Anda di halaman 1dari 28

Kuliah 02

Keamanan dan Keselamatan


Penerbangan

Ruth Hanna Simatupang


Pendahuluan
Salah satu faktor yang membahayakan jalannya
seluruh kegiatan operasional penerbangan nasional
maupun internasional adalah KEAMANAN.
Negara-negara melalui ICAO sepakat mengaturnya
di dalam beberapa Annex Konvensi Chicago 1944.
Hal tsb semata-mata bertujuan untuk mencegah
terjadinya tindakan pelanggaran hukum dan
memberikan sanksi tegas terhadap para pelakunya.
Aturan keamanan penerbangan ini diatur
secara seragam oleh seluruh negara anggota
ICAO agar seluruh pelaku atau yang
merencanakan tindakan melanggar hukum
tidak dapat terlepas dari hukuman atau sanksi.
Dalam hal ini Indonesia telah menggunakan
beberapa aturan internasional dan Annex
untuk membentuk aturan nasionalnya.
https://www.youtube.com/watch?v=j
PYnVOIfNiU

https://www.youtube.com/watch?v=
MK3AUs8UbUY
Kasus Pelanggaran Keamanan Di Indonesia

I. Informasi palsu tentang bom (Pasal 437 ayat (1) / ayat (2) UU No. 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan:
1. Tanggal 29 April 2015
Pesawat udara Batik Air dengan nomor penerbangan ID-6870 rute
Cengkareng – Palembang dengan register PK-LBV oleh calon
penumpang atas nama inisial IRY.
2. Tanggal 1 Mei 2015
Pesawat udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT-353 rute
Padang – Cengkareng dengan register PK-LGL oleh calon
penumpang atas nama inisial NA.
3. Tanggal 4 Mei 2015
Pesawat udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT-0973 rute
Batam – Kualanamu dengan register PK-LGM oleh calon
penumpang atas nama inisial SMS.
4. Tanggal 7 Mei 2015
Pesawat udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT-379 rute
Batam – Cengkareng dengan register PK-LFW oleh calon
penumpang atas nama inisial S.
5. Tanggal 13 Mei 2015
Pesawat udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT-330 rute
Cengkareng – Palembang dengan register PK-LGT oleh calon
penumpang atas nama inisial BP.
6. Tanggal 7 September 2015
Pesawat udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT-770 rute
Cengkareng – Manado dengan register PK-LKT oleh calon
penumpang atas nama inisial JHT.
7. Tanggal 30 September 2015
Security Check Point (SCP) II Domestik Bandar Udara Kualanamu –
Deli Serdang oleh calon penumpang (atas nama inisial FJZ) pesawat
udara Citilink Indonesia dengan nomor penerbangan QG 143 rute
Kualanamu – Halim Perdana Kusuma.
8. Tanggal 11 Oktober 2015
Security Check Point (SCP) Domestik Bandar Udara Sam Ratulangi
– Manado oleh calon penumpang (atas nama inisial RI) pesawat
udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT 775 rute Manado –
Cengkareng.
9. Tanggal 2 Desember 2015
Security Check Point (SCP) II Domestik Bandar Udara Juanda –
Surabaya oleh calon penumpang (atas nama inisial NP) pesawat
udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT 706 rute Surabaya –
Makassar.
10. Tanggal 24 Desember 2015
Pesawat udara Eva Air rute Cengkareng – Taipeh oleh calon
penumpang atas nama inisial K.
11. Tanggal 25 Desember 2015
Pesawat udara Lion Air dengan nomor penerbangan JT 544 rute
Cengkareng – Jogja oleh calon penumpang atas nama inisial H.
12. Tanggal 26 Desember 2015
Pesawat udara Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6541 rute
Kupang – Cengkareng oleh calon penumpang atas nama inisial HI,
FM, dan EHS.
Tujuan Program Keamanan Penerbangan
1. untuk melindungi keselamatan, keteraturan dan efisiensi
penerbangan di Indonesia melalui pemberian regulasi, standar dan
prosedur serta perlindungan yang diperlukan bagi penumpang, awak
pesawat udara, personel di darat dan masyarakat dari tindakan
melawan hukum;
2. untuk mempertahankan tingkat keamanan bandar udara dan
angkutan udara yang memberikan pelayanan penerbangan di
Indonesia;
3. untuk melindungi operasional penerbangan domestik dari tindakan
melawan hukum yang dilakukan berdasarkan penilain resiko
keamanan; dan
4. memenuhi standar dan rekomendasi praktis internasional yang
dimuat dalam A n n e x 17 dari Konvensi Chicago (1944) dan yang
terkait dengan keamanan penerbangan dalam IC A O A n n e x
lainnya.
SUMBER HUKUM
Aturan Internasional
1. Konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on
Offence and Certain Acts Committed on Board
Aircraft;
2. Konvensi Den Haag 1970 tentang Convention for
the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft;
3. Konvensi Montreal 1971 tentang Convention on
Suppression of Unlawful Acts Against the Safety
of Civil Aviation.
AVIATION SECURITY (AVSEC)

ANNEX 17
Safeguarding International Civil Againts
Act of Unlawful Interference;

DOC. 8973
“ SECURITY MANUAL ”

ANNEX 18 ICAO “DANGEROUS GOODS”:


The Safe Transport of the Dangerous Goods by
the Air

DOC. 9284 “ TECHNICAL


INSTRUCTION “
AVIATION SECURITY (AVSEC)
UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009:
UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009:
“Penerbangan”
“Penerbangan”
PP. NO. 3 TAHUN 2001:
PP. NO. 3 TAHUN 2001:
“Keamanan Dan Keselamatan Penerbangan”
“Keamanan Dan Keselamatan Penerbangan”
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN PM NO. 127 TAHUN 2015:
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN PM NO. 127 TAHUN 2015:
“Program Keamanan Dan Keselamatan Penerbangan”
“Program Keamanan Dan Keselamatan Penerbangan”
SKEP NO 2765/XII/2010:
SKEP NO 2765/XII/2010:
“Tentang Tata Cara Pemeriksaan Keamanan Penumpang, Personel
“Tentang Tata Cara Pemeriksaan Keamanan Penumpang, Personel
Pesawat Udara dan Barang Bawaan Yang Diangkut Dengan Pesawat
Pesawat Udara dan Barang Bawaan Yang Diangkut Dengan Pesawat
Udara Dan Orang Perseorangan”
Udara Dan Orang Perseorangan”
SKEP 100/VII/2003
SKEP 100/VII/2003
“JUKNIS PENANGANAN PENUMPANG PESAWAT UDARA SIPIL
“JUKNIS PENANGANAN PENUMPANG PESAWAT UDARA SIPIL
YANG MEMBAWA SENJATA API BESERTA PELURU DAN TATA
YANG MEMBAWA SENJATA API BESERTA PELURU DAN TATA
CARA PENGAMANAN PENGAWALAN TAHANAN DALAM
CARA PENGAMANAN PENGAWALAN TAHANAN DALAM
PENERBANGAN SIPIL”
PENERBANGAN SIPIL”
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan
Konvensi Montreal 1971, Indonesia menyusun serta
menetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 tentang
Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan
Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana,
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana /
Prasarana Penerbangan yang berlaku pada tanggal 26 April
1976.
Indonesia juga menambahkan bab baru setelah Bab XXIX
dalam KUHP dengan Bab XXX yang dengan rinci
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana
penerbangan.
Ketentuan pidana dalam UU No. Tahun 2009 tentang
Penerbangan diatur dalam Bab XXII, terdiri dari 42
pasal yang secara umum menekankan bentuk-bentuk
pelanggaran yang dikategorikan sebagai bentuk dari
tindak pidana penerbangan selain dari tindak pidana
penerbangan yang telah diatur dalam Bab XXX
KUHP, karena dalam aturan peralihan undang-
undang ini tidak mencabut ketentuan-ketentuan
pidana lain di luar dari regulasi ini.
Konvensi Tokyo 1961
Terbagi dalam ruang lingkup konvensi:
1. Bab I, Pasal 1-2 tentang yurisdiksi
2. Bab II, Pasal 3-4 kekuasaan komandan/pilot pesawat
udara;
3. Bab III, Pasal 5-10 tentang penguasaan/perampasan
secara melawan hukum atas pesawat udara;
4. Bab IV, Pasal 11 tentang kekuasaan dan kewajiban
negara-negara;
5. Bab V, Pasal 12-15 tentang ketentuan-ketentuan lain;
6. Bab VI, Pasal 16-18 tentang ketentuan penutup;
7. Bab VII, Pasal 19-26).
Konvensi Den Haag 1970
Pada Desember 1970 ICAO, rekomendasi ILA (International Law
Association), PBB serta organisasi-organisasi internasional lainnya
mengesahkan Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of
Aircraft.
Konvensi ini ditujukan untuk menangani tindakan-tindakan penguasaan
secara tidak sah atas pesawat udara yang sedang dalam penerbangan.
Konvensi ini juga ditujukan pada usaha penyelamatan pesawat udara para
penumpang, awak, dan harta yang diangkut untuk upaya pengamanan.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah:
1. Perbuatan tersebut harus melawan hukum;
2. Harus ada penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan; dan
3. Perbuatan tersebut harus berupa perampasan pesawat udara dan dengan
melawan hukum menguasai pesawat atau mencoba menguasainya.
Konvensi Montreal 1971
Mengatur tentang pencegahan dari tindakan-tindakan melawan
hukum terhadap keselamatan penerbangan sipil. Hal tsb diatur
dalam Pasal 1:
(1) Orang yang melakukan kejahatan melawan hukum jika:
a. melakukan tindak kekerasan di dalam pesawat udara
terhadap seseorang, tindakan tersebut dapat
membahayakan keselamatan pesawat terbang tersebut;
b. menghancurkan pesawat udara yang sedang dalam
pelayanan sehingga menyebabkan kerusakan pesawat
terbang yang mengakibatkan pesawat terbang tersebut
tidak mampu untuk melakukan penerbangan sehingga
dapat membahayakan keselamatan pesawat terbang;
c. menempatkan atau menyebabkan perangkat maupun
zat-zat tertentu dengan cara apapun berada di dalam
pesawat terbang, perangkat maupun zat-zat tersebut
dapat merusak pesawat udara sehingga tidak bisa
melakukan penerbangan atau penyebab kerusakan itu
dapat membahayakan keselamatan penerbangan;
d. menghancurkan ataupun merusak fasilitas navigasi
udara atau mengganggu pengoperasiannya sehingga
dapat membahayakan keselamatan
e. mengkomunikasikan sesuatu informasi yang palsu
sehingga dapat membahayakan penerbangan.
(2) Setiap orang juga melakukan kejahatan jika:
a. mencoba untuk melakukan salah satu bentuk
pelanggaran yang telah disebutkan dalam ayat
(1) di atas;
b. orang tersebut merupakan kaki tangan dari
seseorang yang melakukan atau mencoba untuk
melakukan setiap tindakan dalam ayat (1)
tersebut).
PENGERTIAN
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009
tentang “PENERBANGAN”

“Keamanan Penerbangan“
1. Adalah suatu keadaan yang memberikan
perlindungan kepada penerbangan dari
tindakan melawan hukum.
2. Melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya
manusia, fasilitas, dan prosedur.
Tindakan Melawan Hukum
(Pasal 344, UU No. 1 Tahun 2009)

1. menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang


terbang atau yang sedang di darat;
2. menyandera orang di dalam pesawat udara atau di bandar
udara;
3. masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas
bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara
tidak sah;
4. membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau
bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa
izin; dan
5. menyampaikan informasi palsu yang membahayakan
keselamatan penerbangan.
Indonesia mengenal tindak pidana penerbangan yang diatur
dalam Bab XXX atau Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal
479 huruf r KUHP tersebut dinyatakan sebagai bentuk dari
tindak pidana penerbangan”. 

Indonesia membagi TINDAK PIDANA menjadi:

Kejahatan Pelanggaran

BUKU II KUHP BUKU III KUHP


Pasal 411 ayat (1):
Tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh orang
yang bertindak, baik untuk dan/atau atas nama
perusahaan atau pun untuk kepentingan dari
perusahaannya, baik berdasar hubungan kerja maupun
hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan
perusahaan tersebut, baik secara sendiri maupun
bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan
oleh korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya
dibebankan kepada perusahaan atau pun pengurusnya.
Kuis 1
1. Seluruh dari tujuan program keamanan penerbangan ini benar,
kecuali:
a. untuk melindungi keselamatan, keteraturan dan efisiensi
penerbangan di Indonesia melalui pemberian regulasi, standar
dan prosedur serta perlindungan yang diperlukan bagi
penumpang, awak pesawat udara, personel di darat dan
masyarakat dari tindakan melawan hukum
b. untuk melindungi operasional penerbangan domestik dari
tindakan melawan hukum yang dilakukan berdasarkan penilain
resiko keamanan;
c. Untuk melakukan penyelidikan operasional penerbangan
domestik dan internasional dari kegiatan-kegiatan lainnya;
d. untuk mempertahankan tingkat keamanan bandar udara dan
angkutan udara yang memberikan pelayanan penerbangan di
Indonesia;
2. Berikut adalah sumber hukum internasional bagi
tindak pidana penerbangan yang juga digunakan
sebagai landasan hukum nasional, kecuali:
a. Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Warsawa
1929;
b. Konvensi Montreal 1971 dan Konvensi Tokyo
1963;
c. Konvensi Chicago 1944 dan Konvensi
d. Konvensi Roma 1952 dan Konvensi Wina
1969.

Anda mungkin juga menyukai