Harus ada persetujuan dan kesukarelaan dari para pihak. Tanda adanya persetujuan secara formal
adalah melalui prosesi peminangan
Tidak semua wanita dapat dinikahi. Ada ketentuan-ketentuan tentang siapa saja yang boleh dan
tidak untuk dinikahi.
Perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan
Perkawinan harus ditujukan untuk membentuk keluarga yang tenteram dan bahagia
Hak dan kewajiban suami adalah seimbang. Pemimpin rumah tangga ada di tangan suami.
Dalam UU Perkawinan :
Tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal, oleh karena itu
suami isteri harus saling mendukung
Perkawinan akan sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Selain itu setiap
perkawinan harus dicatat secara resmi
Pada asasnya perkawinan bersifat monogami. Seandainya memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan, maka poligami boleh dilakukan
Perkawinan harus dilakukan oleh para pasangan yang telah matang jiwa raganya
Perceraian dipersukar
Hak dan kewajiban isteri seimbang dengan hak dan kewajiban suami.
TENTANG PEMINANGAN
Peminangan dapat dilakukan oleh orang yang mencari jodoh secara langsung
ataupun melalui orang lain
Peminangan bisa dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya
Dilarang meminang wanita yang sedang dipinang orang lain, selama belum
ada penolakan dari wanita itu terhadap pinangan tersebut
Pinangan belum menciptakan hubungan hukum, sehingga para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan
Kebebasan memutuskan hubungan peminangan harus dilakukan dengan tata
cara yang baik
Sahnya pernikahan dalam Islam
Secara umum harus ada :
Para pasangan yang akan nikah : telah dewasa; hendaknya sama-sama Islam;
tidak melanggar aturan-aturan larangan nikah; didasari cinta sama cinta;
sehat.
Wali nikah :
Hadis riwayat 4 ahli Hadis : barang siapa diantara perempuan yang nikah tanpa
diijinkan walinya, maka perkawinannya batal.
Hadis riwayat Ibnu Majah dan Daraquthni : janganlah menikahkan
perempuan akan perempuan dan janganlah pula seorang perempuan
menikahkan dirinya sendiri
Imam Malik, Syafii dan Hambali --------- wali adalah syarat sahnya
perkawinan bagi setiap wanita, baik bukan janda maupun yang janda. Sedang
imam Hanafi, untuk janda boleh nikah tanpa wali
Di indonesia aturan yang dipakai adalah dari Mazhab Syafii, sehingga harus ada wali.
Saksi nikah :
Hadis Nabi R. Ahmad bin Hambal ----- Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua
orang saksi yang adil.
Akad nikah : yang dimaksud akad nikah adalah kata sepakat antara calon suami dan calon
isteri untuk mengikatkan diri dalam perkawinan.
Mahar/mas kawin : calon mempelai pria wajib membayar mahar pada calon mempelai
wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak. Mahar diberikan
berdasarkan kemudahan dan kesederhanaan.
B. WALI NIKAH.
Pada umumnya wali ------- Dalam KHI ----- wali nasab/wali kerabat; wali
hakim/perwakilan negara atau pemerintah. Dalam hal ini yang berhak menjadi wali
adalah seorang muslim laki-laki yang memenuhi syarat , yaitu sudah balig dan
muslim.
Wali nasab terbagi empat kelompok yang mana kelompok yang satu harus
didahulukan dari kelompok lainnya, karena hubungan kekeluargaannya lebih erat
dengan si calon pengantin wanita.
Kelompok I : Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, seperti ayah, kakek dari
pihak ayah , dan seterusnya.
Kelompok II : Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah beserta keturunannya yang laki-laki
Kelompok III : kelompok kerabat paman, yakni saudara kandung laki-
laki ayah, saudara seayah saja beserta keturunannya yang laki-laki
Kelompok IV : kelompok kerabat saudara kandung kakek, saudara
seayah kakek beserta keturunannya yg laki-laki.
Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak
menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan
calon mempelai wanita
Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka
yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung daripada
kerabat yang hanya seayah
Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni
sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah,
mereka sama-sama berhak nenjadi wali nikah, dengan mengutamakan
yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi
syarat sebagai wali nikah atau karena wali nikah itu menderita
tunawicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka hak menjadi wali
bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau ghaib, atau adlal atau enggan.
Dalm hal wali itu adlal atau enggan,maka wali hakim dapat dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama
tentang wali tersebut.
C. SAKSI NIKAH.
Dalam KHI ditentukan : saksi nikah itu adalah rukun
pelaksanaan akad nikah dan setiap pernikahan harus disaksikan
oleh dua orang saksi yang adil. Yang menjadi saksi nikah ialah
seorang laki-laki muslim , adil, baligh, tidak terganggu ingatn,
bukan tuna rungu atau tuli.
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah
serta menandatangani akta nikah waktu itu dan di temapt akad
nikah dilangsungkan
D. AKAD NIKAH
Ijab dan kabul dalam pernikahan harus beruntun dan tidak
berselang waktu
Akad nikah/ijab kabul dapat dilakukan oleh wali nikah yang
bersangkutan ataupun dapat diwakilkan pada orang lain
Yang dapat mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara
pribadi
Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul dapat diwakilkan pada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis, bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah
untuk mempelai pria
Dalam hal calon mempelai wanita atau wali nikah keberatan calon
mempelai pria diwakili, maka akad nikah tak boleh dilangsungkan
E. MAHAR/MAS KAWIN
Calon mempelai pria harus memberikan mahar/mas kawin pada calon mempelai
wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya harus disepkati kedua belah pihak
Mahar harus diberikan atas dasar kesederhanaan dan kemudahan.
Biasanya mahar diberikan dengan tunai. Namun apabila calon mempelai wanita
menyetujui, maka penyerahan mahar boleh ditangguhkan, baik untuk seluruhnya
atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan itu menjadi utangnya calon mempelai
pria
Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak
menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya kalau mahar masih terutang,
maka tidak mengurangi sahnya nikah
Suami yang menolak isterinya qabla ad-dhukul wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah
Apabila suami meninggal qabla ad-dhukul, seluruh maharnya menjadi
hak penuh isterinya
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, maka mahar itu dapat
diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya. Bisa pula
diganti dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang
yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Apabila terjadi perselisihan mengenai jenis dan nilai mahar yang
ditetapkan, maka penyelesaiannya diajukan ke PA.
Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi
calon mempelai wanita mau menerimanya, maka penyerahan mahar
dianggap lunas.
UKD I (MAKALAH)
1. Jelaskan, bagaimanakah nilai sebuah perkawinan bila ditinjau dari aspek hukum, sosial
dan aspek hukum!
2. Bisakah sebuah pernikahan tergolong dalam hukum wajib, sunat, makruh dan haram?
Jelaskan!
3. Jelaskan, apa saja syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi nikah?
4. Apakah dalam Mazhab Hanafi seorang janda boleh menikah tanpa wali? Di Indonesia
sendiri bagaimana? Jelaskan!
5. Dalam kondisi bagaimana sebuah pernikahan bisa dilakukan memakai wali hakim?
Jelaskan!
LARANGAN NIKAH
Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 :
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke
bawah
Berhubungan darah dlm garis keturunan menyamping, yi antar
saudara, antara seorang dg saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya
berhubungan semenda, yi mertua, anak tiri, menantu, bapak/ibu tiri
berhubungan susuan, yi orang tua susuan, anak susuan dan saudara
susuan dan bibi atau paman susuan
berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dlm hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yg
berlaku dilarang nikah
POLIGAMI
Asas monogami dalam UU Perkawinan tdk bersifat mutlak, tetapi
hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan
monogami dg jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan
poligami.
Pasal 3 ayat 2 :
Harus ada ijin pengadilan
Dikehendaki para pihak
Hukum dan agama ybs mengijinkannya.
Pasal 4 dan Pasal 5 :
Mengajukan ijin ke pengadilan di daerah tempat tinggalnya
Syarat-syarat :
Ada persetujuan dari isteri
Suami mampu menjamin nafkah
Suami bis aberlaku adil
Syarat :
- isteri tdak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri
- isteri mendapat cacat badan atau penyakit yg tak bisa
disembuhkan
Isteri tdk memperoleh keturunan
Putusnya perkawinan dan akibat-akibat hukumnya
Alasan-alasan perceraian (Pasal 116 KHI) :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dsb yang
sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin
meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar
kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukumanyang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri
f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
g. Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.
Pasal 114 KHI : Putusnya perkawinan akibat perceraian dapat terjadi karena talak atu
berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115 KHI : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Tentang talak :
Pasal 117 : talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 129, 130 dan 131
Pasal 118 ------ TALAK RAJ’I : talak kesatu atau kedua, yang mana suami berhak
rujuk selama isteri dalam masa iddah.
Pasal 119 ---- TALAK BA’IN SUGHRAA : akad yang tidak boleh dirujuk
lagi, tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam
iddah. Talak bai’n sugrhaa terjadi dalam hal :
a. Talak yang terjadi qabla al dukhul
b. Talak tebus atau khuluk
Pasal 120 : talak ba’in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali,
kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah mantan isteri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan
habis masa iddahnya.
Pasal 121 : talak sunny adalah talak yang dibolehkan, yakni talak yang
dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam
waktu suci tersebut dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang
hamil.
Pasal 122 : talak bid’i adalah talak yang dilarang, yakni talak yang dijatuhkan pada waktu
isteri dalam keadaan haidl, atau isteri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada
waktu suci tersebut
Pasal 123 : perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan
sidang pengadilan.
Pasal 124 : Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.
Khuluk bisa terjadi manakala sudah tidak ada persesuaian antara suami isteri dalam
hidup perkawinannya dan keadaannya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan isteri
menghendaki perceraian, maka isteri dapat minta talak kepada suaminya dengan
memberi tebusan pada suaminya , harta yang pernah diterimanya sebagai mas kawin.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini adalah untuk mengimbangi hak
talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk
memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan.
Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya ini disebut juga “IWALD.” Untuk sahnya
khuluk harus memenuhi syarat-syarat sbb :
a. Perceraian dengan khuluk ini harus dilakukan dengan kerelaan dan persetujuan suami isteri
b. Besar kecilnya jumlah uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami
isteri.
Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang tebusan, maka hakim PA
dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.
Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu , tidak usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum
dicampuri, sebab ini terjadi atas kehendak isteri sendiri.
Pengertian :
Al Quran :
surat-surat dalam Al Quran yang memuat soal kewarisan
ada dalam S. An-Nisa ayat (1), (7), (8), (11), (12), (33) dan (176).
Kemudian dlm Al Baqarah ayat (180), (233) dan (240); Al
Anfal ayat (75); Al-Ahzab ayat (4), (5) dan (6) serta Ath-
Thalaaq ayat (7).
Contoh-contoh dari Hadist, misalnya dari Ibnu Abbas,
riwayat Bukhari-Muslim ----------berikanlah bagian-bagian
tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu
sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.
Hadist dari Usamah bin Zaid, riwayat Bukhari-Muslim,
Abu Dawud, at Tarmizi dan Ibnu Majah --------- seseorang
Muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim
dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari
seorang muslim
Hadist dari Jabir Ibnu Abdillah, riwayat Ibnu Majah
----------- seseorang bayi tidak berhak menerima warisan,
kecuali bila ia bergerak dengan pekikan. Gerakannya
diketahui dari tangis, teriakan dan bersin.
Hadist dari Abu Hurairah, riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah
-------- seseorang yang membunuh tidak berhak menerima
warisan dari orang yang dibunuhnya
Hadis Nabi dari Ibnu Amir Al Husaini riwayat Abu Dawud, at
Tarmizi dan Ibnu Majah ---- saudara laki-laki dari ibu adalah
ahli waris bagi seseorang yang tidk ada ahli warisnya.
Asas bilateral.
oSeseorang menerima warisan dari kedua belah pihak. Dalam hal ini, antara
anak laki-laki dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya terdapat
kedudukan sederajat. Hanya memang bagiannya beda.
Pasal 176 KHI ---------anak perempuan bila hanya
seorang mendapat separuh bagian; bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian,dan
apabila anak perempuan bersama dengan anak laki-laki,
maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu
dengan anak perempuan.
Dasar ketentuan :
Al Quran S. An Nisa ayat 7 dan 11 : penetapan porsi 2 :1
antara anak laki-laki dan perempuan (furudhul muqaddarah);
Alasan rasional : anak perempuan berhak mendapat mahar,
nafkah, tempat tinggal dan perabotan rumah tanggga,
sebaliknya laki-laki dibebani kewajiban membayar mahar,
memberi nafkah, menyediakan tempat tinggal dan perabotan
rumah tangga.
Asas individual.
Harta warisan mesti dibagi-bagi kepada masing-masing ahi
waris untuk dimiliki secara perorangan. Asas ini berkaitan
langsung dengan asas Ijbari, bahwa bila terbuka harta
warisan mesti langsung diadakan pembagian kepada
masing-masing ahli waris sesuai dengan bagian yang telah
ditentukan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan
dinyatakan dalm nilai tertentu yg kemudian dibagikan
kepada setiap ahli waris yg berhak menerimanya. Setiap ahli
waris berhak atas bagian yg didapatnya tanpa terikat kpd ahli
waris lain.
Asas keadilan berimbang.
Harus senantiasa ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara
hak yg diperoleh seseorang dg kewajiban yg dipikul, sehingga antara
laki-laki dengan perempuan terdapat hak yg sebanding dg kewajiban yg
dipikulnya. Oleh karena itu, porsi bagian warisan utk laki-laki dan
perempuan berbeda.
Pasal 174 jo 171huruf c KHI, hanya menyebutkan 2 sebab adanya hak kewarisan antara
pewaris dan ahli waris, yi karena hub darah dan hub perkawinan.
Hub darah, .. . . . . . mis dalam pasal 174 ayat (1) huruf a KHI dinyatakan, kelompok-
kelompok ahli waris terdiri dari : a.hub darah. Dari gol laki-laki, yakni ayah, anak laki-
laki, saudara laki-laki, paman dan kakek . Dari gol perempuan, yakni : ibu, anak
perempuan, saudara perempuan dan nenek.
dari pasal tsb di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hub kekerabatan sbb: ke bawah,
yaitu anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Kalau tdk ada anak-anak, maka cucu
menggantikan anak. Ke atas, yi ayah dan ibu. bila ayah sdh tak ada, maka kakek
menggantikan ayah. Bila ibu sdh tidak ada, maka nenek menggantikan ibu. Ke samping,
yi saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik melalui ayah atauibu atau melalui ayah
dan ibu.
Hub perkawinan, . . . . . Suami dan isteri saling mewarisi satu sama lain. Adanya
kewarisan antara suami isteri berdasarkan ketentuan, yi :
Sahnya perkawinan, sangat menentukan adanya kewarisan antara suami siteri satu sama
lain.
hub perkawinan masih ada . . . . . Walaupun sdh ada talak raj’i, masih ada saling
mewarisi, asal isteri masih dlm masa iddah.
Pak Ali meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut : seorang istri (bernama
Maimunah), seorang anak laki-laki (bernama Budi), dan seorang anak perempuan
(bernama Wati). Harta warisnya senilai Rp 100 juta. Berapakah perhitungan bagian
ahli waris masing-masing?
Jawab :
Dalam hukum waris Islam, istri merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang
mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu. Istri mendapat 1/4 (seperempat)
jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan)
jika mempunyai anak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 7).
Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian istri adalah 1/8 (seperdelapan)
sesuai dalil Al-Qur`an :
ان لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُهنَّ الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم
َ فَإِنْ َك
“Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan…” (QS An-Nisaa’: 12).
Sedangkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan adalah ashabah, yaitu ahli
waris yang mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan lebih dulu kepada
ash-habul furudh.
Kedua anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8 (tujuh perdelapan), berasal dari
harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8).
• Selanjutnya bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagi kepada kedua anak
tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak
perempuan sesuai dalil Al-Qur`an
• : ْنُألثَيَي ِْنKKلذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ْا
َّ K ِ لK أَ ْواَل ِد ُك ْمKKKف ِ ُ Kص ْي ُك ُم
ْيKKKهللا ِ وKKي
ْ ُ
ahli waris yang mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu.
Isteri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami yang meninggal tidak
mempunyai anak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan) jika mempunyai
anak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,Risalah fil Faraidh, hal. 7).
Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian isteri adalah 1/8
Aul dan Rad dalam waris Islam hanya boleh dibagi lewat angka 6,12 dan 24.