Anda di halaman 1dari 25

Perpajakan

Kelompok 4
Nama : Andhika Herlambang (1722099)
Ari Susanto (1722103)
Aryanto (1722108)
Fajar Nugroho (1722121)

Kelas : PP IVA
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24)
Pengertian PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24)
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang
mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di
luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di
Indonesia.
Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat
dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri,
asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak
yang ingin dibayar di Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak di luar
negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda
Ada beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki
kewajiban untuk membayar pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga
di luar negeri. Oleh karena itu, jenis pajak ini, yaitu PPh Pasal
24 (Pajak Penghasilan Pasal 24), mungkin dapat berlaku untuk Anda.
Sumber Penghasilan Kena Pajak yang dapat digunakan untuk memotong
hutang pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan
penggunaan harta-benda bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-
benda tidak bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan
atau tanda keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah
perusahaan pertambangan.
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu
bentuk usaha tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai
kredit pajak di Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada
Anda, sehingga nilai kredit Anda kurang untuk menutup pajak
terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah terhutang
tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.
Apabila penghasilan luar negeri mengalami perubahan, maka wajib
pajak diharuskan melakukan pembetulan SPT tahun pajak yang
bersangkutan

Mekanisme Penghitungan PPh Pasal 24


Berikut sedikit ilustrasi penghitungan PPh Pasal 24:
Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di
dalam negeri sebesar Rp 25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar
Rp 10.000.000.000. Asumsi pajak di luar negeri sebesar 20%.
Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000
(Penghasilan dalam negeri + penghasilan luar negeri)
Total PPh Terutang:
25% × Rp 35.000.000.000=Rp 8.750.000.000

PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:


(Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) ×Total PPh Terutang
(Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000
=Rp 2.500.000.000

Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar
Rp 2.500.000.000. Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai
pengurang pajak dalam negeri.
Namun ingat, apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang
yang sudah dibayarkan pada pajak dalam negeri, terlebih dahulu Anda harus
melapor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan melaporkannya
pada saat melapor SPT Tahunan.
Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar
negeri dan dokumen-dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib
pajak di luar negeri.
Koreksi PPh Pasal 24
Adanya koreksi di luar negeri, yang menyebabkan pajak atas
penghasilan terutang di luar negeri dilaporkan lebih besar dalam SPT
Tahunan, dan menyebabkan pajak di luar negeri tertera kurang bayar,
maka akan berakibat kemungkinan PPh yang di Indonesia menjadi
kurang bayar.
Nah, untuk yang satu ini, wajib pajak bisa melakukan koreksi sendiri
dengan melakukan pembetulan atas SPT. Jika pembetulan sudah
dilakukan, maka bunga terutang atas pajak yang kurang dibayar tidak
akan ditagih.
Jika koreksi yang terjadi menyebabkan penghasilan terutang luar
negeri lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam SPT, maka akan
menyebabkan laporan pajak luar negeri lebih bayar.
Adanya koreksi ini mengakibatkan PPh terutang di Indonesia juga
menjadi lebih kecil. Akibatnya PPh kelebihan bayar. Kelebihan ini bisa
dikembalikan setelah dilakukan perhitungan dengan utang pajak yang
lain. 
Persyaratan Administratif Pengkreditan Pajak Luar Negeri
Seperti yang dikatakan pada poin sebelumnya, wajib pajak yang telah
membayarkan pajaknya di luar negeri, kemudian ingin mengkreditkannya di
Indonesia, terlebih dahulu harus menyampaikan permohonan ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP).
Permohonan kemudian dilaporkan bersamaan pada saat pelaporan SPT
Tahunan dengan melampirkan sejumlah dokumen yakni:
1. Laporan keuangan dari luar negeri.
2. Fotokopi SPT (Tax Return) yang dilaporkan di luar negeri.
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Demi meringankan beban pajak penghasilan yang diperoleh di luar


negeri, maka penghasilan yang diterima di luar negeri bisa dikreditkan
terhadap pajak terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.
Lalu, apakah PPh Pasal 24 dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang di Indonesia? Jawabannya, bisa. Akan tetapi pengenaan pajaknya
harus dalam tahun yang sama. Selain itu, besarnya kredit pajak yang dapat
dikreditkan sama dengan pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri.
Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayarkan di Luar Negeri
Berikut ini poin-poin yang perlu Anda ketahui tentang mekanisme pengkreditan PPh
yang dibayarkan di luar negeri:
1. Pajak Penghasilan yang terutang di luar negeri dapat dikreditkan dengan PPh yang
terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun
pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di
Indonesia
3. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih
rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang
dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh
Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh
Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan
dari luar negeri lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak)
4. Apabila m=penghasilan dari luar negeri dari beberapa negara, maka penghitungan PPh
pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara
5. Penghasilan Kena Pajak yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat 2) dan/atau
penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri tidak dapat digabungkan dengan
penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri
6. Dalam hal jumlah PPh yang dibayarkan atau terutang di luar negeri melebihi PPh
 Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di
tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi
7. Dalam melaksanakan pengkreditan PPh luar negeri, wajib pajak wajib
menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian
SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan:
• Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri,
• Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri,
• Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.

8. Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang


jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran seperti yang disebutkan
di atas karena alasan-alasan yang ada di luar kekuasaan wajib pajak
9. Dalam hal terjadinya perubahan besaran penghasilan yang berasal dari
luar negeri, wajib pajak perlu bahkan wajib melakukan pembetulan
SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-
dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut
10. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang bayar, maka
atas kekurangan bayar tersebut tidak akan dikenakan sanksi bunga
11. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas
kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Pengkreditan Pajak Penghasilan yang Telah Dipotong Atas Dividen
Proses pengkreditan pajak penghasilan yang telah dipotong atas dividen yang diterima dari
BULN Non-bursa terkendali langsung pada Tahun pajak dibayarkan/dipotong pajak
penghasilan tersebut.
Hal ini diatur dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak
Dalam Negeri Atas Penyetaraan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha
yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.
Kemudian, wajib pajak dalam negeri yang mengkreditkan pajak penghasilannya harus
menyampaikan penghitungan pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar atau
dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan beberapa dokumen sebagai berikut:
1. Laporan keuangan.
2. Fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, dalam hal terdapat kewajiban
untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan.
3. Penghitungan atau rincian laba dalam 5 tahunan terakhir.
4. Bukti pembayaran pajak penghasilan atau bukti pemotongan pajak penghasilan atas
dividen yang diterima.

Penyampaian penghitungan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT


Tahunan PPh.
PPh Pasal 22 (Pajak Penghasilan Pasal 22)
Menteri Keuangan dapat menetapkan:
1. bendahara pemerintah untuk memungut PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang;
2. badan-badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22 dari Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22  dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.
Berdasarkan penjelasan Pasal 22 UU PPh, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:
4. bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara
adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
5. badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang
tertentu antara lain otomotif dan semen; dan
6. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan
dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang
yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti
kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta
kendaraan sangat mewah.
Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak
yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan NPWP.

Pemungut PPh Pasal 22


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012
tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di
Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, Pemungut PPh Pasal 22
adalah:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
2. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang;
3. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
 PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero); dan
 Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,
 berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya.

6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
kepada distributor di dalam negeri;
7. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas;
9. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-
bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau
ekspornya.

Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja adalah
industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang
terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan
usahanya:
10. mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan; dan
11. menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan.
Tarif PPh Pasal 22
Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai
berikut:
1. Atas impor:
 barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013, sebesar 7,5%
(tujuh setengah persen) dari nilai impor;
 selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1,
yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua
setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum,
dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;
 selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1,
yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5%
(tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan/atau
 yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga
jual lelang.
2. Atas pembelian barang bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
3. Atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)
oleh bendahara pengeluaran dan pembelian barang, sebesar 1,5% (satu setengah
persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
4. berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi
delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sebesar 1,5% (satu setengah
persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
5. pembelian bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya oleh BUMN (PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan
(Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT
Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) dan Bank BUMN, sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh
produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas adalah sebagai berikut:
a) bahan bakar minyak sebesar:
 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak

termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun


pengisian bahan bakar umum Pertamina;
 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak

Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian


bahan bakar umum bukan Pertamina;
 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak

Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada pihak-pihak selain di


atas;
b) bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
c) pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
7. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi:
a) penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima
persen);
b) penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
c) penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
d) penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar
0,45% (nol koma empat puluh lima persen);
e) penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dari dasar
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
f) Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima
persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
g) Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh
badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% (nol
koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea
Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan kepabeanan di bidang impor.
Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud di atas yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.

Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22


1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai;
3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali;
4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
a) pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara
Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara
pengeluaran, KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)), yang
jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
b) pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu
dan Bank BUMN) yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah;
c) pembayaran untuk:
 pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,

benda-benda pos;
 pemakaian air dan listrik.

6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan


dari emas untuk tujuan ekspor;
7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan
dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas barang impor sebagaimana dimaksud pada point 2 di atas,
tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea
masuk sebesar 0% (nol persen).
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 1 dan 6
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan
Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 4, 5, dan 7 di
atas dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
Ketentuan Pengecualian pengenaan PPh Pasal 22 atas
kegiatan Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea
Masuk dan/atau PPN, atas impor sementara dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal
Pajak.
Saat Terutang dan Pembayaran
PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan
dan tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, Pasal 22
terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas
impor.
PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA,
bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, dan pembelian
barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh BUMN tertentu
dan Bank BUMN, terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Badan usaha yang bergerak dalam
bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan
industri farmasi dan atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang
dilakukan oleh ATPM, APM dan importir umum kendaraan bermotor terutang dan
dipungut pada saat penjualan.
PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas
terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery
order).
PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul terutang dan
dipungut pada saat pembelian.
Cara Penyetoran
1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak.
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara
Pemerintah dan KPA, bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat
Perintah Membayar, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak. Surat Setoran Pajak
tersebut berlaku juga sebagai Bukti Pemungutan Pajak
3. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain , wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak.
Pemungut wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22.
Kewjiban Pelaporan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak wajib melaporkan
hasil pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke
Kantor Pelayanan Pajak.
Semua Pemungutan PPh Pasal 22 bersifat tidak final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi Wajib
Pajak yang dipungut, kecuali atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar
gas, dan pelumas oleh Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan
bakar gas, dan pelumas kepada penyalur/agen
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai