Anda di halaman 1dari 40

Pemateri:

A
TATALAKSANA GANGGUAN
PASCA BEDAH

2
GANGGUAN DIABETES

• Stress operatif dan anestesi memiliki efek unik pada


kadar glukosa darah, yang harus dipertimbangkan untuk
mempertahankan kontrol glikemik yang optimal.

• Prosedur bedah dapat menyebabkan sejumlah


gangguan metabolisme yang dapat mengganggu
homeostasis glukosa.

3
GANGGUAN DIABETES
• Hiperglikemia yang dihasilkan karena ketidakseimbangan glukosa
merupakan faktor risiko sepsis pasca operasi, disfungsi endotel,
iskemia serebral, dan gangguan penyembuhan luka.

• Trauma yang terkait dengan operasi akan meningkatkan produksi


hormon stres, yang besarnya tergantung pada jenis operasi dan
komplikasi pasca operasi. Terdapat pula peningkatan kadar kortisol
dan katekolamin pasca operasi. Peningkatan kortisol dan
katekolamin mengurangi sensitivitas insulin, sementara aktivitas
simpatis yang tinggi mengurangi sekresi insulin.

4
TATALAKSANA DIABETES POST OPERATIF

• Target kadar glukosa darah pasca operasi berkisar antara 140 dan
180 mg / dL
• Bila pasien mengalami kondisi hipoglikemik setelah operasi, mulai
infus dekstrosa sekitar 5-10 g / jam
• Pastikan kadar insulin basal terpenuhi, terutama pada pasien
diabetes tipe 1
• Kebutuhan insulin postprandial harus disesuaikan rute pemberian
nutrisi pasien
• Insulin tambahan dapat digunakan untuk mencegah hiperglikemia
dan mengembalikan kadar glukosa darah ke kisaran target
5
GANGGUAN FUNGSI HEPAR POST OPERATIF

• Disfungsi hepar pasca operasi ringan tidak jarang terjadi


pada pasien.

• Beberapa hipotesis tentang mekanisme terjadinya gangguan


fungsi hepar post operatif disebabkan oleh penurunan aliran
darah, stimulasi simpatis dan akibat prosedur pembedahan
itu sendiri, terutama jika berdekatan dengan hepar.
Peningkatan LDH dan transaminase yang tidak terlalu tinggi
telah terlihat dalam prosedur tersebut terlepas dari teknik
anestesi yang digunakan. 6
Ikterik Postoperatif

• Hiperbilirubinemia multifaktorial adalah penyebab tersering


ikterus pasca operasi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
pembentukan bilirubin dan penurunan clearance hepar.

• Gangguan ini paling sering terjadi setelah pembedahan besar


atau trauma yang membutuhkan banyak transfusi. Hemolisis,
sepsis, resorpsi hematoma, dan transfusi darah dapat
meningkatkan beban bilirubin; secara bersamaan,
hipoksemia, iskemia hati, dan faktor-faktor lain yang kurang
dipahami merusak fungsi hati. 7
Ikterik Postoperatif

• Kondisi ini biasanya mencapai kondisi maksimal dalam


beberapa hari setelah operasi.
• Insufisiensi hati jarang terjadi, dan hiperbilirubinemia
biasanya sembuh perlahan tetapi sepenuhnya.
• Tes laboratorium hati sering dapat membedakan
hiperbilirubinemia campuran multifaktorial dari hepatitis.
• Pada hiperbilirubinemia campuran multifaktorial,
hiperbilirubinemia berat dengan aminotransferase ringan dan
peningkatan alkali fosfatase sering terjadi. Pada hepatitis,
kadar aminotransferase biasanya sangat tinggi. 8
Kolestasis Postoperatif

• Penyebab paling umum dari kolestasis pasca operasi adalah


obstruksi bilier ekstrahepatik akibat komplikasi intra-
abdominal atau obat yang diberikan pasca operasi.
• Kolestasis intahepatik kadang-kadang berkembang setelah
operasi besar, terutama setelah prosedur abdomen atau
kardiovaskular (kolestasis intrahepatik jinak pasca operasi).
Patogenesisnya tidak diketahui, tetapi kondisinya biasanya
sembuh dengan lambat dan spontan. Kadang-kadang, hasil
kolestasis pasca operasi dari kolesistitis akalkulus akut atau
pankreatitis. 9
Hepatitis Postoperatif
• "Hepatitis" iskemik pasca operasi merupakan hasil dari
perfusi hati yang tidak memadai, bukan peradangan.

• Penyebabnya adalah hipotensi perioperatif sementara atau


hipoksia.

• Biasanya, kadar aminotransferase meningkat dengan cepat


(seringkali> 1000 unit / L), tetapi bilirubin hanya sedikit
meningkat. Hepatitis iskemik biasanya maksimal dalam
beberapa hari setelah operasi dan sembuh dalam beberapa
hari. 10
Hepatitis Postoperatif

• Hepatitis terkait halotan dapat terjadi akibat penggunaan


anestesi yang mengandung halotan atau agen terkait.
Biasanya berkembang dalam 2 minggu, sering didahului oleh
demam, dan kadang-kadang disertai dengan ruam dan
eosinofilia.

• Hepatitis pascabedah sejati sekarang jarang terjadi. Dulu


hasil terutama dari penularan virus hepatitis C selama
transfusi darah.
11
INSUFISIENSI ADRENAL

• Insufisiensi adrenal akut adalah komplikasi langka yang


dapat bermanifestasi pada periode perioperatif.

• Penyebab paling umum adalah pemberian steroid eksogen


(Insufisiensi adrenal tersier) yang mengakibatkan atrofi
korteks adrenal karena pelepasan ACTH yang tidak memadai
darikelenjar pituitari, dan ketidakmampuan selanjutnya untuk
menghasilkan glukokortikoid endogen.

12
INSUFISIENSI ADRENAL

• Penyebab insufisiensi adrenal yang lebih jarang adalah


penyakit Addison (insufisiensi adrenal primer), yang
menyebabkan penurunan produksi steroid endogen, serta
tumor atau lesi hipotalamus dan hipofisis (insufisiensi
adrenal sekunder).

• Perlu dicatat bahwa pasien dengan penyakit Addison


memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami insufisiensi
adrenal akut karena kurangnya produksi glukokortikoid dan
mineral kortikoid. 13
MALNUTRISI PASCA BEDAH

• Studi menunjukkan bahwa terdapat malnutrisi pada 50%


pasien post operatif dan ada hubungan antara nutrisi dan
outcome tindakan bedah.

• Dengan dimulainya operasi, pasien mendapatkan


peningkatan hormon kontra-regulasi seperti kortisol,
glukagon dan katekolamin, yang berfungsi untuk
meningkatkan konsumsi energi dan mulai katabolisme
protein
14
TATALAKSANA MALNUTRISI PASCA BEDAH

1. Assessment status nutrisi


2. Assessment kebutuhan energi
3. Pemilihan jalur pemberian nutrisi : parenteral dan enteral
4. Re-assessment

15
C
NILAI NORMAL ELEKTROLIT
DARAH

16
NILAI NORMAL ELEKTROLIT DARAH

• Natrium — 136-145 meq/L (136-145 mmol/L)

• Kalium — 3.5-5.0 meq/L (3.5-5.0 mmol/L)

• Klorida — 98-106 meq/L (98-106 mmol/L)

• Bikarbonat — 23-28 meq/L (23-28 mmol/L)

17
D
GANGGUAN KESEIMBANGAN
ELEKTROLIT

18
HIPONATREMIA
• Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan
air yang berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan
penurunan konsentrasi natrium plasma.

• Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi


hipoosmotik seperti pada keadaan berkeringat selama aktivitas
berat yang berkepanjangan, berhubungan dengan penurunan
volume cairan ekstrasel seperti diare, muntah-muntah, dan
penggunaan diuretik secara berlebihan.

19
HIPONATREMIA
• Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal
yang menyebabkan gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada
ginjal, penyakit addison, serta retensi air yang berlebihan
(overhidrasi hipo-osmotik) akibat hormon antidiuretik.

• Respons fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya


pengeluaran ADH dari hipotalamus (osmolaritas urine rendah).

• Pseudohiponatremia dapat dijumpai pada penurunan fraksi plasma,


yaitu pada kondisi hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia,
hiperproteinemia dan hiperglikemia serta kelebihan pemberian
manitol dan glisin. 20
HIPERNATREMIA
• Peningkatan konsentrasi natrium plasma karena kehilangan air dan
larutan ekstrasel (dehidrasi hiperosmotik pada diabetes insipidus)
atau karena kelebihan natrium dalam cairan ekstrasel seperti pada
overhidrasi osmotik atau retensi air oleh ginjal dapat menyebabkan
peningkatan osmolaritas & konsentrasi natrium klorida dalam
cairan ekstrasel.

21
HIPERNATREMIA
• Hipernatremia dapat terjadi bila ada defisit cairan tubuh akibat
ekskresi air melebihi ekskresi natrium atau asupan air yang kurang.
Misalnya pada pengeluaran air tanpa elektrolit melalui insensible
water loss atau keringat, diare osmotik akibat pemberian laktulose
atau sorbitol, diabetes insipidus sentral maupun nefrogenik,
diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol, gangguan pusat rasa
haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan vaskular

22
HIPOKALEMIA

Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut :

a. Asupan Kalium Kurang


Orang tua yang hanya makan roti panggang dan teh, peminum
alkohol yang berat sehingga jarang makan dan tidak makan
dengan baik, atau pada pasien sakit berat yang tidak dapat makan
dan minum dengan baik melalui mulut atau disertai oleh masalah
lain misalnya pada pemberian diuretik atau pemberian diet rendah
kalori pada program menurunkan berat badan dapat
menyebabkan hipokalemia.

23
HIPOKALEMIA
b. Pengeluaran Kalium Berlebihan
Pengeluaran kalium yang berlebihan terjadi melalui saluran cerna
seperti muntah-muntah, melalui ginjal seperti pemakaian diuretik,
kelebihan hormon mineralokortikoid primer/hiperaldosteronisme
primer (sindrom bartter atau sindrom gitelman) atau melalui
keringat yang berlebihan. Diare, tumor kolon (adenoma vilosa) dan
pemakaian pencahar menyebabkan kalium keluar bersama
bikarbonat pada saluran cerna bagian bawah (asidosis metabolik).
Licorice (semacam permen) yang mengandung senyawa yang
bekerja mirip aldosteron, dapat menyebabkan hipokalemia jika
dimakan berlebihan.
24
HIPOKALEMIA
c. Kalium Masuk ke Dalam Sel
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel,
pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-adrenergik
(pemakaian β2- agonis), paralisis periodik hipokalemik, dan
hipotermia.

25
HIPERKALEMIA
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh :
a. Keluarnya Kalium dari Intrasel ke Ekstrasel
Kalium keluar dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis
metabolik bukan oleh asidosis organik (ketoasidosis, asidosis
laktat), defisit insulin, katabolisme jaringan meningkat, pemakaian
obat penghambat-β adrenergik, dan pseudohiperkalemia.

b. Berkurangnya Ekskresi Kalium melalui Ginjal


Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan
hiperaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif,
pemakaian siklosporin atau akibat koreksi ion kalium berlebihan
dan pada kasus-kasus yang mendapat terapi angiotensin-
26
converting enzyme inhibitor dan potassium sparing diuretics.
HIPERKALEMIA

Pseudohiperkalemia dapat disebabkan oleh hemolisis, sampel tidak


segera diperiksa atau akibat kesalahan preanalitik yang lain yaitu
tornikuet pada lengan atas tidak dilepas sebelum diambil darah
setelah penderita menggenggam tangannya berulangkali
(peningkatan sampai 2 mmol/L). Jumlah trombosit >500.000/mm3
atau leukosit >70.000/mm3 juga dapat meningkatkan kadar kalium
serum.

27
HIPOKLORINEMIA

Hipoklorinemia terjadi jika pengeluaran klorida melebihi pemasukan.


Penyebab hipoklorinemia umumnya sama dengan hiponatremia,
tetapi pada alkalosis metabolik dengan hipoklorinemia, defisit klorida
tidak disertai defisit natrium. Hipoklorinemia juga dapat terjadi pada
gangguan yang berkaitan dengan retensi bikarbonat, contohnya pada
asidosis respiratorik kronik dengan kompensasi ginjal.

28
HIPERKLORINEMIA

Hiperklorinemia terjadi jika pemasukan melebihi pengeluaran pada


gangguan mekanisme homeostasis dari klorida. Umumnya penyebab
hiperklorinemia sama dengan hipernatremia. Hiperklorinemia dapat
dijumpai pada kasus dehidrasi, asidosis tubular ginjal, gagal ginjal
akut, asidosis metabolik yang disebabkan karena diare yang lama
dan kehilangan natrium bikarbonat, diabetes insipidus, hiperfungsi
status adrenokortikal dan penggunaan larutan salin yang berlebihan,
alkalosis respiratorik. Asidosis hiperklorinemia dapat menjadi petanda
pada gangguan tubulus ginjal yang luas.
29
I
KEBUTUHAN CAIRAN 24 JAM
PADA PASIEN PASCA BEDAH

30
• Manajemen terapi cairan pasca operasi harus dilakukan dengan
mempertimbangkan status pasien dan kejadian intraoperatif.

• Jenis cairan, jumlah cairan yang diberikan dan waktu pemberian


penting diperhatikan dalam strategi manajemen cairan.

• Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk memberikan


perfusi jaringan yang memadai tanpa membahayakan pasien.

31
• Perdebatan tentang strategi manajemen cairan dapat
dikelompokkan menjadi strategi liberal, strategi volume cairan
terbatas dan goal directed strategy (GDS)

• Strategi liberal dan volume cairan terbatas didefinisikan berbeda-


beda oleh berbagai penulis sehingga menciptakan rentang variabel
volume.

• Sebagai contoh, dalam satu penelitian, volume cairan terbatas


didefinisikan sebagai 1000 mL plus kehilangan melalui urin.
sementara dalam penelitian lain, pasien dalam kelompok volume
cairan terbatas menjadi sasaran lebih dari 2000 mL cairan pada
hari operasi.
32
• Variasi ini membuat sulit untuk dipertimbangkan dalam studi ini
secara keseluruhan. Namun, mayoritas penulis yang mempelajari
subjek ini menunjukkan bahwa strategi restriktif memiliki efek
positif pada fungsi gastrointestinal, penyembuhan luka dan fungsi
paru.

• Brandstrup et al menyatakan bahwa, hidrasi berlebihan dengan


kristaloid berhubungan dengan peningkatan komplikasi utama,
seperti peritonitis, sepsis, edema paru dan perdarahan pada
pasien yang menjalani operasi kolorektal elektif.

33
• Dapat disimpulkan bahwa, menjaga pasien ke kondisi mendekati
dehidrasi lebih baik, karena lebih aman dan lebih efisien daripada
memberikan volume besar untuk menghindari dehidrasi.

• Di sisi lain, strategi liberal lebih unggul daripada strategi volume


cairan terbatas untuk mengurangi mual, sakit kepala, pusing dan
muntah pasca operasi.

• GDS adalah pendekatan yang paling rasional untuk menilai pasien


dan mempertahankan keseimbangan cairan yang optimal.

34
• Strategi GDS sepenuhnya didasarkan pada data terkini pasien,
yang diperoleh dari metode pemantauan.

• Rivers et al, salah satu pelopor strategi ini, melakukan pemantauan


CVP, tekanan arteri rata-rata, serum laktat, dan saturasi oksigen
vena campuran untuk mengelola terapi pada pasien sepsis.

• Penelitian selanjutnya difokuskan pada pemantauan hemodinamik,


dan efek cairan yang diberikan pada pasien. Sekarang, GDS dapat
didefinisikan sebagai terapi cairan individual, berdasarkan respons
cairan individual pasien.
35
• Terlepas dari bukti-bukti ini, aksesibilitas yang rendah dan
ketersediaan Doppler esofagus adalah kelemahan utama dari
metode ini. Hal ini mengarahkan para peneliti untuk mencari
metode yang lebih mudah diakses dan berlaku untuk penggunaan
umum di unit perawatan pasca operasi, seperti oksimetri nadi non-
invasif dan pengukuran tekanan arteri invasif.

36
J
KANDUNGAN BERBAGAI JENIS
CAIRAN INFUS

37
38
DAFTAR PUSTAKA

• Sudhakaran S, Surani S R. 2015. Guidelines for Perioperative Management of the


Diabetic Patient. Surg Res Pract
• Huang J, Hwang G C. 2016. Anesthesiology Core Review: Part 2, Advanced Exam.
McGraw-Hill 
• Brandstrup B, Tønnesen H, Beier-Holgersen R, Hjortsø E, Ørding H, Lindorff-Larsen
K, Rasmussen MS, Lanng C, Wallin L, Iversen LH, et al. Effects of intravenous fluid
restriction on postoperative complications: comparison of two perioperative fluid
regimens: a randomized assessor-blinded multicenter trial. Ann Surg. 2003;238:641–
648. 
• MacKay G, Fearon K, McConnachie A, Serpell MG, Molloy RG, O’Dwyer PJ.
Randomized clinical trial of the effect of postoperative intravenous fluid restriction on
recovery after elective colorectal surgery. Br J Surg. 2006;93:1469–1474.

39
DAFTAR PUSTAKA

• Jung C, Inder W J. 2008. Management of Adrenal Insufficiency During the Stress of


Medical Illness and Surgery. Med J Aust
• Kohl, B, Schwartz, S. How to Manage Perioperative Endocrine Insufficiency. Medical
Clinics of North America. 2010;28:139-155
• Barash, Paul G. Adrenal Insufficiency. Handbook of Clinical Anesthesia. Philadelphia,
PA. Lippincott Williams & Wilkins/Wolters Kluwer, 2013.1336-338.Print.
• Yaswir R, Farawati I.2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium,
dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal FK Unand

40

Anda mungkin juga menyukai