Anda di halaman 1dari 24

ASKEP DEFISIT PERAWATAN DIRI

KELOMPOK 6

• NATALIA RAHEL PANGARIBUAN


• NURSANI H. HASIBUAN
• PUTRI HANDAYANI SITORUS
• RENDI ROMAULI SITORUS
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
KESEHATAN JIWA MERUPAKAN BAGIAN INTEGRAL DARI KESEHATAN, SEHAT JIWA
TIDAK HANYA TERBATAS DARI GANGGUAN JIWA, TETAPI MERUPAKAN SUATU HAL
YANG
DIBUTUHKAN OLEH SEMUA ORANG. MENURUT YOSEP (2007), KESEHATAN JIWA
ADALAH
SIKAP YANG POSITIF TERHADAP DIRI SENDIRI, TUMBUH, BERKEMBANG, MEMILIKI
AKTUALISASI DIRI, KEUTUHAN, KEBEBASAN DIRI, MEMILIKI PERSEPSI SESUAI
KENYATAAN
DAN KECAKAPAN DALAM BERADAPTASI DENGAN LINGKUNGAN.
Umumnya manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan baik, namun ada juga individu yang mengalami kesulitan untuk
melakukan penyesuaian dengan persoalan yang dihadapi. Mereka bahkan
gagal melakukan koping yang sesuai tekanan yang dialami, atau mereka
menggunakan koping yang negatif, koping yang tidak menyelesaikan
persoalan dan tekanan tapi lebih pada menghindari atau mengingkari
persoalan yang ada.
Permasalahan pada suatu individu dalam mengalami gangguan jiwa
sangatlah kompleks antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Mekanisme
koping yang tidak efektif merupakan salah satu faktor seseorang dapat
mengalami gangguan jiwa. Seseorang dapat dikatakan sehat jiwanya apabila
seseorang tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut : sikap positif
terhadap
diri sendiri, tumbuh kembang dan aktualisasi diri, integrasi (keseimbangan
atau keutuhan), otonomi, persepsi realitas, environmental mastery (kecakapan
dalam adaptasi dengan lingkungan).
Sejalan dengan itu fungsi serta tanggung jawab perawat psikiatri dalam
memberikan asuhan keperawatan dituntut untuk dapat menciptakan suasana
yang dapat membantu proses penyembuhan dengan menggunakan hubungan
terapeutik melalui usaha pendidikan kesehatan dan tindakan keperawatan yang
dapat membantu proses penyembuhan dengan menggunakan hubungan
terapeutik melalui usaha pendidikan kesehatan dan tindakan keperawatan
secara komprehensif yang diajukan secara berkesinambungan karena penderita
isolasi sosial dapat menjadi berat dan lebih sukar dalam penyembuhan bila
tidak mendapatkan perawatan secara intensif.
Menurut data dari WHO (World Health Organization) tahun 2011,
yang di kutip dari Ikrar (2012), penderita gangguan jiwa berat telah
menempati tingkat yang luar biasa. Lebih 24 juta mengalami gangguan jiwa
berat. Jumlah penderita gangguan jiwa di dunia, seperti fenomena gunung es
di lautan, yang kelihatannya hanya puncaknya, tetapi dasarnya lebih banyak
lagi yang belum terlacak. Bahkan menurut laporan pusat psikiater Amerika,
dibutuhkan dana sekitar US$ 160 bilyun pertahun. Berarti gangguan jiwa
berdampak dalam semua segi kehidupan, ekonomi, politik, sosial, budaya,
keamanan, dan seterusnya.
Menurut data dari Departemen Kesehatan tahun 2007, kasus gangguan
jiwa di Indonesia yaitu 11,6% dari seluruh penduduk Indonesia (19,6 jt orang
dari 241 jt). Pada laporan riset kesehatan dasar tahun 2007, ditemukan bahwa
sebanyak 11,6% individu yang berumur 15 tahun keatas melaporkan bahwa
mereka memiliki gangguan emosional (Dimyati, 2010).
Widowati (2013) mengungkapkan bahwa tekanan hidup diduga
membuat semakin banyak orang depresi dan gila. Setidaknya saat ini yang
terdata saja di Jawa Tengah terdapat 30.000 orang yang mengidap gangguan
jiwa. Dari angka tersebut, hanya 20.000 orang yang mendapat perawatan
intensif di rumah sakit kejiwaan. Tidak adanya pengetahuan keluarga
mengenai gangguan kejiwaan menyebabkan penderita tidak memperoleh
pengobatan. Selain itu, sebagian besar penderita gangguan kejiwaan masuk
kategori masyarakat miskin sehingga mereka selalu urung memberikan
pengobatan yang layak karena tidak ada biaya. Karena faktor biaya itulah,
kebanyakan keluarga miskin lebih memilih senang untuk memasung atau
mengurung pasien gangguan jiwa daripada dibawa ke rumah sakit jiwa.
Penderita gangguan jiwa di wilayah Surakarta berdasarkan data yang
penulis dapat dari studi kasus yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta selama 3 bulan terakhir, telah di peroleh data tentang jumlah
penderita gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri sejumlah 992
orang. Sedangkan untuk jumlah penderita defisit perawatan diri di bangsal
Amarta selama 1 bulan terakhir sebanyak 262 orang.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa
dengan defisit perawatan diri.
B. Perumusan Masalah
Dalam penulisan laporan ini perumusan
masalahnya adalah bagaimana
aplikasi asuhan keperawatan pada klien dengan
masalah utama defisit
perawatan diri di ruang Amarta RSJD Surakarta.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan defisit perawatan diri dan memberi pengetahuan kepada
pembaca tentang asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan
defisit perawatan diri.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pada pengkajian klien dengan gangguan defisit
perawatan diri.
b. Mampu membuat analisa data pada klien dengan gangguan defisit
perawatan diri.
c. Mampu membuat intervensi keperawatan pada klien dengan
gangguan defisit perawatan diri.
d. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan
gangguan defisit perawatan diri.
e. Mengetahui teori dan konsep gangguan defisit perawatan diri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian
Kurangnya perawatan diri pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk
melakukan
aktivitas perawatan diri menurun, kurang perawatan diri
ketidakmampuan
merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara
mandiri,
dan toileting (Buang Air Besar atau Buang Air Kecil) (Mukhripah,
2008).
Higiene adalah ilmu kesehatan, cara perawatan diri manusia untuk
memelihara kesehatan mereka karena kondisi fisik atau keadan emosi klien
disebut higiene perorangan (perry & poter, 2006). Personal hygiene berasal
dari Bahasa Yunani yang berarti Personal yang artinya perorangan dan
Hygien berarti sehat kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik
dan psikis sesuai kondisi kesehatannya (Wartonah, 2006).
Defisit Perawatan Diri gangguan kemampuan melakukan aktivitas
yang terdiri dari mandi, berpakaian, berhias, makan, toileting atau kebersihan
diri secara mandiri (Nanda, 2006). Keadaan individu mengalami kerusakan
fungsi motorik atau fungsi kognitif, yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima aktivitas perawatan
diri (makan, mandi atau higiene, berpakaian atau berhias, toileting,
instrumental) (Carpenito, 2007).
B. Etiologi
Menurut Depkes (2000) penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Faktor Predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
2. Faktor presipitasi
Menurut Wartonah (2006) ada beberapa faktor persipitasi yang dapat
menyebabkan seseorang kurang perawatan diri. Faktor-faktor tersebut
dapat berasal dari berbagai stressor antara lain:
a. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli terhadap kebersihannya.
b. Praktik sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status sosioekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita
diabetes mellitus dia harus menjaga kebersihan kakinya.
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual,
hambatan lingkungan, cemas, lelah atau lemah yang dialami
individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan
diri (Nanda, 2006).
3. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene menurut
Wartonah (2006) yaitu :
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang
sering terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran
mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada
kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
C. Tanda Dan Gejala
Menurut Mukhripah (2008) kurang perawatan diri sering ditemukan
adanya tanda dan gejala sebagai berikut :
a. gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
b. ketidakmampuan berhias atau berdandan, ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien
laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
c. ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidakmampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada
tempatnya.
d. ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB
atau BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik
setelah BAB atau BAK.
D. Manifestasi Klinik
Adapun jenis dan karakteristik kurang perawatan diri tanda dan gejala menurut
Nanda (2006) meliputi :
1. Kurang perawatan diri mandi atau hygiene
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas mandi atau
kebersihan diri secara mandiri, dengan batasan karakteristik
ketidakmampuan klien dalam memperoleh atau mendapatkan sumber air,
mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi,
mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.
2. Kurang perawatan diri berpakaian atau berhias
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas berpakaian dan berhias
untuk diri sendiri, dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat tambahan,
menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki,
mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian
dan mengenakan sepatu.
3. Kurang perawatan diri makan
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas makan, dengan
batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat
tambahan, mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi
makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu
memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan
menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas,
serta mencerna cukup makanan dengan aman.
4. Kurang perawatan diri toileting
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas toileting, dengan
batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam pergi ke toilet atau
menggunakan pispot, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB atau BAK dengan
tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor meliputi status sosialekonomi, keluarga, jaringan interpersonal,
organisasi yang dinaungi oleh lingkungan sosial yang lebih luas,
juga menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal
seperti kesenian, musik, atau tulisan (Stuart and Sundeen, 1998).
F. Masalah Keperawatan
Menurut Keliat (2006) masalah keperawatan yang muncul untuk kasus ini
adalah :
1. Gangguan pemeliharaan kesehatan.
2. Defisit perawatan diri : mandi, berhias.
3. Menarik diri.
G. Pohon Masalah
Gangguan pemeliharaan kesehatan
^
|
Defisit perawatan diri : mandi, berhias
core problem
^
|
Isolasi sosial : menarik diri

Skema 1 : pohon masalah defisit


perawatan diri : mandi, berhias
Penatalaksanaan Defisit Perawatan Diri
Klien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak membutuhkan
perawatan medis, karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien
lebih membutuhkan terapi kejiwaan melalui komunikasi terapeutik
atau dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.
Menurut NANDA NIC-NOC (2010) penatalaksanaan defisit
perawatan diri yaitu:
1) Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri.
2) Membimbing dan menolong klien merawat diri.
3) Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan.
4) Ciptakan lingkungan yang mendukung.

Anda mungkin juga menyukai