Anda di halaman 1dari 21

Perang Diponegoro

(1825-1830)
Pengertian Perang Diponegoro

Perang Diponegoro (atau dikenal dengan


sebutan Perang Jawa) adalah perang besar dan
berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di
Pulau Jawa.
Pemimpin Perang

Jenderal Hendrik Merkus de Kock Pangeran Diponegoro


Sebab Terjadinya Perang Diponegoro

Penyebab

Sebab Umum Sebab Khusus


Sebab
Umum
Timbulnya rasa kekecewaan di kalangan para ulama, karena masuknya budaya barat yang tidak
sesuai dengan ajaran agama Islam

Wilayah kesultanan Mataram yang semakin sempit dan para raja sebagai pengusaha Pribumi yang
mulai kehilangan kedaulatan.

Belanda ikut campur tangan dalam masalah kesultanan

Sebagian dari bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti adat istiadat dari
keraton.

Para bangsawan juga merasa kecewa karena Belanda telah menghapus sistem penyewaan tanah
oleh para bangsawan kepada petani

Kehidupan rakyat yang semakin menderita dan juga disuruh kerja paksa dan harus membayar
berbagai macam pajak
Sebab Khusus

1.  Provokasi yang dilakukan oleh pihak


Belanda untuk merencanakan
pembuatan jalan menerobos tanah
pangeran Diponegoro dan juga tanah
makam para leluhur yang keramat di
Tegalrejo
2. Pangeran Diponogoro tersingkir dari
kalangan elite politik
Menegaskan penguasaan
Belanda atas Pulau Jawa

Hasil Perang Ditangkap dan diasingkannya


Diponegoro pangeran Diponegoro

Memakan korban sebanyak


8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan
200.000 orang Jawa
Kronologi Perang Diponegoro
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda
dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem
Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Pada
saat itu Daendels ditugaskan untuk mempersiapkan
Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan
Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Prancis). pada
tahun 1811 pasukan Inggris
mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda

Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford


Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan
Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu
Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan
Sultan Hamengkubuwana II turun tahta secara tidak hormat dan
digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III.
Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi.
Pada tanggal 6 Desember
1822, Hamengkubuwana IV
meninggal (19 tahun) Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat
menjadi wali bagi keponakannya bersama
dengan Mangkubumi.

Jonkheer Anthonie Hendrik Smisaert


bertindak keterlaluan dengan terlibat dalam
penunjukkan Sultan pada bulan Juni 1823.
Di mata orang Jawa hal ini adalah Pangeran Diponegoro menerima posisi Wali
Penghinaan terhadap martabat mereka. Sultan bersama Mangkubumi, Ratu Ageng dan
Ratu Kencono. Namun posisi pangeran
semakin tidak dianggap.
Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat
penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan
dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan
kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa
lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran
Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil
menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo
sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama
disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober
1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya yang berada di Tegalrejo untuk membahas
mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk
melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan
makanan.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang
Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran
frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit.
Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh
Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya
sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda
pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah
direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula
sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke
wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada
bulan-bulan penghujan, para senopati menyadari sekali untuk bekerja
sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim
penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk
gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat
gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan
sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap
Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan
Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo
menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri
dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam
tanggal 8 Januari 1855.
Akhir perang
Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1832 seluruh
raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda
kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru
hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di
kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti
Wonogori, karanganyar yang banyak di huni oleh Warok.
Namun, pembangunan Patok-patok yang telah
Pada pertengahan
jalan malah dibelokkan dicabut kembali dipasang
bulan Mei 1825,
ke makam para pahlawan sehingga Pangeran
Smissaert memutuskan
Pangeran Diponegoro Diponegoro menyuruh
untuk memperbaiki
dengan dipasangkan mengganti patok-patok
jalan-jalan kecil di sekitar
patok-patok oleh orang dengan tombak sebagai
Yogyakarta
kepatihan pernyataan perang.

Pada hari Rabu, 20 Juli Penyerangan di Tegalrejo Perang Sabil


1825, pihak istana memulai perang
mengutus dua bupati Diponegoro yang
keraton senior yang berlangsung selama lima Bagi Diponegoro dan para pengikutinya,
memimpin pasukan Jawa- tahun. Diponegoro perang ini merupakan perang jihad
Belanda untuk menangkap memimpin masyarakat melawan Belanda dan orang Jawa murtad.
Pangeran Diponegoro dan Jawa Sebagai seorang muslim yang saleh,
Mangkubumi di Tegalrejo Diponegoro merasa tidak senang terhadap
sebelum perang pecah. religiusitas yang kendur di istana
Yogyakarta akibat pengaruh masuknya
Belanda, disamping kebijakan-kebijakan
pro-Belanda yang dikeluarkan istana
Materi Tambahan
Sinofobia Penyebab adanya sikap sinofobia pada
anti-tionghoa
masyarakat Jawa

Masyarakat terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat yang diberi wewenang dalam mengurus
Pada awalnya pajak
masyarakat tionghoa di
anggap sekutu oleh Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh Daendels (1809) menyebabkan bupati-bupati lokal
kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa
Raden Ronggo, namun
saat adanya
Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi politik dengan etnis Tionghoa sesuai peringatan
pemberontakan, leluhurnya yaitu Sultan Mangkubumi
masyarakattionghoa
dijadikan musuh karena
munculnya sikap anti-
tionghoa pada
masyawakat Jawa
Penyerangan terhadap
etnis Tionghoa di Jawa
Tengah dan Jawa Timur
terjadi semenjak awal
peperangan
Komunitas Tionghoa di
Bagelen sempat
bertahan hingga tahun
1827 sebelum akhirnya Meskipun demikian,
diungsikan ke Wonosobo masyarakat Tionghoa di
pesisir pantai utara
(sekitar Tuban dan
Lasem) ikut memasok
Akibatnya,setelah
pasukan Diponegoro
perang berakhir,
dengan senjata, uang,
masyarakat Tionghoa
dan opium
dan masyarakat lain di
Jawa memiiki rasa saling
curiga akibat trauma
selama perang,
Teri
ma
Kasih

Anda mungkin juga menyukai