Anda di halaman 1dari 15

Hak Buruh

dalam
Pemutusan Hubungan Kerja
Isu Hukum
• Pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan keuangan perusahaan di
seluruh dunia. Akibatnya, banyak pengusaha melakukan pemutusan
hubungan kerja yang bertujuan untuk efisiensi dikarenakan jumlah
pemasukan tidak seimbang dengan pengeluaran. Namun dari kasus
PHK ini banyak buruh yang unjuk rasa dikarenakan keadilan yang
kurang dirasakan seperti kasus Garden Palace Hotel di Surabaya.
Pertanyaannya, apakah hukum memperbolehkan pengusaha mem-
PHK secara sepihak? Apa sajakah hak-hak buruh apabila di PHK?
Langkah apa yang dilakukan apabila pengusaha tidak segera
membayar pesangon buruh?
Dasar Hukum
• 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
• 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
• 3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat,
dan Pemutusan Hubungan Kerja
Pengertian PHK
• Menurut pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, Pemutusan hubungan kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
• Dalam hal ini pihak-pihaknya adalah:
• 1. Pekerja/buruh, setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. (Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan)
• 2. Pengusaha, yaitu orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri, bukan miliknya atau
perusahaan milik WNI yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. (Pasal 1
angka 5 UU Ketenagakerjaan)
Apakah hukum memperbolehkan pengusaha mem-PHK
secara sepihak?

Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja, namun dalam keadaan tertentu

pengusaha dilarang mem-PHK, sebagaimana dimaksud Pasal 153 UU Cipta kerja yaitu:
• Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
• a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
• b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
• c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
• d. pekerja/buruh menikah;
• e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
Lanjutan…
• f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan,
atau perjanjian kerja bersama;
• g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
• h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
• i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi
fisik, atau status perkawinan;
• j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum
dapat dipastikan.
Akibatnya jika dilanggar, Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
• Apabila perusahaan mengalami kerugian akibat dari dampak
pandemic covid-19 yang mengakibatkan keuangan ekonomi lesu,
maka perusahaan dapat mem-PHK pekerja untuk efisiensi maupun
untuk penutupan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 154A ayat (1)
huruf b UU Cipta Kerja:
• “Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan perusahaan
melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak
diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian”
Hak-hak Buruh saat di PHK
Berdasarkan Pasal 156 UU Cipta Kerja, Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.
• Besaran uang pesangon tersebut :
1.masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
2.masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
3.masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
4.masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
5.masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
6.masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
7.masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
8.masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
9.masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Lanjutan hak-hak buruh..
Besaran Upah Penghargaan Masa Kerja sebagai berikut:
1.masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
2.masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
3.masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
4.masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
5.masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
6.masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
7.masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
8.masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Sedangkan upah penggantian hak yaitu:
9.cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
10.biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat pekerja diterima bekerja;
11.hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Lanjutan hak-hak buruh..
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan
Pemutusan Hubungan Kerja hak-hak pekerja yang di-PHK telah
dibedakan berdasarkan alasannya, apabila perusahaan mem PHK untuk
melakukan efisiensi karena mengalami kerugian sebagai akibat dampak
dari pandemic maka menurut Pasal 43 ayat (1) huruf b:
“Pekerja berhak atas uang pesangon 0,5 kali ketentuan uang pesangon,
UPMK 1 kali ketentuan UPMK, dan UPH, apabila di-PHK dengan alasan
Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian.”
Tata Cara PHK
Pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, terdapat
tata cara PHK yaitu:
1. Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah harus
mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
2. Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan
Hubungan Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila Pekerja/Buruh yang bersangkutan
merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
3. Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan
disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat
Pekerja/Serikat Buruh paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan
Kerja. (4) Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan dalam masa percobaan, surat
pemberitahuan disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan
Kerja.
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja harus dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan
Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dalam hal perundingan bipartit tidak
mencapai kesepakatan, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja tahap berikutnya dilakukan
Akibat Hukum Apabila
Pesangon Tidak Segera Dibayar

UU Cipta Kerja mengklasifikasikan bahwa tidak membayar pesangon merupakan tindak


pidana, ini merupakan langkah cepat bagi pekerja yang ingin segera mendapatkan
pesangonnya. Dalam Pasal 185 ayat 1 dinyatakan bahwa bila pengusaha tak
menjalankan kewajiban itu, mereka diancam sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan
paling lama 4 tahun atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
Berikut bunyi pasalnya, "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat
(3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp10O.0OO.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp400.000.000,0O (empat ratus juta rupiah)."
Langkah Hukum Apabila
Pengusaha Tidak Mampu Membayar
Selain ranah pidana, Adapun cara yang bisa dilakukan oleh pengusaha
yaitu mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah prosedur yang dapat
dilakukan debitor untuk menghindari kepailitan. Menurut Pasal 222
ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor yang tidak dapat
atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon
PKPU. Tujuan pengajuan PKPU adalah agar debitor dapat mengajukan
rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang kreditor, baik kreditor preferen maupun konkuren.
Langkah Hukum Apabila
Pesangon Tidak Segera Dibayar
Selain itu, pekerja dapat mengajukan permohon kepailitan pada pengadilan
niaga. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas. Tujuannya untuk melindungi kreditur dengan memberikan
kepastian hukum dalam menyelesaikan transaksi utang piutang yang tidak
terselesaikan. Dalam hal ini, kedudukan pekerja sebagai kreditor preferen. Hak
tersebut dilindungi dalam Pasal 95 ayat (1) UU Cipta Kerja yang berbunyi:
“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum
diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.”
Kesimpulan
• Pengusaha dapat mem PHK pekerja dalam keadaan ekonomi lesu.
Namun prosesnya harus mengikuti tahapan-tahapan yang diatur
sebagaimana Pasal 37 sampai dengan Pasal 38 Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja. UU Cipta Kerja dalam Pasal 185 ayat (1) mengatur bahwa tidak
membayar pesangon kepada pekerja merupakan tindak pidana.
Adapun langkah yang dilakukan pengusaha apabila tidak mampu
membayar utang segera dengan pengajuan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Selain cara tersebut, pekerja dapat mengajukan
permohon kepailitan pada pengadilan niaga.

Anda mungkin juga menyukai