Anda di halaman 1dari 24

Sudut Pandang

Oleh : Kelompok 8
Mata Kuliah : Kajian Prosa
Dosen Pengampu : Alifiah Nurachmana, S.S., M.Pd.
A Betiana Feny Hariany Kharisma Devi
N (193010202004) (193010202002) (193030202040)
G
G
O
T
A
Risckha Ronanti Riska Susanti Yoyong
(193030202055) (193030202059) (193010202008)
PENYUDUT PANDANGAN
Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah
B satu unsur fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana
A cerita (literary device). Walau demikian, hal itu tidak berarti
bahwa perannya dalan fiksi tidak penting. Sudut pandang
B haruslah diperhitungkan kehadirannya serta bentuknya, sebab
8 pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap
penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah
karya fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh
bentuk sudut pandang.
—Pengertian Sudut Pandang
B
Sudut pandang, point of view, menyaran pada
A cara sebuah cerita dikisahkan. la rnerupakan
B cara atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan
8 tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya
fiksi kepada pembaca.
1. Sudut Pandang
Sebagai Unsur Fiksi
MON a. Hakikat Sudut Pandang

TUE Membaca dua buah karya fiksi yang berbeda, mungkin kita akan
berhadapan dengan dua persona pembawa cerita yang berbeda. Persona
WED tersebut dari satu sisi dapat dipandang sebagai tokoh cerita, namun dari sisi
tertentu kadang-kadang juga dapat dipandang sebagai si pencerita. Sudut
THU
pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau:
FRI pada posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan
demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan, di samping
mempengaruhi perkembangan cerita dan masalah yang diceritakan, juga
kebebasan dan keterbatasan, ketajaman ketelitian, dan keobjektifan terhadap
hal-hal yang diceritakan.
 Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,
teknik, dan siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan serta ceritanya. Segala sesuatu yang
dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang, pandangan
hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu
dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata
tokoh cerita.

● Apa yang di kemukakan di atas, untuk lebih konkretnya, dapat


diberikan contoh sebagai berikut. Misalnya, ada peristiwa pembajakan
pesawat airbus oleh beberapa orang dengan motivasi politik. Para
penumpang beserta seluruh awak pesawat dijadikan sandera. Para
persona yang terlibat dalam peristiwa itu antara lain penumpang, pilot
dan awak pesawat, pembajak, polisi antiteroris, pihak pemerintah, dan
bahkan orang luar.
b. Pentingnya Sudut Pandang
Dewasa ini betapa pentingnya sudut pandang dalam karya fiksi tak
MON lagi diragukan orang. Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur
fiksi yang penting dan menentukan. Kesemuanya itu dimulai setelah
TUE
Henry James yang novelis sekaligus esais Amerika itu menulis esai
WED tentang sudut pandang secara meyakinkan, yang belakangan esai-
esainya dikumpulkan dan terbit dengan judul The Art of novel (1934).
THU Selanjutnya, Percy Lubbock mengembangkan esai James dalam The
Eraf of Fiction (1926) secara lebih luas dan rinci, dengan analisis yang
FRI mendetail tentang efek penggunaan sudut pandang dalam berbagai
karya fiksi, khususnya karya James. Setelah itu, sudut pandang masuk
menjadi salah satu unsur penting dalam teori fiksi modern, dan segera
menjadi topic of the day.
c. Sudut Pandang sebagai Penonjolan
B Penulisan karya fiksi, seperti pada umumnya penulisan sastra, tak
A pernah lepas dari penyimpangan dan pembaharuan, baik hanya
meliputi satu-dua elemen tertentu maupun sejumlah elemen sekaligus
B dalam sebuah karya. Adanya penyimpangan dan pembaharuan dalam
karya sastra, merupakan hal yang esensial. Pengarang melakukan
8 penyimpangan agar karyanya dianggap lain. Penyimpangan atau
pembaharuan pastilah ada maknanya, tujuannya. Ia mungkin
dikarenakan pengarang ingin menunjukkan sesuatu secara lain,
melihat sesuatu dari dimensi lain, atau ingin menekankan apa yang
dikemukakannya.
2. Macam Sudut Pandang
Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut
MON
mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Friedman
TUE (dalam Stevick) mengemukakan adanya sejumlah pertanyaan yang
jawabannya dapat dipergunakan untuk membedakan sudut pandang.
WED Pertanyaan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
THU 1) Siapa yang berbicara kepada pembaca (pengarang dalam
persona ketiga atau pertama, salah satu pelaku dengan “aku”,
FRI atau seperti tak seorang pun)?
2) Dari posisi mana cerita itu di kisahkan (atas, tepi, pusat, depan,
atau berganti-ganti)?
3) Saluran informasi apa yang dipergunakan narator untuk
menyampaikan ceritanya kepada pembaca (kata-kata, pikiran, atau
persepsi pengarang; kata-kata, tindakan, pikiran, perasaan, atau
MON persepsi tokoh)?
TUE
4) Sejauh mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya
(dekat, jauh, atau berganti-ganti).
WED
Selain itu pembedaan sudut pandang juga dilihat dari
THU
bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca: lebih bersifat
FRI penceritaan (telling) atau penunjukkan (showing) naratif maupun
dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan
berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang,
yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona
pertama.
a. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya
"dia", narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan
tokoh-tokoh cerita menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Nama-
B nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus-menerus disebut, dan
sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca
A untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Tokoh-
B tokoh itu misalnya, Srintil, Kartareja, Sakarya, dan Sakum dalam Ronggeng Dukuh
Paruk, atau Sadeli, Maria, David, Wayne dalam Maut dan Cinta.
8 Sudut pandang "dia" dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan
tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu
pihak pengarang/narator dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tokoh "dia", jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat,
mempunyai keterbatasan "pengertian" terhadap tokoh "dia" yang diceritakan itu,
jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.
(1) "Dia“ Mahatahu
Sudut pandang persona ketiga mahatahu dalam literatur bahasa Inggris
dikenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view, third-person
omniscient, the omniscient narrator, atau author omnisvient. Dalam sudut
MON pandang ini, cerita dikisahkan dari judul "dia", namun pengarang/narator, dapat
menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh "dia" tersebut. Narator
TUE mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient).
WED
(2) "Dia" Terbatas, "Dia" sebagai Pengamat
Dalam sudut pandang "dia" terbatas, seperti halnya dalam "dia" mahatahu,
THU
pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan
oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Stanton, 1965:
FRI
26), atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Abrams, 198 1:,144). Tokoh
cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh "dia", namun mereka
tidak diberi kesempatan (baca: tak dilukiskan) untuk menunjukkan sosok dirinya
seperti halnya tokoh pertama.
b. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona
pertama, first-person point of view, "aku", jadi : gaya "aku", narator adalah
B seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si "aku" tokoh yang
berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, selfconsciousness,
A mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar,
dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada
B pembaca. Kita, pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si "aku", maka
kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat
8 dan dirasakan tokoh si "aku“ tersebut. Sudut pandang persona pertama dapat
dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si "aku"
dalam cerita. Si "aku" mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama
protagonis, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan
protagonis, atau berlaku sebagai saksi.
(1) “Aku” Tokoh Utama
MON Dalam sudut pandang teknik ini, si "aku" mengisahkan berbagai
peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah,
TUE dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di
luar dirinya. Si "aku" menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita.
WED
Segala sesuatu yang di luar diri si "aku", peristiwa, tindakan, dan orang,
THU diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, atau dipandang
penting. Jika tidak, hal itu tidak disinggung sebab si "aku" mempunyai
FRI keterbatasan terhadap segala hal yang di luar dirinya, di samping
memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan
diceritakan. Dalam cerita yang demikian, si "aku" menjadi tokoh utama,
first-person central.
(2) “Aku” Tokoh Tambahan
MON Dalam sudut pandang ini tokoh "aku" muncul bukan sebagai tokoh
utama, melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral.
TUE
Tokoh "aku" hadir untuk membawakan cerita kepada sedang tokoh
WED cerita yang dikisahkan itu kemudian "dibiarkan" untuk mengisahkan
sendiri berbagai pengalamannya.Tokoh cerita yang dibiarkan
THU berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab
dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa,
FRI tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita
tokoh utama habis, si "aku" tambahan tampil kembali, dan dialah
kini yang berkisah.
c. Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”
Dalam berbagai buku teori fiksi (kesastraan) jarang
ditemukan pembicaraan tentang sudut pandang persona kedua
B atau gaya “kau” (second person point of view).
Yang lazim disebut hanya sudut pandang persona ketiga
A dan pertama. Namun, secara faktual, sudut pandang persona
kedua tidak jarang ditemukan dalam berbagai cerita fiksi
B walau hanya sekedar sebagai selingan dari gaya “dia” atau
8 “aku”. Artinya dalam sebuah cerita fiksi tidak atau belum
pernah ditemukan dari awal hingga akhir cerita yang
seluruhnya menggunakan sudut pandang “kau”. Sudut pandang
gaya ”kau” merupakan cara pengisahan yang mempergunakan
“kau” yang biasanya sebagai variasi cara memandang oleh
tokoh dan dia.
● Penggunaaan teknik “kau” biasanya ● Penggunaan gaya “kau” sedikit
dipakai “mengorang lainkan” diri terlihat dalam Burung-burung
sendiri, melihat dari diri sendiri Manyar. Namun, belakangan ternyata
sebagai orang lain. Keadaan ini dipergunakan secara lebih intensif
B dapat ditemukan pada cerita fiksi
yang disudut pandangi “aku”
dalam novel Suami-nya Eddy
Suhendro yang mula-mula muncul
A maupun ”dia” sebagai variasi
penuturan atau penyebutan. Hal itu
secara bersambung di Kompas pada
awal 1989. Tokoh “kau” seharusnya
B dipilih tentu juga tidak lepas dari
tujuan menuturkan sesuatu dengan
merupakan lawan bicara “aku” atau
“dia”. Maka kehadirannya juga akan
8 yang berbeda, yang asli, yang lain
dari pada yang lain sehingga terjadi
tergantung pada ”aku” dan “dia.
Intinya dengan tokoh “kau” tidak
kebaruan serapan indera atau dapat berdiri bebas sebagaimana
penerimaan pembaca. Intinya, untuk halnya dengan tokoh “aku” atau
lebih menyegarkan cerita. “dia”.
Dalam novel Suami, tokoh Bram yang sealu saja merasa “kalah”
dari istrinya berkali-kali muncul melihat dirinya sebagai orang lain
lawan bicara, sebagai kau.
MON Gaya meng-kau-kan diri sendiri yang dilakukan oleh Bram, muncul
TUE
sepanjang novel itu. Pada dasarnya novel itu sendiri bergaya “dia”
namun untuk “dia”nya Bram, tokoh yang mempunyai permasalahan
WED batin itu diselang-seling dengan “kau” dan cerita menjadi lebih variatif
serta terasa segar.
THU
Selain itu contoh karya-karya konkret yang bersudut pandang “kau”
FRI masih belum banyak ditemui, dalam arti sebanyak penggunaan gaya
“dia” dan “aku” pada hakikatnya gaya “kau” hanya merupakan variasi
teknik “aku” atau “dia” untuk mengungkapkan atau mengemukakan
sesuatu secara lain.
d. Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu
teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain
untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Pemanfaatan teknik­-teknik tersebut dalam
B sebuah novel misalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kelebihan dan
keterbatasan masing-masing teknik.
A Sebuah novel yang bersudut pandang persona ketiga, sering memanfaatkan
B teknik "dia" mahatahu dan terbatas, atau sebagai observer secara bergantian.
Terhadap sejumlah tokoh tertentu, narator bersifat mahatahu. Namun, terhadap
8 sejumlah tokoh yang lain, biasanya tokoh-tokoh tambahan, termasuk deskripsi
latar, narator berlaku sebagai pengamat, bersifat objektif, dan tak melukiskan lebih
dari yang dapat dijangkau oleh indra. Artinya, pengarang akan mempertimbangkan
sifat dan masalah yang sedang digarap di samping juga efek yang ingin dicapai.
 Dalam penggunaan sudut pandang
persona ketiga tersebut sering terjadi  Campuran “Aku" dan "Dia“
pergantian pusat kesadaran dan seorang Dewasa ini dapat kita jumpai
tokoh ke tokoh yang lain. Artinya, terjadi adanya beberapa novel Indonesia yang
pergantian pada siapa masalah itu memperjinakan dua sudut pandang "aku"
B difokalisasi. Adanya pergantian fokalisasi
tersebut akan memperlengkap wawasan
dan "dia" secara bergantian. Mula-mula
cerita dikisahkan dari sudut "aku",
A pembaca, sebab dengan demikian, kita
pun akan memperoleh pandang­an tentang
namun kemudian terjadi pergantian ke
"dia", dan kembali lagi ke "aku",
B masalah itu dari beberapa tokoh.
Demikianlah, dalam novel Maut dan
misalnya. kita jumpai pada Burung-
burung Manyar; Dan Senja pun Turun,
8 Cinta misalnya, tokoh-tokoh Sadeli,
Umar Yunus, dan Ali Nurdin, dengan
Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang
Kemukus Dini Hari, dan Jantera
penekanan pada tokoh-tokoh Sadeli, Bianglala jika ketiganya dianggap
secara berseling dijadikan pusat sebagai satu kesatuan.
kesadaran, dari merekalah cerita novel itu
difokalisasi.
Identitas Novel
MON

TUE
Judul : Negeri 5 Menara
WED Penulis : Ahmad Fuadi
THU
Penerbit : PT Gramedia
Kota Terbit : Jakarta
FRI
Tahun Terbit : 2009
Sinopsis Novel
Kisah pada novel berangkat dari lima orang sahabat yang mondok di
B pesantren, saat dewasa mereka kembali di pertemukan. Uniknya, setelah
pertemuan itu apa yang dibayangkan oleh mereka ketika menunggu
A kumandang adzan maghrib di bawah menara masjid terwujud.Tokoh
utamanya adalah Ahmad Fuadi sebagai Alif. Pemuda yang lahir di Desa
B Bayur, Maninjau Sumatera Barat ini sangat diharapkan orang tuanya menjadi
guru agama. Tentu ini adalah sebuah harapan yang baik, seorang ibu
8 menginginkan anaknya menjadi orang terhormat di desanya. Namun, Alif
memiliki cita-cita sendiri untuk merantau karena ia tidak ingin selamanya
hidup di kampung halamannya. Ia ingin melihat bagaimana indahnya dunia
luar dan bisa sukses layaknya tokoh-tokoh pada buku yang dibaca serta cerita
teman-temannya.
Sudut Pandang Novel
Dalam novel Negeri 5 Menara, penulis menggunakan sudut pandang
persona pertama: “Aku”. Hal ini dikarenakan tokoh utama selalu menyebut
B dirinya dengan kata “Aku". Bukti:

A Iseng saja, aku mendekat ke jendela kaca dan menyentuh permukaannya


dengan ujung telunjuk kananku. (hal. 1)
B
8 Aku lirik Ustad Torik mengepalkan kedua tangan di depan dadanya. ( hal.
184).

Malam itu, sebelum tidur, ditemani lampu teplok, aku menulis sepucuk surat
kepada Amak dan Ayah. Kali ini aku menyampaikan perasaanku apa adanya.
(hal. 370)
K
E Sekian & Terima Kasih
L
. Mohon maaf bila terdapat banyak kekurangan.
8

Anda mungkin juga menyukai