Kelompok 4
Nama : Andhika Herlambang (1722099)
Ari Susanto (1722103)
Aryanto (1722108)
Fajar Nugroho (1722121)
Kelas : PP IVA
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24)
Pengertian PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24)
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang
mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di
luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di
Indonesia.
Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat
dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri,
asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak
yang ingin dibayar di Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak di luar
negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda
Ada beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki
kewajiban untuk membayar pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga
di luar negeri. Oleh karena itu, jenis pajak ini, yaitu PPh Pasal
24 (Pajak Penghasilan Pasal 24), mungkin dapat berlaku untuk Anda.
Sumber Penghasilan Kena Pajak yang dapat digunakan untuk memotong
hutang pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan
penggunaan harta-benda bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-
benda tidak bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan
atau tanda keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah
perusahaan pertambangan.
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu
bentuk usaha tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai
kredit pajak di Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada
Anda, sehingga nilai kredit Anda kurang untuk menutup pajak
terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah terhutang
tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.
Apabila penghasilan luar negeri mengalami perubahan, maka wajib
pajak diharuskan melakukan pembetulan SPT tahun pajak yang
bersangkutan
Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar
Rp 2.500.000.000. Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai
pengurang pajak dalam negeri.
Namun ingat, apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang
yang sudah dibayarkan pada pajak dalam negeri, terlebih dahulu Anda harus
melapor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan melaporkannya
pada saat melapor SPT Tahunan.
Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar
negeri dan dokumen-dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib
pajak di luar negeri.
Koreksi PPh Pasal 24
Adanya koreksi di luar negeri, yang menyebabkan pajak atas
penghasilan terutang di luar negeri dilaporkan lebih besar dalam SPT
Tahunan, dan menyebabkan pajak di luar negeri tertera kurang bayar,
maka akan berakibat kemungkinan PPh yang di Indonesia menjadi
kurang bayar.
Nah, untuk yang satu ini, wajib pajak bisa melakukan koreksi sendiri
dengan melakukan pembetulan atas SPT. Jika pembetulan sudah
dilakukan, maka bunga terutang atas pajak yang kurang dibayar tidak
akan ditagih.
Jika koreksi yang terjadi menyebabkan penghasilan terutang luar
negeri lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam SPT, maka akan
menyebabkan laporan pajak luar negeri lebih bayar.
Adanya koreksi ini mengakibatkan PPh terutang di Indonesia juga
menjadi lebih kecil. Akibatnya PPh kelebihan bayar. Kelebihan ini bisa
dikembalikan setelah dilakukan perhitungan dengan utang pajak yang
lain.
Persyaratan Administratif Pengkreditan Pajak Luar Negeri
Seperti yang dikatakan pada poin sebelumnya, wajib pajak yang telah
membayarkan pajaknya di luar negeri, kemudian ingin mengkreditkannya di
Indonesia, terlebih dahulu harus menyampaikan permohonan ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP).
Permohonan kemudian dilaporkan bersamaan pada saat pelaporan SPT
Tahunan dengan melampirkan sejumlah dokumen yakni:
1. Laporan keuangan dari luar negeri.
2. Fotokopi SPT (Tax Return) yang dilaporkan di luar negeri.
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
kepada distributor di dalam negeri;
7. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas;
9. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-
bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau
ekspornya.
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja adalah
industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang
terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan
usahanya:
10. mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan; dan
11. menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan.
Tarif PPh Pasal 22
Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai
berikut:
1. Atas impor:
barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013, sebesar 7,5%
(tujuh setengah persen) dari nilai impor;
selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1,
yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua
setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum,
dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;
selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1,
yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5%
(tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan/atau
yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga
jual lelang.
2. Atas pembelian barang bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
3. Atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)
oleh bendahara pengeluaran dan pembelian barang, sebesar 1,5% (satu setengah
persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
4. berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi
delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sebesar 1,5% (satu setengah
persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
5. pembelian bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya oleh BUMN (PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan
(Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT
Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) dan Bank BUMN, sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh
produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas adalah sebagai berikut:
a) bahan bakar minyak sebesar:
0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak
benda-benda pos;
pemakaian air dan listrik.