Anda di halaman 1dari 31

KEWARGANEGARAAN

OLEH:

I WAYAN KARTIKA JAYA UTAMA


SILABUS
PENDAHULUAN
PANCASILA DALAM PENDEKATAN FILSAFAT
IDENTITAS NASIONAL
KONSTITUSI
NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
DEMOKRASI
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
GEOPOLITIK INDONESIA
GEOSTRATEGI INDONESIA
LITERATUR
H.Kaelan & H.Achmad Zubaidi, Pendidikan
Kewarganegaraan.
A Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan
Kewarganegaraan.
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan
Kewarganegaraan.
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara.
__________, Konstruksi Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.
UUDNRI 1945
UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam sejarah kehidupan kenegaraan telah terjadi carut marut
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Gerakan Reformasi telah membawa perubahan sangat besar
terutama di bidang hukum dan politik → perubahan dominan
kearah prinsip konstitusionalisme dan demokrasi, tetapi welfare
staat (kesejahteraan rakyat) terabaikan.
Proses demokratisasi : kekuasaan rakyat dominan saat
pemilu/pilkada (setelah itu saluran demokrasi tersumbat/tidak
terakomodir); kekuasaan sangat besat pada Presiden dan DPR
(kebijakan bukan atas nama rakyat tetapi atas kehendak
eksekutif/legislatif); rakyat kecil sulit berpartisipasi dalam
kekuasaan politik (biaya tinggi untuk duduk dalam jajaran
pemerintahan).
Rapuhnya nasionalisme: loyalitas ormas pada kekuasaan
internasional/transnasional (pendanaan dari luar).
Kaburnya kehidupan bernegara pada warga negara → gerakan
kelompok/elemen masyarakat yang mengarah pada separatis →
menggoyahkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Tujuan Pendidikan kewarganegaraan
Menjadikan warga negara yang baik, yang
mampu mendukung bangsa dan negara.
Pada era reformasi → bertujuan membentuk
warga negara yang demokratis, yaitu warga
negara yang cerdas, berkeadaban, dan
bertanggung jawab bagi kelangsungan negara
Indonesia.
Menjadikan mahasiswa : sebagai ilmuwan dan
profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air, demokratis berkeadaban; sebagai
warga negara yang memiliki daya saing,
berdisiplin dan berpartisipasi aktif dalam
membangun kehidupan yang damai berdasarkan
sistem nilai Pancasila.
Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum
Landasan Ilmiah
Setiap warga negara dituntut hidup berguna dan
bermakna bagi negara dan bangsanya →
diperlukan penguasaan IPTEKS yang
berlandaskan nilai-nilai keagamaan, moral,
kemanusiaan dan budaya bangsa.
Tujuan utama → menumbuhkan wawasan dan
kesadaran bernegara serta membentuk sikap dan
perilaku cinta tanah air yang bersendikan
kebudayaan dan Filsafat Pancasila.
Substansi kajian → Filsafat Pancasila, Identitas
Nasional, Negara dan Konstitusi, Demokrasi,
Negara Hukum dan HAM, Hak dan Kewajiban
Warga Negara, Geopolitik, dan Geostrategi
Indonesia.
Landasan Hukum

UUDNRI Tahun 1945 : Pembukaan Alinea II dan IV,


Pasal 27 (1), Pasal 28C (1), Pasal 28D (1), Pasal
28D (3), Pasal 31(1).
UU No. 20 Tahun 1982 jo. UU No. 1 Tahun 1988
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara Republik Indonesia.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional; Kep. Mendiknas No. 232/U/2000 tentang
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi
dan Penilaian Hasil Relajar Mahasiswa; dan Kep.
Mendiknas No. 45/U/2002 tentang Kurikulum Inti
Pendidikan Tinggi.
SK. Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006 tentang
Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
BAB II
PANCASILA DALAM PENDEKATAN FILSAFAT
Pancasila sebagai suatu sistem → sila-sila Pancasila
merupakan suatu kesatuan organis → antara sila-sila saling
berkaitan atau saling berhubungan bahkan saling
mengkualifikasi membentuk suatu struktur yang
menyeluruh → dasar pemikiran (manusia dalam hubungan
dengan TYME, dirinya sendiri, sesama manusia, dan
masyarakat).
Kesatuan sila-sila Pancasila: kesatuan formal logis →
bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal; dan kesatuan
dalam isi sifat-sifatnya/kualitas → dasar ontologis,
dasar epistemologi, dan dasar aksiologis.
Kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan
berbentuk piramidal → sila Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi basis sila Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan
dan Keadilan.
Dasar ontologis sila-sila Pancasila → hakikat mutlak manusia
(monopluralisme) yang memiliki: susunan kodrati (raga, jiwa,
rokhani); sifat kodrat (makhluk individu & sosial); kedudukan
kodrat (makhluk pribadi & makhluk TYME).
Dasar epistemologis sila-sila Pancasila: Pancasila merupakan
suatu sistem pengetahuan yang ditempatkan dalam bangunan
filsafat manusia → sumber, kebenaran dan watak pengetahuan
manusia.
Sila I (kebenaran wahyu bersifat mutlak → tingkatan kebenaran
tertinggi); sila II (kebenaran pengetahuan manusia → kebenaran
kodrat manusia); sila III, IV, V (kebenaran konsensus → sifat
kodrat manusia sebagai mahkluk individu & mahkluk sosial).
Dasar aksiologis sila-sila Pancasila: Pancasila pada hakikatnya
merupakan suatu nilai-nilai yang menjadi landasan berperilaku.
Nilai-nilai dari Pancasila adalah nilai : Ketuhanan (religius),
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Keseluruhan
nilai bersifat sistematis dan hierarkhis → tingkatan nilai → sila I
basisnya – sila V tujuannya.
Nilai-nilai Pancasila termasuk nilai etik/moral dan nilai dasar →
mendasari semua aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara → bersifat fundamental dan tetap.
Pancasila sebagai Dasar Negara → nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman
normatif bagi penyelenggaraan bernegara → menjadi etika perilaku para
penyelenggara negara dan masyarakat Indonesia → Tap MPR No.
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan
Bermasyarakat → mencakup Etika Sosial dan Budaya, Etika Pemerintahan
dan Politik, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakan Hukum dan
Berkeadilan, serta Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan.
Pancasila sebagai norma dasar negara Indonesia → dasar dan sumber bagi
penyusunan hukum serta peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Tata hukum Indonesia yang berpuncak pada hukum dasar negara yaitu
UUD 1945 bersumber pada nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar
bernegara.
Pancasila Sebagai Ideologi Nasional : nilai-nilai Pancasila menjadi cita-cita
normatif penyelenggaraan bernegara → Tap MPR No. VII/MPR/2001
tentang Visi Indonesia Masa Depan : Visi Ideal (cita-cita luhur – alinea II &
IV); Visi Antara (Visi Indonesia 2020 – bangsa religius, manusiawi,
bersatu, demokratis dan adil); Visi Lima Tahunan (GBHN-Prolegnas).;
sebagai salah satu sarana pemersatu (integrasi) masyarakat Indonesia →
menjadi sumber normatif bagi penyelesaian konflik para anggotanya →
prosedur penyelesaian konflik dilandasi nilai-nilai: religius, menghargai
derajat kemanusiaan, mengedepankan persatuan, prosedur demokratis,
terwujudnya keadilan.
BAB III
IDENTITAS NASIONAL

Secara terminologi, identitas nasional


diartikan sebagai suatu ciri yang dimiliki
oleh suatu bangsa yang secara filosofis
membedakan dengan bangsa lain.
Identitas nasional suatu bangsa tidak dapat
dipisahkan dengan jati diri atau lebih
popular disebut kepribadian bangsa.
Identitas nasional juga harus dipahami
dalam arti dinamis, yaitu bagaimana
bangsa itu melakukan akselerasi dalam
pembangunan, termasuk proses
interaksinya secara global dengan bangsa-
bangsa lain di dunia internasional.
Faktor-Faktor Pendukung Dan
Unsur-Unsur Identitas Nasional
Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional :
1). Faktor Objektif → faktor geografis-ekologis, dan demografis.
2). Faktor Subjektif → faktor historis, sosial, politik, dan
kebudayaan.
Unsur yang terkandung dalam Identitas Nasional:
1). Pola Perilaku → gambaran pola perilaku yang terwujud dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya: adat istiadat, budaya dan
kebiasaan ramah tamah, hormat pada orang tua, dan gotong
royong.
2). Lambang-lambang → sesuatu yang menggambarkan tujuan
danfungsi negara, biasanya dinyatakan dalam UU. Misalnya :
bendera, bahasa, lagu.
3). Alat-alat perlengkapan → sejumlah perangkat/alat-alat
perlengkapanyang digunakan untuk mencapai tujuan, berupa:
bangunan (candi, masjid, gereja, pura); peralatan (pakaian adat,
alat-alat seni); teknologi (bercocok tanam, kapal laut, pesawat).
4). Tujuan yang ingin dicapai → mencerdaskan bangsa dan
kesejahteraan bersama (Pembukaan UUDNRI Tahun 1945).
Pancasila Sebagai Kepribadian
dan Identitas Nasional.
Pancasila sebagai Dasar filsafat bangsa dan negara bersumber
kepada nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu bangsa sebagai
kepribadian bangsa.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia bersifat
terbuka dan dinamis yaitu perpaduan nilai-nilai keindonesiaan
yang majemuk dengan nilai-nilai yang bersifat universal
(ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan).
Nilai-nilai ideal Pancasila pada jaman Orde Baru menjadi simbol
ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan penyelewengan hukum.
Revitalisasi makna, peran, dan posisi Pancasila dalam arti
menjadikan Pancasila sebagai public discourse (wacana publik),
dapat dilakukan melalui reassessment yaitu penilaian kembali atas
pemaknaan Pancasila sehingga menghasilkan pemikiran dan
pemaknaan baru yang tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan
negara Indonesia (ideologi terbuka).
BAB IV
KONSTITUSI
Istilah konstitusi merupakan terjemahan dari istilah
constituer (bahasa Perancis) yang berarti membentuk,
yaitu membentuk suatu negara atau menyusun dan
menyatakan suatu negara. Konstitusi berarti peraturan
dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dengan
demikian, konstitusi memuat aturan-aturan pokok
(fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan
untuk berdirinya negara.
Secara umum, di dunia terdapat dua macam konstitusi,
yaitu : Konstitusi Tertulis (written constitution) dan
Konstitusi Tidak Tertulis (unwritten constitution). Konstitusi
Tertulis biasa disebut Undang-undang Dasar (UUD),
sedangkan Konstitusi Tidak Tertulis biasa disebut dengan
Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan.
Hampir semua negara di dunia mempunyai Konstitusi
tertulis di samping Konvensi-konvensinya, kecuali Inggris
dan Kanada.
Istilah konstitusi dalam perkembangannya
mempunyai 2 pengertian, yaitu:
Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti
keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau
hukum dasar (droit constitutionelle), baik yang
tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran
keduanya;
Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi
berarti piagam dasar atau undang-undang dasar
(loi constitutionelle), ialah suatu dokumen lengkap
mengenai peraturan-peraturan dasar negara,
misalnya UUD RI 1945, Konstitusi USA 1787.
Materi Muatan Konstitusi
Menurut A.A.H. Struycken Undang-undang Dasar (grondwet)
sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal
yang berisi :
Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik
waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Menurut Mr.J.G. Steenbek begitu juga C.F. Strong sebagaimana
dikutip Sri Soemantri, pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga
hal pokok, yaitu :
Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari
warganya;
Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang
bersifat fundamental;
Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental
Pembagian Dan Klasifikasi
Konstitusi
K.C Wheare mengungkapkan macam-macam konstitusi sebagai
berikut:
Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis (written
constitution and no written constitution) → formal & tidak formal.
Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible constitution and
rigid constitution) → cara dan prosedur perubahannya.
Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi
(supreme constitution and not supreme constitution)
Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution
and unitary constitution) → bentuk suatu negara
Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem
pemerintahan parlementer (presidental executive and
parliamentary executive constitution) → sistem pemerintahan
• Berdasarkan klasifikasi di atas, UUD 1945 termasuk klasifikasi
konstitusi yang rigid, konstitusi tertulis, konstitusi berderajat
tinggi, konstitusi kesatuan, dan terakhir termasuk konstitusi yang
menganut sistem pemerintahan campuran.
Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein menyimpulkan adanya tiga nilai suatu konstitusi, yaitu:
1. Nilai normatif.
Apabila konstitusi tersebut diterima oleh seluruh rakyat, ditaati dan
dijunjung tinggi tanpa adanya penyelewengan sedikitpun → konstitusi
telah dapat dilaksanakan sesuai dengan isi dan jiwanya baik dalam produk
hukum maupun dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah.
2. Nilai Nominal.
Apabila dalam kenyataan terdapat batas-batas pemberlakuannya.
Contoh: Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen
dinyatakan tidak berlaku lagi karena tugas PPKI hanya dalam masa
peralihan dan badan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Meskipun
ketentuan tersebut tidak dicabut tidak berarti masih berlaku secara efektif.
3. Nilai Simantik.
Konstitusi hanya sekedar istilah saja. Meskipun secara hukum tetap
berlaku, tetapi dalam kenyataan hanya sekedar untuk memberi bentuk
dan untuk melaksanakan kekuasaan politik dan kepentingan pihak yang
berkuasa (dalam arti negatif).
Contoh: UUD 1945 yang berlaku pada masa orde lama, walau berlaku
secara hukum tetapi dalam praktek berlakunya hanya untuk kepentingan
penguasa saja.
Sifat Konstitusi
Secara umum suatu konstitusi memiliki sifat-sifat antara
lain: formil dan materiil, tertulis dan tidak tertulis, serta
flexible (luwes/supel) dan rigid (kaku).
Konstitusi formil berarti konstitusi yang tertulis yaitu
berbentuk naskah tertulis dan diundangkan, misalnya UUD
1945.Konstitusi materiil yaitu suatu konstitusi yang jika
dilihat dari isinya memuat hal-hal yang bersifat dasar atau
pokok bagi rakyat dan negara.
Untuk menentukan suatu konstitusi bersifat flexible atau
rigid dapat dipakai ukuran: Cara mengubah konstitusi;
Mudah tidaknya konstitusi mengikuti perkembangan zaman
(dinamis).
Konstitusi tertulis yaitu konstitusi yang dicantumkan dalam
suatu naskah atau beberapa naskah, sedangkan yang tidak
tertulis terdapat dalam banyak hal yang diatur dalam
konvensi-konvensi atau undang-undang biasa disebut
konstitusi tidak tertulis.
Perubahan Konstitusi
Perubahan konstitusi tidak hanya mengandung arti menambah,
mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah maupun kalimat,
tetapi juga berarti membuat isi ketentuan konstitusi menjadi lain
daripada semula, melalui penafsiran.
Ada dua macam sistem perubahan konstitusi yang lazim digunakan
dalam praktek ketatanegaraan di dunia: Pertama, apabila suatu
konstitusi diubah maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang baru
secara keseluruhan (dianut oleh hampir semua negara di dunia);
Kedua, apabila konstitusi diubah maka konstitusi yang asli tetap
berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan
amandemen dari konstitusi yang asli, dan menjadi bagian dari
konstitusinya.
Menurut C.F. Strong, perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan 4
cara, yaitu : Perubahan konstitusi dilakukan oleh kekuasaan legislatif,
akan tetapi dilaksanakan menurut pembatasan-pembatasan tertentu;
Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu
referendum; Perubahan konstitusi di negara serikat yang dilakukan
oleh sejumlah negara bagian; dan Perubahan konstitusi yang
dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga
negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Perubahan UUD 1945 dilatarbelakangi, antara lain:
a. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang
bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR;
b. UUD 1945 telah membangun sistem politik yang
executive heavy
c. UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan
delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur
hal-hal penting dengan UU dan PP
d. UUD 1945 memuat beberapa pasal yang
ambigu/multitafsir
e. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat
penyelenggara negara
Perubahan UUD 1945 dilakukan berdasarkan lima
kesepakatan dasar, yaitu:
1). tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2). tetap mempertahankan Negara Kesatuan RI;
3). mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4). meniadakan penjelasan UUD 1945 serta memasukkan
hal-hal
normatif ke dalam pasal-pasal; dan
5). melakukan perubahan dengan cara adendum.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 telah terjadi
perubahan secara signifikan. Jumlah ketentuan yang
tercakup dalam naskah UUD 1945 asli 71 butir menjadi 199
butir. Dari 199 butir ketentuan hanya 25 butir berasal dari
naskah asli, selebihnya 174 butir ketentuan merupakan
ketentuan yang baru sama sekali. Sehingga walaupun
namanya tetap UUD 1945 tetapi secara substansi dapat
dikatakan merupakan konstitusi baru dengan nama resmi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 disingkat UUDNRI Tahun 1945.
BAB V
NEGARA HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA
Pengertian negara hukum terbagi atas : Negara hukum (rechtsstaat)
menurut Eropa Kontinental; dan Negara hukum (the rule of law)
menurut Anglo Saxon.
Negara hukum (rechtsstaat) memiliki 4 unsur pokok, yaitu: 1).
Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2). Adanya
pemisahan kekuasaan dalam negara; 3). Setiap tindakan negara
harus berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu; 4).
Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.
Negara hukum (the rule of law) memiliki 3 unsur pokok, yaitu: 1).
Supremasi hukum (supremacy of the law), artinya kekuasaan
tertinggi dalam negara adalah hukum; 2). Persamaan dalam
kedudukan hukum bagi setiap orang (equality before the law); 3).
Perlindungan hak azasi manusia
Syarat-syarat negara hukum di Indonesia, yaitu: 1). Asas legalitas
dalam arti hukum, yaitu bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh
negara maupun warga negara harus berdasarkan atas hukum yang
berlaku; 2). Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 3). Adanya
jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia; 4). Adanya badan
peradilan yang bebas dan merdeka yaitu Peradilan Administrasi.
HAK ASASI MANUSIA
Istilah hak-hak asasi manusia adalah terjemahan
dari bahasa Inggris Human Right.
Hak asasi manusia merupakan perangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
dalam penghormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia (Pasal 1 ayat (1) UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Perjuangan & Pengaturan
Hak Asasi Manusia

Magna Charta (Piagam Agung) di Inggris (1215),


Petition Of Right (Perancis, 1628), Bill of Right
(Inggris, 1689), Declaration des droit de I’homme
et du citoyen (Perancis,1789)  Hak-hak Politik
(HAM Gen I).
The Four Freedoms (Amerika Serikat, 1948 
Piagam PBB  Hak Klasik & Hak Sosial (HAM Gen II).
Jaminan Perlindungan HAM : Pasal 28A – 28J
UUDNRI 1945  HAM Sipil & Politik (I), HAM
Ekonomi & Sosbud (II), HAM Kolektif (III).
Pengaturan HAM di Indonesia.
Pengaturan HAM di Indonesia: UU No. 39/1999
ttg HAM; UU No. 26/2000 ttg Pengadilan HAM;
Kepres No. 5/1993 ttg Komnas HAM.
BAB VI
DEMOKRASI
Secara etimologis → demokrasi → demos (rakyat);
cratos/cratein (kekuasaan/pemerintahan) =
kekuasaan/pemerintahan rakyat.
Pemerintahan rakyat :
1. Pemerintahan dari rakyat (government of the people) →
pemerintahan sah adalah pemerintahan yang mendapat
pengakuan/dukungan mayoritas rakyat melalui pemilihan
umum (legitimasi politik rakyat).
2. Pemerintahan oleh rakyat (government by the people) →
pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat;
pemerintahan berada dalam pengawasan rakyat (social
control).
3. Pemerintahan untuk rakyat (government for the people)
→ pemerintahan menjalankan kekuasaan untuk
menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Sejarah Demokrasi
Yunani → abad ke-4 SM -abad ke-6 M → demokrasi
langsung → pembuatan keputusan politik secara
langsung oleh warga negara berdasarkan prosedur
mayoritas → kelemahan : budak, pedagang asing,
perempuan dan anak-anak tidak menikmati.
Di Eropa → akhir abad pertengahan → Magna Charta di
Inggris (pembatasan kekuasaan Raja, HAM).
Gerakan Renaissance →membangkitkan kembali tradisi
berdemokrasi Yunani.
Gerakan Rasionalitas → abad ke-16 → gerakan kritis
terhadap kebekuan doktrin gereja → kebebasan berpikir
dan bertindak bertumpu pada rasionalitas berdasarkan
pada hukum alam (prinsip keadilan) dan kontrak sosial
(perjanjian rakyat dan raja).
Konstitusi demokrasi Barat → bersandar pada trias politika
dan konsep welfare state (negara kesejahteraan).
Demokrasi Indonesia
Masa Revolusi (1945-1950) → demokrasi
parlementer → dominasi partai politik : afiliasi
kesukuan dan agama; integrasi bangsa
terancam; persaingan tidak sehat antar fraksi;
pemberontakan daerah terhadap pusat.
Masa Orde Lama (1950-1959) → demokrasi
liberal; 1959-1965 → demokrasi terpimpimpin.
Masa Orde Baru (1966-1998) → demokrasi
Pancasila.
Masa Reformasi (1998-sekarang) → demokrasi
Pancasila.
Norma/Unsur Pokok
Dalam Tatanan Masyarakat Yang Demokratis
1. Kesadaran akan pluralisme → sikap dan perilaku menghargai
dan mengakomodasi pandangan dan sikap pihak lain → mencegah
hegemoni mayoritas dan tirani minoritas.
2. Musyawarah → keinsyafan dan kedewasaan bernegosiasi dan
kompromi sosial politik secara damai dan bebas dalam setiap
keputusan bersama.
3. Cara harus sejalan dengan tujuan → tidak sebatas pelaksanaan
prosedur-prosedur demokrasi (pemilu, sidang DPR) tetapi harus
dilaksanakan secara santun dan beradab; tanpa paksaan, tekanan
dan ancaman; sukarela, dialogis dan saling menguntungkan.
4. Norma kejujuran dalam permufakatan → permusyawaratan
yang jujur dan sehat untuk mencapai kesepakatan yang
menguntungkan semua pihak
5. Kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban → percaya
pada sikap baik orang dan kelompok lain dilandasai pandangan
positip dan optimis.
6. Trial dan error dalam berdemokrasi → demokrasi merupakan
proses tanpa henti → dibutuhkan percobaan-percobaan dan
kesediaan semua pihak untuk menerima
Unsur-Unsur Mendasar Sistem
Pemerintahan Yang Demokratis
Keterlibatan Warga Negara dalam
pembuatan keputusan politik
Tingkat persamaan tertentu diantara
warga negara
Tingkat kebebasan/kemerdekaan tertentu
warga negara
Sistem perwakilan
Sistem pemilihan kekuasaan mayoritas
Sistem Pemerintahan
Demokratis
1. Keterlibatan Warga Negara dalam
pembuatan keputusan politik.
2. Tingkat persamaan tertentu diantara
warga negara.
3. Tingkat kebebasan/kemerdekaan
tertentu warga negara.
4. Sistem perwakilan.
5. Sistem pemilihan kekuasaan
mayoritas

Anda mungkin juga menyukai