Anda di halaman 1dari 14

KEPEMIMPINAN 2

Ilmu Dasar Dalam Manajemen


PENDEKATAN SITUASIONAL
Dalam hal ini kita berusaha untuk mempelajari faktor
situasi di samping faktor tingkah laku hubungan antara
pimpinan dengan bawahan yang telah kita bahas di
muka. Unsur situasi merupakan bentuk dari keadaan
yang ditimbulkan oleh lingkungan (environment) yang
dimiliki atau dihadapi oleh organisasi yang
dipimpinnya. Lingkungan yang berbeda (baik
lingkungan fisik misalnya, kekayaan alam, iklim, suhu
udara, curah hujan, kelembaban dan sebagainya,
maupun lingkungan sosial/kemasyarakatan yang berupa
misalnya jumlah penduduk, gaya hidup, kebudayaan,
kepribadian, kegotongroyongan dan sebagainya) akan
menimbulkan situasi yang berbeda pula.
Sedangkan situasi yang berbeda menuntut penanganan serta
sikap dan tingkah laku/ gaya kepemimpinan yang berbeda pula.
Oleh karena itu kita harus menambahkan unsur
situasi/lingkungan ini terhadap penentuan gaya kepemimpinan
yang telah kita pelajari di muka. Secara matematika dapat kita
kemukakan bahwa:
G = f (p, b, s) di mana,
G = Gaya kepemimpinan.
f= Fungsi.
p = Pimpinan.
b = Bawahan.
s = Situasi.
Faktor p dan b merupakan interaksi antara
pimpinan dan bawahan yang menimbulkan
dimensi tingkah laku kepemimpinan yang
berorientasi tugas (otoriter) serta tingkah laku
yang berorientasi hubungan kemanusiaan
(demokratis), seperti yang telah diuraikan dalam
pendekatan tingkah laku. Ketiga faktor tersebut
(p, b dan s) adalah faktor-faktor yang
menentukan tingkah laku kepemimpinan yang
diperlukan bagi seorang pemimpin. Tingkah laku
(temasuk tingkah laku kepemimpinan) adalah
sesuatu yang dapat dipelajari atau dapat
dibentuk melalui proses belajar. Oleh karena itu
dapat diciptakan bentukbentuk latihan
kepemimpinan yang berhubungan dengan tiga
faktor penentu tersebut yaitu p, b dan s. Dengan
latihan-latihan tertentu calon pemimpin dapat
menemukan tingkah laku/gaya kepemimpinan
yang efektif sesuai dengan berbagai situasi
khusus yang dihadapi oleh organisasi yang
dipimpinnya.
dengan gaya kepemimpinan/manajemen Jepang (kolektivisme).
Bangsa Indonesia memiliki lingkungan tersendiri sehingga akan memiliki situasi nilainilai sosial serta kebudayaan
warisan nenek moyang/leluhurnya sendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Perbedaan-perbedaan tersebut tentu
saja menuntut gaya kepemimpinan/manajemen yang berbeda pula. Perlu kita catat di sini bahwa gaya
kepemimpinan yang berhasil adalah gaya kepemimpinan yang ditopang oleh situasi dan mengakar pada kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat yang melaksanakannya. Gaya kepemimpinan yang tidak sesuai/ditopang oleh nilai-
nilai dan kebudayaan masyarakatnya tidak akan mampu bertahan lama dan berhasil di dalam pelaksanaannya.
Model-model situasional ini ada beberapa macam akan tetapi kita akan membatasi lima model utama yaitu:
a. Schmidt Tannenbaum, Continuum of Leadership Behavior Model.
b. Fiedler's Contingency Model.
c. House M itchell, Path Goal Theory
d. Vroom Yetten, Contingency Model
e. Hersey . Blanchard, Tri Dimentional Leader Effectivness Model.
1. Model Tingkah laku Kepemimpinan dari Schmidt
Tannenbaum
Warren Schmidt dan Robert Tannenbaum pada
tahun l957 menulis sebuah artikel di dalam majalah
Harvard Business Review yang berjudul "How to
Choose a Leadership Pattern". Tulisan ini
merupakan upaya yang pertama kali dan cukup
terkenal yang dilakukan untuk mengupas
masalahmasalah situasional dalam kepemimpinan.
Dalam hal ini pemimpin memilih salah sate dari
tujuh alternatif tingkah laku kepemimpinan
berdasarkan atas tiga faktor penentu yaitu:
pimpinan, bawahan dan situasi atau dengan
formulasi:
k=f(p,b,s)
Keterangan: K = Kepemimpinan f = fungsi p =
pimpinan b = bawahan s = Situasi
Pemimpin yang otoriter cenderung untuk menentukan
tugas-tugas apa yang harus dilakukan oleh bawahan serta
bagaimana mereka harus melakukannya dengan batas-
batas waktu dan pengawasan yang ketat.
sedangkan pimpinan yang demokratis cenderung untuk
membagi tanggung 'awab kepemimpinan dengan para
bawahan seraya mengajak/melibatkan mereka dalam
proses perencanaan maupun pelaksanaan tugas-tugas.
Pemimpin yang otoriter mendasarkan dari pada anggapan
bahwa dia dengan jabatan yang dipangkunya memegang
kekuasaan dan dia adalah penguasa tunggal, sedangkan
bawahan serta orang-orang lain pada umumnya adalah
orang-orang yang malas serta tidak senang bekerja (teori
X). Pemimpin yang demokratis memandang bahwa
jabatan yang dipangkunya merupakan pemberian
kepercayaan dari anggota-anggota organisasi itu
kepadanya. Lebih dari itu dia beranggapan bahwa
bawahan serta manusia pada umumnya adalah pada
dasarnya rajin bekerja apalagi apabila diberikan motivasi
yacig benar (teori Y).
2. Model Empan Papan dari Fiedler
 
Fred Fiedler dianggap sebagai bapak dari model empan papan (contingency) ini. F iedler mengemukakan bahwa
situasi yang dihadapi oleh seorang pemimpin akan ditentukan oleh tiga faktor.
a. Faktor Hubungan Pimpinan Bawahan (HPB) merupakan situasi hubungan antara pimpinan dengan
bawahannya, misalnya apakah seorang pemimpin itu disukai dan dipandang cocok untuk menduduki jabatan
pimpinan tersebut di atas oleh bawahan.
b. Kadar Struktur Penugasan (KSP) merupakan keadaan yang berhuburigan dengan kejelasan bentuk penentuan
tugas ataupun hirarchi dalam struktur organisasi yang ada. Organisasi garis misalnya merupakan bentuk yang
memiliki KSP yang tinggi, sedangkan bentuk struktur organisasi matriks memiliki KSP yang rendah.
c. Kadar kekuatan kekuasaan (K3) yang ada merupakan keadaan tentang posisi/jabatan yang dipegang oleh
seora'ng pimpinan. Ada posisi/jabatan yang memiliki K3 yang tinggi misalnya jabatan dalam kemiliteran
(jendral, kolonel, letnan dan sebagainya); sebaliknya jabatan seperti: ketua yayasan, ketua asosiasi penggemar
burung, ketua yayasan lembaga konsumen dan sebagainya memiliki K3 yang rendah.
3. Teori Jalur Tujuan dari House Mitchell (House Mitchell Path Goal T heory)
 
Robert House dan Terence Mitchell mendasarkan din pada model Ohio State University, akan tetapi
menambahkan bahwa orientasi hubungan kemanusiaan ataupun orientasi tugas akan efektif apabila diterapkan
terhadap situasi yang cocok bagi masing-masing orientasi tersebut.
Menurut teori ini tingkah laku pemimpin dianggap efektif apabila dia mampu mempengaruhi bawahan
sehingga mereka menjadi terdorong giat bekerja, meningkatkan semangat kerja serta mereka merasa puas dan
bangga terhadap pekerjaannya. T eori ini disebut jalur-tujuan karena menitikberatkan pada bagaimana
pemimpin mempengaruhi pandangan bawahan akan tujuan pribadi mereka (bawahan) sebagai jalur/jalan
menuju tercapainya tuiuan organisasi sebagai keseluruhan. Pemimpin kemudian berusaha menunjukkan bahwa
tujuan pribadi mereka itu berhubungan erat dengan tujuan organisasi sebagai keseluruhan.
4. Vroom Yettenn Contingency Model
Dalam model situasional yang dikemukakan oleh Victor Vroom dan Phillip Yetten

Model ini menerangkan bahwa unsur situasi internal yang dapat berupa misalnya: kondisi pendidikan dan
Oenghasilan bawahan tingkat keberhasilan yang telah dicapai perusahaan; akan berinteraksi dengan unsur
kepribadian pimpinan seperti pengalaman, pengetahuan, keterampilan berkomunikasi serta sifat-sifat pribadi
yang lain yang dimiliki oleh pemimpin itu. Interaksi ini akan menimbulkan tingkah laku/gaya kepemimpinan
yang diperlakukan oleh pimpinan tersebut yang kemudian akan mempengaruhi tingkat efektivitas pencapaian
tujuan organisasi. Akan tetapi tingkat efektivitas tersebut masih akan dipengaruhi pula oleh unsur situasi ekstern
misalnya kondisi perekonomian pada umumnya, kondisi sosial kemasyarakatan, kondisi politik pemerintahan
yang berlaku dan kondisi persaingan.
5. Model Kepemimpinan Tiga Dimensi dari Hersey dan
Blanchard
Model yang diciptakan oleh Paul Hersey dan Keneth Blanchard
ini mendasarkan diri pada model yang telah dikemukakan oleh
Ohio State University, akan tetapi ditambahkan unsur situasi
terhadapnya.
dapat disimpulkan bahwa keempat gaya kepemimpinan yang ada dan dipilih oleh
seorang pemimpin dapat efektif dapat pula tidak efektif. Hal ini akan tergantung
dari situasi yang dihadapi oleh pimpinan itu. Apabila situasi yang dihadapi cocok
dengan gaya kepemimpinan yang dijalankan maka gaya kepemimpinan itu akan
berhasil atau efektif, sebaliknya bila tidak cocok maka akan tidak efektif. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yang efektif
untuk semua situasi. Agar efektif. gaya kepemimpinan harus diubah dan
disesuaikan dengan situasi yang dihadapinya.
Sebagai ilustrasi misalnya suatu barisan pemadam kebakaran yang sedang
menghadapi situasi kebakaran yang harus segera dipadamkannya,
kepemimpinan akan efektif apabila digunakan gaya penugasan tinggi -hubungan
rendah (PT HR). Sedangkan apabila keadaan tersebut telah lewat dan ban'san
pemadam kebakaran itu mulai menunaikan tugas untuk merawat membersihkan
alat-alat pemadam kebakarannya, maka dalam situasi tersebut akan tidak efektif
apabila pimpinan tetap menggunakan gaya PT HR; dan akan efektif bila
diterapkan gaya penugasan rendah hubungan tinggi (PR 4 HT); atau mungkin PT
HT.
Thank You
Insert the Sub Title of Your Presentation

Anda mungkin juga menyukai