Anda di halaman 1dari 10

LITERASI

Sabtu , 7 Agustus 2021

Cerita rakyat Legenda


( Daerah Nusa Tenggara Timur ) bukit Fafinesu
Di sebelah utara Kota Kefamenanu, Kabupaten Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara
Timur terdapat sebuah bukit bernama Fafinesu yang berarti Bukit Babi Gemuk. Ada suatu
kisah menarik yang melatarbelakangi penamaan bukit itu. Kisahnya adalah sebagai
berikut.
Pada zaman dahulu kala di pedalaman Pulau Timor ada tiga orang adik-beradik bernama
Saku, Abatan, dan Seko. Mereka hidup dan tinggal bersama dengan kerabat ibunya,
sebab Ayah dan ibu mereka telah tiada. Ayah ketiga orang ini meninggal dunia karena
terjatuh ke jurang ketika sedang berburu babi hutan. Tujuh bulan kemudian Sang Ibu juga
meninggal dunia karena kehabisan darah ketika sedang melahirkan Si Bungsu, Seko. Hal
ini diperparah lagi ketika nenek yang mengasuh mereka juga ikut meninggal dunia karena
dimakan usia ketka Si Bungsu baru berumur dua tahun.
Waktu pun berlalu. Walau hidup serba kekurangan, mereka senantasa rukun dan
bahagia. Abatan tumbuh menjadi seorang remaja yang rajin dan cerdas. Ia sering
menanam jagung dan ketela di ladang, mencari kayu bakar di hutan, dan memasak untuk
kakak dan adiknya. Si Bungsu pun yang telah berumur lima tahun dan menjadi seorang
anak yang penurut. Ia sudah dapat membedakan mana yang baik dan buruk sehingga
kakak-kakaknya semakin bahagia.
Namun di tengah suasana yang rukun dan damai tersebut, suatu malam Si Bungsu tidak
dapat memejamkan matanya. Tiba-tiba saja hatinya merasa rindu kepada kedua orang
tuanya, sebab sejak bayi tidak pernah merasakan belaian kasih sayang dari ayah ibunya.
Ia lalu menghampiri kakak sulungnya dan bertanya, “Kak Saku, ke manakah ayah dan ibu
pergi? Kenapa mereka tidak pernah datang kemari?”
Karena tidak ingin membuat Si Bungsu bersedih, maka Saku menjawab, “Ayah dan ibu
sedang pergi jauh, Adikku!. Suatu saat mereka akan pulang membawa makanan yang
lezat-lezat untuk kita.”
Dongengan Saku ternyata membuat hati Si Bungsu menjadi tenteram kembali. Ia
akhirnya tertidur pulas di samping kakaknya. Tetapi kini giliran Si Saku yang tidak dapat
memejamkan mata karena sedih melihat Si Bungsu yang tidak pernah sekalipun bertemu
orang tuanya. Ia lalu mengambil serulingnya dan berjalan ke arah bukit yang tidak jauh
dari tempat tinggal mereka.
Sesampai di atas bukit, sambil menangis dan memandang langit ia pun berkata, “Ayah,
Ibu! Kami sangat merindukan kalian. Mengapa begitu cepat kalian meninggalkan kami.”
Kemudian, ia mulai meniup seluring sambil sambil menyanyikan lagu kesukaannya.

Ama ma aim honi (Ayah dan Ibu)


Kios man ho an honi (Lihatlah anakmu yang datang)
Nem nek han a amnaut (Membawa setumpuk kerinduan)
Masi ho mu lo’o (Walau kamu jauh)
Au fe toit nek amanekat (Aku butuh sentuhan kasihmu)
Masi hom naoben me au toit (Walau kalian teah tiada, aku minta)
Ha ho mumaof kau ma hanik kau (Supaya Ayah dan Ibu melindungi dan memberi rezeki)
Saat sedang menghayat lagu tersebut, tanpa sepengetahuannya kedua roh orang tuanya
turun dari langit. Melalui angin malam, roh Sang Ayah berkata, “Anakku, aku dan ibumu
mendengarmu. Meskipun kta berada di dunia yang berbeda, kami akan selalu bersama
kalian.”

Saku menjadi terperangah. Ia tidak tahu dari mana datangnya suara itu. Namun, sebelum
sempat pulih dari keterkejutannya, tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi.

“Anakku, esok hari sebelum ayam berkokok ajaklah adik-adikmu menemui kami di tempat
ini. Selain itu, engkau juga harus membawa seekor ayam jantan merah untuk dijadikan
kurban!”
Singkat cerita, keesokan harinya ia pun menceritakan kejadian yang dialaminya semalam
kepada adik-adiknya. Betapa gembiranya hati Si Bungsu mendengar cerita Si Saku. Ia
sudah tidak sabar lagi ingin segera bertemu dengan kedua orangtuanya yang selama ini
dirindukan.
Tepat tengah malam Saku bersama kedua adiknya berangkat menuju ke puncak bukit
sambil membawa seekor ayam jantan merah pesanan kedua orang tua mereka. Setelah
mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba angin bertiup kencang yang membuat pepohonan
di sekitarnya meliuk-liuk seperti sedang menari.
Begitu tiupan angin berhenti, tiba-tba terlihat dua sosok bayangan berjalan menghampiri
mereka.
Mengerti bahwa kedua sosok itu adalah orangtuanya, Si Bungsu segera berlari ke salah
satu sosok dan memeluknya erat-erat sambil berkata, “Ibu, saya sangat merindukanmu.”
“Kami juga sangat merindukanmu,” jawab Sang Ibu singkat.

Kemudian Sang Ayah membawa isteri dan ketiga anaknya menuju ke dasar jurang.
Sesampainya di sana, ia lalu menyuruh Si Seko untuk segera menyembelih ayam jantan
merah yang dibawanya. Saat darah ayam itu menyentuh bumi, tiba-tiba ada dua ekor
babi yang gemuk muncul di tengah-tengah mereka. Mereka segera mendekati kedua
ekor babi tersebut dan mengelus-elusnya.
Selang beberapa menit kemudian ayam jantan mulai berkokok yang menandai
datangnya pagi. Pada saat yang bersamaan bayangan kedua orang tua mereka tiba-tiba
memudar dan akhirnya lenyap. Menyadari bahwa hari telah pagi ketiga bersaudara
tersebut segera mengiring babi pemberian orang tua mereka menuruni bukit menuju ke
rumah. Dan, mulai sejak saat itu mereka pun mulai memelihara babi untuk diternakkan.
Selain itu, untuk mengenang peristiwa pertemuan tersebut mereka kemudan
menamakan bukit itu dengan nama Bukit Fafinesu yang berarti Bukit Babi Gemuk.

Sumber : https://uun-halimah.blogspot.com/2010/07/legenda-bukit-fafinetsu.html
SELAMAT
MEMBACA

Anda mungkin juga menyukai