Anda di halaman 1dari 17

m a d a n

I j
Q i y a s
Ijma
•Pengertian
Secara Bahasa berarti berupaya (tekad) terhadap sesuatu, kesepakatan.
Secara istilah berarti kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin
pada suatu masa setelah wafat Rasulullah SAW atas hukum syara yang tidak
ditemukan dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadist.
• Dalil yang menerangkan tentang Ijma’

Firman Allah Swt :


115: )
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami
biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali”.
Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :

Artinya: “Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan”.


• Rukun Ijma’

1. Ijma’ dilakukan lebih dari satu orang


2.Adanya kesepakatan sesame para mujtahid atas hukum syara
3.Hendaknya kesepakatan mereka jelas dalam bentuk perktaan, fatwa,
atau perbuatan
4.Kesepakatan itu terwujud atas hukum kepada semua para mujtahid
• Syarat-syarat Ijma’
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
c. Para mujtahid harus umat Muhammad Saw
d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi
e. Kesepakatan mereka harus berupa syariat.
• Tingkatan atau Macam-macam
Ijma’
 Ditinjau dari segi terjadinya
1.Ijma’ sharih yaitu ijma’ dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka
menerima pendapat yang disepakati tersebut.
2.Ijma’ Sukuti yaitu ijma’ dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang
mujtahid, kemudian pendapat itu diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa
dengan mujtahid atas, tidak ada seorangpun mengingkarinya
dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i tidak memasukkan Ijma’
Sukutidalam kategori Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah.
• Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
1.Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam Syafi’i)
2.Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di
bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)
3.Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi bukan termasuk kategori
ijma’. (Madzhab Hanafi)
 Ditinjau dari segi keyakinan
1.Ijma’ qath’I yaitu hukum yang dihasilkan dalil qath’I diyakini benar
terjdinya.
2.Ijma’ zhanni yaitu hukum yang masih ada kemungkinan lain bahwa hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain.
3. Ditinjau dari segi pelaku ijtihadnya
4.Ijma’ sahabat yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah.
5.Ijma’ khulafaur Rasyidin yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar,
Umar, Ustman, dan Ali.
6.Ijma’ Shaikhani yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar
7.Ijma’ Ahli Madinah yaitu ijma’ yang dilkukan oleh ulama-ulama Madinah
(Madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’i).
8.Ijma’ Ulama Kufah yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kufah
(Madzhab Hanafi).
Imam Syafi’i cenderung menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga
mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2.Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar
diberbagai daerah diseluruh Negara-negara Islam.

Tidak ada kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang diterima


ijma’nya. Dengan demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah)
hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili
dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga
memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in berhubung
sudah berpencar di berbagai negara hingga sulit mengadakan pertemuan
diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama mengatakan bahwa
tidak ada ijma’ yang dispakati dan diterima oleh semua ulama, kecuali ijma’nya
para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa sekarang ini tidak mungkin
terjadinya ijma’.
Qiya
• Pengertian Qiyas s
Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak
ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan
sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Mereka juga membuat definisi lain : Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya
persamaan ‘illat hukum.
Dasar Hukum

Qiyas
1. Al-qur’an
Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan
qiyas dengan cara menyamakan dua hal
sebagaimana dalam surat Al-Hasyr ayat 2:
Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-
orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-
kampung mereka pada saat pengusiran yang
pertama. kamu tidak menyangka, bahwa
mereka akan keluar dan merekapun yakin,
bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah;
Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-
orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang
yang mempunyai wawasan.”
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’tabiru ya ulil abshar (maka
ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang
mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT
memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang
terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-
orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan
seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan
memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat
dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’
dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
2. Hadist
Dapat ditemukan di hadist Muadz Ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang
dilakukan oleh muadz ketika ditanya oleh Rasulullah, diantaranya ijtihad
yang mencakup di dalamnya qiyas, Karena qiyas merupakan salah satu
macam ijtihad.
3. Ijma’
Para sahabat Nabi Saw seringkali mengungkapkan kata qiyas. Qiyas ini
diamalkan tanpa seorang sahabat pun yang mengingkarinya disamping itu,
perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan
hujjah dan wajib diamalkan.
4. Dalil Akliah
•Allah mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk keselamatan.
•Nash baik Al-qur’an maupun hadist jumlahnya terbatas dan final.
Qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada ulama yang berbeda pendapat
dengan jumhur ulama tentang digunakannya/tidak digunakannya qiyas.
Kedudukan qiyas manurut ulama yaitu :
•Kelompok Jumhur : Mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang
tidak jelas nashnya baik dalam Al-Qur’an/Al-hadist pendapat shahabat/ijma’ ulama
tapi hal tersebut dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas.
•Madzab Dhohiriyah dan Syiah Imamiyah : Samasekali tidak memakai qiyas, hanya
terpaku pada teks.
•Akhor/kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas. Terkadang dalam
kondisi/masalah tertentu kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentaskhih dan
keumuman Al-Qur’an dan Al Hadist.
•RukunQiyas
1. Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan
tempat mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash syara’
yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang menjadi
Dasar Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan),
Mahmul ‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah bih (tempat
menyerupakan).
2. Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang
dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.
4. ‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga
hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.
• Macam-macam qiyas
1. Qiyas Aulawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Dan
antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum
cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada
pada al-asal. Misalnya: berkata kepada kedua orang tua dengan
mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna
dan menyakitakan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah
SWT QS. Al-Isra’ (17) : 23.
2. Qiyas Musawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan
sama antara hukum yang ada pada al-ashl maupun hukum yang ada
pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak
yatim berdasarkan firman Allah Surat An-Nisa’ (4):10.
3. Qiyas Adna
Qiyas adna yaitu adanya hukum far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum
al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam
hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar
antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini
‘illat hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan
yang bisa dimakan dan ditakar.
Sekian dan
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai