Anda di halaman 1dari 23

Kelompok 8:

Pradita Utari
Wildan Hartoyo
Nafa Nadia
Daftar Isi
IMAM SUKARNI
BONJOL KARTOWIDIRYO

B.M.DIAH DAFTAR
PUSTAKA
IMAM BONJOL
Peto syarif yang kemudian kemudian lebih di kenal
dengan nama Tuanku Imam Bonjol di lahirkan tahun 1772
di kampong Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman,
Sumatra Barat. Sejak kecil, ia mendapatkan pendidikan
agama yang kuat di dalam keluarganya. Imam Bonjol
tumbuh dewasa ketia terjadi perang saudara antara kaum
padre dan kaum adat. Kaum padri yang terpengaruh
gerakan Wahabi di tanah Arab berusaha memurnikan
kembali islam yang di anggap telah di selewengkan oleh
kaum adat. Hal ini memicu perlawanan dari kaum adat
yang merasa kedudukannya akan terancam. Perang terjadi
di wilayah-wilayah pesisir, kaum adat berusaha meminta
bantuan inggris yang sedang berkuasa, tetapi inggris
sudah memihak padri dengan menyuplai persenjataan.
Saat perjanjian London, wilayah Sumatra di kembalikan ke
belanda. Belanda kemudian membantu kaum adat. Sementara itu,
Imam Bonjol berusaha melarai dampak perang saudara ini dengan cara
persuasif pada awalnya. Ia bahkan berhasil mengembangkan ajaran
islam sampai kewilayah Tampanilu Selatan. Namun, pertempuran
antara padri dan belanda dengan sendirinya melibatkan Imam Bonjol
yang kemudian mengirimi bantuan kedaerah agam dan tanah datar.
Imam Bonjol juga mengarahkan pasukannya kewilayah pesisir dan ini
mengancam belanda. Maka di adakanlah perjanjian masang antara
belanda dan Imam Bonjol tahun 1824 yang isinya belanda mengakui
Imam Bonjol sebagai penguasa alahan panjang. Selanjutnya, perjanjian
ini di langgar oleh belanda yang melancarkan serangan ke wilayah
Pandai Sikat. Sejak saat itu perang terus terjadi dan perjanjian masal
tidak berlaku lagi.
Pada tahun 1836, keberadaan Imam Bonjol yang
sebelumnya sempat menguasai dan memenangkan
perang di beberapa wilayah kemudian terancam karena
pasukannya mulai mengalami keletihan. Benteng bonjol
yang terbuat dari tanah liat kemudian di hancurkan oleh
belanda tetapi perlawanan terus di lakukan hingga Imam
Bonjol mengalami luka-luka akibat mempertahankan
benteng. Di usianya yang 64 tahun, ia masih mampu
menghalau musuh dengan pedangnya. Belanda pun
mundur dan kekalahan ini membuat malu sehingga
Cleerens yang memimpin penyerangan di gantikan oleh
Letnan Kolonel Michiels.
Letnan Kolonel Michiels membuat strategi lain dengan
mengepung dari arah belakang benteng yakni Bukit Tajadi.
Michiels berhasil menduduki benteng dan Imam Bonjol
mengungsi ke Marapak dan menyusun strategi baru.
Ajakan untuk berunding dari pihak Residen Francis
tanggal 28 Oktober 1837 di terima oleh Imam Bonjol. Sama
halnya dengan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol tertipu
dengan penangkapan yang berkedok perundingan. Tuanku
Imam Bonjol kemudian di tanggap dan di tawan di Bukit
Tinggi, kemudian Padang, dan di asingkan ke Cianjur, Jawa
Barat. Selanjutnya, karena mendapatkan tempat di hati
masyarakat Cianjur, belanda mengasingkannya lagi ke
Manado dan meninggal dalam usia 92 tahun pada 8
November 1864.
SUKARNI
KARTODIWIRYO
Sukarni dilahirkan 14 juli 1916, ia mulai
bersekolah di mardisiswa, yaitu sejenis taman
siswa yang didirikan oleh Mohammed Anwar di
Semarang. Ia banyak memperoleh pembelajaran
tentang pergerakan bangsa dan Negara melalui
taman siswa tersebut. Sejak kecil, Sukarni
terkenal pemberani termasuk saat ia
berhadapan dengan keturunan-keturunan
Belanda. Ia merasa dirinya tetap setara dengan
anak keturunan Belanda. Sukarni pun
dikeluarkan dari sekolah dan dia tidak
menyerah untuk belajar. Ia melanjutkan sekolah
di Yogyakarta lalu pindah ke Jakarta. Sukarni
kemudian mendalami ilmu jurnalistik di
Bandung.
Salah satu jasa Sukarni yang terkenal adalah
ketika terjadi peristiwa rengasdengklok. Peristiwa
rengasdengklok adalah peristiwa penculikan
Sukarno dan Mohammad Hatta dengan tujuan
menyelamatkan diri dari pengaruh Jepang dan
mempercepat proses kemerdekaan RI. Selain
perannya dalam peristiwa bersejarah
Rengasdengklok, Sukarni terkenal aktif dalam
partai politik. Hal ini dibuktikan dengan
jabatannya sebagai polisitisi di Partai Murba yang
didirikannya dan diketuai olehnya. Partai ini
merupakan partai nasionalis yang membawa
perubahan Indonesia lebih baik terutama dalam
hal mempertahankan kemerdekaannya.
Sukarni bahkan sering dipenjara karena
perjuangannya. Bahkan ketika Sukarni
mencoba menasehati Bung karno tentang
gerakan PKI di istana Bogor ia malah
ditangkap dan selanjutnya partai ini
dibekukan oleh pemerintah. Namun, akhirnya
setelah Sukarni bebas, pembekuan partai ini
sudah berakhir lalu partai ini kembali aktif.
Jasa Sukarni ini lalu dianggap begitu penting
hingga akhirnya Presiden Joko Widodo
memberiakn ia gelar bintang mahaputra kelas
empat yang ditujukan pada perwakilan
keluarganya.
B.M.DIAH

Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7


April 1917 – meninggal di Jakarta, 10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah seorang tokoh
pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.
Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya
hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah
Mohammad Diah, yang berasal dari Barus, Sumatra
Utara. Ayahnya adalah seorang pegawai pabean di Aceh
Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin
kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya
sendiri. Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah
wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga.
Burhanuddin, anak bungsu dari 8 bersaudara, juga
mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua
ayahnya.
Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang
dan kaya di lingkungannya. Namun hidupnya boros,
sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat
menikmati kekayaan ayahnya. Ditambah lagi karena
seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia.
Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab
memelihara keluarganya. Untuk itu ia terjun ke dunia
usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan
tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga
Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti
Hafsyah. Burhanuddin belajar di HIS, kemudian
melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini
diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan
guru-guru Belanda.
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke
Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut (sekarang
Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes
Dekker. Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik, tetapi
ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari
pribadi Douwes Dekker. Burhanuddin sebenarnya tidak
mampu membayar biaya sekolah. Namun, melihat
tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus
belajar dan bahkan memberikan kesempatan kepadanya
menjadi sekretaris di sekolah itu.
Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke
Medan dan menjadi redaktur harian Sinar Deli. Ia tidak
lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun
kemudian ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin
Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah
ke Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu
dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan.
Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri,
bulanan Pertjatoeran Doenia.
Setelah tentara Jepang datang dan menjajah
Indonesia, Burhanuddin bekerja di Radio Hosokyoku
sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Namun pada saat
yang sama, ia pun merangkap bekerja di Asia Raja. Ketika
ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat lain,
Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat
hari.
Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah
Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang penyiar
lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat.
Mereka berpacaran, dan tak lama kemudian, pada 18
Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka
ini dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada akhir Agustus 1945, setelah diumumkan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Diah
bersama sejumlah rekannya, seperti Joesoef Isak
dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan berusaha
merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang
menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang telah
menyerah kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat
Jepang masih memegang senjata. Namun kenyataannya
malah sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga
percetakan tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan
pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-rekannya.
Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan
Harian Merdeka. Diah menjadi pemimpin redaksi, Joesoef Isak
menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah
memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun
belakangan ia lebih banyak menangani PT Masa Merdeka,
penerbit Harian "Merdeka". Belakangan joesof isak, seorang
sukarnois, terpaksa diberhentikan atas desakan pemerintah
Orde Baru. Semnentara Rosihan Anwar mendirikan surat
kabarnya sendiri, harian pedoman. Pada April 1945, bersama
istrinya Herawati, Diah mendirikan koran
berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai
penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-Soekarno dan
menentang militerisme. Ia pernah bertolak pandangan dengan
pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa
berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas-
petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk
mengubah sebutan "Tionghoa" menjadi "Cina" dan
"Republik Rakyat Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat
Cina", Harian "Merdeka"—bersama Harian "Indonesia
Raya"—dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih tetap
mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".
Tahun 1959, B.M. Diah diangkat menjadi duta besar
untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia
dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand - semuanya
untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh
Presiden Soeharto menjadi menteri penerangan.
Belakangan Diah diangkat menjadi anggota DPR dan
kemudian anggota DPA.
Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta,
Hyatt Aryadutta, di tempat yang dulunya merupakan rumah
orangtua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah
sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil
Pemimpin PT Hotel Prapatan-Jakarta B.M. Diah meninggalkan
dua orang istri, Herawati Diah dan Julia binti Abdul Manaf,
yang dinikahinya diam-diam ketika ia bertugas di Bangkok,
Thailand. Dari Herawati, ia memperoleh dua orang anak
perempuan dan seorang anak laki-laki, sementara dari istri
keduanya ia memperoleh dua orang anak: laki-laki dan
perempuan. Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara,
Diah dianugerahi tanda-tanda penghargaan yaitu, Bintang
Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto (10 Mei 1978) dan
Piagam penghargaan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari
Dewan Harian Nasional Angkatan '45 (17 Agustus 1995)
Soal Latihan

Soal Sejarah.docx
Daftar Pustaka
file:///C:/Users/Acer/Pictures/B.M.%20Diah%20-
%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%
20ensiklopedia%20bebas.html
file
:///C:/Users/Acer/Pictures/Biografi%20Tuanku%2
0Imam%20Bonjol%20Pahlawan%20Nasional%20Ind
onesia%20-%
20Biografi%20Tokoh%20Dunia%20Lengkap.html
file:///C:/Users/Acer/Pictures/Herawati%20Diah%
20-%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%
20ensiklopedia%20bebas.html
file:///C:/
Users/Acer/Pictures/WARTA%20SEJARAH%20%
20RIWAYAT%20HIDUP%20BURHANUDIN%20MO
HAMMAD%20DIAH.html

Anda mungkin juga menyukai