Sektor Kehutanan
J. Danang Widoyoko
Koordinator Badan Pekerja
ICW
danang@antikorupsi.org
HP: 0817 6050373
Pengantar
Indonesia memiliki kekayaan yang luar
biasa, salah satunya hutan.
Eksploitasi hutan yang tidak terkendali justru
menimbulkan bencana.
Besarnya laju deforestasi karena kebutuhan
yang besar industri kayu global sehingga
harga kayu meningkat pesat.
Muncul gejala “kutukan sumber daya”
Kutukan sumber daya
Daerah yang kaya sumber daya alam justru
tertinggal, kemiskinan dan korupsi tinggi,
konflik sosial sering terjadi.
Daerah yang kaya sumber daya alam kayu
seperti Kalimantan dan Papua terancam
mengalami gejala kutukan sumber daya.
Industri ekstraktif menguras habis sumber
daya dan penduduk lokal miskin dan
tertinggal.
“Dutch Disease”
Melonjaknya harga kayu meningkatkan insentif
untuk berbisnis kayu.
Meningkatnya harga minyak bumi juga
meningkatkan permintaan dan harga CPO.
Sebagian besar industri kemudian memilih
investasi di industri kayu, CPO (juga batu bara).
Industri manufaktur menurun. Yang
berkembang pesat justru industri ekstraktif dan
tidak sustainable.
Pertumbuhan ekonomi dibiayai dari hancurnya
hutan, pertumbuhan “makan modal sendiri”
Ekspor Indonesia
CPO produk perkebunan paling
dominan
Ekspansi kebun sawit
Deforestasi vs Rehabilitasi
Dampak rejeki sumber daya
hutan
Ross (2004) meneliti kebijakan kehutanan di
Malaysia, Filipina dan Indonesia.
Rejeki dari hutan membuat pemerintah
euforia, meningkatkan konsumsi.
Rejeki dari hutan membuat pemerintah
dalam tekanan dari pemburu rente untuk
turut menikmati rejeki.
Munculnya “rent-seizing”.
Politik dan illegal logging
Penelitian Burgess et. al. (2011)
Pemekaran wilayah mendorong peningkatan
deforestasi.
Siklus political logging illegal logging
meningkat menjelang Pilkada.
Logging adalah sumber rente jangka
pendeka bagi Pemda. Ada kecenderungan
berkurang ketika terjadi konsolidasi politik.
Problem
Akar dari persoalan illegal logging dan alih
fungsi lahan adalah politik.
Hukum tidak berjalan, lebih banyak
pelaksana di lapangan dan banyak vonis
bebas.
Bila menggunakan UU Kehutanan,
pelanggaran administrasi.
Mengapa banyak vonis bebas?
• Sebagian besar kasus yang divonis bebas
hanya menggunakan UU Kehutanan
– UU Kehutanan sangat lemah;
– Mempunyai loopholes (Pasal 80 ayat (2)) yang hanya
memberikan sanksi administratif dan denda bagi
pembalak liar (di tingkat mastermind);
– Perspektif Departemen Kehutanan, Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan masih melihat segala
sesuatu yang berhubungan dengan hutan, hanya bisa
dijerat UU Kehutanan.
– UU Kehutanan diyakini bersifat Lex Specialis
(khusus) dibanding UU Lainnya
• UU Anti Korupsi dan UU Money Laundering
belum efektif digunakan menjerat Pembalak Liar
Kelemahan UU Kehutanan
UU KEHUTANAN UU Korupsi
UU Umum Lain
(UU 41/99) (UU 31/99 jo 20/2001)
PERBUATAN
PERBUATANPelakuPelaku
(Menebang,
(Menebang, merusak,atau
merusak, atau
menggunduli
menggunduli hutan diluar areaizin)
hutan diluar area izin)
Misal:
Misal:dapat
dapatdijerat
dijeratbeberapa
beberapaUU
UU
• PN: Bebas
– Adelin Lis hanya melanggar Hukum Administratif;
– Menggunakan UU Kehutanan, shg Adelin hanya
dapat diberi sanksi Adm dan denda.
– UU Korupsi tidak digunakan
• MA: Vonis 10 tahun
– Hakim PN salah menerapkan hukum
– Hakim MA gunakan UU Korupsi
– Pelanggaran Aturan Administratif memenuhi Unsur
Melawan Hukum pada UU Korupsi
– Kerugian Negara = Nilai Kayu Tebangan Illegal
PRESEDEN 2:
Kasus Suwarna AF – Gubernur Kaltim
• Diproses KPK
• Dakwaan:
– Primer: Pasal 2 (1) UU 31/99, Subsidair: Pasal 3 UU 31/99
– Penyalahgunaan Kewenangan sejak Agustus 1999 –
Desember 2002
• Divonis BERSALAH melakukan KORUPSI Izin
Pembebasan Lahan Kelapa Sawit 1000 Ha
– PN: 18 bulan
– PT & MA: 4 tahun
Laporan ICW, Sawit Watch dan FWI
Kasus Estimasi Kerugian
Negara
Kasus RKT bermasalah yang diberikan oleh Rp 1,1 triliun
Gubernur Riau berinisial RZ pada tahun 2003-2006