Gagap Birokrasi • Menyoal peran pemerintah pada umumnya dan birokrat pada khususnya dalam bencana tentu tidak lepas dari perspektif administrasi dan kebijakan publik. • Di satu sisi, para birokrat tersebut mengemban tanggung jawab untuk melayani warga negara yang terkena bencana. Tetapi, pada sisi lain mereka juga harus bekerja berdasarkan sistem dan tentu saja sistematika anggaran. • Dalam konteks bantuan pemerintah terkait bencana, pakar dari University of Mississippi, William F. Shughart II menyebutnya sebagai public goods yang buruk. Alasannya, antara lain, karena pada umumnya bantuan yang diberikan sifatnya lebih dekat pada private goods • Poinnya, secara natural pemerintah bekerja pada ranah public goods, sehingga menurut Shughart II distribusi private goods dalam jumlah yang masif sesungguhnya bukanlah ranah tempat pemerintah memiliki keunggulan. • Umumnya para birokrat atau pejabat publik turun ke lapangan untuk melakukan kontrol pada distribusi private goods oleh pemerintah tersebut. Sayangnya, fakta di lapangan kerap membuktikan bahwa kehadiran para birokrat maupun pejabat publik cenderung masih jauh dari pemenuhan kebutuhan akan kontrol tersebut. • Kehadiran Presiden, Menteri dan yang setara, Gubernur, hingga Wali Kota maupun Bupati pada saat bencana penting sebagai sebuah simbol dukungan kepada warga yang terdampak sekaligus menjadi solusi pada hal-hal yang akan membutuhkan diskresi. • Tetapi, yang jauh lebih esensial dalam penanganan yang riil di lapangan adalah peran pejabat level menengah, karena posisi ini yang secara langsung berinteraksi lekat dengan warga. Untuk itu, penting bagi para Menteri, Gubernur, Wali Kota, maupun Bupati menaruh perhatian pada kinerja pejabat level menengah ini ketika tengah hadir langsung di lokasi bencana. • Tetapi, pada sisi lain para pejabat publik level atas tersebut juga tidak perlu membuat permintaan tertentu yang dapat mengalihkan fokus para pejabat level menengah dari pekerjaan penanganan bencana menjadi upaya menjamu pejabat level atas dengan sebaik- baiknya. • Selama ini bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman dalam mengatasi dampak bencana yang datang dari alam. Namun, ketika wabah pandemi Covid-19 sampai ke tanah air, awalnya pemerintah pusat dan daerah mengalami kegagapan dalam melakukan koordinasi mengatasi penyebaran virus ini di masyarakat serta meminimalkan dampaknya pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. • Ke depan, pemerintah menyiapkan peraturan yang menjadi norma hukum dalam penyiapan langkah antisipatif dalam meghadapi kondisi yang hampir sama. • Selain itu kita harap agar pemerintah pusat dan daerah selaku pengambil kebijakan menggunakan data informasi berdasarkan hasil riset atau penggunaan bukti dalam pengambilan kebijakan (evidence based policy). Lemahnya dukungan basis data untuk pengambilan keputusan masih menjadi pekerjaan rumah dalam membangun koordinasi di tingkat birokrasi dan pemerintahan sehingga kita selalu gagap dalam kepemerintahan dalam situasi semacam ini. Pentingnya Standarisasi Pelayanan • Pada setiap kejadian bencana sesungguhnya mesin birokrasi secara umum tengah diuji. Seringnya, polanya masih akan kembali lagi ke akar birokrasi ala Weber yang rigid dan kaku itu. • Padahal, ilmu administrasi masa kini telah mengenal perkembangan reformasi birokrasi bukan lagi sebatas reinventing government, melainkan sudah sampai pada dynamic governance hingga collaborative governance. • Konsep-konsep tersebut telah memberi ruang pada keikutsertaan pihak lain di luar birokrasi dalam pencapaian tujuan bersama. • Oleh sebab itu, kiranya pemerintah harus memiliki strategi jangka pendek dan jangka panjang untuk tetap membuat roda birokrasi berjalan efekftif dan menjadikan birokrasi tersebut sebagai garda terdepan dalam sejarah penyelesaian pandemi Covid-19 di Indonesia. • Adapun strategi jangka pendek untuk membuat birokrasi efektif, yaitu: 1) penerapan birokrasi digital, 2) standarisasi pelayanan, 3) profesionalisme SDM aparatur. • Penerapan birokrasi digital sangat dibutuhkan dalam masa pandemi Covid-19. Selain untuk memberikan informasi update tentang penanganan Covid-19, birokrasi digital juga dapat menjadi way of services terbaik kepada masyarakat. Karena dampak dari birokrasi digital adalah kecepatan pelayanan yang dirasakan masyarakat yang mana kecepatan pelayanan tersebut menjadi hal yang amat dinanti-nantikan. • Standarisasi pelayanan menjadi hal terpenting selanjutnya untuk membuat birokrasi tetap berjalan efektif, cepat, dan responsif dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Setiap instansi pemerintah di masa pandemic Covid-19 harus berinovasi dengan memperhatikan standarisasi pelayanan publik dari 5 (lima) aspek yakni kebijakan pelayanan, profesionalisme pelayanan, sarana prasarana, sistem informasi pelayanan publik, konsultasi dan pengaduan, dan terciptanya inovasi pelayanan publik. • Strategi selanjutnya menciptakan Profesionalisme ASN yang seharusnya sudah menjadi budaya dalam birokrasi sebagaimana yang disampaikan oleh Wilhelm Friedrich Hegel yakni: “Professionalism is an important value in a bureaucratic culture”. Oleh sebab itu, apapun kondisinya ASN adalah garda terdepan seperti halnya tenaga medis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka bersama-sama menangani pandemi Covid-19 di Indonesia. • Tantangan selanjutnya setelah ketiga strategi jangka pendek ini dijalankan adalah pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang kebijakan birokrasi yang dikeluarkan. Maka dalam konteks ini kecakapan dan kemahiran komunikasi public dari Instansi Pemerintah menjadi bagian yang strategis. • Strategi selanjutnya adalah strategi jangka panjang dalam menjalankan roda birokrasi yang efekftif dan menjadikan birokrasi tersebut sebagai garda terdepan dalam sejarah penyelesaian pandemi Covid-19 di Indonesia. Dalam konteks ini penyederhanaan birokrasi harus menjadi agenda penting selanjutnya dalam rangka percepatan pelayanan publik. • Dengan agenda penyederhanaan birokrasi tersebut, Indonesia akan menjadi negara demokrasi modern yang mengedepankan kecepatan, kualitas, dan kepuasan masyarakat. Sehingga, apabila dihadapkan dalam sebuah ujian seperti pandemi Covid-19 ini, Indonesia telah siap dalam mengatasinya karena memiliki birokrasi yang kuat namun tidak kaku dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan. Dynamic Government di Masa Pandemi Covid-19
• Dynamic governance dapat dimaknai sebagai kemampuan pemerintah untuk
terus menyesuaikan kebijakan, intititusi, struktur yang beradaptasi terhadap berbagai perubahan dan situasi yang tidak pasti agar tetap relevan, sehingga kepentingan jangka panjang tercapai sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik. • Agar organisasi publik tidak gagap terhadap perubahan yang hadir, diperlukan dynamic capabilities dan budaya birokrasi yang menjadi pondasi gerak dalam pemerintahan. • Selain itu, dapat juga mempromosikan nilai-nilai dan budaya lokal dalam proses perubahan organisasi publik. • Dynamic capabilities meliputi thinking ahead, thinking again, dan thinking across. Elemen dynamic governance dan budaya organisasi ini harus ditopang oleh able people dan agile processes, serta dipengaruhi oleh future uncertainties dan external practices. • Secara ringkas, thinking ahead merupakan kapasitas berpikir yang dimiliki para pejabat publik dan juga para administrator publik dalam merumuskan kondisi masa depan yang mungkin akan berdampak terhadap suatu institusi. Sedangkan, thinking again yaitu kemampuan membuka diri untuk melihat secara komprehensif kebijakan yang telah dijalankan untuk dievaluasi serta didesain ulang dalam rangka peningkatan kualitas, penyempurnaan kebijakan dan maksimalisasi pencapaian tujuan. Selanjutnya thinking across adalah kemampuan untuk mencerap wawasan dan mempelajari pengalaman ide dan konsep dari aktor-aktor lain. Dalam rangka menyempurnakan kebijakan pada dasarnya diperlukan pemikiran yang terbuka dan out of the box, serta memiliki kemauan belajar untuk mengadopsi pikiran, pendapat serta ide dari lintas batas organisasi. • Pertanyaannya adalah apakah kita tetap akan mempertahankan budaya dan kontur paradigma lama birokrasi kita yang dimana sudah terbukti secara empiris bahwa ternyata sudah kuno, bahkan selalu gagap menghadapi perubahan yang begitu cepat dan ketika terjadi bencana cenderung salah menuju Paradigma Baru Birokrasi, karenanya sangat perlu pemikiran-pemikiran dan cara pandang baru guna mengubah semua. Terlebih guna mentransformasikan rangkaian pengalaman kebencanaan menjadi guru yang berharga.