SILABUS PENDAHULUAN PANCASILA DALAM PENDEKATAN FILSAFAT IDENTITAS NASIONAL KONSTITUSI NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DEMOKRASI HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA GEOPOLITIK INDONESIA GEOSTRATEGI INDONESIA LITERATUR H.Kaelan & H.Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan. A Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan. Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. __________, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. UUDNRI 1945 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam sejarah kehidupan kenegaraan telah terjadi carut marut pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Gerakan Reformasi telah membawa perubahan sangat besar terutama di bidang hukum dan politik → perubahan dominan kearah prinsip konstitusionalisme dan demokrasi, tetapi welfare staat (kesejahteraan rakyat) terabaikan. Proses demokratisasi : kekuasaan rakyat dominan saat pemilu/pilkada (setelah itu saluran demokrasi tersumbat/tidak terakomodir); kekuasaan sangat besat pada Presiden dan DPR (kebijakan bukan atas nama rakyat tetapi atas kehendak eksekutif/legislatif); rakyat kecil sulit berpartisipasi dalam kekuasaan politik (biaya tinggi untuk duduk dalam jajaran pemerintahan). Rapuhnya nasionalisme: loyalitas ormas pada kekuasaan internasional/transnasional (pendanaan dari luar). Kaburnya kehidupan bernegara pada warga negara → gerakan kelompok/elemen masyarakat yang mengarah pada separatis → menggoyahkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Tujuan Pendidikan kewarganegaraan Menjadikan warga negara yang baik, yang mampu mendukung bangsa dan negara. Pada era reformasi → bertujuan membentuk warga negara yang demokratis, yaitu warga negara yang cerdas, berkeadaban, dan bertanggung jawab bagi kelangsungan negara Indonesia. Menjadikan mahasiswa : sebagai ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis berkeadaban; sebagai warga negara yang memiliki daya saing, berdisiplin dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum Landasan Ilmiah Setiap warga negara dituntut hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya → diperlukan penguasaan IPTEKS yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, moral, kemanusiaan dan budaya bangsa. Tujuan utama → menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara serta membentuk sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan kebudayaan dan Filsafat Pancasila. Substansi kajian → Filsafat Pancasila, Identitas Nasional, Negara dan Konstitusi, Demokrasi, Negara Hukum dan HAM, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Geopolitik, dan Geostrategi Indonesia. Landasan Hukum
UUDNRI Tahun 1945 : Pembukaan Alinea II dan IV,
Pasal 27 (1), Pasal 28C (1), Pasal 28D (1), Pasal 28D (3), Pasal 31(1). UU No. 20 Tahun 1982 jo. UU No. 1 Tahun 1988 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Kep. Mendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Relajar Mahasiswa; dan Kep. Mendiknas No. 45/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. SK. Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. BAB II PANCASILA DALAM PENDEKATAN FILSAFAT Pancasila sebagai suatu sistem → sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan organis → antara sila-sila saling berkaitan atau saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi membentuk suatu struktur yang menyeluruh → dasar pemikiran (manusia dalam hubungan dengan TYME, dirinya sendiri, sesama manusia, dan masyarakat). Kesatuan sila-sila Pancasila: kesatuan formal logis → bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal; dan kesatuan dalam isi sifat-sifatnya/kualitas → dasar ontologis, dasar epistemologi, dan dasar aksiologis. Kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal → sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis sila Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Dasar ontologis sila-sila Pancasila → hakikat mutlak manusia (monopluralisme) yang memiliki: susunan kodrati (raga, jiwa, rokhani); sifat kodrat (makhluk individu & sosial); kedudukan kodrat (makhluk pribadi & makhluk TYME). Dasar epistemologis sila-sila Pancasila: Pancasila merupakan suatu sistem pengetahuan yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia → sumber, kebenaran dan watak pengetahuan manusia. Sila I (kebenaran wahyu bersifat mutlak → tingkatan kebenaran tertinggi); sila II (kebenaran pengetahuan manusia → kebenaran kodrat manusia); sila III, IV, V (kebenaran konsensus → sifat kodrat manusia sebagai mahkluk individu & mahkluk sosial). Dasar aksiologis sila-sila Pancasila: Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang menjadi landasan berperilaku. Nilai-nilai dari Pancasila adalah nilai : Ketuhanan (religius), Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Keseluruhan nilai bersifat sistematis dan hierarkhis → tingkatan nilai → sila I basisnya – sila V tujuannya. Nilai-nilai Pancasila termasuk nilai etik/moral dan nilai dasar → mendasari semua aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara → bersifat fundamental dan tetap. Pancasila sebagai Dasar Negara → nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman normatif bagi penyelenggaraan bernegara → menjadi etika perilaku para penyelenggara negara dan masyarakat Indonesia → Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat → mencakup Etika Sosial dan Budaya, Etika Pemerintahan dan Politik, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakan Hukum dan Berkeadilan, serta Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan. Pancasila sebagai norma dasar negara Indonesia → dasar dan sumber bagi penyusunan hukum serta peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tata hukum Indonesia yang berpuncak pada hukum dasar negara yaitu UUD 1945 bersumber pada nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasila Sebagai Ideologi Nasional : nilai-nilai Pancasila menjadi cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara → Tap MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan : Visi Ideal (cita-cita luhur – alinea II & IV); Visi Antara (Visi Indonesia 2020 – bangsa religius, manusiawi, bersatu, demokratis dan adil); Visi Lima Tahunan (GBHN-Prolegnas).; sebagai salah satu sarana pemersatu (integrasi) masyarakat Indonesia → menjadi sumber normatif bagi penyelesaian konflik para anggotanya → prosedur penyelesaian konflik dilandasi nilai-nilai: religius, menghargai derajat kemanusiaan, mengedepankan persatuan, prosedur demokratis, terwujudnya keadilan. BAB III IDENTITAS NASIONAL
Secara terminologi, identitas nasional
diartikan sebagai suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan dengan bangsa lain. Identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri atau lebih popular disebut kepribadian bangsa. Identitas nasional juga harus dipahami dalam arti dinamis, yaitu bagaimana bangsa itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara global dengan bangsa- bangsa lain di dunia internasional. Faktor-Faktor Pendukung Dan Unsur-Unsur Identitas Nasional Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional : 1). Faktor Objektif → faktor geografis-ekologis, dan demografis. 2). Faktor Subjektif → faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan. Unsur yang terkandung dalam Identitas Nasional: 1). Pola Perilaku → gambaran pola perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: adat istiadat, budaya dan kebiasaan ramah tamah, hormat pada orang tua, dan gotong royong. 2). Lambang-lambang → sesuatu yang menggambarkan tujuan danfungsi negara, biasanya dinyatakan dalam UU. Misalnya : bendera, bahasa, lagu. 3). Alat-alat perlengkapan → sejumlah perangkat/alat-alat perlengkapanyang digunakan untuk mencapai tujuan, berupa: bangunan (candi, masjid, gereja, pura); peralatan (pakaian adat, alat-alat seni); teknologi (bercocok tanam, kapal laut, pesawat). 4). Tujuan yang ingin dicapai → mencerdaskan bangsa dan kesejahteraan bersama (Pembukaan UUDNRI Tahun 1945). Pancasila Sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional. Pancasila sebagai Dasar filsafat bangsa dan negara bersumber kepada nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu bangsa sebagai kepribadian bangsa. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia bersifat terbuka dan dinamis yaitu perpaduan nilai-nilai keindonesiaan yang majemuk dengan nilai-nilai yang bersifat universal (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan). Nilai-nilai ideal Pancasila pada jaman Orde Baru menjadi simbol ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan penyelewengan hukum. Revitalisasi makna, peran, dan posisi Pancasila dalam arti menjadikan Pancasila sebagai public discourse (wacana publik), dapat dilakukan melalui reassessment yaitu penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila sehingga menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru yang tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia (ideologi terbuka). BAB IV KONSTITUSI Istilah konstitusi merupakan terjemahan dari istilah constituer (bahasa Perancis) yang berarti membentuk, yaitu membentuk suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Konstitusi berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dengan demikian, konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya negara. Secara umum, di dunia terdapat dua macam konstitusi, yaitu : Konstitusi Tertulis (written constitution) dan Konstitusi Tidak Tertulis (unwritten constitution). Konstitusi Tertulis biasa disebut Undang-undang Dasar (UUD), sedangkan Konstitusi Tidak Tertulis biasa disebut dengan Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Hampir semua negara di dunia mempunyai Konstitusi tertulis di samping Konvensi-konvensinya, kecuali Inggris dan Kanada. Istilah konstitusi dalam perkembangannya mempunyai 2 pengertian, yaitu: Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constitutionelle), baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran keduanya; Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (loi constitutionelle), ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara, misalnya UUD RI 1945, Konstitusi USA 1787. Materi Muatan Konstitusi Menurut A.A.H. Struycken Undang-undang Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi : Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau; Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang; Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. Menurut Mr.J.G. Steenbek begitu juga C.F. Strong sebagaimana dikutip Sri Soemantri, pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu : Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari warganya; Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental Pembagian Dan Klasifikasi Konstitusi K.C Wheare mengungkapkan macam-macam konstitusi sebagai berikut: Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis (written constitution and no written constitution) → formal & tidak formal. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible constitution and rigid constitution) → cara dan prosedur perubahannya. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi (supreme constitution and not supreme constitution) Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and unitary constitution) → bentuk suatu negara Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan parlementer (presidental executive and parliamentary executive constitution) → sistem pemerintahan • Berdasarkan klasifikasi di atas, UUD 1945 termasuk klasifikasi konstitusi yang rigid, konstitusi tertulis, konstitusi berderajat tinggi, konstitusi kesatuan, dan terakhir termasuk konstitusi yang menganut sistem pemerintahan campuran. Nilai Konstitusi Karl Loewenstein menyimpulkan adanya tiga nilai suatu konstitusi, yaitu: 1. Nilai normatif. Apabila konstitusi tersebut diterima oleh seluruh rakyat, ditaati dan dijunjung tinggi tanpa adanya penyelewengan sedikitpun → konstitusi telah dapat dilaksanakan sesuai dengan isi dan jiwanya baik dalam produk hukum maupun dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah. 2. Nilai Nominal. Apabila dalam kenyataan terdapat batas-batas pemberlakuannya. Contoh: Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan tidak berlaku lagi karena tugas PPKI hanya dalam masa peralihan dan badan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Meskipun ketentuan tersebut tidak dicabut tidak berarti masih berlaku secara efektif. 3. Nilai Simantik. Konstitusi hanya sekedar istilah saja. Meskipun secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataan hanya sekedar untuk memberi bentuk dan untuk melaksanakan kekuasaan politik dan kepentingan pihak yang berkuasa (dalam arti negatif). Contoh: UUD 1945 yang berlaku pada masa orde lama, walau berlaku secara hukum tetapi dalam praktek berlakunya hanya untuk kepentingan penguasa saja. Sifat Konstitusi Secara umum suatu konstitusi memiliki sifat-sifat antara lain: formil dan materiil, tertulis dan tidak tertulis, serta flexible (luwes/supel) dan rigid (kaku). Konstitusi formil berarti konstitusi yang tertulis yaitu berbentuk naskah tertulis dan diundangkan, misalnya UUD 1945.Konstitusi materiil yaitu suatu konstitusi yang jika dilihat dari isinya memuat hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan negara. Untuk menentukan suatu konstitusi bersifat flexible atau rigid dapat dipakai ukuran: Cara mengubah konstitusi; Mudah tidaknya konstitusi mengikuti perkembangan zaman (dinamis). Konstitusi tertulis yaitu konstitusi yang dicantumkan dalam suatu naskah atau beberapa naskah, sedangkan yang tidak tertulis terdapat dalam banyak hal yang diatur dalam konvensi-konvensi atau undang-undang biasa disebut konstitusi tidak tertulis. Perubahan Konstitusi Perubahan konstitusi tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah maupun kalimat, tetapi juga berarti membuat isi ketentuan konstitusi menjadi lain daripada semula, melalui penafsiran. Ada dua macam sistem perubahan konstitusi yang lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di dunia: Pertama, apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan (dianut oleh hampir semua negara di dunia); Kedua, apabila konstitusi diubah maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli, dan menjadi bagian dari konstitusinya. Menurut C.F. Strong, perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu : Perubahan konstitusi dilakukan oleh kekuasaan legislatif, akan tetapi dilaksanakan menurut pembatasan-pembatasan tertentu; Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum; Perubahan konstitusi di negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara bagian; dan Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. Perubahan UUD 1945 dilatarbelakangi, antara lain: a. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR; b. UUD 1945 telah membangun sistem politik yang executive heavy c. UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan UU dan PP d. UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu/multitafsir e. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara negara Perubahan UUD 1945 dilakukan berdasarkan lima kesepakatan dasar, yaitu: 1). tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; 2). tetap mempertahankan Negara Kesatuan RI; 3). mempertegas sistem pemerintahan presidensial; 4). meniadakan penjelasan UUD 1945 serta memasukkan hal-hal normatif ke dalam pasal-pasal; dan 5). melakukan perubahan dengan cara adendum. Dengan adanya amandemen UUD 1945 telah terjadi perubahan secara signifikan. Jumlah ketentuan yang tercakup dalam naskah UUD 1945 asli 71 butir menjadi 199 butir. Dari 199 butir ketentuan hanya 25 butir berasal dari naskah asli, selebihnya 174 butir ketentuan merupakan ketentuan yang baru sama sekali. Sehingga walaupun namanya tetap UUD 1945 tetapi secara substansi dapat dikatakan merupakan konstitusi baru dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disingkat UUDNRI Tahun 1945. BAB V NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Pengertian negara hukum terbagi atas : Negara hukum (rechtsstaat) menurut Eropa Kontinental; dan Negara hukum (the rule of law) menurut Anglo Saxon. Negara hukum (rechtsstaat) memiliki 4 unsur pokok, yaitu: 1). Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2). Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara; 3). Setiap tindakan negara harus berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu; 4). Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Negara hukum (the rule of law) memiliki 3 unsur pokok, yaitu: 1). Supremasi hukum (supremacy of the law), artinya kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum; 2). Persamaan dalam kedudukan hukum bagi setiap orang (equality before the law); 3). Perlindungan hak azasi manusia Syarat-syarat negara hukum di Indonesia, yaitu: 1). Asas legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh negara maupun warga negara harus berdasarkan atas hukum yang berlaku; 2). Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 3). Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia; 4). Adanya badan peradilan yang bebas dan merdeka yaitu Peradilan Administrasi. HAK ASASI MANUSIA Istilah hak-hak asasi manusia adalah terjemahan dari bahasa Inggris Human Right. Hak asasi manusia merupakan perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang dalam penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Perjuangan & Pengaturan Hak Asasi Manusia
Magna Charta (Piagam Agung) di Inggris (1215),
Petition Of Right (Perancis, 1628), Bill of Right (Inggris, 1689), Declaration des droit de I’homme et du citoyen (Perancis,1789) Hak-hak Politik (HAM Gen I). The Four Freedoms (Amerika Serikat, 1948 Piagam PBB Hak Klasik & Hak Sosial (HAM Gen II). Jaminan Perlindungan HAM : Pasal 28A – 28J UUDNRI 1945 HAM Sipil & Politik (I), HAM Ekonomi & Sosbud (II), HAM Kolektif (III). Pengaturan HAM di Indonesia. Pengaturan HAM di Indonesia: UU No. 39/1999 ttg HAM; UU No. 26/2000 ttg Pengadilan HAM; Kepres No. 5/1993 ttg Komnas HAM. BAB VI DEMOKRASI Secara etimologis → demokrasi → demos (rakyat); cratos/cratein (kekuasaan/pemerintahan) = kekuasaan/pemerintahan rakyat. Pemerintahan rakyat : 1. Pemerintahan dari rakyat (government of the people) → pemerintahan sah adalah pemerintahan yang mendapat pengakuan/dukungan mayoritas rakyat melalui pemilihan umum (legitimasi politik rakyat). 2. Pemerintahan oleh rakyat (government by the people) → pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat; pemerintahan berada dalam pengawasan rakyat (social control). 3. Pemerintahan untuk rakyat (government for the people) → pemerintahan menjalankan kekuasaan untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat. Sejarah Demokrasi Yunani → abad ke-4 SM -abad ke-6 M → demokrasi langsung → pembuatan keputusan politik secara langsung oleh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas → kelemahan : budak, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak menikmati. Di Eropa → akhir abad pertengahan → Magna Charta di Inggris (pembatasan kekuasaan Raja, HAM). Gerakan Renaissance →membangkitkan kembali tradisi berdemokrasi Yunani. Gerakan Rasionalitas → abad ke-16 → gerakan kritis terhadap kebekuan doktrin gereja → kebebasan berpikir dan bertindak bertumpu pada rasionalitas berdasarkan pada hukum alam (prinsip keadilan) dan kontrak sosial (perjanjian rakyat dan raja). Konstitusi demokrasi Barat → bersandar pada trias politika dan konsep welfare state (negara kesejahteraan). Demokrasi Indonesia Masa Revolusi (1945-1950) → demokrasi parlementer → dominasi partai politik : afiliasi kesukuan dan agama; integrasi bangsa terancam; persaingan tidak sehat antar fraksi; pemberontakan daerah terhadap pusat. Masa Orde Lama (1950-1959) → demokrasi liberal; 1959-1965 → demokrasi terpimpimpin. Masa Orde Baru (1966-1998) → demokrasi Pancasila. Masa Reformasi (1998-sekarang) → demokrasi Pancasila. Norma/Unsur Pokok Dalam Tatanan Masyarakat Yang Demokratis 1. Kesadaran akan pluralisme → sikap dan perilaku menghargai dan mengakomodasi pandangan dan sikap pihak lain → mencegah hegemoni mayoritas dan tirani minoritas. 2. Musyawarah → keinsyafan dan kedewasaan bernegosiasi dan kompromi sosial politik secara damai dan bebas dalam setiap keputusan bersama. 3. Cara harus sejalan dengan tujuan → tidak sebatas pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi (pemilu, sidang DPR) tetapi harus dilaksanakan secara santun dan beradab; tanpa paksaan, tekanan dan ancaman; sukarela, dialogis dan saling menguntungkan. 4. Norma kejujuran dalam permufakatan → permusyawaratan yang jujur dan sehat untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak 5. Kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban → percaya pada sikap baik orang dan kelompok lain dilandasai pandangan positip dan optimis. 6. Trial dan error dalam berdemokrasi → demokrasi merupakan proses tanpa henti → dibutuhkan percobaan-percobaan dan kesediaan semua pihak untuk menerima Unsur-Unsur Mendasar Sistem Pemerintahan Yang Demokratis Keterlibatan Warga Negara dalam pembuatan keputusan politik Tingkat persamaan tertentu diantara warga negara Tingkat kebebasan/kemerdekaan tertentu warga negara Sistem perwakilan Sistem pemilihan kekuasaan mayoritas Sistem Pemerintahan Demokratis 1. Keterlibatan Warga Negara dalam pembuatan keputusan politik. 2. Tingkat persamaan tertentu diantara warga negara. 3. Tingkat kebebasan/kemerdekaan tertentu warga negara. 4. Sistem perwakilan. 5. Sistem pemilihan kekuasaan mayoritas