Anda di halaman 1dari 37

PANCASILA:

Sinergisitas Nilai-Nilai Agama dan Budaya Menjaga Kerukunan Bangsa

Musta’in Mashud
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
22 Oktober 2020
Assalamu’alaikum WW
Potret Singkat Masyarakat Indonesia

• Berdasarkan Data Kependudukan Semester I 2020, dilansir dari siaran pers


Dukcapil Kemendagr, jumlah total penduduk Indonesia per 30 Juni sebanyak
268.583.016 jiwa: sebanyak 135.821.768 orang adalah laki-laki dan
132.761.248 penduduk perempuan.
• Jumlah penduduk laki-laki naik 0,71 persen dibandingkan 2019, yaitu
134.858.411 jiwa; sedang perempuan juga mengalami kenaikan 0,82 persen.
• Wilayah Indonesia membentang luas sepanjang 3.977 mil antara Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia.
• Menurut CIA world Factbook, Indonesia memiliki luas wilayah
1,904,569 km2 dengan jumlah pulau sebanyak 17,508 pulau.
• Terdapat 742 bahasa lokal. Pulau Jawa dengan jumlah penduduk
paling besar (123 juta) memiliki 20 bahasa. Sebaliknya, Papua
Barat yang penduduknya hanya 2 juta orang memiliki
271 bahasa.
• Luas daratannya mencapai 1,9 juta kilo meter persegi.
Sedangkan luas lautan atau perairannya mencapai 3,3 juta kilo
meter persegi.
• Oleh karena itu, Indonesia mempunyai predikat sebagai negara
maritim yang memiliki garis pantai 95.181 km dan
menjadikannya sebagai negara yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia setelah Kanada.
• Dilihat dari etnis, Indonesia memiliki lebih dari 300
kelompok etnik (suku bangsa): 1.340 suku bangsa di Tanah Air
(BPS, 2010)
• Keragaman bangsa Indonesia, juga terlihat dari agama yang ada.
Selain agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan
Budha, juga terdapat aliran-aliran kepercayaan yang tersebar ke
sluruh pelosok tnah air, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) mencatat setidaknya ada 187 organisasi penghayat
kepercayaan di Indonesia. Dari angka itu sedikitnya 12 juta orang di
Indonesia adalah penghayat kepercayaan.
• Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga setelah
Amerika dan India dan negeri Muslim terbesar di dunia.
• Secara kuantitatif, jumlah populasi Muslim Indonesia bahkan
lebih besar dari gabungan jumlah umat Islam di negara-negara
Arab.
• Sekitar 207 juta Muslim lahir dan yang tinggal di Indonesia,
menyumbang hampir seperempat total populasi Muslim dunia
sebesar 1,57 miliar jiwa.
• Secara kualitatif, Islam dapat bersanding dengan demokrasi dan
bersimbiosis dengan nasionalisme (Iskandar, 2017).
• Bagaimana hal itu (Islam bersimbiosis dengan nasionalisme)
bisa terjadi? Bagaimana benturan peradaban (clash of
civilization) antara demokrasi Barat dan penentangnya,
terutama Islam, tidak terjadi di di Indonesia?
• Jawabannya jelas, karena Islam berjalan seiring dengan
demokrasi, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi.
• Bagaimana hal ini bisa terjadi, karena Indonesia mempunyai
Pancasila.
Pancasila dalam Pluralitas Masyarakat
Indonesia
• Latar sosial demografis warga masyarakat bangsa Indonesia
sangatlah beragam, baik sosial, budaya, geografis, agama, aliran
kepercayaan maupun sistem ekonominya.
• Meski berlatar beragam, namun telah bersepakat menjadi
kesatuan dalam bingkai persatuan Indonesia (NKRI): Bhineka
Tunggal Ika dengan bingkai Pancasila.
• Kalimat Bhineka Tunggal Ika ini berasal dari Bhinnêka tunggal
ika tan hana dharma mangrwa yang merupakan kutipan dari
sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma,
karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad
ke-14.
• Statemen ini sungguh sangat istimewa karena mengajarkan
toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Budha. Dengan
kalimat sederhana inilah Indonesia yang plural dapat hidup dan
bertahan hingga sekarang.
• Masyarakat majemuk (plural) adalah masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembaruan satu sama lain di dalam satu kesatuan politik.
• Sistem nilai yang dianut kurang memiliki loyalitas terhadap
masyarakat sebagai keseluruhan, kebudayaannya heterogen
atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling
memahami satu sama lain (Furnivall, 1939; Nasikun, 1995).
• Karakterisktik masyarakat plural menurut Pierre L. Van den Berghe
mempunyai ciri
1. terjadi segmentasi ke dalam bentuk-bentuk kelompok sub
kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lain
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-
lembaga yang bersifat non komplomenter
3. Kurang mengembangkan konsensus diantar para anggota-
anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar
4. Secara relatif seringkali mengalami konflik diantara kelompok
yang satu dengan kelompok yang lain
5. Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion)
dan (namun) saling ketergantungan di dalam bidang ekonom; dan
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain
(Nasikun, 1995:33)
• Sebagai masyarakat majemuk, potensi konflik relatif tinggi. Konflik
dapat dengan mudah terjadi, baik dalam bentuk yang lunak, subtle
sampai kepada bentuk-bentuk yang keras dan terbuka:
ketidaksukaan (dislikeness); ketidaksepakatan (discord),
ketidaksetujuan (disagreement), perseteruan (rivalry), persaingan
(competition), permusuban (hostility), oposisi (opposition), kontak
fisik (physical contact), dan sebagainya.
• Karena itu, perlu dibangun dan dikembangkan toleransi. Perbedaan
dan kebhenikaan selain terlihat secara horizontal (kesatuan-kesatuan
sosial berdasarkan etnis, agama, adat, dan perbedaan kedaerahan,
dst); juga secara vertikal seperti terlihat dari strata sosial yang kian
tidak saja semakin terdifferensi, tetapi juga terpolarisasi.
• Konflik menjadi semakin problematik terlebih jika munculnya
secara akumulatif: ekonomi politik, rasial, sentimen agama,
primordialisme, etnosentrims: horiontal-vertikal.
• Konflik berbasis ekonomi akan segera mengait dengan ekonomi,
politik, identitas karena menyangkut eksistensi.
• Hampir semua nation-state modern merupakan entitas legal
teritorial yang memayungi banyak suku bangsa dan bersifat
multinasional.
• Dalam pidato anugerah doktor honoris causa di Universitas
Airlangga 2018, Iskandar menyatakan bahwa hanya 9 persen
dari seluruh negara-bangsa modern yang memiliki kebangsaan
tunggal, 29,5 persen di antaranya tak memiliki mayoritas
nasional (Rourke, 1986: 77).
• Sementara itu, Ra’anan (1990) menyatakan lebih dari 90 persen
negara modern tidak terbentuk dari kebangsaan tunggal
(nation-state). Terkadang nation lebih besar ketimbang state
(multistate nationalities), tetapi kebanyakan state lebih besar
daripada nation (multinational state).
• Orang-orang Quebec yang diklaim sebagai “orang Perancis”
yang ada di Kanada, orang-orang Palestina yang tersebar di
Israel, Lebanon, Jordania, dan Mesir, dan bangsa Kurdi yang
terberai di Iran, Irak, dan Turkia dalah contoh bangsa yang
tersebar di banyak negara (multistate nationalities).
• Contoh paling aktual adalah Rohingnya, adalah etnis yang
kehilangan induk negaranya dan terlunta-terlunta sebagai
pencari suaka di banyak negara.
• Ada juga varian bangsa yang terpecah ke dalam dua negara dan
sama-sama menjadi mayoritas seperti Korea Utara dan Korea
Selatan serta Sudan dan Sudan Selatan.
• Mayoritas nation-state modern adalah multinational state
seperti Indonesia. Dalam negara-bangsa majemuk seperti
Indonesia ini, tantangan utamanya adalah membangun
integrasi nasional berbasis kewargaan (civic nationalism) tanpa
menindas keragamaan ekspresi suku bangsa sebagai naungan
budaya dan afiliasi kulturalnya. Prinsipnya adalah kesetaraan
non-diskrimintif.
• Sejauh ini, Indonesia relatif berhasil mencegah Balkanisasi dari
serangkaian konflik etnis yang menderanya. Namun, sebagai
negara majemuk, sentimen etnis di Indonesia tidak pernah
“tidur” dan bisa bangun dan meledak begitu bertemu faktor
lain, terutama ketimpangan sosial dan ekonomi.
• Sebagai sebuah bangsa, Indonesia masih dalam proses menjadi
(process to be) meskipun proyek kebangsaan sudah
dicanangkan sejak tahun 1928.
• Bahasa dan Tanah Air memang sudah bisa dipersatukan, tetapi
tampaknya belum untuk menjadi bangsa yang satu (Iskandar,
2017).
• Di berbagai negara poskolonial, peran negara penting sebagai
lokomotif pembangunan untuk memajukan kesejahteraan. Namun,
di tengah arus global neoliberalisme yang membunyikan lonceng
kematian nation-state (Ohmae, 1990; 1996), negara semakin
kehilangan peran dan fungsinya karena seluruh sendi-sendi
kehidupan sosial telah dikuasai dan didikte oleh kekuatan pasar.
• Situasi demikian acap menambah persoalan (tantangan) dalam
membangun nasionalisme Indonesia
• Ekonomi, politik, hukum, seni, dan budaya telah ‘diperalat’
pasar untuk memuluskan kepentingannya. Bahkan agama yang
sejatinya adalah wilayah sakral telah dimanipulasi untuk
memperbesar surplus di industri kostum, fesyen, dan
hiburan.Inilah tantangan yang akan selalu muncul pada
masyarakat Indonesia yang sedang membangun negara bangsa.
Falsafah dan Idologi Masyarakat Indonesia:
Pancasila
• Pancasila adalah ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan ideologi Negara ideal paripurna pada masyarakat majemuk
paripurna (Latif, 2018).
• Sebagai ideologi bangsa, Pancasila sudah final, sudah selesai. Pancasila
menjadi referensi dalam menguraikan dan menyelesaikan semua
dinamika sosial kebangsaan yang terjadi. Pancasila telah melandasi setiap
sendi dan elemen kehidupan berbangsa, sebagai jiwa sekaligus raga,
nafas dan nyawa bagi kebangsaan.
• Sebagai pandangan hidup, Pancasila merepresentasikan nilai-
nilai kebangsaan bagi terjalinnya kehidupan berbangsa yang
apik dan berbudaya. Pancasila merepresentasikan nilai-nilai
perjuangan keindonesiaan (Latif (2011).
• Majemuk paripurna artinya, kemajemukan adalah keniscayaan
sejarah: sunnatullah. Kemajemukan adalah nilai kehidupan
berbangsa bagi kesatuan dan persatuan. Melalui budaya
majemuk ini perjuangan Indonesia dalam memerdekakan diri
menjadi langkah gerakan kolektif demi mewujudkan Negara
yang maju dan berkembang (Latif, 2015).
• Keberadaan pancasila memberikan nilai mengenai pentingnya
keragaman di Indonesia. Keragaman agama mesti disikapi secara
terbuka, dan toleran dalam menjaga kerukunan.
• Dalam konsep pluralisme agama (toleransi) yang paling utama
adalah mengedepankan kepentingan sosial-kemasyarakatan, bukan
berdasar keyakinan.
• Pancasila mengandung nilai-nilai yang bersinergi dengan agama
dan budaya untuk terciptanya kerukunan bangsa. Akan tetapi pada
implementasinya di lapangan, keragaman suku, budaya, dan agama
yang ada di Indonesia acapkali masih menimbulkan perbedaan
pandangan di masyarakat terhadap pengamalan nilai-nilai
Pancasila.
Sinergisitas
• Kelima sila dalam Pancasila merupakan dialektika proses kehidupan
berbangsa. Pada setiap sila terdapat untaian rangkaian nilai-nilai
kebangsaan sekaligus kebudayaan.
• Pancasila sebagai sistem kebudayaan. Artinya, Pancasila menjadi bagian
dari laku budaya setiap kehidupan berbangsa yang terepresentasikan
dalam pelbagai kehidupan, baik budaya, politik, dan agama. Pancasila
menjadi orientasi hidup dan tujuan bagi kehidupan berbangsa (Arif, 2015,
hal. 60-61).
• Pancasila menjadi representasi sekaligus presentasi nilai-nilai sosial
budaya yang beragam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, mengikuti sibernetika Talcott Parson,
menjadi ultimate value terhadap sistem budaya, sistem sosial,
sistem kepribadian sampai ke sistem organisme kehidupan manusia.
• Mengikuti cara berpikir Struktural Fungsional, Pancasila telah
terbukti menjaga keseimbangan sosial (social equilibrium) terhadap
stabilitas sosial dan politik.
• Pancasila telah menjadi landasan teologis kehidupan umat
beragama. Artinya dalam menjalin hubungan baik antar pemeluk
agama, untuk saling toleran diperlukan kekuatan yang sifatnya
kultural diterima oleh semua agama. Untuk itu pancasila memiliki
kedudukan sebagai basis nilai dalam membangun sikap
keberagamaan di tengah kemajemukan agama dan juga budaya.
• Teologi merupakan pemahaman ketuhanan yang dimiliki oleh
agama-agama sebagai landasan berkeyakinan dalam menjalankan
rutinitas keagamaan (Homby, 1995).
• Setiap agama memiliki penafsiran dan pemahaman ketuhanan
yang berbeda. Secara pengertian, konsep teologisnya sama, setiap
agama memiliki keyakinan ketuhanan, namun berbeda dalam hal
praktik bahkan keyakinan.
• Masalah teologi ini sangat peka dan sensitif. Karena konsep
teologisnya berbeda dan tidak akan pernah bisa bertemu; maka
perlu toleransi. Dalam melahirkan kerukunan umat beragama
harus mengedepankan hubungan dan kepentingan bersama
dalam tujuan-tujuan sosial.
• Teologi klasik masih mengedepankan hubungan teosentris. Karena itu,
orientasinya masih mementingan hubungan ketuhanan dan kemanusiaan
saja, kurang memperhatikan bagaimana membangun hubungan manusia
dengan kemanusiaan.
• Rekonstruksi sosial teologis ini penting untuk membangun toleransi agama-
agama dan kepedulian terhadap isu-isu kemanusiaan yang dilandasi dengan
akar-akar teologis yang kuat.
• Nietzsche menegaskan manusia harus keluar dari doktrin absolute
ketuhanan dan menciptakan nilai-nilai yang baru.
• Gus Dur pernah menyebutkan jika “Tuhan tidak perlu dibela”.
• Kata-kata ini adalah wacana kritis terhadap konsep teologi klasik, yang
cenderung teosentris, selalu membela Tuhan namun lupa membela
kemanusiaan
• Wacana-wacana ketuhanan perlu ditransformasikan kepada wacana-
wacana kemanusiaan. Konsep teologi Islam mestinya tidak lagi berdimensi
tunggal kemanusiaan, namun juga berdimensi sosial-kemanusiaan. Artinya,
landasan teologi akan menjadi dalil kuat menjadi solusi bagi isu-isu
kemanusiaan yang tengah terjadi (Hasan, 1988).
• Gud Dur (2010) pernah mengungkapkan bahwa agama dan kebangsaan
adalah sebuah ikatan. Keduanya adalah jodoh yang tidak bisa ditawar-
tawar lagi. Agama memiliki peran begitu penting dalam perjuangan
kemerdekaan bangsa.
• Agama merupakan representasi sebuah perjuangan teologis
berkebangsaan. Maka tidak bisa dipungkiri oleh siapapun jika agama
menjadi kekuatan paling penting bagi bangsa, melalui toleransi, mengingat
di mana Indonesia memiliki kemajemukan agama yang luar biasa.
• Bhineka tunggal ika bukan sekedar slogan tanpa nilai. Ia merupakan
representasi sistem kebudayaan atas pelbagai keragaman kehidupan
berbangsa (Mukhlis, 2016).
• Maka teologi kebhinekaan atau kepancasilaan adalah sebuah
keniscayaan. Prinsip teologi ini lahir dari bumi pertiwi. Teologi
pancasila merupakan budaya masyarakat pribumi yang menjunjung
kesantunan dan kerahamahan dalam budaya beragama. Itulah
kemudian Pancasila mengabadikan semua nilai tersebut dalam sistem
kebhinekaan dan kepancasilaan
Membangun Kerukunan
• Founding Father bangsa ini menyadari bahwa keragaman yang ada dalam
masyarakat merupakan realitas obyektif yang harus dijaga eksistensinya
dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa.
• Keragaman merupakan suatu kewajaran sejauh disadari dan dihayati
keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi.
Kemajemukan ini tumbuh dan berkembang ratusan tahun lamanya
sebagai warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia.
• Hefner (dalam Mahfud, 2009: pluralisme kultural di Asia Tenggara,
khususnya Indonesia, Malaysia, dan Singapura sangatlah mencolok,
terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki
pluralisme kultural seperti itu.
• Dalam teori politik Barat (1930-an dan 1940-an) wilayah ini,
khususnya Indonesia dipandang sebagai “lokus klasik” bagi konsep
masyarakat majemuk/plural (plural society) yang diperkenalkan ke
dunia. Pandangan Hefner bahwa Indonesia merupakan “lokus klasik”
(tempat terbaik/rujukan) bagi konsep masyarakat majemuk (Lestari,
2015)
• Pluralisme merupakan tantangan khususnya bagi agama-agama. Dari
sinilah arti penting pencarian titik temu (konvergensi) agama-agama.
• Terdapat beberapa pertimbangan sebagai kerangka acuan akan arti
pentingnya pencarian konvergensi agama-agama.
 Pertama, secara praktis pluralisme agama belum sepenuhnya dipahami umat
beragama, sehingga yang tampil ke permukaan justru sikap eksklusifisme
beragama, yang merasa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang
dipeluknya. Agama-agama lain dituduh sesat, maka wajib dikikis atau
pemeluknya ditobatkan, karena baik agama maupun pemeluknya terkutuk
dalam pandangan Tuhan. Di sinilah akar konflik dimulai...
 Kedua, di tengah-tengah pluralism agama ini, terdapat sebagian kecil pemeluk
agama (yang bersikap eksklusif) yang masih memonopoli kebenaran agama
(claim of truth) dan lahan keselamatan (claim of salvation). Pahadal secara
sosiologis, claim of truth dan claim of salvation itu, selain membuat berbagai
konflik sosial politik, juga membawa berbagai macam perang antar agama
(Sukidi, 1999)

• Dalam konteks agama-agama, pluralisme mengacu kepada teori


bahwa semua agama, meskipun dengan jalan yang berbeda-beda,
menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir,
yakni Tuhan (Kuntowibisono, 2003). Locke mendasarkan pemikirannya
bukan pada wahyu dan keimanan, tetapi logika dan argumentasi
hukum kodrat dan rasionya.
• Secara teoritis fenomena untuk menciptakan harmoni dalam keragaman
dalam bingkai kerukunan hidup antar umat beragama, dapat dilihat dari
perspektif teori konstruksi perdamaian yang meliputi beberapa unsur
antara effective channels of communication, effective system of
arbitration, integrative climate (Bridging social capital), critical mass of
peace enhancing leadership dan just structure
• lain: Tanpa mengurangi kontribusi agama dalam kehidupan sosial
terutama bila ditinjau dari fungsi integratif, ada faktor-faktor lain selain
agama yang ikut perpengaruh terhadap integrasi sosial. Bila ditinjau dari
teori perdamaian, Faktor-faktor tersebut, menurut Luc (2006) meliputi
beberapa hal antara lain: an effective channels of communication,
consultatition and negotitation, peace-enhancing structure and
institutions, an integrative political-psychological climate, a critical mass of
peace building leadership, and a supportive international environment.
• Kerangka Berpikir Harmoni Kehidupan: Konstruksi Perdamaian dalam
relasi interaksi antar umat beragama
Channels of communication

Institution Dialog
Antar
anggota Pluralitas
Integrative climate
Masyarakat Ke
Peace leadership /antar wargaan
Umatber
Just structure agama

Harmoni Kehidupan Antar Umat Beragama


• Ismail Suardi Wekke dalam Kolaborasi Penelitiannya dengan
Korea Institute of South East Asia Studies (KISEAS), Korea Selatan
dalam Research Fellow Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA)
mengemukakan bahwa:
masyarakat kita sudah tidak menerima dan mengakui (internalized) sebagai
masyarakat majemuk. Semua lapisan masyarakan telah menyadari, mengakui
dan menerima kemajemukan sebagai suatu yang alami (natural) dan
sunnatullah. Itulah sebabnya, sejak lama, khususnya 28 Oktober 1928 bangsa
ini sudah tertransformasi menjadi Negara bangsa (nation state) : Negara
Kesatuan dan Persatuan Indonesia yang mengindikasikan adanya pengakuan
keragaman dan perbedaan-perbedaan di dalamnya namun tetap satu, yakni
bangsa Indonesia
• Rasa kebangsaan (nasionalisme) penting bagi eksistensi suatu bangsa.
Nasionalisme Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan.
Beberapa tahun silam, Harian Kompas (15 Agustus 2005) pernah melakukan
jajak pendapat mengenai rasa kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap
kehidupan berbangsa.
• Hasilnya sungguh mengejutkan, rasa kebanggaan sebagai bangsa Indonesia
mengalami penurunan yang signifikan. Jika pada tahun 2003 rasa
kebanggaan sebagai bangsa Indonesia di kalangan masyarakat masih cukup
tinggi (94,1 %), pada 2004 menjadi 88,6 % dan pada 2005 turun lagi mejadi
76,5%.
• Mengutip Dodi Nandika (2016), kaum muda Indonesia dewasa ini seolah
kehilangan pegangan karena dihantam badai gelombang kapitalisme global.
Arus globalisasi ini terus-menerus menghantam sehingga mengikis identitas
nasional.
• Rasa kebangsaan juga dikhawatirkan akan semakin memudar karena
faktor-faktor internal seperti kesenjangan (disparitas) sosial-ekonomi,
kesenjangan antar-wilayah, munculnya nasionalisme-etnik seperti yang
terjadi di negara-negara bekas Soviet dan Yugoslavia, konflik rasial,
konflik-konflik horizontal, menguatnya ideologi-ideologi tandingan
terhadap Pancasila, radikalisme agama, gagalnya transisi demokrasi
secara damai, dan ktidakmampuan para pemimpin dalam mengelola
konflik dan kepentingan. Krisis karakter bangsa itu berpengaruh
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
• Akibat krisis karakter bangsa ini, berbagai tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara kita mengalami situasi yang memprihatinkan. Kehidupan
publik menurut Yudi Latif (2009: 80) akhirnya hanya merefleksikan nilai-
nilai buruk, dan kurang mengaktualisasikan nilai luhur masyarakat
• Toleransi adalah nilai dan tradisi yang niscaya dalam sebuah
masyarakat yang majemuk dan multikultur. Menurut saya, semua
agama dan budaya, mengajarkan toleransi, apalagi dalam masyarakat
majemuk dan multikultur seperti Indonesia.
• Tanpa toleransi, masyarakat akan selalu berada dalam suasana
konfliktual yang destruktif, saling bermusuhan, penuh arogansi dan
tidak stabil. Toleransilah yang bisa membuat perbedaan menjadi
kekuatan, mentransformasikan keragaman menjadi keharmonisan.
• Toleransi memungkinkan masyarakat plural bergerak maju secara
dinamis dalam situasi sosial yang damai dan stabil.
• Seperti dikemukakan KH Abdurahman Wahid (1991), yang sering disebut
Bapak Toleransi dan Pluralisme Indonesia, tegaknya pluralisme
masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara
damai (peaceful coexistence), karena hal demikian masih sangat rentan
terhadap munculnya kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang
pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi.
• Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran
untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang
satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima (take and give).
• Kesadaran semacam inilah yang disebut toleransi plus. Gus Dur
menyatakan bahwa ia akan menerima dan menyampaikan kebenaran yang
datang dari manapun, apakah itu datang dari Injil, Bhagawad Gita, atau
yang lain.
Wassalamu’alaikum WW

Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai