Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN KONTRAK

BERBASIS KINERJA
(PERFORMANCE
BASED/CONTRACT
MANAGEMENT)

MUH REF’VAND MANTHOFANNY R


M1A120020
DASAR-DASAR MANAJEMEN

WA ODE HASTIANI FAHIDU,SKM.,M.Pd


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

 Kerusakan jalan nasional merupakan masalah krusial yang dihadapi para


pengguna jalan selama kondisi cuaca tidak menentu seperti sekarang ini.
Menghadapi permasalahan klasik ini kita tidak boleh saling menyalahkan.
Akan tetapi masing-masing pihak yang berkepentingan dIjalan nasional
harus meninjau kembali apa yang telah dilakukan, apa yang belum
dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Otoritas jalan raya dalam hal ini
Direktorat Jenderal Bina Marga pasti telah melakukan usaha maksimal
untuk kelestarian jalan nasional agar dapat memberika tingkat layanan (level
of service) yang terbaik untuk pengguna jalan. Tetapi pada kenyataanya
masih ada ketidak puasan dari para pengguna jalan. Yang diinginkan adalah
jalan dengan kondisi mantap sehingga pengguna jalan merasa aman,
nyaman, waktu tempuh wajar yaitu tidak ada penurunan kecepatan
kendaraan akibat kondisi jalan yang buruk. (Wirahadikusumah, dkk, 2003).
 Menghadapi masalah ini pemerintah telah melakukan terobosa-
terobosan yang berhubungan dengan sistim pengadaan (delivery system)
yang diadopsi dari negara-negara yang lebih dahulu menggunakan sistim
ini. Performance Based Maintenance Contract dalam bahasa Indonesia
disebut Kontrak Berbasis Kinerja (KBK) adalah kontrak terintegrasi yang
telah dilakukan dinegara-negara maju seperti Amerika, Australia, New
Zealand, Inggris, Canada dan dinegara berkembang lainnya di Asia dan
Afrika dengan penghematan pengeluaran Negara 10%-40%. (Zietlow,
2004). Kontrak berbasis kinerja (KBK) merupakan kontrak dimana
perencanaan, pelaksanaan dan layanan pemeliharaan dilakukan oleh satu
penyedia jasa dengan kontrak multi-years. Telah dilakukan berupa 5 pilot
project dipulau Jawa dan di Kalimantan Tengah (Wirahadikusumah, dkk,
2015).
BAB 2
PEMBAHASAN

 Sektor konstruksi jalan di Indonesia sebagian besar masih


menggunakan sistem kontrak konvensional, baik itu unit price ataupun
lumpsum. Kontrak konvensional adalah kontrak yang memisahkan proses
perencaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan (Nazarkha Yasin, 2006). Dalam
kontrak konvensional ini pengguna jasa harus menanggung sepenuhnya
risiko-risiko yang berkaitan dengan mutu hasil pekerjaan, sehingga akan
terjadi banyak penambahan biaya untuk pekerjaan yang tidak sesuai
dangan umur rencana agar jalan tersebut tetap terpelihara. Untuk itu
suatu metode kontrak yang inovatif agar pengguna jasa dan penyedia
jasa bisa lebih diuntungkan, misalnya dengan sistem kontrak berbasis
kinerja (KBK).
A. Alasan Penggunaan Kontrak Berbasis Kinerja

 Kontrak berbasis kinerja tidak mengurangi tanggung jawab


penyelenggara jalan, tetapi mengubah fokus tanggungjawab penyelenggara
jalan secara radikal. Dalam kontrak berbasis kinerja, penyelenggara jalan
tidak perlu mengatur detail cara kerja kontraktor untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Penyelenggara jalan akan dituntut untuk mampu
mendefinisikan masalah secara jelas, mengembangkan metodologi
penentuan indikator kinerja yang dapat diterima dan terukur sesuai dengan
misi penyelenggara jalan, serta mengembangkan sistem evaluasi kinerja
yang obyektif. Penentuan indicator kinerja bukan saja membutuhkan
keahlian rekayasa mikro multi bidang, tetapi juga harus mampu
menjembataninya dengan pencapaian indikator makro yang realistik seperti
tersirat dalam misi penyelenggara jalan.
 PBC membutuhkan pergeseran kultur penyedia jasa. Kemampuan teknis
daninovasi penyedia jasa agar dapat kompetitif. Pola bisnis jasa konstruksi juga
akan berubah dengan makin terintegrasinya tahap desain, konstruksi, operasi
dan pemeliharaan. PBC juga membutuhkan perubahan kulturpengguna jasa,
mengingat sebagian resiko dapat terjadi karena perilaku pengguna jasa. Banyak
asumsi yang digunakan dalam desain jalan dan jembatan dijaga melalui
berbagai peraturan mengenai lalu-lintas angkutan jalan raya. Salah satu contoh
penting adalah pembebanan lalu-lintas. Ketidaktaatan pengguna jalan pada
aturan mengenai Muatan Sumbu Terberat (MST) akan menyebabkan
ketidakpastian dalam desain kekuatan struktur jalan. Akibatnya, reliabilitas
desain akan menurun yang berujung pada resiko premature failure. Resiko ini
apabila dibebankan kepada kontraktor akan menyebabkan timbulnya premium
yang cukup besar dan menjadi beban anggaran jalan. Hal ini akan menyulitkan
strategi penanganan dan penganggaran jalan, mengingat pelanggaran aturan
yang tidak terkendali memiliki ruang ketidakpastian yang luas akibat hilangnya
batas-batas pengendalian.
B. Masa Pemeliharan dengan Sistem KBK &Konvensional

 Durasi waktu pada sistem KBK untuk masa pemeliharaannya hanya 180 hari
lebih cepat dibanding dengan kontrak konvensional, hal ini dikarenakan pada
sistem ini sebelum masa pemeliharaan terdapat masa layanan pemeliharaan yang
durasinya men capai 1643 hari setelah proyek mencapai 100%. Untuk sistem
kontrak konvensional masa pemeliharaan yang diberikan adalah selama 1095 hari
lebih lama dibanding dengan sistem kontrak KBK, hal ini dikarenakan tidak
adanya masa layanan pemeliharaan setelah proyek mencapai 100%.

 Tanggung jawab penyedia jasa pada masa pemeliharaan, untuk proyek dengan
sistem kontrak KBK penyedia jasa mempunyai tanggung jawab penuh dari mulai
desain sampai dengan masa pemeliharaan (serah terima kedua). Sedangkan
untuk sistem kontrak konvensional kontraktor juga memiliki tanggung jawab
penuh sampai dengan masa pemeliharaan berakhir. Tetapi pada kenyataannya
banyak kasus dimana kontraktor tidak memenuhi tanggung jawabnya setelah masa
konstruksi selesai.
C. Masa Konstruksi Antara Sistem KBK & Konvensional

 Sistem pembayaran menggunakan sistem lumpsum dengan metode pembayaran


termin yang berdasarkan pada kinerja minimum pekerjaan. Kinerja minimum adalah
progress pekerjaan minimum jalan yang harus dicapai oleh kontraktor dalam jangka
waktu tertentu yang harus memenuhi spesifikasi kinerja jalan. Sedangkan pada
sistem kontrak konvensional sistem pembayarannya menggunakan sistem unit price
yang berdasarkan pada volume pekerjaan yang telah dicapai oleh kontraktor.

 Kualitas pada sistem KBK menjadi tanggung jawab kotraktor sepenuhnya mulai
dari desain sampai dengan pemeliharaan tetapi harus tetap memenuhi
spesifikasi. Sedangkan pada sistem kontrak konvensional untuk tanggung jawab
terhadap qualitasnya terbagi-bagi, pada saat perencanaan menjadi tanggung jawab
konsultan perencana untuk merencanakan kualitas pekerjaan. Pada saat
pelaksanaan menjadi tanggung jawab kontraktor. Pengguna jasa juga bertanggung
jawab terhadap keseluruhan pekerjaan mulai dari perencanaan sampai pemeliharaan.
 Denda, pada sistem KBK denda diberlakukan mulai sejak awal
pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Denda yang diberikan berdasarkan
tingkat layanan jalan yang tidak dapat dipenuhi oleh jalan yang telah
dilaksanakan. Besarnya denda sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
kontrak pekerjaan. Jika kontraktor tidak dapat memenuhi tingkat
layanan jalan sampai dengan jangka waktu yang telah diberikan maka
akan diberlakukan denda. Denda akan dilakukan dengan cara
pemotongan biaya setiap kali pembayaran dilakukan. Sedangkan
sistem kontrak konvensional denda tidak diberlakukan setiap bulan
melainkan pada akhir masa konstruksi jika kontraktor tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Denda yang diberikan sebesar 1/1000 dari nilai kontrak.
D. Kendala Penerapan KBK

1. Resiko Pekerjaan
 Aspek resiko pekerjaan yang menjadi kendala penerapan kontrak berbasis kinerja
adalah :
a. Alokasi resiko pemilik pekerjaan dan penyedia jasa. Resiko yang ditanggung oleh
penyedia jasa yang seharusnya ditanggung oleh pemilik mengakibatkan terjadinya
kondisi tingginya harga penawaran lelang, Mundurnya penyedia jasa akibat bank
pemberi modal bagi penyedia jasa menolak untuk mengambil resiko dan pemutusan
kontrak kerja dari penyedia jasa dengan kemungkinan terburuk bangkrutnya penyedia
jasa.
b. Resiko yang belum teridentifikasi dalam tahap perencanaan yang dapat berakibat
mundurnya penyedia jasa dari pekerjaan yang telah ditetapkan.
 
 Faktor saluran drainase, kelebihan beban (overloading), kualitas pekerjaan existing,
kualitas bahan material, eskalasi biaya dan jaminan penawaran merupakan risiko
penting yang harus dipertimbangkan.
2. Aspek Hukum Peraturan yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa dan
yang menjadi acuan dasar hukum untuk penerapan kontrak berbasis
kinerja adalah :

 UU Nomor : 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;


 PP Nomor : 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa
Konstruksi;
 PP Nomor : 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi; - PP
Nomor;
 30 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi;
 Keppres Nomor : 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah;
 Kepmen Kimpraswil Nomor : 339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi.
E. Pemecahan Kendala Penerapan KBK

 Kontrak Berbasis Kinerja, disusun suatu perbandingan antara metode


Kontrak Tradisional dengan Kontrak Berbasis Kinerja berdasarkan
beberapa kategori yang sama, yaitu siklus keberlangsungan proyek, antara
lain : Tahap Perencanaan, Tahap Pengadaan, Tahap Pelaksanaan dan Tahap
Pemeliharaan.

1. Tahap Perencanaan.
Pada metode Kontrak Tradisional dasar penyusunan kontrak adalah
input yang diperlukan agar tujuan pemilik pekerjaan (owner) tercapai,
sedangkan metode Kontrak Berbasis Kinerja dasar penyusunan kontrak
adalah output atau hasil akhir yang diinginkan oleh owner.
2. Tahap Pengadaan.
Tahap Pengadaan terdapat beberapa perbedaan, yaitu : spesifikasi yang
digunakan, jangka waktu kontrak, penyelesaian perselisihan dan sistem
pengadaan. Pada metode Kontrak Tradisional spesifikasi yang digunakan
adalah menjelaskan secara detail tata cara pelaksanaan pekerjaan yang
harus dilakukan oleh Penyedia Jasa (Kontraktor), sedangkan Kontrak
Berbasis Kinerja menggunakan spesifikasi yang bersifat output-oriented
dimana owner tidak memaparkan secara detail bagaimana tata cara
pelaksanaan pekerjaan akan tetapi hanya menjelaskan output yang
diinginkan. Kontrak Tradisional merupakan kontrak digunakan untuk
kontrak tahunan dan jangka panjang, Kontrak Berbasis Kinerja merupakan
kontrak yang tepat untuk kontrak jangka panjang (4 – 5) tahun. Untuk
penyelesaian perselisihan Kontrak Tradisional tidak menutup kemungkinan
digunakan jalur litigasi sedangkan Kontrak Berbasis Kinerja jalur litigasi
merupakan jalur yang sangat dihindari.
3. Tahap Pelaksanaan.
Pada tahap pelaksanaan terdapat hal-hal yang dapat ditinjau, yaitu
sistem pengawasan, sistem pembayaran, dasar pembayaran, potongan
pembayaran dan keterlambatan perbaikan. Pada Kontrak Tradisional sistem
pengawasan dilakukan oleh owner melalui konsultan pengawas, sedangkan
pada Kontrak Berbasis Kinerja pengawasan terhadap pelaksanaan
diserahkan sepenuhnya kepada kontraktor.
 
4. Tahap Pemeliharaan.
Pada metode Kontrak Tradisional masa pemeliharaan pihak kontraktor
tidak bertanggung jawab melainkan menjadi tanggung jawab owner,
Kontrak Berbasis Kinerja merupakan kontrak jangka panjang sehingga
kontraktor merupakan pihak yang bertanggung jawab atas masa
pemeliharaan.

Anda mungkin juga menyukai