Anda di halaman 1dari 35

Dermatopathology

Leprosy

Ferdinant M.D.

FK UNCEN 2020
Penyakit Kusta

Pendahuluan

– Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa


menahun yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler
obligat Mycobacterium leprae.
– Disebut juga sebagai Lepra, Morbus Hansen, Hanseniasis,
Elephantiasis Graecorum, Satyriasis, Leontiasis, Lepra Arabum,
Kushta, Meiaast, dan Mal de San Lazaro.
– Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat.
Etiologi

– Disebabkan oleh Mycobacterium leprae atau basil Hansen,


ditemukan oleh sarjana Norwegia, GH Armauer Hansen, 1873.
– Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin
dan belum dapat dikultur dalam media buatan.
– M. leprae mempunyai ukuran panjang 2-7 mikrometer dan
lebar 0,3-0,4 mikrometer, dinding sel banyak mengandung
lemak dan lapisan lilin, sehingga mengakibatkan bakteri ini
tahan asam.
– Penentuan M. Leprae tahan asam atau tidak, dengan cara
pewarnaan teknik Ziehl-Neelsen dengan menggunakan larutan
Karbol Fuhsi, asam alkohol, dan Metilen Blue.
– Kapsul terdiri dari 2 lemak, yi phthiocerol dimycerosate dan
phenolic glycolipid 1 (PGL 1), lemak dengan 3 molekul gula
metilat.
Patogenesis

Pengaruh M. Leprae, bergantung :


• Faktor imunitas seseorang → derajat infeksi
• Kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah
• waktu regenerasi yang lama, sifat basal yang avirulen dan
non-toksis.

– Sekresi dari saluran pernapasan bagian atas penderita


terinfeksi kusta mengandung jumlah bakteri yang tinggi, yang
mampu bertahan selama beberapa hari di luar tubuh.
– Inhalasi tetesan yang terinfeksi dianggap sebagai alat utama
penularan.
– Juga melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin
– Di alveoli bakteri diambil oleh makrofag dan kemudian
menyebar di dalam tubuh melalui sirkulasi.
– Kebanyakan individu →infeksi subklinis dan tidak pernah sakit,
hanya sekitar 5% menunjukkan gejala.
– In vivo mereka tumbuh dan berkembang biak terutama di
neurilemma sel Schwann dan makrofag di kulit.
– Target utamanya adalah perifer saraf dan kulit.
– M.leprae memasuki sel saraf dengan adanya ikatan trisakarida
spesifik pada PGL 1 terhadap laminin-2 lamina basalis sel
schwann saraf.
– Jika tidak dapat dideteksi secara klinis, saraf tepi selalu
terpengaruh.
– Sumsum tulang belakang dan otak tidak terpengaruh.
– Patogenitas dan daya invasi basil M. leprae rendah
– Bakteri kusta tidak dapat dibiakkan pada media buatan.
– Kuman kusta mempunyai inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi
dapat juga bertahun-tahun.
PATOGENESIS LEPRA KONTAK
(Djuanda,dkk)
INFEKSI NON-INFEKSI

SUBKLINIS
95%
SEMBUH
70% INDETERMINATE (I)
30%
DETERMINATE

I TT Ti BT BB BL Li LL
TT : Tuberculoid polar, bentuk stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
Ridley & Jopling BB : Mid Borderline labil
BL : Borderline lepromatosa
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk stabil
• Penularan :
– M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan
masuk kedalam tubuh orang lain.
– Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak
yang lama dengan penderita
– Penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak
menjadi sumber penularan kepada orang lain.
– Teori-teori mekanisme penularan; Sehgal (2006) :
• Kontak langsung dengan penderita kusta
• Sekret pernapasan yang terinfeksi, melalui bersin
• Melalui tanah yang terinfeksi M. Leprae.
– Timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang
dapat sembuh sendiri atau progresif → penyakit imunologik
(cellular mediated immune)
– Penyakit kusta akan menjadi tuberkolid ketika seseorang
mempunyai imunitas yang tinggi.
– Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitas infeksinya (Djuanda, 2013).
– Manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo,
simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai
kelenjar tymus (Athymic nude mouse).
Klasifikasi

– Dasar klasifikasi utama →manifestasi klinik yang berhubungan


dengan morfologi lesi kulit, neurologis, dan bakteriologis dari apusan
kulit.
– Klasifikasi Ridley & Jopling : berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologis, histopatologis, dan mempunyai korelasi dengan tingkat
imunologis.

KLASIFIKASI ZONE SPEKTRUM KUSTA


Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Depkes RI PB MB

– Multibasiler : mengandung banyak basil, yi tipe LL, BL, dan BB.


– Pausibasiler : mengandung sedikit basil, yi tipe TT, BT, dan I.
– WHO : MB indeks bakteriologis lebih dari 2+, PB indeks bakteriologis
kurang dari 2+.
Manifestasi klinis

– Diagnosis : gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis.


– Tes lepromin (Mitsuda) penting untuk membantu penentuan
tipe.
– Derajat CMI → tinggi ke arah tuberkuloid, sedangkan jika
rendah ke arah lepromatosa
– TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%,
bentuk stabil, begitu juga dengan tipe LL.
– Tipe Borderline → campuran tuberkuloid dan bentuk
lepromatosa, masing-masing 50%.
– BT dan Ti dominan tuberkuloid, sedang BL dan Li dominan
lepromatosa.
– Bentuk labil dapat bergeser ke arah TT ataupun LL.
Gambaran klinis, bakteriologis, dan Imunologik Kusta Multibasiler (MB)
SIFAT LEPROMATOSA BORDERLINE MID BORDERLINE
(LL) LEPROMATOSA (BL) (BB)
 Lesi :
- Bentuk Makula, infiltrat difus, Makula, plakat, papul Plakat, dome-shape
papul, nodus (kubah), punched-out
-Jumlah Tak terhitung, praktis Sukar dihitung, masih Dapat dihitung, kulit
tidak ada kulit sehat ada kulit sehat sehat jelas ada
-Distribusi simetris Hampir simetris asimetris
-Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
-Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada sampai Tidak jelas Lebih jelas
tidak jelas
 BTA :
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
Gambaran klinis, bakteriologis, dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
SIFAT TUBERCULOID BORDERLINE INDETERMINATE
(TT) TUBERCULOID (BT) (I)
 Lesi :
- Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat, infiltrat saja
- Jumlah Satu, atau beberapa Beberapa, atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris variasi
-Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus agak berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas/tidak jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas
 BTA :
- Lesi kulit Negatif Negatif atau hanya Biasanya negatif
positif 1
- Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah, atau
negatif
– Diagnosis klinis harus mencakup seluruh tubuh.
– Lesi kulit yang perlu dicermati seperti makula hipopigmentasi,
hiperpigmentasi, eritematosa, dan ada/tidaknya anestesia.
– Tanda dehidrasi dilakukan dengan goresan pensil tinta (tanda
Gunawan)
– Mungkin ada alopesia

• Pemeriksaan kerokan kulit:


– kusta dengan BTA negatif →kusta PB, yaitu tipe I, TT, dan BT
– Kusta dengan BTA poitif →kusta MB, yaitu tipe BB, BL dan LL
Pemeriksaan saraf superfisial :

• pembesaran, konsistensi, nyeri atau tidak.


• Kelainan saraf pada tipe ke arah LL, biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedangkan ke arah TT lebih terlokalisasi mengikuti
tempat lesi.
• Gejala-gejala kerusakan saraf:
– N. fasialis : lagoftalmus
– N. ulnaris : anestesia bagian anterior ujung jari IV dan V, clawing
jari IV dan V, atrofi hipotenar dan otot interoseus dorsalis
pertama.
– N. medianus : anestesia ujung jari bag anterior jari l, II, dan III,
kontraktur Jari I.
– N. radialis : anestesia dorsum manus, tangan gantung (wrist
drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
– N. poplitea lateralis : kaki gantun g ( foot drop)
– N. tibialis posterior : anestesia telapak kaki, clow toes.
Leprosy. Ill-defined erythematous patches and plaques are present in
the face (borderline leprosy). Digits with neurosensory loss undergo
tissue destruction (lepromatous leprosy).
BAGAN DIAGNOSIS KLINIS MENURUT WHO (1995)

PB MB
1. Lesi kulit (makula datar, 1-5 lesi > 5 lesi
papul yang meninggi, Hipopigmentasi / eritema Distribusi lebih simetris
nodus) Distribusi asimetris Hilangnya sensasi
Hilangnya sensai yang jelas
2. Kerusakan saraf Hanya satu cabang safaf Banyak cabang saraf
(hilangnya sensasi,
kelemahan otot yang
diinervasi)
• Deformitas akibat kusta :
– Primer, disebabkan oleh granuloma, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa TR atas,
tulang-tulang jari, dan muka.
– Sekunder , kerusakan lebih besar akibat kerusakan saraf
– Pada mata, dapat terjadi alopesia alis mata dan bulu mata
(madarosis).
– Kerusakan N. fasialis dapat membuat paralisis N. orbikularis
palpebrum menyebabkan lagoftalmus.
– Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan keseimbangan hormonal ok infiltrasi granuloma
pada tubulus seminiferus testis.
• Kusta histoid

– Pertama kali dikemukakan oleh Wade, 1963


– Variasi lesi pada tipe lepromatosa
– Berbentuk nodus yang berbatas tegas, atau plak
– Bakterioskopik positif tinggi
– Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps
resisten
– Dapat juga timbul pada yang belum dan yang sedang dalam
pengobatan
Pembantu Diagnosis

1. Pemeriksaan bakterioskopis
Kepadatan BTA (solid dan solid) pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan Indeks Bakteri (I.B) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut
Ridley :
0 : tidak ada BTA dalam 100 LP
1+ : 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ : 1-10 BTA dalam 10LP
3+ : 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ : 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ : 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ : > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
• Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non-solid.
• Rumus :
Jumlah solid
-------------------------------- X 100% =
jumlah solid + nonsolid

Syarat :
– Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
– IB 1+ tidak usah dibuat IM nya, karena utk mendapat 100 BTA
harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 LP
– Mulai dari IB 3+ ke atas harus dicari IM, sebab dengan IB 3+
hanya maksimum harus dicari dalam 100 LP
2. Pemerikasaan Histopatologis

– Proses imunologik, makrofag memfagosit kuman


– Berubah bentuk menjadi sel epiteloid atau menjadi sel datia
Langhans
– Tuberkel yaitu massa epiteloid yang dikelilingi infiltrasi limfosit
– Bila SIS rendah histiosit akan menjadi sel Virchow atau sel lepra
atau sel busa → transport kuman
– Granuloma adalah akumulasi makrofag dan derivat-derivatnya
– Tipe Tuberkuloid : tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit non solid.
– Tipe Lepromatosa : subepidermal clear zone, yi jaringan di
bawah epidermis yang tidak patologis, ada sel Virchow dengan
banyak basil.
– Tipe Borderline : campuran dari unsur-unsur tersebut
Tuberculoid leprosy. A, a non-necrotizing granulomatous reaction is
present. B, Well-formed epithelioid granulomas are noted with a rim
of lymphocytes.
B

A C
C
Lepromatous leprosy. A, Dense diffuse sheets of histiocytes are present.
B, the infiltrate includes many foamy histiocytes. C, Acid-fast bacilli are
numerous, often clumped into globi
Histiocytoid leprosy. A dermal fibroma–like lesion is identified.
Lepromatous leprosy. (A) Scattered erythematous plaques and
nodules on the trunk. (B) Diffuse infiltration of the dermis by foamy
macrophages separated from the dermis by a grenz zone.
Reaksi kusta

– Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada


perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik.
– Patofisiologi belum jelas →reaksi imun patologik : ENL dan
reaksi reversal atau reaksi upgrading

• ERITEMA NODOSUM LEPROSUM (ENL)


– Terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan juga BL
– Makin mungkin pada tipe dengan tingkat multibasilar yang tinggi
– ENL termasuk respon imun humoral : antigen M. leprae +
antibodi (IgM, IgG) → kompleks imun
– Kadar imunoglobulin pada penderita > orang tidak sakit
– Banyak terjadi pada thun kedua pengobatan
– Gejala pada kulit : nodus, eritema, dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai
– Iridosiklitis, gejala neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis,
nefritis akut
– Pada ENL tidak terjadi perubahan tipe.
Fenomena Lucio :
– Hanya terjadi pada pasien dengan bentuk kusta lepromatous
yang menyebar.
– Terjadi plak hemoragik di kaki, lengan, atau bokong, mungkin
ulserasi.
– Biasanya tidak ada gejala konstitusional.
• REAKSI REVERSAL
– Hanya dapat terjadi pada tipe borderline : Li, BL, BB, BT, Ti
→reksi borderline
– Peran utama oleh SIS, yi oleh karena lonjakan mendadak SIS.
– Dikaitkan dengan reaksi hipersentivitas tipe lambat
– Reaksi peradangan pada lokasi yang ada basil, yaitu pada saraf
dan kulit, umumya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.
– Tipe yang termasuk borderline dapat bergerak ke arah TT dan
LL mengikuti naik turunnya SIS.
– Pada reksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan
disertai peningkatan SIS, tapi dengan cara mendadak
– Gejala klinis umumnya sebgian atau seluruh lesi bertambah aktif
dan atau timbul lesi baru
– Lesi hipopigmentasi menjadi eritema, makin erimatous, makula
jadi infiltrat, makin infiltratif, dan meluas.
– Tidak perlu seluruh gejala ada, cukup satu
– Adanya neuritis akut menentukan pemberian kortikosteroid
– ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi nodular), reaksi
reversal tanpa nodul (reaksi non-nodular)

• Pengobatan
– DDS (diaminodifenil sulfon), klofazimin (lamprene) dan
rifampisin
– Protionamid/etionamid (jarang dipakai)
– Alternatif : Ofloksasin, Minosiklin, klaritromisin

 MDT (multi drug treatment)


– Mencegah dan mengobati resistensi
– Memperpendek masa pengobatan
– Mempercepat pemutusan penularan
• Pengobatan ENL
– Obat yang sering dipakai adalah kortikosteroid, a.l. Predison
– Bergantung berat ringannya reaksi, ˜ 15 – 30 mg/hari
– Dosis diturunkan bertahap.
– Bila reaksi ringan tidak perlu diberikan
– Dapat terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid
– Klofazimin juga dapat digunakan, dan juga utk mengurangi
ketergantungan kortikosteroid
• Pengobatan reaksi reversal
– Perhatikan apakah ada atau tidak ada neuritis
– Bila ada neuritis diberikan kortikosteroid 15 – 30 mg, dan
diturunkan bertahap
– Analgesik dan sedativa bila diperlukan
• Release from treatment
– Setelah RFT dilakukan pengamatan klinis dan bakterioskopis minimal
setiap tahun dalam 5 tahun
– Bakterioskopis negatif dan tidak ada keaktifan baru → Release from
control (RFC).

 Relaps :
Relaps sensitif (persistent) :
– Secara klinis, bakterioskopis, histopatologik dapat dinyatakan penyakit
sekonyong-konyong aktif kembali dengan timbulnya lesi baru,
bakterioskopik kembali positif.
– Basil M.leprae masih sensitif terhadap DDS
– M. leprae yang tadinya dorman, sleeping, atau persisten menjadi aktif
kembali → sulit dihancurkan dengan terapi
Relaps resisten :
– Dengan GK, bakterioskopik, dan histopatologik, terbukti resisten
terhadap terapi DDS
• Resistensi Primer Terhadap DDS :
– Bila tertular oleh M.leprae yang telah resisten, manifestasi
dapat dalam segala tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung SIS.
– Derajat rendah masih bisa diterapi dengan DDS

• Resistensi Sekunder terhadap DDS :


– Monoterapi DDS
– Dosis terlalu rendah
– Tidak teratur obat
– Terapi terlalu lama, setelah 4-24 tahun
• Klasifikasi cacat
Cacat pada tangan dan kaki
– Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas
yang terlihat
– Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa deformitas yang
terlihat
– Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
– Tingkat 0 : tidak ada gangguan pada mata atau gannguan
penglihatan
– Tingkat 1 : ada gangguan pada mata, tidak ada gangguan
penglihatan yang berat, visus 6/60 atau lebih baik
– Tingkat 2 : visus kurang dari 6/60
• Pencegahan cacat
– Resiko terutama karena kerusakan saraf
– penderita reaksi kusta, terutama reaksi reversal
– penderita dengan lesi kulit multipel dan
– penderita dengan saraf yang membesar atau nyeri
– Kerusakan saraf terutama berupa nyeri, hillangnya sensibilitas,
dan kelemahan otot.
– Cara terbaik untuk pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) → diagnosa dini dan MDT
– Penggunaan sepatu, kaus kaki, kaus tangan, kacamata, lotion,
dll.
Referensi

– Amirudin M.D. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis.


Makassar :Brilian International.
– Barnhill LR, Crowson NA, Margo MC, Piepkorn WM.
Dermatopathology, 3rd ed, 2010 The McGraw-Hill Companies,
Inc.
– Brehmer E, Anderson. Dermatopathology. Berlin: Springer; 2006
– Djuanda A, Hamzah M, aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ketiga.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2000.
– Goldblum RJ, Busam JK. Dermatopahology: Foundation in
Diagnostic Pathology. USA: Saunders; 2010.
– Kementrian Kesehatan RI Dirjen PP dan PL. 2012. Pedoman
Nasional Program Pengendalian Peyakit Kusta. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai