Anda di halaman 1dari 35

Farmasi Industri

OLEH:
EVI SULASTRI, S.Si., M.Si., Apt
Jenis - Jenis Industri Farmasi
Berdasarkan jenis-jenis kegiatannya, Industri Farmasi dapat dikelompokkan :
1. Industri Riset (inovasi) Farmasi
Menghasilkan obat dan atau bahan baku obat hasil penelitian sendiri,
memperoleh hak paten selama periode tertentu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara nasional dan internasional
2. Industri Sintesis dan atau Fermentasi Farmasi
Menghasilkan bahan aktif obat atau bahan baku lainnya, baik yang masih
mempunyai hak paten atau sudah daluwarsa
3. Industri Manufaktur Farmasi
Menghasilkan obat jadi dari bahan baku yang dihasilkan oleh industri
farmasi riset dan atau industri sintesis atau fermentasi. Termasuk dalam
kategori ini adalah industri farmasi fitofarmaka, yang menghasilkan
produk obat dari bahan dari alam
4. Industri Jasa Farmasi
Memberikan jasa, berupa jasa penelitian, sintesis, dan atau formulasi,
bermacam studi tentang pasar obat baik secara nasional, regional maupun
internasional, meneliti dan mempelajari kecenderungan yang sedang
terjadi, membuat perkiraan perkembangan masa datang, yang sangat
diperlukan oleh pengambil keputusan, baik di lingkungan industri farmasi
maupun pemerintah
Ciri Industri Farmasi
Ciri-ciri industri farmasi yang perlu diperhatikan :
1. Industri Farmasi merupakan industri yang diatur secara ketat (seperti registrasi
obat, cara produksi obat yang baik/CPOB, distribusi dan perdagangan produk
yang dihasilkan)
2. Industri farmasi, disamping menghasilkan obat untuk penderita, juga
merupakan suatu industri yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan
(tidak hanya aspek sosial tapi juga ada aspek ekonomi)

3. Industri farmasi adalah salah satu industri beresiko tinggi,


4. Industri Farmasi adalah industri berbasis riset yang selalu memerlukan inovasi,
Product Development (me too
product) Bahan Aktif
• Senyawa & Khasiat sdh diketahui
• bentuk sediaan sdh ditentukan

Stability, incompatibility,
kelarutan, dosis, etc.
Praformulasi
(Studi literatur)

Trial Skala Lab. • Stability test (kimia & fisika)

Formula terpilih

Metoda Analisa Scaling Up Design Kemasan

Product Trial • Product Spesification

Produksi Rutin
TOP 20 MANUFACTURER : ITMA 3Q 2004
RANKING   MANUFACTURER MAT 3Q 04       MAT 3Q 03      
3Q04 3Q03   VALUE SHARE GROWTH EVOL. VALUE SHARE GROWTH EVOL.
      RP (X 1JT) % % INDEX RP (X 1JT) % % INDEX
                   
1 1 SELECTED TOTAL 19,933,538 100.00 17.98 100.00 16,895,136 100.00 14.37 100.00
1 1 SANBE 1,445,586 7.25 18.08 100.08 1,224,283 7.25 25.27 109.53
2 2 KALBE FARMA 1,194,134 5.99 17.31 99.43 1,017,941 6.03 15.44 100.93
3 5 DEXA MEDICA 1,054,517 5.29 37.69 116.70 765,872 4.53 35.14 118.16
4 4 TEMPO SCAN PACIFIC 895,124 4.49 15.42 97.83 775,510 4.59 19.35 104.35
5 3 BINTANG TOEDJOE 893,833 4.48 14.36 96.93 781,572 4.63 9.68 95.90
6 6 PFIZER 745,503 3.74 7.53 91.14 693,265 4.10 8.32 94.70
7 9 KONIMEX 506,297 2.54 30.52 110.63 387,903 2.30 35.11 118.13
8 7 KIMIA FARMA 483,503 2.43 7.35 90.99 450,390 2.67 24.88 109.18
9 8 INDOFARMA 479,217 2.40 16.63 98.86 410,872 2.43 -36.84 55.22
10 11 PHAPROS 457,597 2.30 26.92 107.57 360,545 2.13 45.51 127.23
11 17 SOHO 418,106 2.10 40.68 119.23 297,214 1.76 32.32 115.69
12 14 DANKOS 417,763 2.10 25.55 106.42 332,739 1.97 17.42 102.66
13 13 ROCHE 387,746 1.95 15.59 97.97 335,439 1.99 14.12 99.78
14 10 AVENTIS PHARMA 383,294 1.92 2.01 86.47 375,724 2.22 0.97 88.28
15 12 NOVARTIS BIOCHEMIE 379,145 1.90 13.02 95.80 335,459 1.99 16.21 101.60
16 16 INTERBAT 360,802 1.81 19.65 101.41 301,542 1.78 17.74 102.94
17 15 PHAROS INDONESIA 338,750 1.70 11.19 94.24 304,665 1.80 11.21 97.24
18 18 MERCK KGAA 290,215 1.46 13.34 96.06 256,056 1.52 8.85 95.17
19 19 OTSUKA 259,216 1.30 9.93 93.17 235,803 1.40 7.48 93.97
20 20 COMBIPHAR 258,479 1.30 14.75 97.26 225,246 1.33 9.91 96.09
0 0 * Others * 8,284,712 41.55 0.00 0.00 7,027,097 41.58 0.00 0.00
Profile Industri Farmasi Indonesia
3
1
4

Formulation
Biological
Active Ingredient
Quasi Drugs
200

Sumber : Badan POM 2004


Profile Industri Farmasi
Indonesia
Peta Penyebaran Industri Farmasi
Berdasarkan Lokasi

S umatera, 15 IF Bali, 1 IF
7% 0%

Jawa, 189 IF
93%

Sumber : Badan POM 2004


Saat ini, 96% bahan baku obat masih
harus kita import dari luar negeri.
• PT. Sinkona Indonesia Lestari (SIL) yang memproduksi bahan baku kina (quinine). PT. SIL
merupakan anak perusahaan PT. Kimia Farma. Pada masa jayanya, perusahaan ini mampu
memproduksi 150 ton pertahun, yang menjadikannya pabrik kina TERBESAR di seluruh dunia.

• PT. Riasima Abadi Farma (RAF), yang merupakan perusahaan patungan antara PT. Kimia
Farma, PT. Indofarma dan PT. Askes (persero). Pada tahun 1981-1982, RAF mampu membuat
Parasetamol dengan teknologi dari Taiwan dan mesin dari Jepang, tetapi sulit untuk menjual
karena harga yang relatif mahal. Pada kurun waktu 1982 – 1990 Parasetamol ex RAF mendapat
proteksi 100% dari Pemerintah sehingga RAF bisa menjual Parasetamol ke pasar domestik.
Sejak tahun 1988 RAF bisa membuat Para Amino Phenol (PAP) sendiri, namun kemunduran
dialami sejak tahun 1993 dimana datangnya PAP dari China dengan harga yanglebih kompetitif.
Dengan harga PAP yang berbeda dengan China mengakibatkan penjualan menurun dan sampai
dengan saat ini Parasetamol ex RAF tidak bisa bersaing dengan Parasetamol ex China.

• PT. Sandoz Biochemie Farma Indonesia (SBFI) yang berdiri tahun 1987, merupakan Perusahaan
Patungan antara Sandoz (Swiss) dan Biochemie (Austria) sebesar 55% saham dengan PT.
Anugerah Daya Laksana dan Kimia Farma sebesar 45% saham. SBFI pada saat awal berdiri
merupakan produsen bahan baku terkemuka, terutama Amoxicillin dan Ampicillin, yang
diproyeksikan mampu memproduksi sampai 100 ton bahan baku obat. Dalam perkembangannya
SBFI harus menyerah karena tingginya biaya produksi dan regulasi yang tidak memihak. SBFI
akhirnya tutup karena iklim industri tidak memihak. Produk Amoxicillin dan Ampicillin SBFI tidak
bisa bersaing dengan produk sejenis dari China.
4 jenis bahan baku obat yang digunakan
oleh industri farmasi, yaitu :
1. Bahan baku obat aktif (BBAO) yang diproses secara
kimiawi
2. Bahan baku obat tambahan (eksipien)
3. Bahan baku obat aktif yang diproses secara Bioteknologi
4. Bahan baku obat aktif yang berasal dari Sel Punca
(Stem cell), yang merupakan teknologi baru dalam
pengembangan bahan baku aktif obat.
• Saat ini kita mengimport lebih kurang 851 item bahan baku obat aktif
(BBAO) dan 441 item bahan baku pembantu/tambahan (eksipient).
Sebagian besar dari China dan India, serta sebagian kecil dari Korea,
Jepang, Eropa dan Amerika Serikat.

• Sebagian dari Bahan Baku Aktif Obat (BBAO) diproses atau diproduksi
dengan menggunakan secara BIOTEKNOLOGI, terutama bahan baku
obat-obat yang tergolong “baru”. Misalnya obat kanker, obat diabetes,
obat jantung, dan sebagainya. Kalau kita lihat lebih jauh lagi, ternyata
obat-obat jenis ini kita datangkan dari berbagai macam negara. Selain
dari China dan India, juga kita impor dari Eropa, Amerika Serikat,
Jepang dan juga Korea. Bahan baku jenis ini biasanya diproses dengan
menggunakan Bioteknologi yang membutuhkan teknologi “tingkat tinggi”
karena prosesnya sangat rumit dan sangat kompleks.
KASUS OSELTAMIVIR : PELAJARAN BERHARGA DARI
NEGERI HINDUSTAN

• Bicara soal industri bahan baku obat, ada sebuah kisah yang sangat menarik
untuk kita renungkan dan menjadi bahan kajian kita bersama.
• Sekitar tahun 2005 yang lalu, dunia dihebohkan dengan merebaknya penyakit FLU
BURUNG. Seluruh dunia dilanda kepanikan luar biasa karena terjadi kekhawatiran
wabah flu burung yang mula terjadi di Asia Timur, yang semula hanya menular dari
hewan ke manusia, berubah menjadi pandemi yang bisa menular antar manusia.
Tentu, kekhawatiran ini sangat beralasan, karena hal yang sama pernah terjadi
pada tahun 1920-an. Jutaan orang meninggal di seluruh dunia disebabkan wabah
flu, yaitu Spanish flu (Flu Spanyol). Akibat dari kepanikan tersebut, satu-satunya
obat flu burung yang ada saat itu, yaitu OSELTAMIVIR yang dijual dengan merk
dagang TAMIFLU (buatan Roche) menjadi sangat kewalahan melayani
permintaan. Obat ini pun dijual dengan harga yang sangat mahal. Tidak kurang
dari Rp. 200 ribu per-dosisnya. Pihak ROCHE berkilah bahwa proses pembuatan
obat ini sangat rumit, melibatkan tidak kurang dari 14 tahapan proses. Selain itu,
proses ini juga sangat berbahaya karena dalam beberapa tahap melibatkan zat
Sodium Azide yang sangat berbahaya (lihat gambar).
• Bagi negara-negara kaya, tentu saja hal ini bukan masalah besar. Namun bagi negara-
negara miskin, tentu sangat memberatkan. Pada saat duitnya ada, barangnya sudah
habis, diborong oleh negara-negara kaya tadi. Kalo kita lihat, dari 189 kasus kematian
karena flu burung, sebagian besar adalah penduduk negara miskin. Termasuk Indonesia
dengan korban terbesar yaitu sebanyak 79 orang meninggal dunia.
• Tentu saja, ROCHE sebagai produsen Tamiflu, sebagai satu-satunya obat anti flu burung
menuai untung besar. Namun tiba-tiba di tengah merebaknya kasus ini, sebuah kabar
datang dari negeri Hindustan, India. Sebuah perusahaan lokal yang bernama CIPLA
berhasil membuat OSELTAMIVIR dengan cara yang lebih sederhana, tidak berbahaya dan
tentu saja HARGANYA JAUH LEBIH MURAH. Kalau TAMIFLU dijual seharga Rp. 200 ribu
per-dosis, maka Oseltamivir buatan Cipla ini hanya sekitar Rp. 100,- (baca SERATUS
RUPIAH) saja perdosis-nya. Dr. Yusuf Hamied, seorang ahli kimia dan sekaligus pemilik
perusahaan ini adalah orang dibalik kesuksesan perusahaan ini membuat Oseltamivir versi
murah meriah ini. Penemuan ini pun tidak lepas dari dukungan para ahli kimia sintesa dari
Mumbay University, India yang bekerja keras untuk menemukan sintesa Oseltamivir
dengan cara lebih sederhana, lebih efisien dan jauuh lebih murah.Jika pada proses yang
dilakukan Roche hanya menghasilkan 12-15% Oseltamivir murni, maka proses yang
dilakukan di Cipla bisa menghasilkan rendemen hingga 40 – 50%. Luarrr biasaa….
• Tentu saja ROCHE sebagai pemegang paten dari Oseltamivir tidak terima ada
perusahaan lain memproduksi obat yang masih dalam masa paten ini. Pihak
ROCHE kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan di India. Tapi apa putusan
pengadilan India, bahwa sesuai dengan Patent Act, maka produk-produk farmasi
bukan-lah produk yang dilindungi paten-nya. Akhirnya, kandaslah upaya Roche
untuk membawa Cipla pada tuntutan milyaran dollar Amerika sebagai konsesi
produk ini. Pihak Cipla pun berkilah bahwa proses produksi yang dilakukannya
juga BERBEDA dengan proses yang lakukan oleh ROCHE, sehingga dakwaan
tersebut tidaklah berdasar. Pemerintah India pun berdiri di belakang
perusahaannya, mengingat pada saat itu obat ini juga benar-benar dibutuhkan
oleh masyarakat India dan negara-negara berkembang lainnya, termasuk
INDONESIA. Jadi, Oseltamivir yang beredar di Indonesia, bukanlah buatan Roche
yang amat sangat mahal itu, tapi buatan India yang murah meriah….
• Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran penting. Kita masih bisa “bersaing” dalam
hal produksi bahan baku obat, asal kita cerdik menghadapinya. Kalau orang India
saja bisa, mengapa kita tidak?
INDUSTRI BAHAN BAKU OBAT MASA
DEPAN : BIOTEKNOLOGI

• Pengembangan bahan baku obat di Indonesia belum berkembang dengan


baik terutama untuk BBO yang merupakan hasil sintesis atau disebut dengan
Bahan Baku Obat kimia (BBO kimia). Hingga saat ini tingkat ketergantungan
pada bahan baku impor masih sangat tinggi. Pengembangan bahan baku obat
pada dasarnya relatif lebih mudah dibandingkan dengan penelitian penemuan
obat baru (new chemical entities), yang memerlukan biaya yang sangat besar
yaitu lebih dari 1 milyar US dolar, biaya pengembangan ini terus meningkat
setiap tahunnya karena tuntutan akan obat yang aman dan mengurangi efek
samping yang merugikan kepada pasien. Untuk bahan baku obat sebetulnya
lebih pada pengembangan proses sintesa atau perbaikan proses produksi dan
bukan pada penemuan molekul baru, bagaimana cara mendapatkan metode
terbaik agar dapat dihasilkan BBO sintesis yang baik secara ekonomis.
Beberapa kendala dalam dihadapi terkait pengembangan
bahan baku obat sekarang ini antara lain :

• Kurangnya dukungan kimia dasar. Bahan kimia dasar merupakan bahan kimia yang
digunakan untuk proses sintesis obat apabila obat dibuat secara sintesis kimia dan bahan
kimia yang mendukung dalam proses isolasi, pemisahan, pemurnian obat untuk bahan
obat yg diproduksi secara bioproses. Jika bahan baku yang dibutuhkan untuk
memproduksi bahan obat tidak tersedia maka Indonesia terpaksa mengimpor bahan baku
atau bahan antara dari luar negeri, sehingga yang dilakukan di dalam negeri hanya berupa
tahap akhir dari pembentukan bahan baku. Hal ini mengakibatkan biaya yang digunakan
untuk produksi menjadi lebih besar sehingga bahan baku yang dihasilkan tidak dapat
memenuhi skala ekonomi dan tidak kompetitif dibandingkan bahan baku obat impor.
• Industri bahan baku obat memerlukan investasi yang besar dengan tingkat kegagalan yang
tinggi. Biaya yang besar akan dibebankan kepada harga bahan baku sehingga bahan baku
yang dibuat akan menjadi lebih mahal. Selain itu juga merupakan long term project
sehingga hasilnya baru akan dinikmati dalam waktu yang cukup lama.
• Pasar bahan baku nasional yang relatif kecil dibandingkan dengan kapasitas minimal
produksi untuk satu industri bahan baku obat sehingga tidak akan dapat memenuhi skala
ekonomi. Walaupun dapat dibuat secara lokal dari segi ekonomis tidak akan kompetitif.
Sementara produsen bahan baku dari China dan India sudah jauh lebih maju dan sangat
ekonomis.
• Dengan berbagai kendala tersebut, membuat upaya kemandirian
industri bahan baku obat di Indonesia sangat sulit untuk diwujudkan,
terutama jika kita terpaku pada upaya pengembangan bahan baku obat
secara sintesa kimia.
• Selain melalui pendekatan sintesis kimia, upaya memproduksi Bahan
Baku Obat juga bisa melalui proses yang disebut dengan
BIOTEKNOLOGI.
• Saat ini, hampir seluruh obat-obat kanker dan penyakit degeratif lainnya
menggunakan pendekatan MAB (Monoclonal Antibody) ini yang digunakan
sebagai Targeted Therapy. Dan, berita gembiranya, ternyata teknologi ini
SUDAH DIKUASAI dengan baik oleh Putra-putri Indonesia. Sebutlah
sebuah anak perusahaan PT. Kalbe Farma yang bernama INNOGENE
KALBIOTECH sudah mampu memproduksi sendiri NIMOTUZUMAB –
dengan merk dagang TheraCIM – salah satu Targeted Therapy generasi
MAB terbaru sehingga efek sampingnya jauh lebih kecil dibandingkan
dengan kemoterapi biasa atau bahkan dibandingkan dengan Targeted
Therapy yang lain.
• Saat ini tidak kurang dari 2.075 molekul obat
dalam tahap uji klinik fase I dan fase II. Dari
jumlah tersebut 95 molekul diindikasikan sebagai
anti kanker, 40 molekul anti retrovirus dan HIV.
Dua puluh tujuh persen (27%) dari obat yang
dalam pengembangan tersebut adalah obat-obat
yang dikembangkan dengan bioteknologi
(Biospectrum, Asia Edition, Vol.2, 2007).
• Saat ini, hampir seluruh obat-obat kanker dan
penyakit degeratif lainnya menggunakan
pendekatan MAB (Monoclonal Antibody) ini yang
digunakan sebagai Targeted Therapy.
• Sebuah anak perusahaan PT. Kalbe Farma yang
bernama INNOGENE KALBIOTECH sudah
mampu memproduksi sendiri NIMOTUZUMAB –
dengan merk dagang TheraCIM – salah satu
Targeted Therapy generasi MAB terbaru sehingga
efek sampingnya jauh lebih kecil dibandingkan
dengan kemoterapi biasa atau bahkan
dibandingkan dengan Targeted Therapy yang lain.
• Gelombang teknologi pengobatan era
mendatang mungkin tidak lagi
menggunakan obat-obatan kimia
sebagaimana saat ini. Pengobatan
dengan obat akan bergeser dengan
cara melakukan regenerasi sel pada
organ tubuh yang sakit sehingga dapat
berfungsi secara normal kembali atau
sehat. Pengembangan teknologi
pengobatan tersebut yakni dengan
mengembangkan sel induk manusia
yang dinamakan stem cell.
• Stem cell merupakan sel yang tidak atau belum
terspesialisasi yang mempunyai kemampuan
untuk berdeferensiasi menjadi sel lain. Dalam hal
ini stem cell mampu berkembang menjadi
berbagai jenis sel matang, misalnya sel syaraf, sel
otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas, dan
lain-lain. Selain itu, stem cell juga memiliki
kemampuan untuk melakukan pembaharuan (self-
renew) dan regenerasi dirinya sendiri (self-
regenerate). Dalam hal ini stem cell dapat
membuat salinan sel yang sama persis dengan
dirinya melalui pembelahan sel. Keunikan lainnya
adalah kemampuannya untuk dapat berubah
menjadi berbagai macam jenis sel yang berbeda-
beda, sesuai lingkungannya.
Singkat cerita, bila stem cells kita tanam di
jaringan otak, jadi sel otak-lah dia, bila ditanam
dijantung, jadi sel jantung-lah dia, dan bila ditanam
dijaringan tulang maka jadi-lah dia sel tulang.
MENGAGUMKAN BUKAN???
Pengembangan suatu obat dapat dibagi
menjadi beberapa tahap sebagai berikut :

• Sistesis dan screening molekul


• Studi pada hewan percobaan
• Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers)
• Studi pada manusia yang sakit (pasien)
• Studi pada manusai yang sakit dengan populasi
diperbesar
• Studi lanjutan (post marketing surveillance)
Sintesis dan screening molekul

• Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan secara


farmakologis, maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap
pengembangan dalam bentuk molekul optimumnya, seperti terlihat
pada “diagram pengembangan kandidat obat”. Setelah sintesis,
suatu senyawa atau molekul melalui proses screening, yang
melibatkan pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari
jenis yang berbeda (biasanya 3 jenis hewan) ditambah uji
mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa kimia yang
menguntungkan. Meskipun ada faktor “lucky” (kebetulan) dalam
upaya ini, umumnya pendekatannya cukup terkontrol, berdasarkan
struktur senyawa yang telah diketahui. Pada tahap ini sering kali
dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas, mutagenitas
dan karsinogenitas, disamping pemeriksaan LD50 dan toksisitas
akut dan kronik.
Uji praklinik
• Merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi
tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat
pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya
dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah
galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa
uji menggunakan primata. Hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan
obat. Karena hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah
obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau tidak.

• Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :


Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis.
Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagenisitas).
Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas).
Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).
• Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan
tersebut menentukan apakah calon obat tersebut dapat diteruskan dengan uji pada manusia
atau tidak. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan
formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Di
samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah
dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji
aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan
mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada
hewan. Akan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai
saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang
menjamin hasil yang dapat menggambarkan toksisitas pada manusia.  Disamping itu, uji
pada hewan percobaan ini juga dirancang dengan perhatian khusus pada kemungkinan
pengujian obat itu lebih lanjut pada manusia atau uji klinis. Oleh karenanya, pada uji pra-
klinis ini dirancang dengan pertimbangan :
• Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan kepada manusia.
• Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju, dengan pertimbangan khusus untuk
anak-anak, wanita hamil atau orang lanjut usia.
• Efek obat menurut dugaan pada manusia.
• Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul kandidat calon obat tersebut
menjadi IND (Investigational New Drug) atau obat baru dalam penelitian. Setelah calon obat
dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya
diuji pada manusia (uji klinik).
Uji Klinis pada manusia
• Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh
komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4
fase yaitu :
• Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk
mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan
juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan
dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil
farmakokinetik obat pada manusia.
• Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi
pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah
mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah
atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan
dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.
• Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya
terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat
dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000
senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih
kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur
nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food
and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and
Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA (European Agency for the
Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration).
• Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji
praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus
sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dan lain-lain) yang telah memenuhi
persyaratan produk melalui kontrol kualitas.
• Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga
dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai
tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau
perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional
Penilai Obat Jadi.
• Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama
bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi
dan lain-lain. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu
kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dan lain-lain. Setelah calon obat
dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan
menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri
sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.
• Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post
marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai
usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai
terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat.
• Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari
perdagangan jika membahayakan sebagai contoh cerivastatin suatu obat
antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu
obat anti disentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada
otot mata (SMON disease), fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu
harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat
meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada
pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah
tinggi, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak
hati .

Anda mungkin juga menyukai