Anda di halaman 1dari 24

Suitability and Optimization of FAO’s

Small-Scale Aquaponics Systems for


Joint Production of Lettuce (Lactuca
sativa) and Fish (Carassius auratus)

DEANIRA ARDYA GARINI


(141611133004)
I NT RO DUCT IO N

ADVANTAGES
CONCEPT

DEFINITION
Definition

Akuaponik adalah sistem pertanian berkelanjutan yang


mengkombinasikan akuakultur dan hidroponik dalam
lingkungan yang bersifat simbiotik.
Concept

Menurut Rakocy et al., 2006 konsep akuaponik adalah ekskresi


hewan diberikan kepada tanaman agar dipecah menjadi nitrat
dan nitrit melalui proses alami, dan dimanfaatkan oleh
tanaman sebagai nutrisi. Air kemudian bersirkulasi kembali ke
sistem akuakultur. Tanaman meningkatkan pertumbuhannya
dengan menggunakan metabolism limbah dari ikan dan pakan
yang tidak dikonsumsi, yang diubah oleh komunitas bakteri
menjadi nutrisi yang mudah berasimilasi (mis., nitrat, fosfat).
Karena ekstraksi yang dilakukan oleh sistem akar tanaman, air
dimurnikan dari nitrat dan fosfat yang berlebihan, sehingga
mempertahankan tingkat pertumbuhan ikan.
Advantages

▪ Teknik akuaponik memiliki dampak lingkungan yang positif


karena menghindari beberapa masalah yang terkait
dengan akuakultur konvensional (kontaminasi potensial
limbah, biaya pengolahan air limbah, dll.) dan pertanian
(batasan dari pupuk seperti fosfor, pestisida dan
kontaminan / penyakit tanah, dll.).
▪ Teknik akuaponik dapat mengurangi input serta
meminimalkan polusi (mis., air limbah) sekaligus
memaksimalkan produksi, efisiensi dan stabilitas, karena
dapat meningkatkan pendapatan
MAIN TOPIC

Tujuan utama dari jurnal ini adalah perbandingan dalam


hal produksi ikan, tanaman dan konsumsi air dengan
metode SAS berdasarkan model FAO yang dimodifikasi
menggunakan studi kasus sebagai gabungan produksi
Selada (Lactuca sativa L.) dan Ikan Mas (Carassius
auratus).
M ET HO D S
Aquaponic Systems’ Description and Experimental
Setup
M ET HO D S
Fish and Plant Species
Untuk penelitian ini, menggunakan 160 spesimen dengan rata-rata berat 30 g per ikan dan berusia antara 2 dan 4 bulan.
Untuk tes pertama, didistribusikan di tiga tangki SAS untuk memiliki kepadatan tebar yang sama (1,6 kg m−3). Setelah
tes pertama, semua ikan dipindahkan ke luar rumah kaca ke kolam buatan teduh di mana mereka disimpan selama
bulan-bulan musim panas untuk menghindari panas yang berlebihan. Untuk tes kedua, menggunakan ikan lebih besar
dengan berat rata-rata awal 53,3 g per ikan dan didistribusikan di tiga tangi SAS dengan tujuan memperoleh berat total
ikan yang seragam setiap tangki (2,5 kg m-3).

Tiga jenis selada (Lactuca sativa L.) yang digunakan dalam penelitian ini, Lollo rosso (LR) dan Lollo bionda (LB) pada tes
pertama, dan ditambah spesies selada romaine (RL) pada tes selanjutnya. Tanaman-tanaman tersebut sebelumnya
telah dibudidayakan di nampan persemaian selama 21 hari. Pada tes pertama, 20 selada (10 LR dan 10 LB) dipindahkan
ke masing - masing SAS dua minggu setelah memasukkan ikan ke dalam tangki agar sudah memiliki konsentrasi nutrisi
yang cukup untuk bibit. Pada tes kedua, 24 tanaman ditransplantasikan di masing-masing sistem satu minggu setelah
memasukkan ikan. Perbedaan dalam jumlah tanaman yang digunakan per SAS dan pada saat transplantasi adalah
karena ukuran ikan yang lebih tinggi pada tes kedua.
M ET HO D S
System Operations and Measurements Performed
Prelimin
Fish ary Test
Growth

Feeding
Test

Plant
Developmen
t
Water
Quality Test
Preliminary Test
Pada awal setiap tes, semua SAS dikenai periode empat minggu tanpa ikan atau
tanaman untuk memungkinkan proliferasi bakteri nitrifikasi. Juga bakteri yang hidup
(Biodigest Pro, Probidio, Marseille, Prancis) dan ammonia secara artifisial
diperkenalkan di tank untuk mempercepat proses. Sistem AP biasanya menunjukkan
tingkat konsentrasi elemen yang rendah seperti K, Fe atau Ca. (Graber dan Junge,
2009). Oleh karena itu, tanaman itu diperiksa secara berkala untuk mengamati
terjadinya kekurangan nutrisi. Untuk mengurangi potensi defisit ini, ditambahkan
K2SO4 sebesar 1,5% dan diterapkan pada semua SAS yang dilakukan dua kali dalam
seminggu (Senin dan Jumat) di pagi hari dengan semprotan manual. Aplikasi kedua
menggunakan larutan besi chelated (1%) (EDDHA Sequestrene 138 Fe) dengan
penambahkan langsung ke air, ini dilakukan pada hari Jumat setiap dua minggu sekali
Starter Aquaponic
Starter yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah menggunakan starter alami
yakni lumpur dari alam/perairan. Starter tersebut digunakan sebagai pemantik bakteri
agar berkembang dalam sistem akuaponik. Pada SAS1 menggunakan starter lumpur
dengan metode lumpur yang dicampur dengan air sebanyak 640L dan diendapkan
dalam clarifier tabung. Pada SAS2 menggunakan starter lumpur dengan metode
lumpur yang disendirikan dalam clarifier penampang dan dibiarkan terbuka. Pada
SAS3 menggunakan starter lumpur dengan metode yang sama dengan SAS1.

SAS1 : Lumpur + 640 L air di campur dalam clarifier tabung


SAS2 : Lumpur di sendirikan dalam clarifier penampang dan dibiarkan terbuka
SAS3 : Lumpur + 640 L air di campur dalam clarifier tabung
Feeding Test

Ikan diberi makan dua kali sehari menggunakan pakan ikan komersil
(Prodac International S.r.l, Cittadella, Italia) dengan komposisi protein
sebesar 24,4%. Jumlah pemberian pakan harian dihitung sebagai 1% dari
total berat ikan, secara bertahap bertambah setiap dua minggu hingga
2% dari total berat. Dalam tes pertama, total 742 g digunakan di setiap
SAS dengan jumlah harian bervariasi antara 15 dan 24 g d-1. Dalam tes
kedua, 3247 g diumpankan ke ikan masing-masing SAS, dengan jumlah
harian antara 24 dan 65 g d−1.
Water Quality Test

Parameter air yang dimonitor antara lain temperature maksimum harian


(Tmax) dan temperature minimum harian (Tmin) melalui termometer
(TFA, Jerman). Sampel air dikumpulkan secara berkala untuk mengukur
pH, konduktivitas listrik (EC) dan nitrat. pH dan EC ditentukan dengan
pH-meter GLP 22 dan EC-Meter BASIC 30 (Instrumen Crimson, Barcelona,
​Spanyol). Konsentrasi nitrat diperoleh dengan menggunakan Rqflex 10
plus (MERK, Darmstadt, Jerman). Air yang digunakan untuk pengisian
memiliki pH 7,9 dan EC 263 μs cm − 1.
Plant Development
Selama pengujian, evolusi perkembangan tanaman diamati setiap
minggu (jumlah daun, tinggi dan diameter pucuk untuk setiap tanaman).
Pada akhir setiap percobaan semua tank dari tiga SAS dipanen,
parameter yang diamati antara lain adalah Fresh Weight per Plant (FWP)
dan Total Fresh Weight (TFW). Setelah itu, tunas dikeringkan dalam oven
pada suhu 65 ° C selama 48 jam untuk mendapatkan Dry Weight per Plant
(DWP) dan Dry Matter Content (DMC), dihitung sebagai rasio antara DWP
dan FWP. Ini dilakukan per tanaman untuk pengujian pertama tetapi tidak
untuk yang kedua. Jadi, diuji 2 nilai rata-rata untuk FWP, DWP dan DMC
dihitung dari TFW, total berat kering dan jumlah tanaman.
Fish Growth

SGR AGR FCR


R E SU LT
Water Quality Test
R E SU LT
Lettuce Production
Tabel 2 dan 3 menunjukkan nilai rata-rata karakteristik
tanaman (jumlah daun, tinggi dan diameter tunas). Di
kedua tes, SAS1 dan Ctrl menunjukkan hasil terbaik.
Dalam tes 1, selada di SAS2 memiliki lebih banyak daun
daripada di SAS3 tetapi tinggi dan diameter
tanamannya hampir sama. Pada tes ke-2, SAS2 tidak
memiliki perbedaan signifikan dengan SAS1 dan Ctrl
dalam jumlah daun. Meskipun, tank di SAS2 memiliki
ukuran yang berbeda dari sistem lainnya. SAS3
menunjukkan kinerja terburuk di kedua tes.
R E SU LT
Lettuce Production
Tabel 4 dan 5 menunjukkan nilai-nilai untuk TFW (g) dan
rata-rata untuk FWP (g), DWP (g) dan DMC (%) untuk
pengujian 1 dan 2. Pada tes pertama, TFW serupa pada
tes 1 untuk SAS1 dan Ctrl, tanpa perbedaan signifikan
dalam FWP, DWP dan DMC. Pada tes kedua TFW dan
FWP jauh lebih tinggi di SAS1, yang menghasilkan 43%
lebih dari Ctrl. Meskipun demikian, DWP itu serupa
antara keduanya dan DMC lebih tinggi di Ctrl. SAS2
diproduksi 6,7 dan 4,1 kali kurang dari SAS1 dalam tes 1
dan 2. SAS3 menunjukkan nilai terburuk dari semua
indikator di kedua tes dengan pengecualian DMC dalam
uji 2 yang sangat tinggi (karena air rendah konten dalam
daun segar).
R E SU LT
Fish Production
Tabel 6 menunjukkan parameter produksi ikan yang dihitung
dalam kedua tes. Selama tes pertama, peningkatan terbaik
dalam TW (258 g) ditemukan di SAS3 dan yang terburuk (97 g)
di SAS2, SAS1 menunjukkan rerata nilai. ΔTW serupa untuk
semua SAS pada tes kedua, meskipun sedikit lebih tinggi di
SAS2. AWF pada awal tes 1 sekitar 30 g, finishing dengan rata-
rata 35 g. AWF pada tes kedua berubah dari 53 g rata-rata
menjadi 74 g. Nilai SGR berkisar dari 0,19 (SAS2) hingga 0,56
(SAS3) pada tes 1 dan berada di antara 0,37 dan 0,41 pada tes
kedua. FCR berada di antara 3 dan 4%, kecuali untuk kasus
SAS2 di tes 1 (7,6%). Kelangsungan hidup ikan sangat baik
(lebih dari 90%) dalam semua kasus. Ikan bahkan memijah
dalam uji kedua (SAS1 dan SAS2).
COMPARISON
CO NC LUT IO N
Studi ini menyajikan perbandingan antara tiga AP sistem skala kecil yang perbedaan
utamanya adalah subsistem hidroponik yang digunakan. NFT mengungguli, baik dalam
hal produksi tanaman dan konsumsi air. Produksi selada di dalamnya pun mirip atau
bahkan lebih baik daripada di kontrol hidroponik. Tidak ada perbedaan besar ditemukan
dalam produksi ikan antar sistem.
Dari hasil riset penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa SAS sangat menarik
untuk produksi sendiri skala rumahan karena memiliki prospek yang tinggi dalam segi
wirausaha, pemberdayaan dal lainnya, bahkan lebih jadi di lingkungan perkotaan
dengan ruang yang tersedia berkurang.
THANK YOU.
PERTANYAAN:
1. Mengapa hasil dari fish production dan plant production pada masing-masing SAS
berbeda? Apa yang mempengaruhinya?
(ERI SUYANTI – 141611133014)

Anda mungkin juga menyukai