Anda di halaman 1dari 37

SYOK

Disusun oleh:
Prof. Dr. dr. Dela Destiani Aji, Sp.PD
Prof. Dr. dr. Dhini Oktaviani, Sp.PD

Pembimbing:
dr. Taufiq M. Waly, Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UGJ


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD WALED KABUPATEN CIREBON
2021
Syok
Syok : Gambaran klinis kegagalan sirkulasi akut yang mengakibatkan penurunan perfusi
organ, dengan penggunaan oksigen seluler inadekuat akibat end-organ dysfunction.

Diagnosis syok dapat ditegakkan dengan gejala klinis, hemodinamik, dan biokimia yang
dapat dibagi menjadi 3 komponen :
1. TD sistolik <90mmHg / mean arterial pressure <70 mmHg, disertai dengan takikardi
2. Gejala klinis hipoperfusi jaringan dalam tubuh ;
- Kulit (kulit yang dingin&keriput akibat vasokontriksi dan sianosis),
- Ginjal (produksi urin <0,5 ml/kg/jam),
- neurologis (perubahan status mental)
3. Peningkatan laktat yang menunjukkan metabolisme oksigen seluler abnormal
Klasifkasi Syok

Penurunan curah
jantung akibat
Volume darah
pompa jantung
intravaskuler
terganggu
berkurang

Gangguan aliran darah


yang ditandai oleh
Terganggunya
vasodilatasi sistemik 
mekanisme aliran balik
penurunan aliran darah
darah.
ke organ vital
SYOK KARDIOGENIK

Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah


jantung dan perfusi sistemik pada kondisi volume intravaskular yang
adekuat, sehingga menyebabkan hipoksia jaringan.
Secara fungsional penyebab syok kariogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni
kegagalan Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan.
Penyebab kegagalan jantung kiri :
(1) Disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium.
 Penyebab yang paling sering : infark miokard akut khususnya infark anterior.
d
(2) Disfungsi diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang
ventrikel kiri.
(3) Peningkatan afterload yang terlalu besar.
(4) Abnormalitas katup dan struktur jantung.
(5) Menurunnya kontraktilitas jantung.
Penyebab kegagalan jantung kanan :
(2) Peningkatan afterload yang terlalu besar .
(3) Aritmia
Anamnesis
- Gangguan kesadaran mulai dari kondisi ringan hingga berat
- Penurunan diuresis
- Dapat disertai keringat dingin
- Nadi lemah

Pemeriksaan Fisik
- Terdapat tanda-tanda hipoperfusi seperti (perabaan kulit ekstremitas
dingin, takikardi, nadi lemah, hipotensi, bising usus berkurang,
oliguria)
- Terdapat tanda-tanda peningkatan preload seperti JVP meningkat
atau terdapat ronki basah di basal
- Profil hemodinamik basah dingin (wetand cold)
Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
2. Ekokardiografi
3. Hemodinamik monitoring invasive atau non invasif
4. Pemeriksaan analisa gas darah atau laktat
Syok Obstruktif

Syok obstruktif terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang


menuju jantung (venous return) akibat tension pneumothorax dan cardiac
tamponade, dan emboli paru. Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi
pada syok obstruktif adalah CO↓, BP↓, dan SVR ↑.
Tatalaksana Syok Obstruktif
Atasi penyebab obstruksi :
• Cardiac temponade  pericardiosentesis
• Tension pneumothorax  needle decompression atau chest tube insertion
• Emboli paru  terapi trombolitik untuk mengembalikan sirkulasi paru dan
sisi kiri jantung
Syok Distributif
 Akibat dari dilatasi pembuluh darah besar-besaran 
penurunan systemic vascular resistance (SVR)  penurunan
preload
 Etiologi :
• Sepsis : infeksi (pneumonia, peritonitis, prosedur invasif)
• Neurogenik : cedera medulla spinalis, anastesi spinal, depresi
pusat vasomotor
• Reaksi anafilaktik : reaksi hipersensitivitas (alergik)
Tatalaksana Syok Distributif
1. Syok Anafilaktik 2. Syok Neurogenik
3. Syok Sepsis

(third international consensus definition for sepsis)


Kriteria Sepsis Kriteria qSOFA (syok sepsis)

Sofa: Sequential Organ Failure Assessment

qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat


2 dari 3 kriteria.

Syok septik diidentifikasi dg adanya klinis


sepsis dengan hipotensi menetap.
Kondisi hipotensi membutuhkan tambahan
vasopressor untuk mempertahankan kadar MAP
>65 mmHg dan laktat serum >2 mmol/L
walaupun telah dilakukan resusitasi
Manajemen Syok Sepsis
Catatan :
- Pertimbangkan dopamin
vasopressor alternatif jika
terdapat sinus bradikardia
- Pertimbangkan pemberian
fenilefrin apabila timbul
takiaritmia berbahaya akibat
pemberian norepinefrin atau
epinefrin
- Berdasarkan penilitian seusai
dengan EBM tidak ditemukan
batasan pemberian
norepinefrin , epinefrin dan
fenilefrin. Rentang dosis yang
dicantumkan pada alogritma
ini berdasarkan pengalaman
peneliti. Dosis maksimal
dievaluasi berdasarkan
(third international consensus definition for sepsis) respons fisiologis.
Manajemen Syok Sepsis

- Cairan Intravena  Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi


pasien sepsis, atau sepsis dengan hipotensi dan peningkatan serum
laktat. Cairan resusitasi adalah 30 mg/kgBB cairan kristaloid; tidak ada
perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid.4 Pada kondisi tertentu
seperti penyakit ginjal kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan lebih
hati hati
- Antibiotik Spektrum Luas
- Pengukuran Kadar Laktat  Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus
diukur pada kondisi 2-4 jam awal dan dilakukan tindakan resusitasi segera.
- Kultur Darah  guna meningkatkan optimalisasi pemberian antibiotik dan
identifikasi patogen.
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah
pembuluh darah yang berkurang,hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif
atau kehilangan plasma darah.

Etiologi
Perdarahan
- Aneurisma aorta pecah
- Perdarahan GI
- Perlukaan
Kehilangan Plasma
- Luka bakar luas
- Pankreatitis
- Deskuamasi kulit
Kehilangan cairan ekstraseluler
- Muntah
- Dehidrasi
- Diare
Manifestasi Klinis
Gejala klinis Syok
Hipovolemik
Ringan <20% Volume Sedang (20-40% volume Berat (>40% volume
Darah: darah : darah ):
- Ekstremitas dingin Sama ditambah : Sama ditambah :
- Waktu pengisian - Takhikardia - Hemodinamik tak
kapiler meningkat - Takhipneu stabil
- Diaporesis - Oliguria - Takhikardia bergejala
- Vena kolaps - Hipotensi ortostatik - Hipotensi
- Cemas - Agitasi
- Perubahan
kesadaran
Penatalaksanaan
- Menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi
- Menjaga jalur pernafasan
- Resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intravena atau dengan CVP (central venous
pressure)
- Cairan yang diberikan adalah garam isotonus atau dengan cairan garam seimbang (RL)
- Pemberian cairan 2-4 L dalam 20-30 menit
- Apabila kadar Hb <10 mg/dL perlu pergantian darah dengan transfusi
- Pada keadaan hipovolemia berat dapat diberikan agen inotropik dengan dopamine,
vasopresin atau dobutamine
- Pemberian noreponefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik
- Nalokson bolus 30 mcg/kgbb dalam 3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/kgbb dalam 1 jam
dalam dextrose 5% dapat meningkatkan MAP
- Oksigen
Diskusi Kasus
PENERAPAN DI LAPANGAN PENANGANAN DBD BERDASARKAN PATOGENESIS
DAN PATOFISIOLOGI
TEORI HALSTEAD
(SUATU DISKUSI KASUS)
Sering kita temukan di rumah sakit – rumah sakit seorang dokter memberikan terapi pada pasien DBD yang
apabila di amati tidak sesuai dengan penanganan berdasarkan  patogenesis dan patofisiologi infeksi virus
Dengue berdasarkan teori Halstead. Kita sadari bahwa bukan penyembuhanlah yang menjadi dasar seseorang
mendapat gelar dokter. Yesus kristus, Rasputin, Nabi Muhammad, Ponari dan orang-orang lainnya dapat saja
menyembuhkan suatu penyakit. Tapi mereka tidak diberikan gelar dokter. Mereka  kadang di berikan gelar
orang saleh, dukun, tabib, orang pintar, orang pandai dan sebagainya. Baru diberikan gelar dokter, bila orang
tersebut menyembuhkan penyakit dengan memberikan obat berdasarkan patogenesis atau bagaimana
terjadinya penyakit tersebut dan patofisiologi atau organ-organ apa saja yang rusak akibat penyakit tersebut.
Karena itu adalah suatu hal yang menarik bila seorang dokter mengkritik penanganan DBD yang tidak
berdasarkan patogenesis dan patofisiologi. Dan untuk DBD patogenesis dan patofisiologi yang diakui oleh
WHO adalah berdasarkan teori Halstead.

Berikut saya tuliskan artikel dokter tersebut dan jawaban saya terhadapnya.
KATA DOKTER, KITA HARUS HATI-HATI KEPADA DOKTER
TERUTAMA DI RUMAH SAKIT SWASTA
(http://konsulsehat.web.id)

Ini mungkin tulisan yang cukup aneh. Kok bisa, seorang dokter justru meminta kepada pasien untuk
berhati-hati kepada pelayanan dokter. Tetapi inilah saran yang diberikan oleh dokter Billy sebagaimana ditulis
dalam “Konsul Sehat” (http://konsulsehat.web.id). Konsul sehat merupakan situs untuk kemajuan edukasi
masyarakat di bidang kesehatan.
Seperti yang diceritakan dr. Billy dalam artikel tersebut, selama beberapa hari dr. Billy mengurusi
abangnya yang sakit demam berdarah (DBD). Dokter ini membuatkan surat pengantar untuk dirawat inap di
salah satu RS SWASTA  yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD, Billy menemani sampai
masuk ke kamar perawatan, dan setiap hari dia menunggui. Jadi dia sangat tahu perkembangan kondisi
abangnya. “Abang saya paksa untuk rawat inap karena trombositnya 82 ribu. Agak mengkhawatirkan,” katanya.
Padahal sebenarnya si abang menolak karena merasa diri sudah sehat, tidak demam, tidak mual, hanya merasa
badannya agak lemas.
Mulai di UGD Billy sudah merasa ada yang ‘mencurigakan’. Karena Billy tidak menyatakan bahwa dia
adalah dokter pada petugas di RS, jadi dia bisa dengar berbagai keterangan/penjelasan dan pertanyaan dari
dokter dan perawat yang menurutnya ‘menggelikan’. Pasien pun diperiksa ulang darahnya. Ini masih bisa
diterima. Hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu. Ketika abangnya akan di EKG , si abang sudah mulai ‘ribut’
karena Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dan hasilnya sangat baik. Lalu Billy menenangkan bahwa
itu prosedur di Rumah Sakit. Tetapi yang membuat Billy heran adalah si Abang harus disuntik obat Ranitidin
(obat untuk penyakit lambung), padahal dia tidak sakit lambung, dan tidak mengeluh perih sama sekali. Obat ini
disuntikkan ketika Billy mengantarkan sampel darah ke lab. Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli,
diresepkan untuk tiga hari, padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung, dan biasanya
obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya tidak tepat untuk DBD. Jadi resep tidak dibeli. Dokter
penyakit dalamnya setelah ditanya ke temannya yang praktek di RS tersebut, katanya dipilihkan yang dia
rekomendasikan, karena ‘bagus dan pintar’, ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu
ada di RS. Malamnya, via telepon, dokter penyakit dalam memberi instruksi periksa lab macam-macam. Setelah
Billy lihat, banyak yang ‘nggak nyambung’, jadi Billy minta Abangnya untuk hanya menyetujui sebagian yang
masih rasional.
Besoknya, Billy datang ke RS agak siang. Dokter penyakit dalam sudah visite dan tidak komentar apapun
soal pemeriksaan lab yang ditolak. Billy diminta perawat untuk menebus resep ke apotek.
Ketika Billy melihat resepnya, dia heran. Di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat anti mual/muntah
untuk orang yang sakit kanker dan menjalani kemoterapi. Padahal Abangnya sama sekali tidak mual apalagi
muntah. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang tidak diperlukan karena Abangnya tidak sakit lambung. Bahkan
parasetamol bermerek pun diresepkan lagi, padahal Abangnya sudah bilang bahwa dia punya banyak.
 Karena bingung, Billy cek di internet. Apakah ada protokol baru penanganan DBD yang dia lewatkan atau
kegunaan baru dari Ondansetron. Ternyata tidak. Akhirnya Billy hanya membeli suplemen vitamin saja dari
resep. Pas Billy menyerahkan obat ke perawat, perawat tanya ‘obat suntiknya mana?’ Billy menjawab bahwa
pasien tidak setuju diberi obat-obat itu. Si perawat malah seperti menantang. Akhirnya dengan terpaksa Billy
sampaikan bahwa profesi dia adalah dokter, dan dia yang merujuk pasien ke RS. “Abang saya menolak obat-obat
itu setelah tanya pada saya”. Malah saya dipanggil ke nurse station dan diminta menandatangani surat refusal
consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat, papar Billy.
“Saya beritahu saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang menandatangani, itu pun setelah
dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara dokter saat visit tidak menjelaskan apapun mengenai obat-obat
yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang ‘bengong’.” katanya. Saat Billy menunggu
Abangnya, pasien di ranjang sebelahnya ternyata sakit DBD juga. Dan dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik
infus yang mahal dan sudah 2 botol yang dipakai, padahal kondisi fisik dan hasil labnya tidak ada infeksi bakteri.
Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain.
Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visit, dia hanya ngomong ‘sakit ya?’, ‘masih panas?’, ‘ya sudah
lanjutkan saja dulu terapinya’. Visit nggak sampai tiga menit. Besoknya dokter penyakit dalam yang menangani
Abangnya Billy visit kembali dan tidak berkomentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan. Dia
hanya mengatakan bahwa trombositnya sudah naik, maka boleh pulang.
  “Saya jadi membayangkan, tidak heran bila PONARI dan orang pandai lainnya laris, karena dokter pun
ternyata pengobatannya tidak rasional. Kasihan, banyak pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang tidak
diperlukan. Dan dibuat ‘miskin’ untuk membeli obat-obat yang mahal. Ini belum biaya  dokter ahli yang harus 
‘dibayar’ cukup mahal yang ternyata tidak banyak memberi penjelasan kepada pasien. Sementara kadang kala
keluarga sengaja berkumpul  menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visit.” papar dokter Billy.
Beberapa waktu sebelumnya Billy juga pernah menunggui saudaranya yang lain yang dirawat inap di salah satu
RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil di Jawa Tengah akibat sakit Tipoid.
Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak obat yang tidak rasional yang diresepkan oleh dokter penyakit
dalamnya.
“Kalau ini tidak segera dibereskan, saya tidak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka lebih memilih
pengobatan alternatif atau berobat ke luar negeri. Semoga info ini bisa berguna sebagai pelajaran berharga
untuk pembaca semua agar berhati-hati dan kritis terhadap pengobatan dokter,” tulis Billy menutup artikelnya.
Pertanyaan kita sekarang, apakah semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya yang berprofesi dokter supaya
tidak mendapat pengobatan sembarangan?
Sahabatmu, dr. Billy Nugraha…….
 Jawaban Saya:

Tulisan dr Billy tersebut diyakini akan dibenarkan oleh hampir seluruh dokter umum dan bahkan oleh
mayoritas dokter spesialis penyakit dalam. Karena begitulah yang diajarkan oleh fakultas kedokteran.
Pengobatan infeksi Dengue berdasarkan patogenesis dan patofisiologi Halstead umumnya hanya diberikan
terapi cairan saja.Dan infeksi Dengue biasanya akan sembuh sendiri (self limited diseases). Hal tersebut
dibuktikan oleh laporan kematian yang kurang dari 1% pada seluruh daerah hiperendemis dengue seperti
Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, Myanmar, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Philipina. Bahkan Brunei
Darussalam pernah melaporkan kematian DBD 0% (berdasarkan data tahun 2015).Dimana menurut laporan
WHO negara-negara Asia Tenggara  tersebut menyumbang +/- 70% penyakit DBD di seluruh  dunia. Karena
bersifat  self limited  diseases itu dapat dimengerti bila dr Billy menolak dilakukan tindakkan pemeriksaan rekam
jantung. Karena sebelum sakit DBD telah dilakukan rekam jantung bahkan treadmill test dengan hasil yang
bagus.Berdasar infeksi Dengue yang diyakini oleh mayoritas dokter sebagai self limited diseases pulalah maka
 dapat diterima  penolakan dr Billy atas pemberian ranitidine, ondansentron dan paracetamol non
generik.Demikian Juga bila dr Billy menolak pemeriksaan darah yang lain selain darah perifer
(Hb,Leukosit,trombosit)
Mengatakan  DBD adalah self limited diseases sebenarnya adalah salah. Karena hal itu didasarkan pasien-
pasien yang di rawat di rumah sakit saja.Padahal menurut WHO paling sedikit 2 % dari rakyat indonesia
menderita penyakit DBD (5.200.000 orang). Dan WHO memperkirakan pasien DBD yang dirawat di seluruh
rumah sakit di indonesia hanya 2 % (104.000 orang). Perkiraan WHO itu ternyata  lebih kurang cocok dengan
laporan Depkes RI  tahun 2015 .Depkes RI melaporkan hanya 126.675 orang penderita DBD di 34 provinsi di
Indoneisa.Tidak ada keraguan bahwa  data itu didapatkan atas laporan pasien yang dirawat di rumah sakit.
Seperti yang dikatakan di atas ,menurut WHO penderita DBD di indonesia adalah minimal 5.200.000
orang. Maka apa yang terjadi pada penderita DBD yang tidak dirawat? (5.096.000 orang). Jawabannya adalah
tidak diketahui nasibnya.  Apakah  mereka sembuh atau mati.Tidak ada data untuk itu. Atau secara persentase 
98 % pasien DBD tidak diketahui nasibnya. Dengan demikian  mengatakan DBD adalah penyakit self limited
diseases  hanya berdasarkan  para pasien yang dirawat di rumah sakit adalah suatu hal  yang absurd. Dan lebih
absurd lagi dengan mengatakan bahwa kematian DBD di indonesia < 1 %. Karena laporan tersebutpun hanya
berdasarkan pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit.Dimana pasien-pasien dirumah sakit tersebut
mendapatkan terapi cairan yang cukup dan istirahat yang cukup. Sedangkan pasien DBD yang tidak dirawat
sebanyak 98% dipastikan tidak mendapat terapi cairan yang cukup atau istirahat yang cukup. Dengan data-data
itu dapat dipastikan bahwa kematian DBD di Indonesia  > 1 % dari penderita DBD yang seesungguhnya di
Indonesia.
Setelah kita menolak bahwa pasien DBD adalah self limited diseases, maka suatu hal yang wajar saja , bila
pasien masuk ke IGD dengan gejala klinis yang berat akibat DBD misalnya kerusakan jantung,hati,ginjal dan
sebagainya.Dan gejala berat seperti itu ,tidak berbanding lurus dengan jumlah trombosit pada pasien
tersebut..Jumlah trombosit,bisa saja telah naik mendekati 100000 /mm3 atau lebih.Tetapi kerusakkan
jantung,ginjal,hati dan organ lainnya mungkin masih berlangsung.  Adrian,Ratana,Waly,pernah melaporkan
adanya miokarditis   pada pasien DBD seperti yang ditulis dalam European heart journal Supplement (2017) 19
(Supplement E) ,E53-E 73. Tulisan-tulisan tentang  hubungan antara miokarditis dengan Dengue infection dapat 
dengan mudah kita temukan di Google. Serangan infeksi  Dengue berat yang sekaligus menyerang organ-organ
penting seperti jantung ,hati dan ginjal,,juga pernah dilaporkan oleh Waly,Bandiara (pakar ginjal),Pohan ( pakar
penyakit tropik), Riyanto (pakar penyakit tropik). (Gangguan fungsi ginjal,jantung, dan hati akibat komplikasi
infeksi dengue yang dilakukan heparinisasi dan haemodialisa / http://dhf-revolutionafankelijkheid.net).
Berdasarkan alasan-alasan itu, maka melakukan rekam jantung pada pasien DBD terlebih lagi pasien yang cukup
berumur seperti abangnya dr Billy adalah suatu hal yang relevan.  Pemberian ranitidin pun  suatu hal yang wajar
pula. Karena perburukan lambung pada pasien DBD dapat saja terjadi dengan sangat cepat. Perburukan yang
mungkin saja akan menyebabkan terjadinya suatu erosif atau luka serius pada lambung.Atau pemberian obat
yang mengurangi sekresi asam lambung adalah suatu hal yang relevan betapapun pasien tidak mengeluhkan
nyeri lambung atau mual. Begitu juga pada pemberian ondansentron atau obat anti mual.  Ondansentron bukan
hanya diberikan pada pasien kanker saja seperti yang di katakan dr Billy.Soal pemberikan paracetamol dari jenis 
obat paten itu tergantung pada keyakinan dokternya. Banyak dokter yang berkeyakinan bahwa obat paten lebih
baik dari pada obat generik.
Kesimpulan pada tulisan diatas adalah gejala klinik pada pasien DBD tidak dapat diprediksi. Karena itu
pemeriksaan laboratorium selain Hb, Leukosit, Trombosit, seperti pemeriksaan fungsi hati,ginjal dan elektrolit
dapat diterima.
Yang terakhir masukan pada dr Billy  bahwa patogenesis dan patofisiologi DBD menurut WHO masih
kontroversial. Karena itu  boleh saja seorang dokter tidak menggunakan patofisiologi dan patogenesis DBD yang
dikatakan oleh Halstead. Misalnya dia menggunakan patogenesis dan patofisiologis yang seperti dikemukakan
oleh Waly ”Again,Lets discuss about DHF Pathogenesis dan Pathophysiology (revision)” atau tulisannya yang lain 
yang berjudul “Tidak terbantahkan patogenesis dan patofisiologi infeksi Dengue adalah reaksi hipersensitivitas
tipe III”  atau tulisannya yang lain lagi yang berjudul  “Manfaat cara diagnosa infeksi virus Dengue berdasarkan 
kombinasi kriteria WHO 2009 dan teori T. MUDWAL ”  Semuanya dapat dibaca  pada situs www.dhf-
revolutionafankeliijkheid.net Dimana menurut T. MUDWAL  patogenesis dan patofisiologis infeksi dengue adalah
reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun. Dengan dasar itu, untuk mencegah terjadinya
serangan berat infeksi Dengue mutlak diberikan kortikosteroid dosis tinggi sebelum hari ke 5 sakit. Diharapkan 
dr Billy tidak  terkejut bila ada dokter yang memberikan kortikosteroid dosis tinggi pada infeksi Dengue.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai