Anda di halaman 1dari 77

BIOKIMIA

KLINIS
STIKES IBNU SINA AJIBARANG
2021
KELOMPOK 4
1. IKHA MAULANA DEWI (19/FAM/140)
2. MEYLISA (19/FAM/143)
3. APRI SETIANA (19/FAM/144)
4. LAELA TIKI BUDIANTO (19/FAM/145)
5. AMALIA DIFA LESTARI (19/FAM/146)
6. REVANI EKA SAPUTRI (19/FAM/147)
7. MIRARI DWI R (19/FAM/148)
8. ANNISA USAFIER (19/FAM/149)
9. RIFKY ALFIANA (19/FAM/189)
POKOK PEMBAHASAN
KELAINAN
KELAINAN METABOLISME
KADAR GULA LIPID DAN UJI FUNGSI
DARAH LIPOPROTEIN GINJAL

02 04

01 03 05
PROTEIN UJI FUNGSI
PLASMA HATI
KELAINAN KADAR
GULA DARAH
Diabetes Melitus (DM)
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit
metabolik yang kebanyakan herediter dengan
tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria,
disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik
akut ataupun kronik sebagai akibat dari
kuranganya insulin efektif di dalam tubuh.
PATOFISIOLOGI DIABETES MELITUS

Patofisiologi diabetes melitus berpusat pada ganguan sekresiinsulin


atau ganguan kerja insulin. Terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin terkait dengan reseptor khusus pada
permukaan sel.
Sebagai akibat terkaitnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.
Resistensi insulin pada DM tpe II disertai adanya penurunan reaksi intra
sel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
lanjutan

Upaya untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah


terbentuknya glukosa dalam darah, harus dapat meningkatkan
jumlah insulin yang disekresikan.
Pada penderita toleransi terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit
meningkat. Peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes melitus.
Diabetes Melitus (DM) atau Hiperglikemia yaitu
suatu kelainan yang terjadi akibat tubuh kekurangan
hormon insulin, akibat glukosa tetap beredar didalam
aliran darah dan sukar menembus dinding sel. Keadaan
ini biasanya disebabkan oleh stres, infeksi, dan
konsumsi obat-obatan tertentu.
Diabetes Melitus (DM) atau Hiperglikemia merupakan suatu keadaan
meningkatnya kadar glukosa dalam tubuh seseorang yang melebihi batas
normal. Hiperglikemia yang tidak dikontrol terus menerus akan
berkembang menjadi penyakit diabetes melitus dan merupakn resiko bagi
penyakit metabolik lainnya.
Tipe Diabetes Melitus
Diabetes Melitus Tipe
1

Faktor penyebab diabetes tipe I adalah infeksi virus atau reaksi auto-
imun yang merusak sel-sel penghasil insulin, yaitu sel –β pada pangkreas
secara menyeluruh. Gejala dan tandatanda pada diabetes tipe I muncul
secara mendadak. Merasa cepat haus, sering kencing, badan mengurus, dan
lemah.
Apabila insulin tidak segera diberikan, penderita dari diabetes tipe I
tidak sadarkan diri, disebut juga dengan koma diabetik.
PHYSICAL EXAMINATION

Diabetes melitus tipe II ini disebabkan insulin yang tidak


bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah
bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme
glukosa tidak ada atau kurang. Penderita diabetes melitus
tipe II biasanya memiliki riwayat diabetes.

Apabila tidak ada gejala klasik, yang biasa dikeluhkan


oleh penderita yaitu cepat lelah, berat badan turun walaupun
banyak makan, atau rasa kesemutan di tungkai. Bahkan
terkadang ada penderita yang sama sekali tidak meraskan
perubahan yang terjadi pada dirinya.
Resistensi insulin mendahului terjadinya penurunan produksi
insulin. Selama resistensi insulin belum diperbaiki, pangkreas harus
bekerja keras untuk menghasilkan insulin sebanyak - banyaknya untuk
dapat menggempur resistensi tersebut agar gula juga bisa masuk.
Namun karena gejalanya minim, maka lama pankreas tidak mampu lagi
memproduksi insulin.
Obat yang diberikan pada penderita diabetes tipe II tidak hanya
obat untuk memperbaiki resistensi insulin, tetapi juga obat untuk
membantu pankreas meningkat kembali produksi insluin.
Faktor Resiko DM Tipe II
Faktor resiko memegang peranan penting dalam pencegahan dan
pengendalian terjadinya DM tipe II. Faktor resiko dibedakan menjadi
faktor yang dapat diubah (faktor eksternal) dan faktor yang tidak dapat
diubah ( faktor internal)

Faktor yang dapat diubah :

1. Indeks Masa Tubuh (IMT) > = 25kg/m2

Obesitas merupakan faktor utama DM tipe II. Hasil


penelitian dengan subjek obesitas memiliki resiko 2-7
kali lebih besar menderita DM tipe II dibandingkan
yang tidak obesitas.
2. Gaya hidup
1) Merokok menyebabkan ganguan metabolisme glukosa dan
meningkatkan resistensi insulin
2) Aktifitas fisik yang teratur meningkatkan sensitivitas resptor insulin
pada permukaan sel.

Faktor yang tidak dapat diubah :

a. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM getassional/kehamilan dengan DM. (Kemenkes, 2008).
b. Usia > 45 tahun Studi epidemiologi mengatakan bahwa tingkat
kerentanan terjangkitnya DM tipe II sejalan dengan bertambahnya usia
terkait proses degeneratif (Kemenkes, 2008)
c. Riwayat keluarga dengan DM. Penelitian dijepang menunjukan DM tipe
II terkait kromosom 3q, 15q, dan 20q yang diturunkan. Riwayat keluarga
penderita DM lebih beresiko dan sampai 6 kali lipat dari pada yang
tidak memiliki resiko keluarga DM.
HIPOGLIKEMA
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah sewaktu
dibawah 60 mg/dl, kadar gula atau glukosa di dalam tubuh lebih
rendah dari kebutuhan tubuh.

ETIOLOGI HIPOGLIKEMA

Faktor yang memudahkan hipoglikemia antara lain kelebihan dosis


insulin pada pengidap diabetes dependen-insulin per-oral maupun
perIV, penggunaan sulfonylurea, kurangnya konsumsi makanan yang
cukup, latihan fisik yang berlebih, dan situasi stress
MANIFESTASI KLINIS HIPOGLIKEMA
Gejala-gejala hipoglikemia terdiri dari tiga fase yaitu fase sub
luminal dengan kadar gula darah 60-50 mg/dl gejala rasa lapar tiba-tiba.
Fase kedua adalah aktivasi dengan kadar gula darah 50-20 mg/dl yang
muncul gejala adrenergik seperti palpitasi, keringat berlebihan, tremor,
ketakutan, mual, muntah. Fase ketiga yaitu neurologi dengan kadar gula
darah <20 mg/dl dengan adanya gangguan fungsi otak serta muncul
gejala pusing, pandangan kabur, ketajaman mental menurun, hilangnya
skill motorik halus
PATOFISIOLOGI HIPOGLIKEMA
Price (2006) mengutarakan bahawa hipoglikemia terjadi karena
ketidak mampuan hati memproduksi glukosa yang dapat disebabkan
karena penurunan bahan pembentuk glukosa, penyakit hati atau ketidak
seimbangan hormonal. Pada pasien hipoglikemi, terdapat defisit sel β
langerhans, pengeluaran kedua hormon pengatur insulin dan glukagon
benar-benar terputus. Respon epinefrin terhadap hipoglikemi juga
semakin melemah. Frekuensi hipoglikemia berat, menurunkan batas
glukosa sampai ke tingkat plasma glukosa yang paling rendah.
Kombinasi dari ketiadaan glukosa dan
respon epinefrin yang lemah dapat
menyebabkan gejala klinis ketidak
sempurnaan pengaturan glukosa yang
meningkatkan resiko hipoglikemi berat
Penurunan respon epinefrin pada hipoglikemi adalah sebuah
tanda dari lemahnya respon saraf otonom yang dapat menyebabkan
gejala klinis ketidaksadaran pada hipoglikemi.
Selain itu, pada pasien dengan hipoglikemia terjadi kematian
jaringan yang disebabkan karena kekurangan oksigen pada jaringan
tersebut yang bahkan dapat mengancam kehidupan. Keadaan ini
terjadi karena adanya gangguan pada hematologi / hemoglobin yang
berperan sebagai transport oksigen. Hemoglobin yang kekurangan
glukosa akan mempengaruhi kualitas transport oksigen. Terapi
oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru
melalui saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai
kebutuhan
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien dengan hipoglikemik dibagi
menjadi 2 yaitu stadium permulaan (Sadar) dengan pemberian
glukosa oral 10-20 gram harus segera diberikan. Dapat berupa
gula murni (idealnya dalam bentuk tablet atau jelly) atau
minuman yang mengandung glukosa seperti jus buah segar.
Jika stadium lanjut (Koma Hipoglikemia) diberikan bolus
D10% yang diikuti pemberian larutan glukosa 40% melalui vena
sebanyak 2 flakon tiap 10-20 menit (ulangi 3x) hingga pasien
sadar. Dilanjutkan dengan pemberian D10% per infus 6 jam/ kolf.
Bila belum teratasi dapat diberikan antagonis insulin seperti
adrenalin, kortisol dosis tinggi, atau glukagon 1 mg intravena.
Untuk terapi hari selanjutnya pemberian dekstrosa
menyesuaikan dengan keadaan gula darah pasien
PROTEIN
PLASMA
PROTEIN PLASMA
Protein plasma ialah protein
total dalam plasma manusia
memiliki konsentrasi sekitar 7,0-
7,5 gr/dl dan membentuk bagian
terbesar dari bahan padat
plasma. Protein plasma
sebenarnya adalah campuran
kompleks yang mencakup tidak
saja protein – protein sederhana,
tetapi juga protein terkonjugasi,
misalnya glikoprotein dan
berbagai lipoprotein.
MACAM – MACAM PROTEIN PLASMA
a. Fibrinogen adalah salah satu protein yang disintesis oleh hati yang
merupakan reaktan fasa akut berbentuk globulin beta. Protein ini
berguna untuk proses hemostatis yang menstimulasi pembentukan
thrombus. Rasio plasma normal yang berkisar antara 200-400 mg/dL.

b. Albumin (69 kDa)


Albumin adalah protein utama dalam plasma manusia ( 3,4-4,7g/dL) dan
membentuk sekitar 60% protein plasma total. Sekitar 40% albumin
terdapat dalam plasma dan 60% sisanya terdapat diruang ekstrasel. Hati
menghasilkan sekitar 12 g albumin /hari, yaitu sekitar 25% dari semua
sintesis protein oleh hati dan separuh jumlah protein yang
disekresikannya. Sintesis albumin berkurang pada beragam penyakit
terutama penyakit hati.
c. Globulin

Menurut Harrow et al (1962), Globulin merupakan


salah satu golongan protein yang tidak larut dalam air,
mudah terkoagulasi oleh panas, mudah larut dalam
larutan garam dan membentuk endapan dengan
konsentrasi garam yang tinggi. Glubolin disusun oleh dua
komponen yaitu legumin dan vicilin. Suhardi (1989)
menambahkan bahwa dengan ultrasentrifugasi ditemukan
protein utama golongan 2S, 7S, 11S dan 15S. Fraksi terbesar
adalah globulin 7S yang merupakan glikoprotein. Protein
globulin dapat mencapai 70% dari total protein. Fraksi 11S
sampai sekarang baru dikenal sebagai protein tunggal
sedangkan frakti 15S belum dapat diidentifikasikan
senyawa penyusunnya.
d. Protombin
Sejenis glikoprotein yang
dibentuk oleh dan dsimpan dalam
hati. Sekresi protombin ke dalam
plasma darah, terjadi Karena
stimulasi dari tromboplastin dan ion
kalsium pada proses koagulasi.
Dalam proses tersebut, protobin
kemudian di konfrensi menjadi
thrombin oleh protrombinase lebih
lanjut. Thrombin akan memkonfrensi
fibrinogen menjadi fibrin.
FUNGSI PROTEIN PLASMA
1. Keseimbangan osmotik
Hipoalbumin menyebabkan tekanan osmotic plasma menurun
sehingga kapiler tidak mampu melawan tekanan hidrostatik
sehingga timbul oedem (cairan darah menuju ke jaringan interstitial).
2. Pembentukan dan nutrisi jaringan
3. Enzim, hormone, pembekuan darah ( fibrinogen, AT III ) dan jaringan
tubuh.
4. Daya tahan tubuh
5. Antibodi dan komplemen
Perubahan protein plasma :
a. Hiperalbumin : peningkatan kadar albumin.
Dijumpai pada dehidrasi terjadi hemokonsentrasi protein
plasma
b. Hipoalbumin
Dijumpai pada malnutrisi, malabsorbsi, hepatitis akut,
HIPERALBUMINEMIA

Peningkatan kadar albumin dalam serum disebut hyperalbuminemia.


Hiperalbuminemia merupakan suatu keadaan yang jarang ditemukan.
Hiperalbuminemia biasanya dijumpai apabila seseorang mengalami
dehidrasi akut dan syok. Selain itu, hiperalbuminemia juga dapat disebabkan
karea penerapan diet tinggi protein dan penggunaan tourniquet dalam waktu
yang lama ketika proses pengambilan darah .
Kadar albumin serum dikategorikan hyperalbuminemia apabila kadar
albumin >5,5 gram/dl dimana kadar albumin serum normal yaitu 3,5-5,5 g/dl
HIPOALBUMINEMIA
Salah satu faktor utama penyebab malnutrisi pada pasien ginjal
kronik adalah hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia adalah suatu keadaan
kadar albumin dalam serum kurang dari normal. Kadar serum albumin
yang kurang dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu hipoalbuminemia
ringan (kadar 3,2-3,5 g/dl), hipoalbumin sedang (2,8-3,2 g/dl). Kategori
hipoalbuminemia berat ( < 2,8 g/dl).

Kadar albumin dalam serum tergantung pada tiga proses yang


dinamis, yaitu sintesis, degradasi, dan distribusi. Proses degradasi
albumin terjadi pada keseimbangan dalam kolodial plasma, tetapi tidak
terjadi di dalam plasma maupun pool ekstraseluler.
Albumin yang disintesis di hati akan masuk ke dalam
sirkulasi melalui dinding sel hati kr sinusoid, selanjutnya ke
saluran limfe hati, ductus torasiikus, dan terakhir melalui
aliran darah mencapai seluruh tubuh.
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan sintesis, yaitu
pada keadaan malnutrisi dan penyakit hati, proses degradasi yang
berlebihan pada kondisi nefrosis dan gastrointestinalloss, atau
peningkatan kehilangan albumin dari vascular pada keadaan shock dan
edema. Kadar albumin plasma < 2 g/dl sering dijumpai pada sindroma
nefrotik, gastroenteropati dan sepsis; kadar 2-2,3 g/dl sering didapatkan
pada pasien sirosis hati dan glomerulonefritis, sedangkan kadar 2,3-3
g/dl dijumpai pada reaksi fase akut, hepatitis virus, malnutrisi,
carcinoma, arthritis rematik, dan infeksi berat .
KELAINAN
METABOLISME
LIPID DAN
LIPOPROTEIN
KELAINAN
METABOLISME
LIPID
OBESITAS
Obesitas merupakan kelainan
kompleks pengaturan nafsu makan
dan metabolisme energi yang
dikendalikan oleh faktor biologi
spesifik, ditandai dengan penimbunan
jaringan lemak tubuh secara
berlebihan.
Adanya perbedaan kandungan
lemak tubuh pada wanita dan laki-laki
yang menderita obesitas disebabkan
karena per bobot total tubuh pada
wanita lebih banyak daripada laki-
laki. Pada wanita obesitas, terdapat
kandungan lemak dalam tubuh lebih
dari 30%, sedangkan pada laki-laki
antara 20-25%
EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 50% dari 671 juta penderita obesitas di seluruh dunia
terdapat di 10 negara berikut antara lain : United State, Cina, India, Rusia,
Brazil, Mexico, Egypt, Jerman, Pakistan dan Indonesia menempati urutan
ke 10 (Murray, 2014).
Angka obesitas penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun. Prevalensi overweight dan obesitas di Indonesia menurut Badan
Litbangkes tahun 2013 yaitu 28,9% meningkat jika dibandingkan dengan
Badan Litbangkes tahun 2010 sekitar 21,7%. Data Badan Litbangkes tahun
2007 menunjukkan prevalensi obesitas dan gizi lebih pada penduduk usia
15 tahun ke atas secara nasional sekitar 19,1%. (Badan Litbangkes, 2013).
ETIOPATOGENESIS
Penyebab obesitas sangat kompleks dan multifaktorial. Obesitas
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara asupan energi dan
pengeluaran energi. Asupan energi yang berlebih mengakibatkan
kelebihan energi disimpan dalam bentuk jaringan lemak.
Gangguan keseimbangan energi ini sebagian besar disebabkan oleh
faktor eksogen (obesitas primer) dan faktor endogen (obesitas
sekunder) yang disebabkan oleh kelainan hormonal, sindrom atau defek
genetik yang terjadi pada sekitar 10% kasus obesitas. Obesitas diduga
disebabkan karena adanya interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan seperti aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisi.
1. Faktor genetik
Parenteral fatness merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam kejadian obesitas. Bila kedua orang tua obesitas, sekitar 80%
anaknya akan mengalami obesitas, bila salah satu orang tuanya
mengalami obesitas maka hanya sekitar 40% kemungkinan anaknya
mengalami obesitas. Namun bila kedua orang tua tidak mengalami
obesitas, maka kejadian obesitas pada anak akan turun sekitar 14%.

2. Faktor Lingkungan
a. Pola makan dan perilaku makan
Pengendalian asupan makanan melibatkan proses biokimiawi yang
menentukan rasa lapar dan kenyang termasuk penentuan selera jenis
makanan, nafsu makan dan frekuensi makan.
b. Kurangnya aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik sehari-hari merupakan salah satu
faktor yang berkaitan dengan obesitas. Obesitas cenderung
menurunkan aktivitas karena jantung dan paru harus bekerja lebih
keras. Peningkatan massa tubuh juga memerlukan tambahan
energi dalam melakukan kegiatan yang sama.
c. Sosial ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku hidup, gaya hidup dan
pola makan serta faktor peningkatan pendapatan mampu
mempengaruhi perubahan dalam pemilihan jenis makanan dan
jumlah yang dikonsumsi.
d. Obat
Beberapa obat terbukti berisiko menyebabkan peningkatan berat
badan : Thioridazine, olanzepinequetiapine, risperidone, clozapine,
ziprasidone .
HIPERLIPIDEMIA

Hiperlipidemia adalah kondisi terjadinya peningkatan kolesterol dan


atau trigliserid darah. Hiperlipidemia dibedakan menjadi dua yaitu
hiperlipidemia primer dan hiperlipidemia sekunder. Hiperlipidemia
primer merupakan hiperlipidemia yang terjadi akibat predisposisi
genetika atau keturuan. Hiperlipidemia sekunder merupakan akibat
penyakit lain misalnya diabetes mellitus, hipotiroidisme.
PATOFISIOLOGI
Secara umum, hiperlipidemia terjadi berdasarkan beberapa
mekanisme:
(1) Penurunan ekskresi trigliserida kaya lipoprotein dan inhibisi
lipoprotein lipase dan trigliserida lipase.
(2) Faktor-faktor lainnya seperti resistensi insulin, defisiensi
carnitine, dan hipertiroidisme yang dapat menyebabkan kelainan
metabolisme lemak.
(3) Pada sindrom nefrotik, penurunan kadar protein albumin dalam
sirkulasi menyebabkan kenaikan sintesis lipoprotein untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma
Terapi Hiperlipidemia

1. Terapi non medikamentosa


Penderita trigliseridemia biasanya mengalami obesitas,
resistensi insulin, diabetes, atau hipertensi yang merupakan factor
resiko penyakit kardiovaskular, sehingga penurunan berat badan,
modifikasi diet dan olahraga sangat diperlukan. Modifikasi diet
harus dapat menurunkan berat badan dengan proporsi lemak dan
karbohidrat yang rendah. Konsumsi alkohol harus dikurangi atau
bahkan dilarang.
2. Terapi medikamentosa
a. Fibrat Derivat asam fibrat seperti gemfibrozil, benzafibrat dan
fenofibrat adalah pilihan terapi untuk trigliseridemia. Fibrat dapat
menurunkan trigliserida plasma hingga 50%, dan meningkatkan
kadar HDL-C plasma hingga 20%.
Mekanisme kerja fibrat adalah memodulasi aktivitas
reseptor aktivasi peroksisom proliferator di hati, sehingga
menurunkan sekresi VLDL oleh hati dan meningkatkan
lipolysis trigliserida di plasma. Fibrat juga mereduksi jumlah
LDL dan meningkatkan HDL-C.
b. Statin
Statin adalah inhibitor koenzim 3-hidroksi-metilglutaril.
Statin bukan pilihan terapi lini pertama apabila kadar
trigliserida plasma lebih dari 5 mmol/liter. Sama seperti
fibrat, statin pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik
dan jarang sekali menimbulkan miopati atau toksik pada hati.
Penggunaan kombinasi statin dan fibrat
direkomendasikan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dan
efektif untuk mengontrol resiko kardiovaskular.
c. Niacin
Penggunaan niacin secara rutin
dapat menurunkan kadar trigliserida
plasma hingga 45%, meningkatkan HDL-
C plasma hingga 25% dan menurunkan
LDL-C hingga 20%. Namun, penggunaan
niacin sering menimbulkan efek
samping yaitu gatal-gatal, cutaneous
flushing, dan light headedness.
DISLIPIDEMIA
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Dislipidemia
adalah istilah luas yang mengacu pada sejumlah gangguan lipid.
Gangguan lipid ini 80% terkait dengan diet dan gaya hidup, meskipun
gangguan familial (20%) juga penting.
Perubahan gaya hidup masyarakat erat hubungannya dengan
peningkatan kadar lipid. Konsumsi asam lemak trans berdampak negatif
seperti asam lemak jenuh, tetapi asam lemak jenuh tidak mempengaruhi
kolesterol HDL. Salah satu sumber pangan yang mengandung asam
lemak trans adalah margarin.
Upaya pencegahan dan pengobatan dislipidemia
merupakan perbaikan gaya hidup dan sikap dengan
menerapkan pola hidup sehat seperti mengendalikan berat
badan, olahraga secara teratur, mengatur pola makan,
mengubah kebiasaan tidak sehat seperti merokok, dan minum-
minuman beralkohol. Pembatasan asupan makanan yang
mengandung kolesterol, dan lemak jenuh akan menurunkan
risiko PJK dan dapat menyebabkan perlambatan bahkan regresi
aterosklerosis akibat dislipidemia.
KELAINAN
METABOLISME
LIPOPROTEIN
Hiperlipoproteinemia
Hiperlipoproteinemia adalah gangguan metabolik yang ditandai oleh
peningkatan jumlah partikel lipoprotein yang melebihi ambang batas
dalam plasma darah. Nama lain hyperlipoproteinemia adalah
hyperlipidemia atau dyslipidemia. Hiperlipoproteinemia mengacu pada
kondisi di mana terjadi abnormalitas profil lipid dalam plasma .
Bebeberapa kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida (TG), serta penurunan
kolesterol HDL. Hiperlipoproteinemia merupakan salah satu faktor
risiko utama aterosklerosis dan penyakit jantung koroner.
ETIOLOGI
Faktor yang mempengaruhi hiperlipoproteinemia dibagi menjadi
2, yaitu:

1. Penyebab primer, yaitu faktor yang disebabkan oleh faktor


keturunan (genetik)
Faktor genetik merupakan salah satu faktor pencetus
terjadinya  dislipidemia. Dalam ilmu genetika menyebutkan
bahwa gen untuk  sifat – sifat tertentu (spesific – trait) diturunkan
secara berpasangan yaitu kita memerlukan satu gen dari ibu dan
satu gen dari ayah, sehingga kadar hiperlipidemia tinggi dapat
diakibatkan oleh faktor dislipidemia primer karena faktor
kelainan genetik.
ETIOLOGI
2. Penyebab sekunder, yaitu faktor-faktor yang didapat karena
suatu hal yang terjadi pada tubuh, seperti :

a. Faktor Jenis Kelamin


Risiko terjadinya dislipidemia pada pria  lebih besar daripada
wanita. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita produktif
terdapat efek perlindungan dari hormon reproduksi. Pria lebih
banyak menderita aterosklerosis, dikarenakan hormon seks pria
(testosteron) mempercepat timbulnya aterosklerosis sedangkan
hormon seks wanita (estrogen) mempunyai efek perlindungan
terhadap aterosklerosis.
ETIOLOGI
b. Faktor Usia
Semakin tua usia seseorang maka fungsi organ tubuhnya
semakin menurun, begitu juga dengan penurunan aktivitas 
reseptor LDL, sehingga bercak perlemakan dalam tubuh semakin
meningkat dan menyebabkan   kadar kolesterol total lebih tinggi,
sedangkan kolesterol HDL relatif tidak berubah.
c. Faktor Kegemukan 
Kegemukan erat hubungannya dengan peningkatan risiko
sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri – sendiri atau
bersamaan. Kegemukan disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara energi yang masuk bersama makanan, dengan energi yang
dipakai. Kelebihan energi ini ditimbun dalam sel lemak yang
membesar
ETIOLOGI
d. Faktor Olah Raga
Olah raga yang teratur dapat menyebabkan kadar kolesterol
total, kolesterol LDL, dan trigliserida menurun dalam darah,
sedangkan kolesterol HDL meningkat secara bermakna. Lemak
ditimbun dalam di dalam sel lemak sebagai trigliserida. Olahraga
memecahkan timbunan trigliserida dan melepaskan asam lemak
dan gliserol ke dalam aliran darah.
e. Faktor Merokok
Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol total,
kolesterol LDL, trigliserida, dan menekan kolesterol HDL. Pada
seseorang yang merokok, rokok akan merusak dinding pembuluh
darah. Nikotin yang terkandung dalam asap rokok akan
merangsang hormon adrenalin, sehingga akan mengubah
metabolisme lemak yang dapat menurunkan kadar kolesterol HDL
dalam darah.
GEJALA
1. Biasanya kadar lemak yang tinggi tidak menimbulkan gejala.
Kadang-kadang, jika kadarnya sangat tinggi, endapan lemak
akan membentuk suatu pertumbuhan yang disebut
xantoma di dalam tendon dan di dalam kulit.
2. Kadar trigliserida yang sangat tinggi (sampai 800 mg/dL atau
lebih) bisa menyebabkan pembesaran hati dan limpa dan
gejala - gejala dari pankreatitis (misalnya nyeri perut yang
hebat).
PENGOBATAN
Biasanya pengobatan terbaik untuk orang-orang yang
memiliki kadar kolesterol atau trigliserida tinggi adalah :

● Menurunkan berat badan jika mereka mengalami kelebihan


berat badan.
● Berhenti merokok.
● Mengurangi jumlah lemak dan kolesterol dalam makanannya.
● Menambah porsi olah raga.
● Mengkonsumsi obat penurun kadar lemak (jika diperlukan).
HIPOLIPOPROTEINEMIA

Hipolipoproteinemia (Hypolipoproteinemia) adalah


rendahnya kadar lemak dalam darah.
Hipolipoproteinemia jarang menimbulkan masalah,
tetapi bisa merupakan petunjuk adanya penyakit lain
seperti, kelenjar tiroid yang terlalu aktif, anemia,
kekurangan gizi, kanker, malabsorbsi.
GEJALA
Beberapa penyakit keturunan yang jarang terjadi,
menyebabkan rendahnya kadar lemak yang bisa
menimbulkan masalah yang serius :
a. Hipobetalipoproteinemia : Kadar kolesterol LDL sangat
rendah, tetapi biasanya tidak menimbulkan gejala dan tidak
memerlukan pengobatan.
b. Abetalipoproteinemia Tidak terdapat kolesterol LDL dan tidak
dapat membuat kilomikron, sehingga menyebabkan :
- malabsorbsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak
- pergerakan usus yang abnormal
- tinja berlemak (steatorrhea)
- bentuk sel darah merah yang ganjil
- kebutaan akibat retinitis pigmentosa.
DIAGNOSA

Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan jika


ditemukan kadar kolesterol total kurang dari
120 mg/dL darah atau jika kadar kolesterol
LDL kurang dari 50 mg/dL, pada kelainan
herediter yang jarang, seperti
abetalipoproteinemia. Terdapat kadar lemak
yang cukup rendah sehingga mengakibatkan
efek yang serius pada tubuh.
PENGOBATAN

Penyakit ini tidak dapat disembuhkan, tetapi mengkonsumsi


sejumlah besar vitamin E dan vitamin A bisa memperlambat atau
menunda terjadinya kerusakan sistem saraf.
UJI FUNGSI
HATI
UJI FUNGSI HATI

Uji fungsi hati adalah tes yang


dilaukan untuk mengetahui
tingkat kerusakan pada hati.
Hal Yang Di Uji Dalam Fungsi Hati
1. ALT
ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim
yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk
penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya peningkatan
ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis
peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT.
Peradangan pada hati dapat dise- babkan oleh hepatitis virus,
beberapa obat, penggunaan alkohol, dan penyakit pada saluran cairan
empedu.

2. AST
AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam
jantung, ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit
hati. Dalam beberapa kasus peradangan hati, peningkatan ALT dan AST
akan serupa.
3. Fosfatase Alkali
Fosfatase alkali meningkat pada berbagai jenis penyakit hati, tetapi
peningkatan ini juga dapat terjadi berhu- bungan dengan penyakit tidak
terkait dengan hati. Fosfatase alkali sebetulnya adalah suatu kumpulan
enzim yang serupa, yang dibuat dalam saluran cairan empedu dan
selaput dalam hati, tetapi juga ditemukan dalam banyak jaringan lain.
Peningkatan fosfatase alkali dapat terjadi bila saluran cairan empedu
dihambat karena alasan apa pun. Di antara yang lain, peningkatan pada
fosfatase alkali dapat terjadi terkait dengan sirosis dan kanker hati.
4. GGT
GGT sering meningkat pada orang yang memakai alkohol atau zat
lain yang beracun pada hati secara berlebihan. Enzim ini dibuat dalam
banyak jaringan selain hati. Serupa dengan fosfatase alkali, GGT dapat
meningkat dalam darah pasien dengan penyakit saluran cairan empedu.
Namun tes GGT sangat peka, dan tingkat GGT dapat tinggi berhubungan
dengan hampir semua penyakit hati, bahkan juga pada orang yang
sehat.
GGT juga dibuat sebagai reaksi pada beberapa obat dan zat,
termasuk alkohol, jadi peningkatan GGT kadang kala (tetapi tidak selalu)
dapat menunjukkan penggunaan alkohol. Penggunaan pemanis sintetis
sebagai pengganti gula, seumpamanya dalam diet soda, dapat
meningkatkan GGT.
5. Bilirubin
Bilirubin adalah produk utama dari penguraian sel darah merah
yang tua. Bilirubin disaring dari darah oleh hati, dan dikeluarkan pada
cairan empedu. Seba- gaimana hati menjadi semakin rusak, bilirubin
total akan meningkat. Sebagian dari bilirubin total termetabolisme, dan
bagian ini disebut sebagai bilirubin langsung. Bila bagian ini meningkat,
penyebab biasanya di luar hati. Bila bilirubin langsung adalah rendah
semen- tara bilirubin total tinggi, hal ini menun- jukkan kerusakan pada
hati atau pada saluran cairan empedu dalam hati.
Bilirubin mengandung bahan pewarna, yang memberi warna pada
kotoran. Bila tingkatnya sangat tinggi, kulit dan mata dapat menjadi
kuning, yang meng- akibatkan gejala ikterus. Penggunaan atazanavir
(sejenis obat antiretroviral golongan PI) dapat menyebabkan
peningkatan pada tingkat bilirubin. Walaupun efek samping ini tidak
berbahaya, perubahan pada warna kulit dan mata dapat menimbulkan
6. Albumin
Albumin adalah protein yang mengalir
dalam darah. Karena dibuat oleh hati dan
dikeluarkan pada darah, albumin adalah
tanda yang peka dan petunjuk yang baik
terhadap beratnya penyakit hati. Tingkat
albumin dalam darah menunjukkan bahwa
hati tidak membuat albumin dan tidak
berfungsi sebagaimana mestinya.
Tingkat ini biasanya normal pada
penyakit hati yang kronis, sementara
meningkat bila ada sirosis atau kerusakan
berat pada hati. Ada banyak protein lain
yang dibuat oleh hati, namun albumin
mudah diukur.
UJI FUNGSI
GINJAL
UJI FUNGSI GINJAL
Uji fungsi ginjal adalah tes
yang dilakukan untuk
menentukan atau mengetahui
fungsi ginjal.
Metode pemeriksaan yang
dilakukan dengan mengukur
zat sisa metabolisme tubuh
yang diekskresikan melalui
ginjal seperti ureum dan
kreatinin.
Hal yang di uji dalam tes fungsi ginjal

1. Pemeriksaan Kadar Ureum


Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam
amino yang diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan
intraseluler dan ekstraseluler ke dalam darah untuk kemudian
difiltrasi oleh glomerulus. Pemeriksaan ureum sangat membantu
menegakkan diagnosis gagal ginjal akut. Klirens ureum merupakan
indikator yang kurang baik karena sebagian besar dipengaruhi diet.
Pengukuran ureum serum dapat dipergunakan untuk
mengevaluasi fungsi ginjal, status hidrasi, menilai keseimbangan
nitrogen, menilai progresivitas penyakit ginjal, dan menilai hasil
hemodialisis.
Ureum dapat diukur dari bahan pemeriksaan plasma, serum,
ataupun urin. Jika bahan plasma harus menghindari penggunaan
antikoagulan natrium citrate dan natrium fluoride, hal ini
disebabkan karena citrate dan fluoride menghambat urease.
Ureum urin dapat dengan mudah terkontaminasi bakteri. Hal ini
dapat diatasi dengan menyimpan sampel di dalam refrigerator
sebelum diperiksa.
Peningkatan ureum dalam darah disebut azotemia. Kondisi
gagal ginjal yang ditandai dengan kadar ureum plasma sangat
tinggi dikenal dengan istilah uremia. Keadaan ini dapat berbahaya
dan memerlukan hemodialisis atau tranplantasi ginjal.
Azotemia pra-renal adalah keadaan peningkatan kadar ureum yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah ke ginjal. Berkurangnya darah di
ginjal membuat ureum makin sedikit difi ltrasi. Beberapa faktor
penyebabnya yaitu penyakit jantung kongestif, syok, perdarahan,
dehidrasi, dan faktor lain yang menurunkan aliran darah ginjal.
Peningkatan ureum darah juga terjadi pada keadaan demam, diet
tinggi protein, terapi kortikosteroid, perdarahan gastrointestinal karena
peningkatan katabolisme protein. Penurunan fungsi ginjal juga
meningkatkan kadar urea plasma karena ekskresi urea dalam urin
menurun. Hal ini dapat terjadi pada gagal ginjal akut atau pun kronis,
glomerulonefritis, nekrosis tubuler, dan penyakit ginjal lainnya.
Azotemia pasca-renal ditemukan pada obstruksi aliran urin akibat
batu ginjal, tumor vesika urinaria, hiperplasia prostat, dan juga pada
infeksi traktus urinarius berat.
Penurunan kadar ureum plasma dapat disebabkan oleh penurunan
asupan protein, dan penyakit hati yang berat. Pada kehamilan juga terjadi
penurunan kadar ureum karena adanya peningkatan sintesis
protein.Pengukuran kadar ureum juga dapat dilakukan menggunakan
perbandingan ureum/kreatinin. Nilai perbandingan normal berkisar
antara 10:1 sampai dengan 20:1.
Pada gangguan pra-renal ureum plasma cenderung meningkat
sedangkan kadar kreatinin plasma normal, sehingga perbandingan
ureum/kreatinin meningkat. Peningkatan perbandingan ureum/kreatinin
dengan peningkatan kadar kreatinin plasma dapat terjadi pada gangguan
pasca-renal. Penurunan perbandingan ureum/kreatinin terjadi pada
kondisi penurunan produksi ureum seperti asupan protein rendah,
nekrosis tubuler, dan penyakit hati berat
2. Pemeriksaan Kadar Kreatinin
Kreatinin merupakan hasil pemecahan kreatin fosfat otot, diproduksi
oleh tubuh secara konstan tergantung massa otot. Kadar kreatinin
berhubungan dengan massa otot, menggambarkan perubahan kreatinin
dan fungsi ginjal. Kadar kreatinin relatif stabil karena tidak dipengaruhi
oleh protein dari diet. Ekskresi kreatinin dalam urin dapat diukur dengan
menggunakan bahan urin yang dikumpulkan selama 24 jam.
Kadar kreatinin tidak hanya tergantung pada massa otot, tetapi juga
dipengaruhi oleh aktivitas otot, diet, dan status kesehatan. Penurunan
kadar kreatinin terjadi pada keadaan glomerulonefritis, nekrosis tubuler
akut, polycystic kidney disease akibat gangguan fungsi sekresi kreatinin.
Penurunan kadar kreatinin juga dapat terjadi pada gagal jantung
kongestif, syok, dan dehidrasi, pada keadaan tersebut terjadi penurunan
perfusi darah ke ginjal sehingga makin sedikit pula kadar kreatinin yang
dapat difiltrasi ginjal.
Kadar kreatinin serum sudah banyak digunakan untuk mengukur
fungsi ginjal melalui pengukuran glomerulus filtration rate (GFR). Rehbeg
menyatakan peningkatan kadar kreatinin serum antara 1,2–2,5 mg/ dL
berkorelasi positif terhadap tingkat kematian pasien yang diteliti selama
96 bulan. Pada beberapa penelitian mengevaluasi adanya hubungan
positif antara penyakit kardiovaskuler dengan peningkatan kadar
kreatinin serum. Pasien dengan nilai kreatinin 1,5 mg/dL atau memiliki
faktor risiko dua kali lebih besar dibandingkan pasien dengan nilai
kreatinin kurang dari 1,5 mg/dL untuk mengalami gangguan
kardiovaskuler.

2.1 Klirens Kreatinin


Klirens suatu zat adalah volume plasma yang dibersihkan dari zat
tersebut dalam waktu tertentu. Klirens kreatinin dilaporkan dalam
mL/menit dan dapat dikoreksi dengan luas permukaan tubuh. Klirens
kreatinin merupakan pengukuran GFR yang tidak absolut karena sebagian
kecil kreatinin direabsorpsi oleh tubulus ginjal dan sekitar 10% kreatinin
urin disekresikan oleh tubulus.
Pengumpulan bahan urin untuk pemeriksaan GFR dilakukan
dalam 24 jam. Wadah yang digunakan untuk pengumpulan urin
sebaiknya bersih, kering, dan bebas dari zat pengawet. Bahan urin
yang dikumpulkan disimpan dalam refrigerator selama
pengumpulan sebelum diperiksakan. Volume urin yang
dikumpulkan diukur keseluruhan untuk kemudian dimasukkan ke
dalam formula perhitungan.

2.2 Estimated Glomerular Filtration Rate


Estimated GFR (eGFR) dapat diperhitungkan sesuai dengan
kreatinin serum. Perhitungan eGFR berdasarkan kreatinin serum,
usia, ukuran tubuh, jenis kelamin, dan ras tanpa membutuhkan
kadar kreatinin urin menggunakan persamaan Cockcroft and Gault.
PEMERIKSAAN LAINNYA
1. Pemeriksaan Kadar Asam Urat
Asam urat adalah produk katabolisme asam nukleat purin. Walaupun
asam urat difi ltrasi oleh glomerulus dan disekresikan oleh tubulus distal
ke dalam urin, sebagian besar asam urat direabsorpsi di tubulus proksimal.
Pada kadar yang tinggi, asam urat akan disimpan pada persendian dan
jaringan, sehingga menyebabkan inflamasi.
Salah satu metode pemeriksaan yang dipergunakan untuk memeriksa
asam urat adalah metode caraway. Metode ini menggunakan reaksi
oksidasi asam urat yang dilanjutkan reduksi asam fosfotungstat pada
suasana alkali menjadi tungsten blue. Metode yang menggunakan enzim
uricase yang mengkatalisis oksidasi asam urat menjadi allantoin.
Perbedaan absorbansi sebelum dan sesudah inkubasi dengan enzim
uricase sebanding dengan kadar asam urat
Bahan pemeriksaan untuk asam urat berupa heparin plasma, serum,
dan urin. Diet akan mempengaruhi kadar asam urat. Bahan pemeriksaan
yang lipemik, ikterik, hemolisis dapat menghambat kerja enzim, sehingga
menurunkan kadar asam urat pada pemeriksaan kadar asam urat yang
menggunakan enzim.
Obat-obatan seperti salisilat dan thiazide akan meningkatkan kadar
asam urat karena menghambat ekskresi dan meningkatkan reabsorpsi
asam urat di tubulus proksimal ginjal. Asam urat stabil di dalam plasma
dan serum yang telah dipisahkan dari sel-sel darah. Serum dapat disimpan
3-5 hari di dalam refrigerator.
2. Pemeriksaan Cystatin C
Cystatin C adalah protein berat molekul rendah yang
diproduksi oleh sel-sel berinti. Cystatin C terdiri dari 120
asam amino merupakan cystein proteinase inhibitor.
Cystatin C difiltrasi oleh glomerulus, direabsorpsi, dan
dikatabolisme di tubulus proksimal. Cystatin C diproduksi
dalam laju yang konstan, kadarnya stabil pada ginjal normal.
Kadar cystatin C tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin,
ras, usia, dan massa otot. Pengukuran cystatin C mempunyai
kegunaan yang sama dengan kreatinin serum dan klirens
kreatinin untuk meme riksa fungsi ginjal. Peningkatan
cystatin C dapat memberikan informasi yang lebih awal pada
penurunan GFR < 60 mL/min/1.73 m2.
3. Pengukuran kadar β2 microglobulin
Pengukuran kadar β2 microglobulin serum memberikan
informasi gangguan fungsi tubulus pada pasien transplantasi ginjal
dan adanya peningkatan kadar β2 microglobulin menunjukkan
adanya penolakan organ tersebut. β2 microglobulin merupakan
penanda yang lebih efektif dibandingkan dengan kreatinin serum
dalam menilai keberhasilan transplantasi ginjal karena β2
microglobulin tidak dipengaruhi oleh massa otot.
Pemeriksaan β2 microglobulin dilakukan dengan
menggunakan metode Enzymelinked Immunosorbent Assay
(ELISA). Protein ini difi ltrasi glomerulus dan diabsorpsi oleh
tubulus proksimal atau diekskresikan ke dalam urin, sehingga
protein ini dapat digunakan sebagai penanda untuk menilai GFR
4. Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Mikroalbuminuria merupakan suatu keadaan ditemukannya
albumin dalam urin sebesar 30-300 mg/24 jam. Keadaan ini dapat
memberikan tanda awal dari penyakit ginjal.
Pemeriksaan mikroalbuminuria penting dilakukan pada pasien
diabetes melitus yang dicurigai mengalami nefropati diabetik. Pada
stadium awal terjadi hipertrofi ginjal, hiperfungsi, dan penebalan
dari membran glomerulus dan tubulus. Pada stadium ini belum ada
gejala klinis yang mengarah kepada gangguan fungsi ginjal, namun
proses glomerulosklerosis terus terjadi selama 7-10 tahun ke depan
dan berakhir dengan peningkatan permeabilitas dari glomerulus
Peningkatan permeabilitas ini menyebabkan albumin dapat lolos dari
filtrasi glomerulus dan ditemukan pada urin. Jika hal ini dapat terdeteksi
lebih awal dan dilakukan pemberian terapi yang adekuat untuk
mengontrol glukosa darah serta pemantauan tekanan darah yang baik
maka gagal ginjal dapat dicegah.
Kadar albumin 50-200 mg/24 jam pada urin 24 jam memberikan
informasi terjadinya nefropati diabetik. Perbandingan albumin dan
kreatinin 20-30 mg/g mengindikasikan mikroalbuminuria. Metode
pemeriksaan urin dipstik telah tersedia untuk pemeriksaan yang spesifik
untuk albumin, yaitu 3’3’5’5’ tetrachlorophenol - 3,4,5,6
tetrabromosulfophthalein (buffer) dengan protein akan membentuk
senyawa berwarna hijau muda sampai hijau tua.
5. Pemeriksaan Inulin
Pemeriksaan kliren inulin yaitu 25 mL inulin 10% diinjeksi intravena
diikuti dengan pemberian 500 mL inulin 1,5% dengan kecepatan 4
mL/menit. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengumpulkan
urin setiap 20 menit sebanyak 3 kali. Pengambilan darah vena untuk
pemeriksaan inulin juga dilakukan pada awal dan akhir periode
pengumpulan urin.
Penggunaan inulin untuk menilai fungsi ginjal membutuhkan laju
infus intravena yang konstan untuk mempertahankan tingkat plasma
dan kadar puncak yang telah dicapai. Pengukuran Inulin saat ini lebih
sering dilakukan dengan menggunakan inulinase. Inulinase adalah suatu
enzim yang mengubah inulin menjadi fruktosa.
Namun pemeriksaan inulin membutuhkan prosedur khusus yang
membutuhkan waktu, observasi, harganya cukup mahal dan tidak dapat
dilakukan untuk pasien rawat jalan.
THANK YOU!

CREDITS: This presentation


template was created by Slidesgo,
including icons by Flaticon, and
infographics & images by Freepik.

Please keep this slide for attribution.

Anda mungkin juga menyukai