OLEH : KELOMPOK 1
AMELIA SAPUTRI (2030122003)
ANNISA (2030122008)
DIZA PERMATASARI (2030122016)
DONA FAUZIYAH (2030122017)
ERIX SUKAMTO (2030122021)
HAFIZAH (2030122026)
MEILANI VERONICA (2030122036)
NISSA PIFIA APRILA (2030122044)
ANEMIA
Definisi
2. Perdarahan
oAkut
oKronis 3. Hemolisis
Klasifikasi Anemia
Anemia
Anemia Megaloblastik :
oAnemia defisiensi besi
oAnemia defisiensi vit B12 oPerdarahan akut
oAneia defisiensi asam folat oAnemia thalasemia
oHemolisis
oAnemia hemoglobinopati
oKegagalan sum-sum
Anemia non-megaloblastik :
oAnemia sideroblastik
oAnemia pada penyakit ha tulang
oAnemia myelodisplasia
Faktor Resiko Anemia
Kurang asupan gizi Trauma
Non Farmakologi
• Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat
besi tinggi seperti bayam, seledri, kubis, kol dan
sertakan daging, ikan atau olahan unggas
• Hindari minuman teh dan kopi saat
mengkonsumsi makanan
Produk yang mengandung besi
Pasien merupakan seorang wanita berusia 61 tahun dengan berat badan 42 kg,
datang ke rumah sakit dengan keluhan lemas, pucat, badan kuning sejak 4 hari,
perut sebah, mual, nyeri ulu hati, dan pasien terdiagnosis mengalami AIHA cold.
Pasien memiliki riwayat suspek hepatitis akut. Hasil pemeriksaan darah ketika
pasien datang menunjukan kadar hemoglobin 6 g/dL yang termasuk dalam kategori
anemia berat (World Health Organization, 2011) dan HCT 14%. Pasien menerima
terapi farmakologi yaitu injeksi metilprednisolon (dosis 500 mg/ hari selama 5 hari
dan dilanjutkan dengan dosis 160 mg/hari selama tiga hari), furosemid (dosis 20
mg/hari sebanyak satu kali), dan ranitidin injeksi (100 mg/hari). Pasien juga
menerima terapi suportif yaitu transfusi PRC. Pasien dirawat di rumah sakit selama
9 hari.
SOAP
Identitas pasien Subjective
Nama : Ny. A Keluhan utama : Pucat, lemas, badan
Usia : 61 tahun kuning sudah 4 hari, perut sabah, mual,
nyeri ulu hati
Berat badan : 42 kg
Keluhan tambahan :-
Tmpt/tgl lahir :-
Riwayat penyakit : hepatitis akut
Alamat :-
Jenis kalamin : Perempuan Riwayat pengobatan : -
Assesment
Obat Golongan Indikasi Dosis /Rute
500 mg/hari / injeksi selama
Metil Untuk penyakit yang
Kortikosteroid 5 hari lalu dilanjutkan 160
prednisolon menyebabkan peradangan
mg/hari selama 3 hari
Untuk cairan berlebih
Furosemid Loop diuretik 20 mg/hari/ injeksi
didalam tubuh
Histamin H2 reseptor Penurunan asam berlebih di
Ranitidin 100 mg/hari/ oral
antagonis lambung
Problem
Masalah DRP (Drug Related Problem)
1. Pasien mendapatkan terapi Tidak Obat yang didapatkan pasien telah sesuai dengan
tambahan yang tidak kondisi pasien, sehingga pasien tidak
diperlukan mendapatkan terapi tambahan yang tidak
diperlukan
Pasien masih memungkinkan Tidak Pasien tidak memungkinkan menjalani terapi non
menjalani terapi non farmakologi, karena penyakit yang telah berat.
farmakologi
Terdapat duplikasi terapi
Pasien mendapat penanganan Tidak Penggunaan metilprednisolon dengan furosemid Pemberian suplemen
terhadap efek samping yang yang sinergis akan menyebabkan terjadi nya kalium yang disertai
seharusnya dapat dicegah hipokalemia. dengan monitoring
kadar kalium darah
Kesalahan obat
Penyetaraan dosis
Dosis yang terlalu rendah
Dosis terlalu rendah Ya Dosis pemakaian furosemid adalah
Furosemid 20 mg/hari
40-80 mg/hari
Durasi penggunaan
Tidak Durasi penggunaan sudah tepat
tidak tepat
Reaksi yang tidak diinginkan
Obat tidak aman untuk Obat aman untuk pasien dan memberikan efek
Tidak
pasien yang sesuai dengan yang diharapkan
Tidak terdapat masalah, pasien tidak
Terjadi reaksi alergi Tidak mempunyai riwayat alergi obat sehingga obat
aman digunakan
Pemberian metilprednisolon dengan furosemid
secara bersamaan dapat menyebabkan obat Pemakaian dijarakkan selama
4
berinteraksi secara sinergisme. 2 jam, metilprednisolon
Terjadi interaksi obat Ya
Metilprednisolon dapat menyebabkan diminum lebih dahulu, 2 jam
peningkatan efek kaliuretik dari diuretik kemudian minum furosemid.
hingga terjadi hipokalemia.
Dosis obat dinaikkan
Dosis yang digunakan telah sesuai dengan
atau diturunkan terlalu Tidak -
pasien sejak dilakukannya diagnosa
cepat
Terdapat kondisi yang tidak Pasien tidak terdapat kondisi yang tidak
Tidak
diterapi diterapi
Monitoring efek terapi
Tujuan Parameter yang Rentang yang Frekuensi
Layanan kesehatan
farmakoterapi dimonitor diharapkan monitoring
Menjaga agar
Monitoring kadar Kadar kalium 3,5 mmol/L - 5,0
tidak terjadi Setiap hari
kalium darah darah mmol/L
hipokalemia
Hemoglobin = 12-
Menjaga agar Hb
Monitoring Hb dan 16 g/dl
dan HCT tidak Kadar Hb dan HCT Setiap hari
HCT HCT = 35%- 45%
mnurun
Monitoring efek
samping Reaksi alergi - Setiap hari
metilprednisolon
Meningkatkan
Monitoring efek Reaksi alergi dan
volume darah - Setiap hari
samping PRC reaksi anafilaksis
pasien anemia
Rencana pemantauan efek samping
X-Linked Autosomal
Resesif resesif
5. 2.
Hematuria Hemartrosis
manifestasi
4.
3.
Pendarahan
Hematoma
intrakranial
Komplikasi
Splenomegali
hepatitis
Arthtitis sirosis
Sindrom kompartemen Infeksi HIV karena terpajan
Atrofi otot produk darah yang
Kontraktur otot terkontaminasi
Paralisis Antibody terbentuk sebagai
Pendarahan inrakranial antagonis VIII & IX
Kerusakan saraf Reaksi tranfusi alergi terhadap
Hipertensi produk darah
Kerusakan ginjal Anemia hemolitik
Thrombosis
Nyeri kronis
1. Melakukan
pencegahan
baik
Penatalaksanaan menghindari
luka atau
benturan
2. Istirahatkan
4. Setelah luka Anggota tubuh
diperban lalu yang terdapat
Posisi luka luka , Apabila
Non
diletak diatas kaki mengalami
Farmakologi
lebih tinggi , pendarahan,
atau diganjal gunakan alat
dengan bantal bantu seperti
tongkat .
3. Kompres
bagian daerah
yang terluka
dengan es batu
atau yang
lembut dan
dingin tekan
dan ikat
1. Terapi suportif
Farmakologi
3. Transplantasi
6. Antifibrinolitik
dan terapi gen
5. Astingen 4. Koagulasi
Faktor VIII dan transplantasi hati dan
Terapi suportif
Faktor XI terapi gen
• Merencanakan suatu • Profilaksi untuk • untuk penyembuhan
tindakan operasi serta mengatasi perdarahan total dari hemofilia
mempertahankan dapat dilakukan
kadar aktivitas faktor tranplantasi hati
pembekuan sekitar
30-50%
Reaksi tipe II
(Reaksi sitolitis)
Reaksi IV (Reaksi
lambat “delayed)
Etiologi
1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
4. Faktor lingkungan : debu, tungau, bulu binatang, berbagai
jenis makanan dan zat lain.
Patofisiologi
Penggolongan Obat untuk Terapi Alergi
Komplikasi yang dapat terjadi pada dermatitis kontak alergi yang dapat
menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan berlebihan, pruritus. Komplikasi
juga dapat berupa mengi dan edema. Selain itu, pada rhinitis alergi dapat
menyebabkan komplikasi berupa polip hisup, sinusitis paranasal dan otitis
media.
Penatalaksanaan
Klinis
a. Terapi non farmakologi
• Menjauhkan diri dari alergen atau pencetus alergi
• Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya alergi yang lebih parah atau relaps
setelah pada fase pemulihan
b. Terapi Farmakologi
Algoritma Terapi
Alergi
PSEUDOALERGI
DEFINISI
Pseudoalergi / anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Secara klinis
reaksi ini menyerupai reaksi tipe 1 yaitu syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis
tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan
terlebih dahulu untuk menimbulkan sensitasi
ETIOLOGI
antimikroba
protein
kontras dengan yodium,
penisilin
pelemas otot
AINS
Pelemas otot
Taksol
PATOFISIOLOGI
• Anamnesis
• Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah. Uji Coomb untuk penderita anemia. Antibodi IgE
total serum. Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent
test). Antibodi IgM dan IgG spesifik. Antibodi antinuklear (ANA) pada
SLE yang diduga diinduksi oleh obat-obatan. Uji kulit, uji tusuk (Prick
test/Scratch test) dan uji tempel (Patch test). SGOT. CPK (fosfokinase
kreatin). Foto toraks. Emfisema (hiperinflasi). EKG.
• Kriteria umum reaksi alergi / pseudoalergi:
Gejala pasien sesuai dengan reaksi imunologi terhadap obat. Pasien
mendapatkan obat yang memang dapat memberikan gejala alergi (struktur
kimia obat memang telah dikaitkan dengan reaksi imun). Terdapat
hubungan temporal antara pemberian obat dengan timbulnya gejala reaksi
alergi. Tidak ada penyebab lain yang jelas terhadap manifestasi klinis
pasien yang sedang menggunakan obat tertentu yang memang dapat
menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Data laboratorium menunjang
mekanisme imunologi yang dapat menjelaskan reaksi obat
KOMPLIKASI
FREE
PPT
TEMPLAT
ES
www.allppt.com
• Golongan Obat
1. Antihistamin
Obat lini pertama, obat ini tidak bersifat kuratif atau menyembuhkan terapi, tetapi labih bersifat simtomatik atau
menghilangkan gejala.
Contoh obat: Difenhidramine, Chlorpeniramine Maleat, Cetrizin, Loratadin, Feksofenadine
2. Dekongestan Nasal
Golongan simpatomimetik yang bereaksi pada reseptor alfa adrenergic pada mukosa hidung yang menyebabkan
vasokontriksi, menciutkan mukosa yang membengkak dan memperbaiki pernapasan
Contoh Obat: Pseudoepedrin, Efedrinsulfat, Fenilefrin, Fenilpropanolamin
3. Kortikosteroid Nasal
Obat yang paling efektif untuk alergi hingga saat ini. Jika terjadi sumbatan hidung dan gejala lain yang cukup sering
terjadi, steroid intranasal ini merupakan lini pertama yang paling tepat dan efektif dibandingkan terapi lainnya.
Efek terapinya yaitu mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrophil,
mengurangi edema intrasel, menyebabkan vasokontriksi ringan dan menghambat reaksi fase lambat yang diperantari
oleh sel mast.
Contoh obat: Budesonid, Betametason, Triamsinolon
4. Kromolin
Suatu penstabil sel mast, bekerja dengan mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator termasuk histamine.
TERIMA KASIH