Kependudukan
Khususnya Jepang
Mortalitas di Jepang
Did You Know This?
Angka kematian akibat bunuh diri di Jepang
selama Oktober 2020 lebih tinggi dibanding
total kematian akibat infeksi Covid-19 di
negara itu sepanjang pandemi virus corona.
Angka kematian di Jepang adalah 18,5 per 100.000 orang. Angka
ini hampir tiga kali lipat dari rata-rata global tahunan, yakni sebesar
10,6 per 100.000 orang. Mengutip CBS News, 13 November 2020,
sepanjang tahun 2020, jumlah kasus kematian akibat bunuh diri di
Jepang sudah melebihi angka 17.000 kasus. Dari total itu, sepertiga
di antaranya adalah kaum perempuan. Para perempuan ini memiliki
tanggung jawab untuk mengasuh anak, kehilangan pekerjaan atau
mengalami penurunan pendapatan, dan banyak rasa tidak nyaman
lain selama pandemi berlangsung.Dari data yang dikeluarkan oleh
Organisasi Kesehatan PBB, WHO, di tahun 2012 Jepang
merupakan Negara ke-3 setelah Republik Korea dan Hungaria yang
memiliki kasus bunuh diri terbesar di dunia. Dari jumlah 100 ribu
orang terdapat hampir 20 kasus kematian bunuh diri.
BUNUH CORONA
DIRI
n
em e r intaha i
P as
Upaya tuk Mengat
g Un i
Pemerintah Jepang tidak tinggal diam. Mereka giat Jepan s bunuh dir
melakukan usaha untuk menurunkan jumlah kasus ka s u
bunuh diri ini melalui berbagai program. Dan
hasilnya di tahun 2014 terdapat penurunan kasus
kematian karena bunuh diri menjadi sekitar 25.427
kasus, berdasarkan data statistik Badan Kepolisian
Nasional Jepang. Angka kematian ini menurun
sekitar 6,8 persen dari sebelumnya, atau bisa
dikatakan merupakan jumlah yang paling sedikit
sejak 1997.
faktor-faktor kesepian, semakin tua fisik, kekurangan
finansial menjadi faktor penyebab tingginya jumlah
lansia yang memilih bunuh diri untuk mengakhiri
hidupnya. Sementara untuk kalangan usia produktif
alasan finansial menjadi faktor terbanyak pelaku
bunuh diri.
01
03
Migrasi di Jepang
migrasi
Pada abad 19 proses migrasi di Jepang mirip dengan proses
Pada 1640-an, Keshogunan Tokugawa mengenakan peraturan migrasi di negaranegara lain dan mengubah Jepang menjadi
pembatasan maritim yang melarang warga Jepang meninggalkan negara industri dan perkotaan yang sangat maju (White, 1982).
negerinya, dan melarang kembali bila mereka sudah berada di luar
negeri. Kebijakan ini kemudian tidak dicabut selama lebih dari dua
ratus tahun. Pembatasan perjalanan mulai berkurang setelah Jepang
membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat. Pada
tahun 1867, pemerintahan bakufu mulai mengeluarkan dokumen
perjalanan untuk perjalanan ke luar negeri dan emigrasi.
Migrasi antar-wilayah di daerah Chugoku lebih berpusat di
kota-kota seperti Hiroshima, Okayama, Fukuyama dan
Kurashiki dari pada tiga daerah metropolitan terbesar, yakni,
Tokyo, Osaka dan Nagoya). Dengan perkataan lain, migrasi
Sebelum tahun 1885, relatif sedikit orang yang beremigrasi dari internal di Jepang antara tahun 1985 dan 1990 ditandai oleh
Jepang; sebagian karena pemerintah Meiji enggan mengizinkan pemusatan penduduk di beberapa kota yang lebih besar
emigrasi, sebagian karena tidak memiliki kekuatan politik untuk seperti daerah-daerah metropolitan Tokyo, Osaka dan
cukup melindungi emigran Jepang, sebagian lagi karena kehadiran Nagoya dan di kota-kota utama wilayah seperti Sapporo,
orang Jepang sebagai buruh kasar di luar negeri akan menghambat Sendai, Hiroshima dan Fukuoka (De Wang, 1993)
kemampuan pemerintah untuk merevisi perjanjian yang tidak adil.