Anda di halaman 1dari 20

SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

Kelompok 2
• Antung Berlianti (2001016090)
• Gaby Tessa Leonicha (2001036121)
Istilah Pimpinan Dalam Islam

Pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi


amanah untuk mengurusi permasalahan ummat.
Terdapat 3 istilah pimpinan dalam islam; khalifah,
imam, dan amirul mukminin
1. Khalifah
khalifah adalah pengganti atau penerus Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Khalifah juga
berarti seseorang yang diberi kewenangan untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-
ketentuan orang yang memberi wewenang.

Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: Kekhalifahan
Rasyidin (632–661), Kekhalifahan Umayyah (661–750), Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 dan
1261–1517), dan Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924)

Kekhalifahan dimulai seiring diangkatnya Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah
meninggalnya Nabi Muhammad pada tahun 632M. Abu Bakar dan tiga penerusnya, semuanya sahabat
Nabi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad, dikelompokkan sebagai Khulafaur
Rasyidin atau Kekhalifahan Rasyidin. Pemilihan keempat khalifah pertama ini didasarkan melalui
musyawarah dan kepantasan pribadi calon sehingga Kekhalifahan Rasyidin kerap dipandang sebagai
bentuk awal demokrasi Islam.
2. Imam

Imam dalam Bahasa Arab adalah sebuah posisi pemimpin dalam agama Islam. Dalam


Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri, kata imam diartikan sebagai pemimpin
shalat, pemimpin atau kepala negeri, pemimpin mahzab, pastor yang memimpin upacara,
padri dan lain sebagainya. Dalam berbagai keadaan kalimat imam juga bisa berarti
pemimpin salat berjamaah dan kalimat imam juga bisa digunakan untuk gelar para ilmuwan
 agama Islam terkenal. Bagi muslim sunni, imam disinonimkan dengan khalifah sebab arti
keduanya adalah sama-sama pemimpin. Adapun bagi muslim syiah, penggunaan kata imam
merujuk pada sahabat Nabi Muahammad SAW yakni Ali Bin Abu Thalib yang sangat
mereka muliakan.
3. Amirul Mukminin

Amirul Mukminin dalam Bahasa Arab adalah sebuah gelar dalam tradisi awal Islam yang berarti
"Pemimpin Orang-Orang Beriman".

Ensiklopedia Islam menyebutkan amirul mukminin dilekatkan pada seseorang yang memegang
kekuasaan dalam menyelenggarakan dan mengatur berbagai urusan pemerintahan Islam.
Kepemerintahan Islam kerap pula disebut dengan imarah dan kepala negaranya adalah amir. Sebutan
amir tercetus sejak pertemuan di Saqifah Bani Saidah ketika merundingkan siapa yang menggantikan
Nabi Muhammad sebagai pemimpin dalam pemerintahan dan bidang agama. Namun, selanjutnya
pengganti Muhammad memperoleh gelar khalifah. Umar bin Khattab yang menggantikan Abu Bakar
disebut khalifah Rasulullah SAW. Ini dianggap terlalu panjang, kemudian muncul kesepakatan untuk
memanggilnya dengan gelar amirul mukminin
Fase kepemimpinan Dalam Islam

Terbagi menjadi 3, yaitu masa kenabian, masa


khulafa’ Ar-rasyidin, dan masa kerajaan Ummayah,
‘Abbasiyah, dan Ustmaniyah
1. Masa Kenabian
Pada masa Nabi Muhammad SAW., kaum muslimin berada dalam satu Jama’ah dan Imamah. Mereka
hidup kompak di bawah pimpinan Allah dan Rasul-Nya. Nabi Muhammad SAW. tidak pernah
mendirikan perkumpulan, perserikatan, atau partai, apalagi negara, untuk mengamalkan wahyu Allah
yang disampaikan kepada beliau. Setelah wahyu diterima, beliau mengamalkannya dan mendakwahkan
kepada ummat manusia. Kaum muslimin pun, memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti
beliau. Dengan berjama’ah mereka mengamalkan wahyu Allah dan mengikuti perbuatan yang
dicontohkan oleh Rasulullah. Orang pertama yang memenuhi seruan Rasulullah ialah isteri beliau,
Khadijah, dari kalangan wanita, Abu Bakar dari kalangan pria, serta Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin
Haritsah dari kalangan pemuda. Jumlah kaum muslimin dan muslimat semakin hari semakin bertambah
banyak, termasuk sahabat-sahabat besar, seperti Utsman bin Affan, Hamzah Bin Abdul Muthalib, Umar
bin Khaththab, dan lain-lain. Kaum muslimin yang mengikuti Rasulullah SAW merupakan jama’ah
pertama, Jama’ah Muslimin yang langsung dipimpin oleh beliau sendiri. Masa kepemimpinan
Rasulullah SAW dalam kehidupan berjama’ah bersama kaum muslimin kurang lebih selama 23 tahun,
yakni 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.
2. Masa Khulafa’ Ar-rasyidin
• Setelah Nabi Muhammad mangkat pada tahun 632M, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin umat Islam di
Masjid Nabawi. Dikenal dengan sebutan Ash-Shiddiq yang berarti "Tepercaya", Abu Bakar termasuk salah satu
pemeluk Islam awal dan melalui putrinya, 'Aisyah, dia juga merupakan mertua Nabi. Abu Bakar sangat menjaga
agar kebijakan yang dia ambil tidak berbeda dengan Nabi Muhammad. Setelah Abu Bakar mangkat pada 634M
dengan meninggalkan keadaan kekhalifahan yang mulai stabil.

• 'Umar bin Khattab diangkat sebagai khalifah kedua. Sebagaimana Abu Bakar, 'Umar juga merupakan ayah mertua
Nabi melalui Hafshah. Di masanya, 'Umar melakukan berbagai pembaharuan dan perluasan. Tapal batas
kekhalifahan meluas keluar dari semenanjung Arabia, mengakhiri riwayat Kekaisaran Sasaniyah dan mengambil
alih dua pertiga wilayah Kekaisaran Romawi Timur. Segala capaiannya menjadikan 'Umar sebagai salah satu
khalifah paling berpengaruh sepanjang sejarah.

• 'Utsman bin 'Affan meneruskan tampuk kekhalifahan sepeninggal 'Umar dan berbeda dengan pendahulunya,
'Utsman lebih memberikan kekuasaan otonomi yang lebih longgar pada bawahannya. 'Ali mewarisi kedudukan
khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit dalam sejarah Islam lantaran
pada saat inilah terjadi perang saudara Islam pertama yang berawal dari terbunuhnya 'Utsman. 'Ali dibunuh
kelompok Khawarij dan putranya, Hasan, diangkat menjadi khalifah berikutnya pada tahun 661M. Namun
beberapa bulan setelahnya, Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu'awiyah demi menghindari
• Setelah Nabi Muhammad mangkat pada tahun 632M, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin umat Islam di
Masjid Nabawi. Dikenal dengan sebutan Ash-Shiddiq yang berarti "Tepercaya", Abu Bakar termasuk salah satu
pemeluk Islam awal dan melalui putrinya, 'Aisyah, dia juga merupakan mertua Nabi. Abu Bakar sangat menjaga
agar kebijakan yang dia ambil tidak berbeda dengan Nabi Muhammad. Setelah Abu Bakar mangkat pada 634M
dengan meninggalkan keadaan kekhalifahan yang mulai stabil.

• 'Umar bin Khattab diangkat sebagai khalifah kedua. Sebagaimana Abu Bakar, 'Umar juga merupakan ayah mertua
Nabi melalui Hafshah. Di masanya, 'Umar melakukan berbagai pembaharuan dan perluasan. Tapal batas
kekhalifahan meluas keluar dari semenanjung Arabia, mengakhiri riwayat Kekaisaran Sasaniyah dan mengambil
alih dua pertiga wilayah Kekaisaran Romawi Timur. Segala capaiannya menjadikan 'Umar sebagai salah satu
khalifah paling berpengaruh sepanjang sejarah.

• 'Utsman bin 'Affan meneruskan tampuk kekhalifahan sepeninggal 'Umar dan berbeda dengan pendahulunya,
'Utsman lebih memberikan kekuasaan otonomi yang lebih longgar pada bawahannya. 'Ali mewarisi kedudukan
khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit dalam sejarah Islam lantaran
pada saat inilah terjadi perang saudara Islam pertama yang berawal dari terbunuhnya 'Utsman. Hal ini menjadikan
perluasan wilayah kekhalifahan dapat dilangsungkan secara lebih mandiri, sehingga dapat mencapai wilayah
yang lebih jauh.

• 'Ali mewarisi kedudukan khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit
dalam sejarah Islam lantaran pada saat inilah terjadi perang saudara Islam pertama yang berawal dari terbunuhnya
'Utsman. 'Ali dibunuh kelompok Khawarij dan putranya, Hasan, diangkat menjadi khalifah berikutnya pada tahun
3. Masa Kerajaan Umayyah, ’Abbasiyah dan Ustmaniyah

A. Masa Kerajaan Umayyah

Setelah Hasan bin 'Ali turun takhta pada tahun 661M, Mu'awiyah berkuasa sebagai khalifah. Penetapan
putranya sebagai putra mahkota membuat bentuk kekhalifahan berubah menjadi monarki dinasti yang
kedudukan kepala negaranya diwariskan hanya di antara keluarga besar penguasa sebelumnya, dan dari
sinilah Wangsa Umayyah lahir. Secara silsilah, khalifah dari Kerajaan Umayyah terbagi menjadi dua:
• Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari Abu Sufyan bin Harb. Ada tiga orang
khalifah yang berasal dari garis Sufyani.
• Kelompok Marwani, merujuk kepada Marwan bin al-Hakam dan keturunannya. Ada sebelas orang
khalifah yang berasal dari garis Marwani.
Abu Sufyan dan Al-Hakam (ayah Marwan) adalah cucu dari Umayyah bin 'Abd asy-Syams dan dari
sini nama Bani Umayyah ditetapkan.
3. Masa Kerajaan Umayyah, ’Abbasiyah dan Ustmaniyah
Capaian kerajaan Umayyah:

• Kerajaan Umayyah melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan, meliputi kawasan Transoxiana,


Sindh, Arab Maghrib, dan Al-Andalusia, menjadikan kekhalifahan saat itu sebagai salah satu
kekaisaran terbesar di dunia yang pernah ada, baik dari segi luas wilayah maupun populasi, dengan
luas mencakup 11,100,000 km2 dengan penduduk sekitar 33 juta jiwa
• Pada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi. Perpindahan agama besar-
besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah
• Banyaknya Pembangunan bangunan Muslim bersejarah pada masa ini, seperti Kubah Shakhrah di
kompleks Masjid Al Aqsha dan Masjid Agung Umayyah
• Umayyah juga mampu menyerap dan menghidupkan berbagai kebudayaan asli dari bangsa-bangsa
yang telah tergabung dalam naungan kekhalifahan, salah satunya tercermin dari arsitektur. Masjid
Agung Umayyah sebelumnya merupakan katedral Kristen yang dipersembahkan untuk Yohanes
Pembaptis (Yahya dalam Islam) yang awalnya merupakan kuil Romawi untuk pemujaan Dewa
Yupiter.
3. Masa Kerajaan Umayyah, ’Abbasiyah dan Ustmaniyah

Kritikan terhadap kerajaan Umayyah:

• sangat menganakemaskan Muslim Arab dibandingkan Muslim dari etnis lain yang jumlahnya
semakin besarPada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi. Perpindahan
agama besar-besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah
• Pembunuhan Husain dalam Pertempuran Karbala pada tahun 680M oleh pihak Umayyah
menjadikan perpecahan antara Sunni dan Syiah semakin nyata. Perang saudara juga melanda
kekhalifahan mulai tahun 744M, menjadikan kendali Wangsa Umayyah atas negara melemah
• Gelombang non-Arab yang menjadi mualaf juga mengubah keadaan dalam negeri kekhalifahan
karena banyak dari mereka yang lebih terdidik dari bangsa Arab sendiri, sehingga mengubah
keadaan politik dalam kekhalifahan
Pendukung Bani Hasyim dan garis keturunan 'Ali berhasil meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750M.
Banyak anggota Wangsa Umayyah yang dibunuh setelahnya, di antaranya adalah Marwan bin Muhammad yang
merupakan khalifah terakhir dari Wangsa Umayyah di Syam.
3. Masa Kerajaan Umayyah, ’Abbasiyah dan Ustmaniyah
B. Masa kerajaan Abbasiyah

Kerajaan Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada tahun 750M. Keluarga besar ini
merupakan keturunan dari 'Abbas bin 'Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad. Berpusat di kawasan Mesopotamia, Abbasiyah
mengadopsi secara besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan. Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah
pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia saja

Salah satu hal paling menonjol pada masa kekuasaan Abbasiyah adalah dukungan besar mereka pada ilmu pengetahuan, salah satunya
adalah pembangunan Baitul Hikmah, tempat penerjemahan, pengumpulan, penggabungan, dan pengembangan ilmu dari kebudayaan
Romawi kuno, Tiongkok, Persia, India, Mesir, Afrika Utara, Yunani, dan Romawi Timur. Tidak hanya menjadi jantung kekuasaan dan
pemerintahan, Baghdad, dan dunia Islam secara umum, juga menjelma menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, pendidikan, dan
kesehatan pada masa yang dikenal dengan zaman keemasan Islam. Pada berbagai bidang - matematika, astronomi, alkimia, kedokteran,
optik, dan sebagainya - ilmuwan kekhalifahan berada pada garda terdepan dalam kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu. Sastra dan
literatur juga menjadi salah satu perhatian pada masa ini. Salah satu fiksi dari dunia Islam yang terkenal hingga saat ini, “
Seribu Satu Malam” yang merupakan kumpulan hikayat dan legenda, utamanya dikumpulkan pada masa Abbasiyah.

Berbeda pada masa sebelumnya, kekhalifahan sudah tidak bisa dikatakan sebagai negara kesatuan lagi. Banyak dinasti baru bermunculan
dan pemimpin mereka berkuasa secara berdaulat tanpa campur tangan khalifah. Peran khalifah sebagai kepala negara baru benar-benar
lenyap setelah Hulagu Khan menduduki Baghdad pada tahun 1258M dan membunuh Khalifah 'Abdullah Al-Musta'shim. Setelah peristiwa
tersebut, dunia Islam mengalami kekosongan dari kepemimpinan khalifah selama sekitar tiga tahun. Dari naiknya Kerajaan Abbasiyah
setelah penggulingan Umayyah sampai jatuhnya Baghdad, terdapat 37 khalifah.
3. Masa Kerajaan Umayyah, ’Abbasiyah dan Ustmaniyah
B. Masa kerajaan Abbasiyah

Bani Abbasiyah di Kairo


Setelah jatuhnya Baghdad, anggota Kerajaan Abbasiyah yang selamat melarikan diri ke Mesir yang saat itu dikuasai 
Kesultanan Mamluk dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana mulai tahun 1261M. Namun berbeda saat masih di
Baghdad, khalifah pada masa ini sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan. Hal ini mejadikan khalifah sering
terombang-ambing saat terjadi guncangan di pemerintahan Mesir. Tidak hanya mampu menunjuk khalifah baru yang
dikehendaki, Sultan Mamluk bahkan mampu menggulingkan khalifah yang masih bertakhta saat terjadi perselisihan.
Keadaan tersebut membuat khalifah pada periode ini sering disebut sebagai "khalifah bayangan". Keadaan ini
berlangsung sampai tahun 1517M saat Kesultanan Utsmani yang berpusat di Konstantinopel menduduki Mesir,
mengakhiri riwayat Mamluk. Khalifah saat itu, Muhammad Al-Mutawakkil, kemudian menyerahkan gelar khalifah
kepada Sultan Utsmani, Selim I, menandai berakhirnya peran Wangsa Abbasiyah dan Quraisy sebagai khalifah. Dari
tahun 1261M sampai penaklukkan Mesir oleh Utsmani, terdapat 17 khalifah. Di antara mereka, tiga khalifah
menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Secara keseluruhan, Kerajaan
Abbasiyah menyandang gelar khalifah selama hampir tujuh setengah abad, menjadikannya sebagai dinasti terlama
yang memegang peran sebagai pemimpin dunia Islam ini sepanjang sejarah kekhalifahan.
3. Masa Kerajaan Umayyah, ’Abbasiyah dan Ustmaniyah
C. Masa Kerajaan Ustmaniyah

Sebelum menjadi sebuah kekaisaran lintas benua, Utsmani awalnya adalah sebuah kadipaten kecil di kawasan 
Anatolia yang merupakan bawahan Kesultanan Seljuk. Saat Seljuk di ambang keruntuhan, kadipaten-kadipaten di
Anatolia memerdekakan diri, termasuk kadipaten yang berada di bawah pimpinan Osman. Perlahan kadipaten yang
dipimpin Osman dan keturunannya meluaskan wilayah dan menyatukan kadipaten yang lain, juga mulai meluaskan
wilayahnya ke kawasan Balkan. Anak keturunannya menggunakan nama Osman untuk nama dinasti dan negara
mereka yang semakin berkembang ini, yang kemudian dieja menjadi Utsman atau Utsmaniyah di Indonesia dan
Ottoman di Barat. Seiring menguatnya Kesultanan Utsmaniyah, para pemimpin mereka mulai mengklaim gelar
khalifah untuk diri mereka sendiri, meski saat itu Kerajaan Abbasiyah yang berada di Mesir masih memegang gelar
ini dari generasi ke generasi. Klaim Utsmani atas kepemimpinan dunia Islam semakin menguat saat di bawah
kepemimpinan Selim I, mereka menaklukkan Kesultanan Mamluk yang menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz pada
tahun 1517M. Kerajaan Abbasiyah yang sejak tahun 1261M hidup dalam perlindungan Mamluk kemudian
menyerahkan kedudukan mereka sebagai khalifah kepada pihak Utsmani, menjadikan Selim secara resmi sebagai
khalifah pertama dari Wangsa Utsmani dan non-Arab.
3. Masa Kerajaan Umayyah, ’Abbasiyah dan Ustmaniyah

Semenjak jatuhnya Baghdad, khalifah kehilangan fungsinya sebagai kepala negara dan hanya berperan sebagai
pemimpin dunia Islam secara simbolis. Para penguasa Utsmani memiliki kekuatan politik atas kedudukan mereka
sebagai sultan dan padisyah, bukan karena status mereka sebagai khalifah. Di masa-masa selanjutnya, status
penguasa Utsmani sebagai sultan melemah seiring bergesernya kendali pemerintahan di tangan wazir agung (perdana
menteri) dan tokoh-tokoh terkemuka lain, tetapi fungsi khalifah justru makin berkembang. Gelar khalifah mulai
digunakan saat Perjanjian Küçük Kaynarca (1774) yang dilakukan antara pihak Kesultanan Utsmani yang saat itu
dipimpin Sultan Abdul Hamid I (berkuasa 1773 – 1789) dan Kekaisaran Rusia yang dipimpin Maharani Yekaterina II.
Atas kemenangan Rusia atas Utsmani pada Perang Kozludzha, Utsmani dipaksa mengakui kedaulatan Kekhanan
Krimea yang awalnya merupakan bawahan Utsmani dalam Perjanjian Küçük Kaynarca. Meski secara politik
kehilangan Krimea, Abdul Hamid I menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk menegaskan kepemimpinan
keagamaannya atas Muslim Krimea. Yekaterina sendiri juga mengklaim sebagai pelindung umat Kristen Ortodoks di
wilayah Utsmani pada perjanjian ini. Dari perjanjian ini, status khalifah yang merupakan pemimpin dunia Islam
mulai berkembang dari yang hanya sekadar simbol menjadi sebuah gelar yang memiliki kekuatan politik.
3. Masa Kerajaan Umayyah, ’Abbasiyah dan Ustmaniyah

Di antara semua penguasa Utsmani, Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876 – 1909) adalah yang paling sering
menggunakan kedudukannya sebagai khalifah. Melalui statusnya sebagai khalifah, Abdul Hamid II berusaha
menyatukan masyarakatnya yang multi-etnis atas dasar agama sebagai reaksi atas keadaan Utsmani yang semakin
melemah dan terpecah, juga menghimpun kekuatan dari seluruh dunia Islam untuk bersatu dalam melawan
imperialisme Barat. Upayanya ini mengancam negara-negara Eropa, yakni Austria melalui Muslim Albania, Rusia
melalui Tatar dan Kurdi, Prancis melalui Muslim Maroko, dan Britania Raya melalui Muslim India. Upaya ini
membuahkan hasil dalam beberapa hal. Setelah kemenangan Utsmani pada Perang Yunani-Turki, banyak umat
Muslim memandang ini sebagai kemenangan Muslim. Pemberontakan dan penolakan penjajahan bangsa Eropa
dilaporkan di surat kabar di berbagai wilayah Muslim. Meski berupaya menyatukan dunia Islam, atas permintaan duta
Amerika untuk Utsmani Oscar Straus, Abdul Hamid II sepakat untuk menulis surat kepada Suku Suluk di Kesultanan
Sulu agar mereka tidak melakukan perlawanan kepada Amerika. Hal ini menjadikan Muslim Sulu mengakui
kedaulatan Amerika atas mereka. Terlepas dari segala hasil yang dicapai, upaya Abdul Hamid II dalam menyatukan
masyarakat dengan identitas Islam tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini karena besarnya jumlah populasi non-Muslim
dan pengaruh Eropa atas Utsmani. Setelah Abdul Hamid II digulingkan pada tahun 1909M, baik status Sultan
Utsmani maupun khalifah kehilangan kekuatan politiknya.
Mewujudkan Islam Yang Ramatallil’alamin Dengan Kesatuan
Umat

Terbagi menjadi 3, yaitu masa kenabian, masa


khulafa’ Ar-rasyidin, dan masa kerajaan Ummayah,
‘Abbasiyah, dan Ustmaniyah
Islam adalah agama yang mulia dan memuliakan manusia. Kalimat Ramatallil’alamin, berasal dari gabungan tiga
kata, yaitu Rahmatan, Lil, dan al – ‘Alamin. Kalimat tersebut teruju pada firman Allah Subhanawata’Alla
 

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”
Jadi, islam Rahmatalil’alamin merupakan pandangan fundamental tentang agama islam yang berarti agama yang
membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Islam yang rahmatalil’alamin bermaksud dalam
mewujudkan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan umatnya, karakteristik dan kualitas dasar-dasar ajaran Islam
mengandung nilai-nilai universal antara lain berkaitan dengan tauhid, etika dan moral, bentuk dan sistem
pemerintahan, sosial politik dan ekonomi, partisipasi demokrasi (musyawarah), keadilan sosial, perdamaian,
pendidikan dan intelektualisme, etos kerja, lingkungan hidup dan sebagainya. Sebagai pangkal dari seluruh rangkaian
ibadah dalam Islam adalah tauhid.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan kesatuan umat. Salah
satu contohnya ialah dengan mencontoh masyarakat Madinah yang dikenal dengan masyarakat madani, yaitu 
masyarakat yang berada di bawah kepemimpinan Rasul setelah beliau hijrah ke Madinah. ciri-ciri dari masyarakat
madani, yaitu a) terciptanya masyarakat yang rabbaniyah, yang dilandasi oleh tiga pilar yaitu syari’ah, aqidah dan
akhlak, b) masyarakatnya de­mokratis dan egalitarian,  c) ma­syarakatnya toleran, d) berke­adilan dan e) berilmu. Jadi,
dalam mewujudkan islam Ramhatan Lil ‘Alamin dengan kesatuan umat, haruslah umat-umat tersebut terlebih dahulu
menanamkan tauhid dalam dirinya, agar mereka akan menjadi orang yang berakhlak baik, sehingga enggan untuk
melakukan kejahatan, yang akhirnya dengan itu kesatuan umat akan dapat tercaiapai. Dan juga kemudian, pada
pemimpin serta pengajar haruslah memiliki sifat rahmatan lil ‘alamin, yaitu di mana mereka dapat memberikan
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai