Anda di halaman 1dari 26

BAB IV

Hukum-Hukum Syar’I
Dalam Islam
Kelompok 4

Nailatul Husna
Yulan Dwi Ningrum
Zhulia Istiqomah
Vera Mufidah
Fadia Ayu Alfahreza
Dimas Rahman
A. Al-Hakim
1). Pengertian Al-Hakim
Al-Hakim berasal dari kata"Hakima"yang secara etimologi berarti“orang yang
memutuskan hukum”Dalam istilah fiqih,hakim merupakan orang yang memutuskan hukum
dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi.Hakim juga berarti pihak penentu dan
pembuat hukum syariat secara hakiki.Hal tersebut terdapat pada firman Allah dalam surah
Al-An'am ayat 57 sebagai berikut:

‫اصلِيْ َن‬ َ ‫عل ٰى بَ ِيّن َ ٍة ِّ ّـِم ْن ّ َر ِبّ ْي َوك َ ّ َذبْتُ ْم ِب ٖهۗ َما ِعن ْ ِد ْي َما َت ْستَ ْعجِ ل ُْو َن ِب ٖهۗ اِ ِن ال ُْحك ُْم اِلَّا لِل ّ ٰ ِه ۗيَقُ ُّصال َْح ّ َق َو ُه َو‬
ِ َ‫خيْ ُر الْف‬ َ ‫ق ُْل اِ ِن ّ ْي‬
Artinya :
Katakanlah (Muhammad),“Aku (berada)di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an)dari
Tuhanku sedang kamu mendustakannya.Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan
azab)yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya.Menetapkan (hukum itu) hanyalah
hak Allah.Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.”

Dari firman Allah tersebut, tampak jelas bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu
ialah Allah SWT.Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para rasulnya.
2). Metode mengetahui hukum Allah SWT
a. Mazhab asy'ariyah => Golongan asy'ariyah(Abu Hasan al-asy'ari)berpendapat
bahwa hukum-hukum Allah tentang perbuatan orang mukalaf tidak mungkin
diketahui kecuali dengan perantaraan para rasul dan kitab-kitabnya.
b. Mazhab muktazilah => Golongan muktazilah(Washil bin Atha')berpendapat
bahwa hukum-hukum Allah tentang perbuatan orang mukalaf dapat diketahui
dengan akal tanpa perantaraan para rasul dan kitab-kitabnya.
3). Kedudukan Al-Hakim dalam hukum Islam
Kedudukan hakim dalam hal ini adalah sebagai pembuat,sekaligus yang menetapkan
hukum untuk dipatuhi setiap mukalaf (mahkum'alaih).Mahkum'alaih adalah mukalaf
yang menjadi objek tuntutan hukum syarak.Para ulama Usul fiqih sepakat bahwa
mahkum'alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah. Dari 2
pengertian di atas diperoleh simpulan bahwa mahkum'alaih adalah orang mukalaf
yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah.
B. MENGANALISIS AL-HUKMU (‫) لاــحكمـ‬
1. Pengertian al-Hukmu
Hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu terhadap sesuatu. Definisi hukum
secara istilah menurut Muhammad Abu Zahra adalah:
“Hukum itu adalah tuntutan syar’i (seruan) Allah Swt yang berkaitan dengan
perbuatan orang mukallaf,baik sifatnya mengandung perintah maupun larangan,
adanya pilihan atau adanya sesuatu yang dikaitkan dengan sebab, atau hal yang
menghalangi adanya sesuatu”.
2. Pembagian Hukum
1) Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan
tuntutan pasti,tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan tidak pasti, tuntutan untuk
meninggalkan dengan tuntutan pasti, tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan
tidak pasti,tuntutan untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan.Menurut jumhur
ulama, hukum taklifi ada lima, yaitu:
a. Al-Ijab (wajib)
Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan pasti.
Contoh firman Allah Swt :
َ ّ ‫الصل ٰو َة َواٰتُوا ال َّزك ٰو َة َو ْارك َُع ْوا َم َع‬
‫الرا ِك ِعيْ َن‬ َّ ‫َوا َ ِقي ْ ُموا‬
Artinya :
“Dan dirikanlah shalat,tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang orang yang ruku‘.”
(QS. Al-Baqarah [2]:43)
b. An-Nadb (sunah)
Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan tidak pasti.
Contoh firman Allah Swt :
‫يٰۤـا َيُّ َها ال َّ ِذي َۡنا ٰ َمنُوۡۤا اِ َذا تَ َدايَنۡتُ ۡم ِب َدي ٍۡناِلٰٓى ا َ َج ٍل ُّم َس ّ ًمى َفاكۡتُبُو ُۡه‬

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah [2]:282)
c. At-Tahrim (haram)
Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan pasti.
‫يل‬ َ ‫َان َف ِٰح َش ًة َو َس‬
ً ‫ٓاء َس ِب‬ َ ‫ى ۖ ِإن ّ َُهۥ ك‬
ٓ ٰ َ ‫َول َا تَ ْق َربُو ۟ا ٱل ِ ّزن‬
Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina,Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan

yang keji dan suatu jalan yang buruk.”


(QS. Al-Isra’ [17]:32)
d. Al-Karahah (makruh)
Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan tidak pasti.

‫اۤء اِ ْن تُبْ َد لَك ُْم تَ ُس ْؤك ُْم‬ َ ‫يٰٓا َيُّ َها ال َّ ِذيْ َنا ٰ َمن ُ ْوا ل َا تَ ْسٔـ ََٔـل ُْوا‬
َ َ‫ع ْن ا َ ْشي‬
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepadaNabimu) hal-
hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.”
(QS. Al-Maidah [5]:101)
e. Al-Ibahah (mubah)
Hukum yang mengandung tuntutan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.
Contoh firman Allah Swt:
ٓ ْ ‫ع ّ َر ْضتُ ْم ِب ٖه ِم ْن ِخ ْطبَ ِة ال ِن ّ َساۤ ِء ا َ ْو اَكْنَنْتُ ْم ِف‬
‫ي اَنْفُ ِسك ُْم‬ َ ‫عل َيْك ُْم ِفيْ َما‬
َ ‫اح‬
َ َ ‫ل َا ُجن‬
Artinya :
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.”
(QS. Al-Baqarah [2]:235)
2. Hukum Wadh’I
Hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat,mani’,azimah,rukhsah,sah
dan batal bagi sesuatu.Jadi yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum taklifi

disebut hukum wadh’i.Pembagian hukum wadh’i yaitu :

a. Sebab
Ulama ushul mendefinisikan sebab adalah sifat zahir, tetap dan menetapkan suatu

hukum karena syari’at mengaitkan sebab dengan sifat.Tanda-tanda sebab adalah


adanya sebab mengharuskan keberadaan hukum,dan tidak adanya sebab
mengharuskan ketiadaan hukum.
Contohnya Allah Swt berfirman :

‫ودا‬
ً ‫َان َم ْش ُه‬
َ ‫ج ِر ك‬ َ ‫ج ِر ۖ ِإ ّ َن ق ُْر َء‬
ْ َ‫ان ٱلْف‬ َ ‫غ َس ِق ٱلَّيْ ِل َوق ُْر َء‬
ْ َ‫ان ٱلْف‬ َ ‫ٱلش ْم ِسِإل َٰى‬
َّ َ ّ ‫أ َ ِق ِم‬
‫ٱلصل َٰو َة لِ ُدل ُو ِك‬
Artinya :
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh.Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
(QS. Al-Isra’ [17]:78)

Allah Swt. menjadikan tergelincirnya matahari sebagai sebab, yaitu tanda untuk
menetapkan wajibnya shalat dhuhur.
b. Syarat
Syarat adalah sesuatu yang tiadanya mengharuskan ketiadaan, dan keberadaannya
tidak mengharuskan keberadaan ataupun ketiadaan rukun juga mengharuskan
ketiadaan hukum ketika rukun tidak ada. Dengan kata lain, syarat adalah sesuatu yang
harus dipenuhi dulu sebelum suatu perbuatan dilakukan. Dalam hal ini, rukun sama
seperti syarat. Bedanya, rukun seperti takbiratul ihram dan sujud dalam shalat, dan
menjadi bagian dari hakikat shalat. Sedangkan syarat adalah bagian di luar hakikat
shalat. Syarat ada dua macam :
1) Syarat wajib, contohnya nisab zakat sebagai syarat wajib zakat.
2) Syarat sah, contohnya suci dari hadats besar dan kecil (thaharah) menjadi syarat
sah shalat.
c. Mani’
Mani’ (penghalang) adalah sifat zahir yang pasti, yang menghalangi tetapnya hukum,
atau dengan istilah lain sesuatu yang mengharuskan tidak adanya hukum atau batalnya

sebab. Mani’ terbagi menjadi dua macam :


1) Mani’ terhadap hukum, yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi
penghalang bagi hukum.Contohnya haid bagi wanita yang menjadi mani’ (penghalang)
untuk melaksanakan shalat.
2) Mani’ terhadap sebab,yaitu suatu penghalang yang ditetapkan oleh syari’at yang
menjadi penghalang berfungsinya sebab. Contohnya berhutang menjadi mani’
(penghalang) wajibnya zakat pada harta yang dimiliki.
C. Al-Mahkum Fih
Untuk menyebut peristiwa hukum(objek hukum),sebagian ulama usul fiqih
menggunakan istilah mahkum fih karena di dalam perbuatan atau peristiwa itu terdapat
hukum,baik mengenai hukum wajib maupun hukum yang bukan wajib.
Para ulama usul fiqih berpendapat bahwa setiap perintah syara' terdapat objeknya,yaitu
perbuatan mukalaf.Terhadap perbuatan mukalaf tersebut,ditetapkan suatu hukum,seperti
yang terdapat dalam Al-Qur'an Surah al-Baqarah Ayat 43 Allah Swt berfirman :
َ ّ ‫الصل ٰو َة َواٰتُوا ال ّ َزك ٰو َة َو ْارك َُع ْوا َم َع‬
‫الرا ِك ِعيْ َن‬ َ ّ ‫َوا َ ِقيْ ُموا‬
Artinya :
Dan laksanakanlah salat,tunaikanlah zakat,dan rukuklah beserta orang yang rukuk.
1. Syarat syarat mahkum fih.
a. Mukalaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan sehingga tujuannya
dapat ditangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.
b. Mukalaf harus mengetahui sumber taklif (pembebanan
hukum).Mengetahui alasan mengapa seseorang harus mengetahui
perbuatan hukum yang dilakukan adalah semata-mata untuk menghindari
kesalahan dalam melakukannya,juga terhindar dari kesalahan seperti yang
diatur dalam syara' (ketentuan hukum).
c. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mungkin dapat dilaksanakan atau boleh
ditinggalkan oleh orang mukalaf.
1. Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan.
2. Tidak sah melakukan tuntutan perbuatan hukum yang seharusnya bukan

menjadi tanggung jawabnya.


Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia.
2. Mahkum Fih dari Segi Keberadaan Material
 Perbuatan yang secara material ada, namun tidak termasuk perbuatan yang
terkait dengan syara‘.
 Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara‘,
seperti perzinahan, pencurian, dan pembunuhan.
 Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara' apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan, seperti salat dan zakat.
 Perbuatan yang secara material ada dan diakui secara syara', serta
mengakibatkan adanya hukum syara' yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa
menyewa.
D. Al-mahkum alaih
Menurut ulama Ushul fiqih,Al mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya
dikenai khitan Allah yang disebut mukalaf.Mukalaf adalah orang yang di Bebani
hukum.Pembebanan hukum bagi mukalaf di lingkungan ulama Ushul fiqih adalah akal dan
pemahaman.Maksudnya,seseorang di Bebani hukum apabila berakal sehat dan memiliki
kemampuan pemahaman atas perbuatan yang di lakukan nya.Bagi yang tidak berakal di
anggap tidak mampu memahami taklifi(pembebanan hukum) dan yang termasuk golongan
ini adalah orang yang sedang tidur,lupa dan mabuk.
Seorang mukalaf bisa dikenai taklif apabila telah memenuhi persyaratan berikut:
1. Kemampuan memahami tuntutan Syara' yang terkandung dalam Al-Qur'an dan as-
sunah. Untuk mencapai kemampuan itu hanya orang orang berakal saja.Hanya
dengan akal dapat diketahui bahwa perbuatan itu perlu dikerjakan atau tidak.
2. Seseorang harus mampu bertindak hukum,secara Ushul fiqih disebut ahliyah. Ahliyah
adalah sifat yang menunjukan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya
sehingga seluruh perbuatannya dapat dinilai dengan Syara'.Orang yang masuk
kategori ini adalah orang yang sah dalam melakukan tindakan hukum.
Dalam Ushul fiqih, ahliyah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Ahliyah al-ada
Adalah sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah di anggap
sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik bersifat
positif maupun negatif. Apabila melakukan nya sesuai ketentuan Syara' ia akan
mendapatkan pahala dan apabila tidak melakukan nya akan mendapatkan dosa.
b. Ahliyah al-wujub
Adalah sifat kecakapan seorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,
namun belum mampu dibebani seluruh kewajiban.
Para ulama membagi ahliyah al-wujub menjadi dua, yaitu :
1. Ahliyah al-wujub an-naqisah
Adalah anak yang masih berada dalam janin sudah di anggap memiliki ahliyah al-
wujub, namun belum sempurna. Apabila ia telah lahir,hak hak yang diterima dapat
menjadi miliknya.
2. Ahliyah al-wujub al-kamilah
Adalah kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai
dinyatakan balig dan berakal, meskipun akalnya kurang.Namun,apabila seorang
anak melakukan kesalahan atau tindakan negatif, walinya lah yang mempertanggung
jawabkan perbuatan anaknya.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai