentang “Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi,
Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian” pada tanggal 18 Juli 2016.
• 3 Pasal di Permenkes
889/MENKES/PER/V/2011 Disesuaikan 
• Permenkes Nomor 31 Tahun 2016 dibuat
dengan menimbang bahwa diperlukan adanya
penyesuaian pada
Permenkes 889/MENKES/PER/V/2011 dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum saat ini.
Dengan mengingat beberapa peraturan yang
terkait sebelumnya seperti UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, UU No 36 tahun
2014 tentang tenaga kesehatan, dan lainnya.
• Perubahan-perubahan mendasar ada pada
pasal 17, 18, dan 19. Permenkes ini terdiri dari
2 pasal, pasal pertama merubah nomenklatur
dari Surat Izin Kerja menjadi Surat Izin Praktik.
Selain itu pada ketentuan ayat (2) pasal 17
diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 17
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan
menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib
memiliki surat izin sesuai tempat tenaga
kefarmasian bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa
a. SIPA bagi Apoteker, atau
b. SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian
• Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18
berbunyi
Pasal 18
(1) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian
hanya diberikan untuk 1 (satu) fasilitas
kefarmasian.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud ayat (1) SIPA bagi apoteker di fasilitas
pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk
paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
pelayanan kefarmasian.meteliti
Ketentuan Pasal 19 dubah sehingga
berbunyi :
Pasal 19
• SIPA atau SIPTTK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 diberikan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota atas rekomendasi
pejabat kesehatan yang berwenang di
kabupaten/kota tempat Tenaga Kefarmasian
menjalankan praktiknya
• Untuk Pasal II berisi bahwa Permenkes ini
berlaku sejak diundangkan pada tanggal 4
Agustus 2016 yang diketahui oleh Direktur
Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Widodo Ekatjahjana.
Pasal lainnya di Permenkes 889/MENKES/PER/V/2011
masih berlaku

• Dengan demikian pasal lainnya masih berlaku


di Permenkes 889/MENKES/PER/V/2011
termasuk bunyi Bagian Kedua : Tata Cara
Memperoleh SIPA, SIKA (menjadi Surat Izin
Praktik), dan SIKTTK (menjadi SIPTKK)
Pasal 21
(1) Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker
mengajukan permohonan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat
pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan
menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
(2) Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:
a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik
profesi atau surat keterangan dari pimpinan
fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan
fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;
c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua)
lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar;
• (3) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai
Apoteker pendamping harus dinyatakan secara
tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan
kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga.
• (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan
diterima dan dinyatakan lengkap dengan
menggunakan….
• Apa hal-hal yang berubah di Permenkes RI No. 889 Tahun 2011?
• Hal-hal yang berubah dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011
diantaranya adalah nomenklatur surat izin kerja yang harus
dimaknai sebagai surat izin praktik. Definisi surat izin kerja
dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 adalah surat izin yang
diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan
pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas
distribusi. Sehingga dengan terbitnya Permenkes RI No. 31
Tahun 2016, surat izin untuk apoteker diseragamkan menjadi
surat izin praktik apoteker (SIPA), baik bagi apoteker yang
bekerja di fasilitas produksi, distribusi maupun pelayanan.
• Hal yang juga menjadi ramai dibicarakan adalah
perubahan ketentuan dalam Pasal 18 Permenkes RI
No. 889 Tahun 2011. Beberapa poin yang tercantum
adalah tentang pengecualian jumlah SIPA yang
boleh dimiliki oleh seorang apoteker di sarana
pelayanan kefarmasian yaitu maksimal 3 (tiga)
sarana. Tradisi satu apoteker satu sarana pelayanan
yang selama ini sudah ada, menjadi dibolehkan satu
apoteker lebih dari satu sarana pelayanan.
• Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 seolah
melemahkan kembali program TATAP
• Dalam perbincangan dengan beberapa
pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),
keluarnya peraturan ini seolah melemahkan
kembali kampanye IAI no pharmacist no
services atau Tiada Apoteker Tiada Pelayanan
(TATAP).
• Konsep TATAP memang mewajibkan kehadiran apoteker ketika
sarana pelayanan kefarmasiannya buka. Padahal kehadiran
apoteker merupakan kata kunci dalam peningkatan
profesionalisme apoteker yang tujuan akhirnya adalah
peningkatan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care).
• Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab langsung
apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan
pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang
ditetapkan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien. Sebagai
paradigma baru yang mengubah drug oriented menjadi patient
oriented, seorang apoteker diharapkan lebih berorientasi pada
kualitas hidup pasien.
• Seorang pasien yang datang dengan membawa
resep pada satu sarana pelayanan kefarmasian,
bukanlah semata-mata untuk mendapat komiditi
obat, akan tetapi juga diharapkan mendapat “jasa”
kefarmasian dari seorang apoteker. Jasa ini dapat
berupa konsultasi cara menggunakan obat, cara
menyimpan, memilih obat yang lebih murah dengan
komponen aktif yang sama dan konsultasi lainnya.
Pemberian jasa ini adalah salah satu contoh dari
paradigma patient oriented.
• Bila pelayanan jasa kefarmasian ini rutin
dilakukan oleh seorang apoteker, maka lambat
laun masyarakat akan dapat merasakan
dampak langsung dari kehadiran seorang
apoteker.
Dampak apoteker bisa di tiga sarana
pelayanan kefarmasian
• Dengan diperbolehkannya seorang apoteker untuk
bekerja di dua atau tiga sarana pelayanan
kefarmasian, maka semakin sulit rasanya untuk
mengharapkan kehadiran apoteker ketika sarana
pelayanannya buka. Sudah lazim terjadi apotek
buka tanpa ada kehadiran apoteker. Pelayanan
kefarmasian yang ada di apotek lebih banyak
dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian ataupun
tenaga lainnya. Kondisi ini mau tidak mau akan
mengecilkan peran dan fungsi apoteker.
• Selain persoalan kehadiran apoteker,
fenomena yang banyak terjadi di lapangan
adalah terjadi ketimpangan antara jumlah
apoteker dengan kebutuhan akan sarana
pelayanan kefarmasian di suatu tempat.
Sarana pelayanan kefarmasian yang mencakup
apotek, klinik, puskesmas, rumah sakit,
praktek dokter bersama menuntut adanya
seorang apoteker.
• Ketimpangan ini terjadi dikarenakan ketersediaan
dan pemerataan apoteker yang belum maksimal.
Dengan terbitnya aturan yang membolehkan
seorang apoteker bekerja di lebih dari satu sarana
pelayanan kefarmasian, setidaknya akan menjawab
persoalan ketimpangan antara jumlah apoteker
dengan kebutuhan sarana pelayanan kefarmasian.
Untuk daerah-daerah tertentu yang minim jumlah
apotekernya, Permenkes RI No. 31 Tahun 2016
menjadi solusi yang efektif.
Peran IAI dalam menyikapi Permenkes No. 31
Tahun 2016
• Disisi lain, IAI sebagai satu-satunya organisasi profesi
apoteker yang diakui pemerintah mempunyai peran
yang tak kalah pentingnya dalam mengendalikan
penerapan Permenkes No. 31 Tahun 2016 ini. Dalam
PP No. 51 Tahun 2009, IAI memiliki kewenangan
dalam membina dan mengawasi pelaksanaan
pekerjaan kefarmasian yang dilakukan apoteker.
Kewenangan ini tentunya dapat diterapkan dengan
koordinasi yang baik dengan pemerintah. Jangan
sampai ada tumpang tindih kewenangan.
• Ranah IAI sebagai organisasi profesi adalah
pada pembinaan dalam pelaksanaan kode etik
apoteker. Kode etik ini merupakan rambu-
rambu bagi seorang apoteker dalam
melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Pada
titik ini, IAI memegang kendali terhadap
keluarnya rekomendasi yang akan diberikan
kepada seorang apoteker untuk berpraktek.
• Bahkan pada pemberian rekomendasi untuk
tempat praktek kedua dan ketiga, IAI
mensyaratkan adanya pencantuman jam
praktek apoteker di tempat praktek masing-
masing. Adanya pencantuman jam praktek ini
diharapkan akan meningkatkan kehadiran
seorang apoteker di sarana pelayanan
kefarmasiannya.
• Peningkatan kehadiran tentu akan menghasilkan
asuhan kefarmasian yang lebih baik bagi
masyarakat. Ini juga yang membuat IAI
mengkampanyekan konsep praktek apoteker
yang bermartabat. Jadi pada satu sisi, Permenkes
RI No. 31 Tahun 2016 dapat menjawab solusi
kelangkaan apoteker dan disisi lain menjadi
tantangan bagi IAI dalam menerapkan konsep
praktek apoteker yang bermartabat.

Anda mungkin juga menyukai